• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Etika

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 1 (Halaman 156-161)

BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA

2. Klasifikasi Etika

Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut:

Gambar 2 Pembagian Bidang Etika

Jika kita sederhanakan maka akan menjadi sebagai berikut:

Gambar 3 Empat Bidang Etika Utama

2. 1. Etika Normatif

Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan

pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak

secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau

keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan

pertimbangan-pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar sautu

tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).

Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika

deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal

tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus

bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria

norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara

normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan X" atau "Fulan

seharusnya tidak melakukan X".

Harus dipahami bahwa setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu

tentang apa yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, di

mana dari kriteria umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih

konkret. Dengan begitu, suatu tindakan dapat disebut etis jika ada kondisi-kondisi

tertentu yang memenuhi prinsip-prinsip etis yang diturunkan dari kriteria umum

dalam sebuh teori etika normatif tersebut.

Misalnya pada teori etika utilitarian, kriteria umum itu adalah suatu tindakan dianggap

benar atau baik jika menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang

terpengaruh oleh tindakan atau keputusan tersebut, termasuk orang yang melakukan

tindakan. Lain halnya dengan teori etika deontologis Kant yang punya kriteria umum

sebagai berikut: "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan

Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal" (Tännsjö, 2008,

56-58).

2. 2. Etika Terapan

Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik

kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang,

hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi

etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang

diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika

terapan.

Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada

kelompok-kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah

pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang

setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol

senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung

dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata.

Kedua, sebuah permasalahan menjadi permasalahan etika terapan ketika hal itu punya

dimensi dilema etis. Meskipun ada masalah yang kontroversial dan memiliki dampak

penting terhadap masyarakat, hal itu belum tentu menjadi permasalahan etika terapan.

Kebanyakan masalah yang kontroversial di masyarakat adalah masalah kebijakan

sosial. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk membantu suatu masyarakat tertentu

berjalan secara efisien yang dilegitimasinya disandarkan pada konvensi tertentu,

seperti undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lain (Debashis, 2007, 28-30).

Berbeda dengan permasalahan etis yang lebih bersifat universal, seperti kewajiban

untuk tidak berbohong, dan tidak terbatas pada suatu masyarakat tertentu saja.

Seringkali memang isu-isu kebijakan sosial tumpang tindih dengan isu-isu moralitas.

Namun, dua kelompok isu tersebut bisa dibedakan dengan mengunakan kedua

pendekatan yang dilakukan di atas.

Dengan begitu bisa dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan untuk

menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa

saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang

kehidupan manusia. Misalnya, bioetika yang berhubungan dengan mengidentifikasi

pendekatan yang benar untuk persoalan-persoalan seperti euthanasia, penggunaan

embrio manusia dalam penelitian dan lain-lain.

2.3. Etika Deskriptif

Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu

atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai

hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris

terkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika

deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara

apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau

masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa

sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang

dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis

yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).

Penyelidikan etka deskriptif juga melibatkan tentang apa yang dianggap oleh

seseorang atau masyarakat sebagai sesuatu yang ideal. Artinya, kajian ini melihat apa

yang bernilai etis dalam diri seseorang atau masyarakat merupakan bagian dari suatu

kultur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Akan tetapi, etika

deskriptif juga memberikan gambaran tentang mengapa satu prinsip etika bisa

ditinggalkan oleh genarasi berikutnya.

Oleh karena itu, etika deskriptif melibatkan stud-studi empris seperti psikologi,

sosiologi dan antropologi untuk memberikan suatu gambaran utuh. Di sini antropologi

dan sosiologi mampu memberikan segala macam informasi mengenai bagaimana

masyarakat di masa lalu dan sekarang menciptakan standar moral dan bagaimana

masyarakat itu ingin orang bertindak. Sedang, psikologi bisa melakukan sebuah studi

tentang bagaimana seseorang punya kesadaran tentang apa itu baik dan buruk serta

bagaimana seseorang membuat keputusan moral dalam situas nyata dan situasi

hipotetis (Kitchener, 2000, 3).

Akan tetapi, etika deskriptif bisa digunakan dalam argumentasi filosofis terkait

dengan masalah etis tertentu. Observasi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris dalam

etika deskripsi seringkali menjadi argumen untuk relativisme etis. Beragamnya

fenomena dan perilaku etis di antarbudaya memberikan pemahaman bahwa apa yang

baik dan buruk tidaklah absolut, tetapi relatif. Dalam konteks ini, moralitas dianggap

relatif pada tingkat antarbudaya. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa

moralitas merupakan sebuah konstruksi sosial sehingga sangat tergantung kepada

subjek etis dalan lingkungannya.

Ringkasnya, etika deskriptif mempertanyakan dua hal berikut:

1. Apa yang seseorang atau masyarakat klaim sebagai "baik"?

2. Bagaimana orang bertindak secara nyata ketika berhadapan dengan

masalah-masalah etis?

2. 4. Metaetika

Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti

atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,

metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang

diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik?

Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi

pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk

dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan

sebagai sesuatu yang bermakna.

Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme

Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung

Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang

menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna.

Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan

etis, maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak

ada bukti, maka tidak ada makna.

Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan "naturalistic fallacy", yaitu

dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa

yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika

adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Disinilah peran sentral dari

metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud

dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna.

Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis

dan nonrealisme etis.

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 1 (Halaman 156-161)