BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA
7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian
Teori moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama
adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang
kedua adalah kaum konsekuensialis. Apa yang dimaksud dengan etika
konsekuensialis? Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan
dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan
tersebut. Tentunya pendekatan konsekuensialis kaum utilitarian sangat bertolak
belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. Konsekuensialis justru
menegaskan bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan
kebahagiaan bagi individu serta orang-orang disekitarnya. Motif terhadap apa yang
dianggap menyebabkan kebahagiaan dianggap oleh kaum konsekuensialis menjadi
dasar dari suatu perbuatan moral.
Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill.
Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa
dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai
2
Ibid. hlm. 384
kebahagiaan, “Kredo yang menerima prinsip moral utility, atau kebahagiaan sebagai
fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai suatu kebenaran sejauh
tindakan itu memproduksi serta mempromosikan kebahagiaan, akan menjadi
kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan itu.”
3Cukup jelas dalam pernyataan
ini, bahwa apa yang dianggap secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan
kebahagiaan. Tetapi seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan menjadi
pandangan yang secara general memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagian,
inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian.
Mill membantah argumen ini dengan mengatakan bahwa seolah-olah pandangan etis
kaum utilitarian terlampau meninggikan kesenangan ragawi semata. Mill menyatakan
bahwa pandangan utilitarian tidak sesederhana itu dalam menggunakan kata
kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sebagai suatu tujuan seseorang sesungguhnya
bukanlah murni milik Mill, seorang pemikir Yunani kuno yang bernama Epikurus
yang pertama kali mengutarakan gagasan tersebut. Untuk Mill ada perbedaan
mendasar antara paham Utility yang ia gagas, dan miliki pendahulunya Epikurus,
kelalaian utama dari Epikurus adalah tidak membahas konsep kebahagiaan secara
mendetil. Dikemudiannya Mill mengkoreksi pandangan dari Epikurus, dengan
menyebutkan bahwa jenis kenikmatan atau kebahagiaan ada yang tinggi dan rendah.
Hirarki ini menjadi penting dalam konsep etis kaum utilitarian, karena Mill berupaya
menyampaikan bahwa ada tingkatan dalam kebahagiaan, dimana pengejaran etis
berurusan dengan kebahagiaan yang bertingkat tinggi, karena itulah kebahagiaan itu
memiliki nilai moral. Klarifikasi ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang memiliki
nilai moral atau yang bertujuan etis bagi Mill adalah jenis kebahagiaan yang utama
atau tertinggi, misalnya, kebahagiaan disaat melakukan aktivitas hobi, dengan
kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat
di tingkatan yang amat berbeda. Itulah konteks kata kebahagiaan sebagai suatu tujuan
etis. Permasalahan yang timbul adalah bila kebahagiaan yang kita tuju sebagai
tindakan yang bermoral, harus dilalui dengan sesuatu yang menyengsarakan kita?
Bukankah prinsip utility menjadi berkontradiksi?
Tentunya problem filosofis ini memberatkan logika dari argumen etis para utilitarian,
tetapi Mill menjawab, bahwa selain adanya tingkatan-tingkatan dari kebahagiaan, atau
3
Ibid. bagian John Stuart Mill, hlm. 388
klasifikasi kebahagiaan, tentunya tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan
bahwa tidak semua kebahagiaan itu memuaskan kita secara sempurna. Mill secara
gamblang menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa tidak ada kepuasan yang
sempurna itu, meskipun demikian kita harus berupaya untuk memaksimalisasikan
kebahagiaan. Misalnya dalam satu contoh, ketika seseorang harus mengalami rasa
sakit mendonorkan darah demi membantu seorang temannya yang sedang sekarat,
tindakan ini pada dasarnya memang menyengsarakannya, tetapi kebahagiaan untuk
melihat temannya sembuh, atau untuk menolong temannya memberikan kebahagiaan
yang melampaui rasa sakitnya.
Contoh ini juga dapat digunakan untuk memahami pandangan etis kaum utilitarian
yang sangat berbeda dengan deontologi Kantian. Mill mengkritik bagaimana Kant
dengan mudahnya meniadakan peran individu yang memiliki kesadaran untuk
bermotif moral. Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh
memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajiban
terhadap kebaikan itu sendiri. Mill menganggap prinsip deontologi ini sangatlah tidak
realistis, karena mengabaikan aspek kepekaan individu untuk berkendak serta
menginginkan kebaikan. Menginginkan kebaikan dalam arti utilitarian adalah
keinginan kebaikan tidak saja untuk individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang
yang mungkin mendapatkan dampak dari perbuatan itu. Atas alasan inilah Mill
menekankan niat baik serta pertimbangan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin
orang-orang.
Prinsip etis utilitarian ini untuk mengenyahkan anggapan bahwa bila prinsip terutama
manusia adalah kebahagiaan maka ia hanya akan melakukan sesuatu hal yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri, sebaliknya karena ia menyadari bahwa
kebahagiaan itu untuk kebahagiaan semuanya, maka ia terdorong untuk bersikap etis.
Mengapa motif menjadi sedemikian penting untuk kaum utilitarian? Mill menjelaskan
bahwa hanya ketika seseorang berkeinginan untuk bertindak etis maka ia dapat
mempertanggung jawabkan pilihan yang telah ia lakukan. Ia tidak dapat mengelak
dengan mengatakan bahwa, ia hanya menjalankan suatu perintah, atau ia hanya
mengikuti hukum tanpa memikirkan akibatnya. Motif dan konsekuensi menjadi dua
hal yang sangat penting dalam prinsip etis utilitarian, karena seseorang bermotif untuk
berbuat baik, maka ia diharuskan untuk mempertimbangkan hasil akhir dari pilihan
yang akan ia ambil.
Penjelasan dari John Stuart Mill memberikan kita perspektif yang berbeda tentang
suatu tindakan moral. Bila pandangan yang mendominasi adalah pandangan yang
mengatakan bahwa prinsip moral itu didasari atas kewajiban, Mill mengkritik dengan
mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kita bertindak yang bernilai moral.
Sebagai konsekuensialis, Mill menjelaskan bahwa dalam melakukan apapun kita
terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi kaum utilitarian, konsekuensi
yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu kebahagiaan, dan menghindari
kesengsaraan. Seperti yang telah ditekankan oleh Mill, kebijaksanaan yang utama
serta memiliki nilai moral adalah mengejar kebahagiaan, “Dengan demikian,
meningkatkan kebahagiaan, menurut etika utilitarian, merupakan objek dari
kebijaksanaan”
4
Dalam dokumen
Mpkt a Buku Ajar 1
(Halaman 169-172)