bahan bakar cair yang berasal dari tanaman yang tidak dapat dimakan (Franco 2010) Istilah lain yang juga sering
JARAK PAGAR DAN PENGETAHUAN PETAN
Proyek penanaman jarak pagar baik dari pemerintah, perusahaan, ataupun LSM secara antropologis dapat ditempatkan sebagai proses pembentukan nilai baru bagi petani terhadap tanaman jarak pagar. Sebelum adanya introduksi tentang jarak pagar, petani menempatkan jarak pagar dalam kategori tanaman liar, tidak termasuk tanaman yang dibudidayakan untuk diambil hasilnya sebagaimana jagung, ketela atau tanaman pertanian lainnya. Karakter fisik tanaman jarak pagar berbeda dengan karakter tanaman musiman yang sudah biasa dibudidayakan oleh petani. Jarak pagar merupakan tanaman tahunan. Pada musim hujan, pohon akan tumbuh baik, daun hijau disertai dengan munculnya
ISBN 978-602-74352-0-9 E50
bunga dan buah. Namun sebaliknya pada musim kemarau, daunnya akan gugur, hanya tinggal pangkal pohonnya yang tumbuh. Ketika jarak pagar dikenalkan sebagai tanaman yang dibudidayakan, karakternya tidak sejalan dengan sistem kognitif petani bahwa tanaman budidaya yang baik adalah tanaman yang daunnya selalu hijau dan lebat. Sejauh ini petani mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar yang hanya sebagai pagar ladang. Dengan demikian, proses introduksi jarak pagar menghadapi kesenjangan sistem pemaknaan kultural sebagai salah satu jenis tanaman pertanian. Petani memiliki memiliki kategorisasi- kategorisasi tertentu terhadap tanaman yang ditanamnya. Kategorisasi tersebut merupakan bentuk pemaknaan terhadap tanaman itu, dan berimplikasi pada perilaku sosial mereka dalam menentukan cara memandang, bersikap, dan bertindak.
Jarak pagar diperkenalkan sebagai tanaman yang dapat tumbuh di lereng-lereng gunung berkapur. Tujuannya agar tidak mengganggu dan berebut dengan lahan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan serta mengoptimalkan penggunaan lahan agar memberikan kontribusi ekonomi kepada petani. Pada praktek pertanian di Gunungkidul, lahan di lereng gunung dan berbatu kapur selama ini tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian intensif tetapi dijadikan hutan rakyat dengan ditanami jati (tectona grandis),
akasia (acacia auricoliformis), dan sengon (paraserianthes falcataria). Tanaman kayu merupakan tanaman jangka panjang yang hampir tanpa perlu perawatan yang intensif. Setelah ditanam, pohon tumbuh dengan sendirinya hingga beberapa tahun lalu dijual. Nyaris tanpa perawatan. Kayu jati merupakan kayu yang harganya paling mahal, akan tetapi pohon akasia lebih disukai karena memiliki daun yang tetap bertahan hijau meskipun pada musim kemarau. Daun akasia dimanfaatkan untuk pakan ternak pada musim kemarau meskipun kandungan nutrisinya rendah. Ketika jarak pagar ditanam di lahan pada lahan yang digunakan untuk menanam berbagai jenis kayu, maka tanaman jarak pagar diperlakukan sebagaimana halnya memperlakukan tanaman kayu yaitu ditanam dan dibiarkan saja tumbuh sendiri. Padahal secara teknis jarak pagar membutuhkan perawatan intensif seperti pemangkasan dan pemupukan.
Penanaman jarak pagar menggunakan lahan yang berada tepi-tepi ladang. Padahal lokasi tersebut biasanya ditanami dengan tanaman yang daunnya dapat digunakan untuk pakan ternak terutama pada saat musim kemarau, seperti lamtoro (leucaena leucochepala), gamalina (glirisedia sepium), dan turi
(sesbania grandiflora). Tanaman tersebut merupakan tanaman yang dimanfaatkan daunnya untuk pakan ternak. Ketika proyek jarak pagar berlangsung, lokasi pinggir-pinggir ladang dimanfaatkan untuk menanam jarak maka dapat mengurangi areal untuk menanam pakan ternak.
Proses introduksi jarak pagar sebagai sumber biofuel mengalami transformasi pemaknaan dalam sistem kognitif petani. Introduksi jarak pagar gagal dipahami petani sebagai jalan peningkatan kesejahteraan melalui pengembangan komoditi baru. Petani justru memaknainya secara berbeda, jarak pagar tidak semata-mata dimanani secara ekonomis, ramah lingkungan, sumber energi, tetapi telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lain. Partisipasi petani menanam jarak pagar bukan lagi didasari pada apa yang diintroduksikan oleh perusahaan ataupun pemerintah, tetapi didasari oleh konstruksi yang terbangun dalam relasi sosial mereka yaitu siapa yang mengintroduksikan. Petani mau menanam jarak karena yang mengajak adalah salah satu perangkat desa. Perangkat desa termasuk orang yang disegani di lingkungannya sehingga apa yang dikatakannya cenderung untuk dipatuhi. Relasi antara perangkat desa dengan warga umumnya membentuk hubungan patronase yang secara politik menempatkan perangkat desa pada posisi yang lebih dominan. Pada sisi lain, pengembangan jarak pagar juga menunjukkan aspek kolektifitas dalam masyarakat. Kalau ada yang menanam jarak kemudian seseorang
tidak ikut menanam maka orang itu akan dianggap “ora lumrah” (tidak umum) karena orang tersebut menjadi tidak sama dengan temannya. Jika dapat melakukan seperti yang dilakukan orang lain maka, entah gagal ataupun berhasil, dia juga harus merasakan seperti yang dirasakan orang lain.
Ketika pada kenyataanya jarak pagar telah gagal menjadi tanaman komoditi yang dibudidayakan petani, namun tidak menjadikan jarap pagar dimusnahkan atau diganti dengan tanaman lain. Para petani masih membiarkan jarak pagar tetap hidup meskipun dalam kondisi tidak terawat. Jara pagar masih tampak tumbuh di pinggir-pinggir jalan utama sebagai pagar pembatas ladang. Di beberapa tempat tampak subur dan berbuah banyak, tetapi sudah tidak dipanen bijinya karena tidak ada pembelinya. Patani memiliki beberapa alasan mengapa jarak pagar itu tidak dimusnahkan. Pertama karena keberadaan jarak pagar tidak mengganggu tanaman pangan. Kedua, para petani merasa tanaman tersebut telah ditanam dengan susah payah, bahkan membutuhkan banyak biaya dan tenaga. Ketiga,
ISBN 978-602-74352-0-9 E51
jarak pagar tetap dibiarkan tumbuh terutama yang berada di tepi jalan utama, hal itu ditujukan untuk memberikan bukti kepada pemerintah bahwa para petani sudah menjalankan proyek dengan baik. Kegagalan proyek jarak pagar bukanlah kesalahan petani. Dengan demikian maka pemerintah akan mempercayai mereka sehingga akan ada proyek lain yang akan masuk ke desa itu. Keempat, para petani masih memiliki harapan bahwa suatu saat jarak pagar akan kembali bangkit dan akan ada pasarnya, jika itu terjadi maka para petani langsung mendapatkan keuntungan karena sudah memiliki pohon jarak pagar tanpa perlu menanamnya dari awal. Saat ini jarak pagar di mata petani Gunungkidul menjadi tanaman yang mati suri. Saat ini sedang berhibernasi, dan akan bangkit lagi pada musim atau konsisi yang memungkinkan untuk kembali bangun.
SIMPULAN
Dalam sistem kognitif petani, lahan memiliki kategorisasi-kategorisasi tertentu, baik berdasarkan lokasi, jenis tanah, jenis tanaman, dan kepemilikannya. Kategorisasi tersebut berimplikasi pada perilaku sosial mereka dalam menentukan cara pandang, bersikap, dan memaknai sesuatu. Ketika jarak pagar ditanam di lereng-lereng gunung kapur maka petani memperlakukan tanaman tersebut sebagaimana pengalaman kultural mereka terhadap kategori tempat itu. Selama ini lokasi di lereng bukit dengan lapisan tanah berkapur bukan lahan untuk diolah secara intensif, tetapi digunakan untuk menanam kayu dengan intensitas kebutuhan tenaga kerja yang rendah. Oleh karena itu, jarak pagar diperlakukan sebagaimana tanaman lain yang tumbuh di tempat itu, seperti jati, akasia, dan sengon yang ditanam, dibiarkan, kemudian tumbuh sendiri dan tinggal memetik hasilnya.
Proses introduksi jarak pagar sebagai sumber biofuel mengalami ketidaksesuaian makna dengan sistem kognitif petani terkait jenis tanaman produktif dan dibudidayakan. Ketidaksesuaian tersebut merupakan bentuk transformasi nilai dan pemaknaan yang terjadi sebagai proses interaksi sosial dalam berkomunitas. Klaim besar bahwa jarak pagar adalah tanaman yang bernilai ekonomis, ramah lingkungan telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lain ketika berada di hadapan petani. Partisipasi petani menanam jarak pagar bukan didasari pada apa yang diintroduksikan oleh perusahaan ataupun pemerintah, tetapi didasari oleh konstruksi yang terbangun dalam relasi sosial mereka. Petani mau menanam jarak karena yang mengajak adalah salah satu perangkat desa. Pada umumnya perangkat desa adalah termasuk orang yang disegani di lingkungannya sehingga apa yang dikatakannya cenderung untuk dipatuhi. Pada sisi lain, euforia jarak pagar juga dapat dilihat sebagai bagian dari kolektifitas masyarakat. Kalau ada yang menanam jarak kemudian seseorang tidak ikut menanam maka orang itu
akan dianggap “ora lumrah” (tidak umum) karena tidak sama dengan temannya. Jika dapat melakukan seperti yang dilakukan orang lain maka, entah gagal ataupun berhasil, dia juga akan merasakan seperti yang yang dirasakan orang lain. Jarak pagar sebagai substansi material telah bertransformasi menjadi substansi simbolik dan memiliki makna tertentu ketika berada dalam relasi sosial. Oleh karena itu, bisa jadi kegagalan proyek jarak pagar terjadi karena adanya proses transformasi yang senjang ketika makna dikonstruksi ulang dalam konteks sosial yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Afiff S. 2014. Engineering the jatropha hype in indonesia. sustainability 6, 1686-1704; doi:10.3390/su6041686.
Amir S. 2008. Cultivating energy, reducing poverty: biofuel development in an indonesian village. Perspectives on Global Development and Technology 7 (2): 113-132.
Anny M. 2008. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 30, No. 4.
Ariza-Montobbio P. 2010. The Political Ecology of Jatropha Plantations for Biodiesel in Tamil Nadu, India. Journal of Peasant Studies37: 4, pp 875-897.
ISBN 978-602-74352-0-9 E52
Boomgaard P. 1999. “Maize and Tobacco in Upland Indonesia, 1600-1940” dalam Tania Li (ed) Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production. Harwood Academic Publishers. Canada.
Boomgaard P. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. Terjemahan Monique Susman. Djambatan. Jakarta.
Brittaine R, Lutaladio M. 2010. Jatropha: a Smallholder Bioenergy crop. The Potential for Pro-poor Development. Integrated Crop Management, vol. 8. IFAD, Rome.
Borras Jr, Saturnino M, McMichael, Philip and Scoones I. 2010. The politics of biofuels, land and agrarian change: editors' introduction', journal of peasant studies 37 (4): 575-592.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2008. The Sate of Food and Agriculture. Rome.
Franco J , Levidow L , Fig D , Goldfarb L , Hönicke, Mireille and Luisa M, Maria. 2010. Assumptions in the European Union biofuels policy: frictions with experiences in Germany, Brazil and Mozambique. Journal of Peasant Studies. 37: 4, 661-698.
Fernandes, BM, Welch CA and Gonçalves EC. 2010. Agrofuel policies in Brazil: paradigmatic and territorial disputes, Journal of Peasant Studies, 37 (4): 793-819.
Fatimah, Ariani Y. 2009. Opening the indonesian bio-fuel box: how scientists modulate the social.
International Journal of Actor-Network Theory and Technological Innovation, Volume 1 (2) pp 1-12. Hunsberger C. 2010. The politics of Jatropha-based biofuels in Kenya: convergence and divergence
among NGOs, donors, government officials and farmers. The Journal of Peasant Studies 37 (4): 939–962.
Gaul M. 2012. Evaluating the Performances of Rural Energy Service Pathways and their Impacts on Rural Livelihoods An analysis model tested on Jatropha-based energy services in Sumbawa, Indonesia. PhD dissertation, Technische Universitat Berlin.
Geertz, C. 1973. The Interpretation of Culture: Selected Essays. Basic Books Inc. USA.
Jongschaap, REE, Corr´e W. 2007. Claims and Facts on Jatropha curcas L., Global Jatropha curcas
Evaluation. Breeding and Propagation Programme, Plant Research International Wageningen UR.
Kloppenburg JMC. Dilihat 11 Juni 2013
<http://www.semarang.nl/jamu/articles.php?lng=nl&pg=506>.
Wilkinson, John and Herrera, Selena. 2010. Biofuels in Brazil: debates and impacts. Journal of Peasant Studies, 37 (4): 749-768.
ISBN 978-602-74352-0-9 E53 STUDI PENAMBAHAN KOTORAN KAMBING DAN WAKTU PEMBALIKAN PADA PEMBUATAN