• Tidak ada hasil yang ditemukan

John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 1 (Halaman 169-172)

BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA

7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian

Teori moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama

adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang

kedua adalah kaum konsekuensialis. Apa yang dimaksud dengan etika

konsekuensialis? Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan

dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan

tersebut. Tentunya pendekatan konsekuensialis kaum utilitarian sangat bertolak

belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. Konsekuensialis justru

menegaskan bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan

kebahagiaan bagi individu serta orang-orang disekitarnya. Motif terhadap apa yang

dianggap menyebabkan kebahagiaan dianggap oleh kaum konsekuensialis menjadi

dasar dari suatu perbuatan moral.

Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill.

Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa

dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai

2

Ibid. hlm. 384

kebahagiaan, “Kredo yang menerima prinsip moral utility, atau kebahagiaan sebagai

fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai suatu kebenaran sejauh

tindakan itu memproduksi serta mempromosikan kebahagiaan, akan menjadi

kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan itu.”

3

Cukup jelas dalam pernyataan

ini, bahwa apa yang dianggap secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan

kebahagiaan. Tetapi seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan menjadi

pandangan yang secara general memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagian,

inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian.

Mill membantah argumen ini dengan mengatakan bahwa seolah-olah pandangan etis

kaum utilitarian terlampau meninggikan kesenangan ragawi semata. Mill menyatakan

bahwa pandangan utilitarian tidak sesederhana itu dalam menggunakan kata

kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sebagai suatu tujuan seseorang sesungguhnya

bukanlah murni milik Mill, seorang pemikir Yunani kuno yang bernama Epikurus

yang pertama kali mengutarakan gagasan tersebut. Untuk Mill ada perbedaan

mendasar antara paham Utility yang ia gagas, dan miliki pendahulunya Epikurus,

kelalaian utama dari Epikurus adalah tidak membahas konsep kebahagiaan secara

mendetil. Dikemudiannya Mill mengkoreksi pandangan dari Epikurus, dengan

menyebutkan bahwa jenis kenikmatan atau kebahagiaan ada yang tinggi dan rendah.

Hirarki ini menjadi penting dalam konsep etis kaum utilitarian, karena Mill berupaya

menyampaikan bahwa ada tingkatan dalam kebahagiaan, dimana pengejaran etis

berurusan dengan kebahagiaan yang bertingkat tinggi, karena itulah kebahagiaan itu

memiliki nilai moral. Klarifikasi ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang memiliki

nilai moral atau yang bertujuan etis bagi Mill adalah jenis kebahagiaan yang utama

atau tertinggi, misalnya, kebahagiaan disaat melakukan aktivitas hobi, dengan

kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat

di tingkatan yang amat berbeda. Itulah konteks kata kebahagiaan sebagai suatu tujuan

etis. Permasalahan yang timbul adalah bila kebahagiaan yang kita tuju sebagai

tindakan yang bermoral, harus dilalui dengan sesuatu yang menyengsarakan kita?

Bukankah prinsip utility menjadi berkontradiksi?

Tentunya problem filosofis ini memberatkan logika dari argumen etis para utilitarian,

tetapi Mill menjawab, bahwa selain adanya tingkatan-tingkatan dari kebahagiaan, atau

3

Ibid. bagian John Stuart Mill, hlm. 388

klasifikasi kebahagiaan, tentunya tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan

bahwa tidak semua kebahagiaan itu memuaskan kita secara sempurna. Mill secara

gamblang menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa tidak ada kepuasan yang

sempurna itu, meskipun demikian kita harus berupaya untuk memaksimalisasikan

kebahagiaan. Misalnya dalam satu contoh, ketika seseorang harus mengalami rasa

sakit mendonorkan darah demi membantu seorang temannya yang sedang sekarat,

tindakan ini pada dasarnya memang menyengsarakannya, tetapi kebahagiaan untuk

melihat temannya sembuh, atau untuk menolong temannya memberikan kebahagiaan

yang melampaui rasa sakitnya.

Contoh ini juga dapat digunakan untuk memahami pandangan etis kaum utilitarian

yang sangat berbeda dengan deontologi Kantian. Mill mengkritik bagaimana Kant

dengan mudahnya meniadakan peran individu yang memiliki kesadaran untuk

bermotif moral. Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh

memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajiban

terhadap kebaikan itu sendiri. Mill menganggap prinsip deontologi ini sangatlah tidak

realistis, karena mengabaikan aspek kepekaan individu untuk berkendak serta

menginginkan kebaikan. Menginginkan kebaikan dalam arti utilitarian adalah

keinginan kebaikan tidak saja untuk individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang

yang mungkin mendapatkan dampak dari perbuatan itu. Atas alasan inilah Mill

menekankan niat baik serta pertimbangan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin

orang-orang.

Prinsip etis utilitarian ini untuk mengenyahkan anggapan bahwa bila prinsip terutama

manusia adalah kebahagiaan maka ia hanya akan melakukan sesuatu hal yang

menguntungkan bagi dirinya sendiri, sebaliknya karena ia menyadari bahwa

kebahagiaan itu untuk kebahagiaan semuanya, maka ia terdorong untuk bersikap etis.

Mengapa motif menjadi sedemikian penting untuk kaum utilitarian? Mill menjelaskan

bahwa hanya ketika seseorang berkeinginan untuk bertindak etis maka ia dapat

mempertanggung jawabkan pilihan yang telah ia lakukan. Ia tidak dapat mengelak

dengan mengatakan bahwa, ia hanya menjalankan suatu perintah, atau ia hanya

mengikuti hukum tanpa memikirkan akibatnya. Motif dan konsekuensi menjadi dua

hal yang sangat penting dalam prinsip etis utilitarian, karena seseorang bermotif untuk

berbuat baik, maka ia diharuskan untuk mempertimbangkan hasil akhir dari pilihan

yang akan ia ambil.

Penjelasan dari John Stuart Mill memberikan kita perspektif yang berbeda tentang

suatu tindakan moral. Bila pandangan yang mendominasi adalah pandangan yang

mengatakan bahwa prinsip moral itu didasari atas kewajiban, Mill mengkritik dengan

mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kita bertindak yang bernilai moral.

Sebagai konsekuensialis, Mill menjelaskan bahwa dalam melakukan apapun kita

terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi kaum utilitarian, konsekuensi

yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu kebahagiaan, dan menghindari

kesengsaraan. Seperti yang telah ditekankan oleh Mill, kebijaksanaan yang utama

serta memiliki nilai moral adalah mengejar kebahagiaan, “Dengan demikian,

meningkatkan kebahagiaan, menurut etika utilitarian, merupakan objek dari

kebijaksanaan”

4

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 1 (Halaman 169-172)