Subsistem produks
UNDERSTANDING THE REGIONAL FOOD SECURITY ON ADAPTIVE GOVERNANCE PERSPECTIVE
(CASE STUDY: MINGGIR SUB DISTRIC, SLEMAN DISTRIC, YOGYAKARTA PROVINCE)
Kurnia Nur Fitriana
Jurusan Ilmu Administrasi Negara - Fakultas Ilmu Sosial - Universitas Negeri Yogyakarta
Penulis Korespondensi: email [email protected] ABSTRAK
Tulisan ini menganalisis interaksi antar aktor dalam dinamika ketahanan pangan di Kabupaten Sleman, DIY dari tiga aspek: pemerintah, masyarakat dan pasar melalui pendekatan perspektif adaptive governance. Studi kasus penelitian ini dilakukan di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, DIY sebagai salah satu daerah penyangga produksi beras terbesar di Kabupaten Sleman, DIY namun justru mengalami kerawanan pangan selama tiga tahun berturut-turut (2009-2011) dengan kondisi sosial- ekonomi masyarakatnya mayoritas masuk dalam kategori miskin. Eksplorasi ini sangat penting dilakukan untuk pembelajaran dalam penentuan indikator kerawanan pangan yang selama ini masih tumpang tindih dengan indikator kemiskinan antara pemerintah dengan masyarakat. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk menjelaskan dan mengeksplorasi lebih dalam tentang dinamika interaksi antara aktor dalam penguatan ketahanan pangan di Kecamatan Minggir. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang diambil dengan wawancara, observasi dan dokumentasi kepada pemerintah, masyarakat, petani, dan pelaku pasar dalam dinamika ketahanan pangan di Kecamatan Minggir. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pergeseran pemetaan relasi peran sosial dalam memperkuat ketahanan pangan daerah. Pemetaan sosial terkait interaksi antar aktor dalam dinamika ketahanan pangan di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman telah berubah antara periode kerawanan pangan dengan penguatan ketahanan pangan. Pola interaksi yang terjadi antara aktor negara, publik dan pelaku pasar telah menciptakan ambiguitas peran keagenan dari setiap aktor dalam kehidupan sosial karena adanya relasi kekuasaan dan tumpang tindih peran antar aktor. Dominasi peran pemerintah dalam memulihkan kondisi kerawanan pangan dan penguatan ketahanan pangan mulai didelegasikan lebih proporsional melalui kolaborasi peran antara pemerintah, masyarakat petani, dan pasar melalui pemberdayaan secara mandiri yang berafiliasi dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) untuk mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri. Pencapaian terbaik dalam penguatan ketahanan pangan di Kecamatan Minggir terdapat subsistem produksi atau ketersediaan pangan. Sedangkan, yang masih memiliki kerentanan dalam ketahanan pangan adalah pada subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Kondisi ini disebabkan faktor: (1) diversifikasi pangan tidak optimal, (2) keterbatasan aksesibilitas dari masyarakat miskin di Kecamatan Minggir, (3) dominasi peran aktor pasar dalam rantai distribusi beras, (4) ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap bantuan pemerintah.
Kata kunci: dinamika ketahanan pangan, kerawanan pangan, penguatan kelembagaan lokal, relasi peran
ABSTRACT
This paper analyzes the interaction between actors in the dynamics of food security in Sleman Distric, Yogyakarta Province on three aspects: government, society and the market through the perspective of adaptive governance approach. This case study research was conducted in Minggir Sub District, as one of the largest rice production buffer zone in Sleman, Yogyakarta, but actually it was experiencing food insecurity for three consecutive years (2009-2011) with the socio-economic conditions of the majority community entry in the category of poor. This exploration is essential to learning in the
ISBN 978-602-74352-0-9 ED77 determination of indicators of food insecurity that still overlaps with indicators of poverty between the government and the public. This research is a descriptive qualitative case study approach in order to explain and explore more about the dynamics of the interaction between the actors in strengthening food security in Minggir Sub District. The data used in this study are primary and secondary data taken with interviews, observation and documentation to governments, communities, farmers, and market participants in the dynamics of food security in Minggir Sub District. The result of this study shows that there is a shift in the relationship of social role mapping in strengthening local food security. Mapping related social interaction between actors in the dynamics of food security in Minggir Sub District has changed between the period of food insecurity by strengthening food security. The pattern of interaction between state actors, public and market participants has created ambiguity agency role of each actor in social life because of their power relations and overlapping roles between actors. The dominance of the government's role in restoring conditions of food insecurity and the strengthening of food security began to delegate more proportionate with the collaboration of roles between the government, the farming community, and markets through empowerment independently affiliated in Farmers Group Association (Gapoktan) and the Institute of Food Distribution Society (LDPM) to realize food security independently. Best Achievement in strengthening food security in Minggir Sub District contained production subsystem or food availability. Meanwhile, who still has a vulnerability in food security subsystem is on the distribution and consumption subsystems. This condition is caused by several factors: (1) diversification of food are not optimal, (2) the limited accessibility of the poor people in the sub district of Minggir, (3) dominant role of market actors in the chain of distribution of rice, (4) the high society dependency on government assistances.
Keywords: food insecurity, relations role, strengthening local institutions, the dynamics of food security
PENDAHULUAN
Secara teoritis, ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terjaminnya aksesibilitas setiap individu dalam memenuhi kebutuhan pangannya setiap saat secara kuantitas maupun kualitas untuk kehidupan yang lebih sehat dan produktif (USAID, 1992; FAO, 1997; FIVIMS, 2005; Corps, 2007; Nuhfil, 2009 dalam Jamhari, Irham, Arshanti, Musyafak, dan Permana, 2010: 6-7). Oleh karena itu, pangan merupakan kebutuhan dasar setiap warga negara yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam pemenuhannya. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup sebuah kondisi ideal yang mencakup dimensi wilayah (konsentrasi wilayah) dan dimensi waktu (jadwal musim produksi) akan tetapi juga terkait dengan cakupan interspatial dan intertemporal; (2) Ketahanan pangan tidak hanya berfokus pada pemenuhan pangan secara kuantitas tetapi juga secara kualitas terkait dengan kandungan nilai gizi pangan tersebut; dan (3) Ketahanan pangan juga berhubungan dengan aksesibilitas ekonomi individu terhadap komoditas pangan tersebut yaitu kemampuan daya beli individu (Safrizal, 2009). Hal ini berarti bahwa ketahanan pangan tidak hanya berfokus pada tingkat produksi semata tetapi juga harus berorientasi jangka panjang untuk mempersiapkan cadangan pangan yang cukup ketika terjadi krisis pangan.
Dalam pemenuhan kebutuhan pangan setiap warga negara, negara bertanggung jawab penuh atas penyediaan pangan yang terjangkau, sehat, aman, dan berkelanjutan. Terkait dengan penguatan ketahanan pangan hingga level individu, menurut Sumodiningrat (2003) dalam Dewi (2012: 17-18) menegaskan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan (beras) diperlukan campur tangan pemerintah. Dalam hal ini terdapat tiga perubahan paradigma yang berhubungan dengan peran negara, yaitu (1) Adanya marginalisasi peran negara, (2) Penguatan institusi lokal, dan (3) Cara intervensi kebijakan yang berbeda pada kelompok usia dengan berfokus pada usia produktif terutama dalam hal penanggulangan kemiskinan. Intervensi negara dalam mewujudkan ketahanan pangan khususnya komoditas beras salah satunya adalah melalui implementasi program beras untuk rakyat miskin (Raskin).
Namun demikian, dibalik mulianya tujuan landasan kebijakan ketahanan pangan nasional dan daerah yang ada, ternyata tetap memiliki beberapa titik lemah dalam hal substansi maupun implementasinya dalam perspektif politik-hukum. Kelemahan mendasar politik hukum ketahanan pangan terletak pada konsepsi paradigmatik pengelolaan sumberdaya pangan. Dalam konteks ini, pemerintah lebih memilih paradigma pengeloaan ketahanan pangan berbasis negara, sehingga semua kebijakan ketahanan pangan masih bersifat sangat sentralistik dan represif. Artinya, produk kebijakan dan politik
ISBN 978-602-74352-0-9 ED78
hukum ketahanan pangan semata-mata dipergunakan untuk memperkuat kelembagaan negara, sementara kelembagaan yang tumbuh dari bawah dan bertumpu pada modal sosial (social capital) yang dimiliki masyarakat lokal tidak memperoleh tempat bahkan tidak jelas posisinya dalam kelembagaan ketahanan pangan yang dibangun oleh pemerintah (Syafa’at, 2009: 58-59). Berdasarkan pendapat
Syafa’at tersebut dapat dikaji bahwa kebijakan ketahanan pangan justru menciptakan kerentanan masyarakat karena telah memposisikan masyarakat tidak mandiri dan membuat masyarakat menjadi apatis dikarenakan hanya menjadikan masyarakat sebagai objek penderita kebijakan ketahanan pangan. Hal ini dapat terlihat dalam implementasi program pembagian beras untuk orang miskin (raskin), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan cerminan bahwa negara hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek dari program besar dalam penanggulangan kerawanan pangan. Ketergantungan petani kepada pemerintah telah menimbulkan suatu kerentanan baru, yaitu petani menjadi obyek permainan harga oleh pasar, sehingga telah membentuk pola pikir petani menjadi petani pasar. Kondisi ini mencerminkan bahwa petani mempunyai posisi yang sangat rentan terhadap pasar dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah. Bentuk intervensi pemerintah dalam sub-sektor pertanian pangan (padi) sangat besar dari pemerintah. Bahkan setiap tahun pemerintah mengeluarkan harga dasar padi, menentukan jenis padi yang harus ditanam, dan mengatur giliran pemakaian sawah. Campur tangan pemerintah tidak hanya terjadi pada proses produksi saja tetapi juga pada sektor organisasi petani (Soetrisno, 2002: 16).
Pembangunan ketahanan pangan pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu secara berkelanjutan. Apabila setiap rumah tangga sudah mencapai tahapan ketahanan pangan, maka secara otomatis ketahanan pangan masyarakat, daerah dan nasional akan tercapai. Dengan demikian, arah pengembangan ketahanan pangan berawal dari rumah tangga, masyarakat, daerah dan kemandirian nasional bukan mengikuti proses sebaliknya. Proses pemberdayaan tersebut harus didesentralisasikan sesuai potensi dan keragaman sumberdaya wilayah. Dalam mengelola potensi ketahanan pangan daerah dibutuhkan kearifan lokal dan kolaborasi peran aktif dari semua pihak baik dari pemerintah, petani, dan masyarakat. Pembangunan masyarakat dalam konteks sektor pertanian dan ketahanan pangan, pada dasarnya memiliki beberapa permasalahan fundamental sebagai berikut: (1) mengecilnya lahan pertanian dan fragmentasi tanah; (2) sikap mental masyarakat; (3) keterbatasan pengetahuan; (4) masalah sosial budaya; dan (5) faktor ekonomi (Khairuddin, 2000:142-154).
Pada satu sisi, perubahan perilaku petani dan masyarakat perdesaan mempunyai andil yang cukup besar dalam menentukan keberhasilan ataupun kegagalan ketahanan pangan pada level masyarakat dan individu. Perubahan perilaku ini dipengaruhi juga oleh perubahan sistem sosial dan budaya yang ada di masyarakat perdesaan sehingga berpengaruh besar terhadap perubahan pola pikir dan perilaku dalam mengelola subsistem produksi, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi pangan masyarakat. Berbicara tentang sikap mental masyarakat petani dan masyarakat perdesaan, Sukirno (1985) dalam Khairuddin (2000: 145) berpendapat bahwa sikap mental masyarakat yang menjadi hambatan dalam pembangunan pertanian sangat terkait dengan tingkat pendidikan dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat serta telah melembaga dalam diri masing-masing. Salah satu sikap mental ini adalah kecenderungan untuk subsistence minded. Subsistence minded didefinisikan oleh Sukirno (1985) dalam Khairuddin (2000: 145-146) sebagai kebiasaan untuk berusaha dengan hanya memenuhi kebutuhan minimal saja. Namun demikian, pendapat subsistence minded dari masyarakat petani dan masyarakat perdesaan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Pada satu sisi, faktor sosial budaya petani dan masyarakat pedesaan sangat menguasai dan mempengaruhi corak kehidupan ekonomi para petani dan selalu menggantungkan pada kehendak nasib. Akan tetapi, pada sisi yang lain, petani tetap berusaha mempertinggi pendapatan mereka apabila kesempatan tersebut terbuka dan kemungkinan suksesnya usaha untuk mencapai tujuan tersebut cukup tinggi dengan resikonya sangat minimal.. Sedangkan, Penny (1978) dalam Khairuddin (2000: 146) mempunyai alasan tersendiri mengapa para petani di Indonesia bersifat subsistence minded karena mereka sangat mempertimbangkan aspek adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty). Alasan ini cukup rasional karena kondisi luasan tanah yang dimiliki tidaklah seberapa dan ketidakpastian dari pasar yang mungkin dapat berakibat pada ancaman ketidaktersediaan pangan yang dikonsumsi.
ISBN 978-602-74352-0-9 ED79
Pada aspek empiris, penelitian ini penting karena menyangkut penekanan kajian interaksi antar aktor-aktor sosial dalam konteks adaptive governance yaitu negara, petani, masyarakat, dan pasar dalam mempertahankan ketahanan pangan di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Adaptive governance
mengintegrasikan prinsip-prinsip dari manajemen adaptif dengan bukti emperimental bahwa masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri untuk mengatasi tragedy of the commons. Oleh karena itu, dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan sebagai tragedy of the commons diperlukan pemahaman bersama antara aktor pemerintah, aktor masyarakat, dan aktor swasta.Pendekatan adaptive governance
dinilai lebih tepat untuk menguraikan adanya kompleksitas perilaku masing-masing aktor dalam memahami konteks lokal pada setiap subsistem dalam ketahanan pangan (Nelson, Howden, dan Smith, 2008). Hal ini termasuk mengenali potensi lokal dan partisipasi aktif untuk menggunakan kearifan lokal setempat yang spesifik dalam membuat keputusan pengalokasian sumber daya secara kolektif antara masyarakat dan swasta (pasar). Dietz (2003) dan Ostrom (1999) menyebutkan bahwa Adaptive governance terinspirasi dari pengembangan community-based natural resource governance system
dimana menetapkan siapa yang dapat mengakses sumber daya dan dalam kondisi apa saja dapat diakses. Tujuannya adalah untuk membatasi penggunaan sumber daya alam secara lebih proporsional dan menumbuhkan rasa memiliki serta rasa kewajiban bersama untuk melindungi keberlanjutan jangka panjang sumber daya. Hal ini juga mencakup pengawasan bersama dalam pengelolaan dan pengawasan penggunaan sumber daya serta pemberian sanksi informal non-compliance. Pada penggunaan jangka panjang dapat dikembangkan menjadi norma-norma sosial yang mengatur penggunaan sumber daya (Dietz, 2003; Ostrom, 1999; dalam Nelson, Howden, Smith, 2008). Adaptive governance mengakui bahwa banyak kompleksitas dan ketidakpastian dalam kebijakan sumber daya alam muncul dari kebutuhan untuk menegosiasikan trade-off berbagai kepentingan (Brunner dan Steelman 2005, Dietz et al,2003; dalam Nelson, Howden, Smith, 2008). Dalam paradigma adaptive governance, masalah kebijakan menjadi salah satu upaya untuk mengatasi perbedaan antara beberapa tujuan dan pencapaian masa lalu serta diproyeksikan outcomes-nya.
Alasan pemilihan lokasi penelitian ini diperkuat dengan data produksi tanaman pangan Kabupaten Sleman, Kecamatan Minggir merupakan wilayah produsen beras terbesar di Kabupaten Sleman dan telah ditetapkan menjadi penyangga produksi beras Kabupaten Sleman, akan tetapi justru masuk menjadi wilayah rawan pangan di Kabupaten Sleman selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2009-2011 (Bidang Ketahanan Pangan, Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, Kabupaten Sleman, 2013). Pencapaian total produksi beras di Kecamatan Minggir terbesar di Kabupaten Sleman dengan jumlah total 21.088 kg pada tahun 2011 (Bidang Ketahanan Pangan, Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, Kabupaten Sleman, 2013). Pada tahun 2012, Kecamatan Minggir telah berhasil keluar dari wilayah rawan pangan. Berdasarkan Laporan SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) tahun 2012, apabila dilihat dari kondisi sosial-ekonominya, 43 % masyarakat di Kecamatan Minggir termasuk ke dalam kategori masyarakat miskin dengan rincian jumlah total kepala keluarga (KK) miskin sebanyak 4.288 KK, jumlah KK pra sejahtera sebanyak 1.636 KK, dan jumlah KK sejahtera I sebanyak 2.652 KK dari total jumlah keluarga sebanyak 9.965 KK (Bidang Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, Kabupaten Sleman, 2013). Berdasarkan kondisi sosial-ekonomi tersebut, Kecamatan Minggir mendapat skor miskin 2 jika dibandingkan dengan kondisi Kabupaten Sleman. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat permasalahan yang cukup fundamental pada interaksi masing-masing aktor dalam dinamika ketahanan pangan di Kecamatan Minggir dengan karakteristik sosial-ekonomi masyarakatnya yang memiliki kerentanan sosial-ekonomi cukup tinggi.
Adalah menarik untuk melakukan eksplorasi apa yang sesungguhnya terjadi di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman sehingga dapat terlepas dari kerawanan pangan pada tahun 2012 setelah 3 tahun (2009-2011) menjadi wilayah rawan pangan. Eksplorasi ini sangat penting untuk pembelajaran dalam penentuan indikator kerawanan pangan dan ketahanan pangan yang selama ini masih overlapping
dengan indikator kemiskinan antara pemerintah dengan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lebih mendalam mengenai dinamika ketahanan pangan daerah di Kabupaten Sleman dengan studi kasus di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman secara khusus pada aspek interaksi antar aktor-aktor sosialnya yaitu pemerintah, masyarakat, petani, dan pasar melalui pendekatan adaptive governance. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana interaksi antar aktor dalam
ISBN 978-602-74352-0-9 ED80
dinamika ketahanan pangan di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman melalui pendekatan adaptive governance?
METODE
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk menjelaskan dan mengeksplorasi lebih dalam tentang dinamika interaksi antara aktor dalam penguatan ketahanan pangan di Kecamatan Minggir. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang diambil dengan wawancara, observasi dan dokumentasi kepada pemerintah, masyarakat, petani, dan pelaku pasar dalam dinamika ketahanan pangan di Kecamatan Minggir. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode dan pendekatan yang ada, seperti wawancara, observasi partisipasi dan metode-metode visual (Denzin dan Lincoln, 1998: 2). Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengukur secara cermat terhadap fenomena sosial tertentu. Dalam hal ini peneliti akan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi, 1989: 4).
Penelitian kualitatif dapat membantu menginterpretasikan hubungan antar variabel serta menjelaskan faktor-faktor yang mendasari terbangunnya hubungan tersebut. Penelitian ini didesain menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk menganalisis dinamika ketahanan pangan daerah di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, dengan fokus untuk menganalisis tentang bagaimana interaksi antar aktor dalam dinamika ketahanan pangan di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman? Penelitian ini menghendaki suatu informasi deskriptif untuk mengungkapkan secara mendalam makna dibalik deskripsi informasi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dinilai lebih sesuai apabila menggunakan pendekatan studi kasus dengan kelebihan dapat menganalisis fenomena sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi dalam unit sosial tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryabrata (1998: 22) bahwa penelitian studi kasus merupakan penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu yang hasilnya berupa gambaran lengkap dan terorganisir secara baik mengenai unit sosial tersebut. Oleh karena itu, unit analisis dalam penelitian ini ialah masyarakat Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Analisis data dalam penelitian ini melalui tahap-tahap sebagai berikut (Muhadjir, 2002: 45-53): (1) Peringkasan data (data reduction); (2) Penyajian data (data display) dan interpretasi; (3) Pembahasan data; (4) Merumuskan kesimpulan. Data penelitian diperiksa, dicek, dan diverifikasi dengan teknik triangulasi sumber yaitu dengan membandingkan keabsahan data dengan data-data sejenis yang berasal dari referensi yang berbeda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Negosiasi Kepentingan Antara Peran Negara, Masyarakat, Petani, dan Pasar di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman
Pemetaan relasi peran dan pola interaksi antar aktor dalam dinamika ketahanan pangan di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman dapat dimulai dengan memahami telaah negosiasi kepentingan yang dilakukan oleh negara, masyarakat, petani dan pasar. Artinya, diperlukan sebuah pemaknaan bersama terkait konsep, pola pikir, dan sikap dari masing-masing aktor dalam memaknai kerawanan pangan dan ketahanan pangan di tingkat lokal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh preferensi, perspektif, dan latar belakang sosial-ekonomi-politik dan budaya yang terbangun dari setiap aktor. Pemahaman ketahanan pangan dan kerawanan pangan menurut Pemerintah Kabupaten Sleman bersifat normatif sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 ini, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sedangkan masalah pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan keamanan
ISBN 978-602-74352-0-9 ED81
pangan. Kerawanan pangan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, didefinisikan sebagai krisis pangan yaitu kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh antara lain, kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang. Sedangkan, pemahaman antar aktor dalam dinamika ketahanan pangan daerah di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman mengenai ketahanan pangan dan kerawanan pangan, mayoritas masih menekankan pada aspek produksi saja. Artinya gagal atau berhasilnya ketahanan pangan di suatu wilayah dimulai dari kondisi subsistem produksi. Subsistem produksi merupakan pondasi dasar yang penting untuk menentukan berjalannya subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Pemahaman terkait ketahanan pangan masih dimaknai sebatas ketercukupan pangan (beras) secara kuantitas dengan mengesampingkan aspek kualitasnya bagi setiap anggota keluarga sepanjang waktu.
Pada satu sisi, masyarakat di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman justru memaknai ketahanan pangan dalam konteks domestik terkait kemampuan pemenuhan pangan secara kuantitas dan kualitas bagi setiap anggoa keluarga secara terjangkau, sehat, dan aman. Masyarakat tidak mempermasalahan sumber pemenuhan kebutuhan pangan pokoknya baik berasal dari produksi lahan sendiri, membeli, maupun dari bantuan subsidi pemerintah melalui raskin. Artinya masyarakat melihat ketahanan pangan rumah tangganya menggunakan perspektif konsumsi. Kerawanan pangan bermakna suatu kondisi ketika masyarakat tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan pangan rumah tangganya secara manusiawi secara kuantitas maupun kualitas. Seringkali masyarkaat mengabaikan unsur ketercukupan gizi sesuai angka ketercukupan gizi setiap individu. Pola konsumsi masyarakat di Kecamatan Minggir masih belum mampu untuk melakukan diversifikasi pangan lokal secara menyeluruh dan berkelanjutan. Padahal Kecamatan Minggir mempunyai potensi yang cukup baik untuk tanaman palawija, seperti singkong, ubi, uwi, gembili,