BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA
2. Klasifikasi Etika
Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut:
Gambar 2 Pembagian Bidang Etika
Jika kita sederhanakan maka akan menjadi sebagai berikut:
Gambar 3 Empat Bidang Etika Utama
2. 1. Etika Normatif
Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak
secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau
keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar sautu
tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).
Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika
deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal
tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus
bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria
norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara
normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan X" atau "Fulan
seharusnya tidak melakukan X".
Harus dipahami bahwa setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu
tentang apa yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, di
mana dari kriteria umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih
konkret. Dengan begitu, suatu tindakan dapat disebut etis jika ada kondisi-kondisi
tertentu yang memenuhi prinsip-prinsip etis yang diturunkan dari kriteria umum
dalam sebuh teori etika normatif tersebut.
Misalnya pada teori etika utilitarian, kriteria umum itu adalah suatu tindakan dianggap
benar atau baik jika menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang
terpengaruh oleh tindakan atau keputusan tersebut, termasuk orang yang melakukan
tindakan. Lain halnya dengan teori etika deontologis Kant yang punya kriteria umum
sebagai berikut: "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan
Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal" (Tännsjö, 2008,
56-58).
2. 2. Etika Terapan
Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik
kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang,
hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi
etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang
diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika
terapan.
Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada
kelompok-kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah
pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang
setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol
senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung
dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata.
Kedua, sebuah permasalahan menjadi permasalahan etika terapan ketika hal itu punya
dimensi dilema etis. Meskipun ada masalah yang kontroversial dan memiliki dampak
penting terhadap masyarakat, hal itu belum tentu menjadi permasalahan etika terapan.
Kebanyakan masalah yang kontroversial di masyarakat adalah masalah kebijakan
sosial. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk membantu suatu masyarakat tertentu
berjalan secara efisien yang dilegitimasinya disandarkan pada konvensi tertentu,
seperti undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lain (Debashis, 2007, 28-30).
Berbeda dengan permasalahan etis yang lebih bersifat universal, seperti kewajiban
untuk tidak berbohong, dan tidak terbatas pada suatu masyarakat tertentu saja.
Seringkali memang isu-isu kebijakan sosial tumpang tindih dengan isu-isu moralitas.
Namun, dua kelompok isu tersebut bisa dibedakan dengan mengunakan kedua
pendekatan yang dilakukan di atas.
Dengan begitu bisa dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan untuk
menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa
saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang
kehidupan manusia. Misalnya, bioetika yang berhubungan dengan mengidentifikasi
pendekatan yang benar untuk persoalan-persoalan seperti euthanasia, penggunaan
embrio manusia dalam penelitian dan lain-lain.
2.3. Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu
atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai
hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris
terkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika
deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara
apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau
masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa
sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang
dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis
yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).
Penyelidikan etka deskriptif juga melibatkan tentang apa yang dianggap oleh
seseorang atau masyarakat sebagai sesuatu yang ideal. Artinya, kajian ini melihat apa
yang bernilai etis dalam diri seseorang atau masyarakat merupakan bagian dari suatu
kultur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Akan tetapi, etika
deskriptif juga memberikan gambaran tentang mengapa satu prinsip etika bisa
ditinggalkan oleh genarasi berikutnya.
Oleh karena itu, etika deskriptif melibatkan stud-studi empris seperti psikologi,
sosiologi dan antropologi untuk memberikan suatu gambaran utuh. Di sini antropologi
dan sosiologi mampu memberikan segala macam informasi mengenai bagaimana
masyarakat di masa lalu dan sekarang menciptakan standar moral dan bagaimana
masyarakat itu ingin orang bertindak. Sedang, psikologi bisa melakukan sebuah studi
tentang bagaimana seseorang punya kesadaran tentang apa itu baik dan buruk serta
bagaimana seseorang membuat keputusan moral dalam situas nyata dan situasi
hipotetis (Kitchener, 2000, 3).
Akan tetapi, etika deskriptif bisa digunakan dalam argumentasi filosofis terkait
dengan masalah etis tertentu. Observasi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris dalam
etika deskripsi seringkali menjadi argumen untuk relativisme etis. Beragamnya
fenomena dan perilaku etis di antarbudaya memberikan pemahaman bahwa apa yang
baik dan buruk tidaklah absolut, tetapi relatif. Dalam konteks ini, moralitas dianggap
relatif pada tingkat antarbudaya. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa
moralitas merupakan sebuah konstruksi sosial sehingga sangat tergantung kepada
subjek etis dalan lingkungannya.
Ringkasnya, etika deskriptif mempertanyakan dua hal berikut:
1. Apa yang seseorang atau masyarakat klaim sebagai "baik"?
2. Bagaimana orang bertindak secara nyata ketika berhadapan dengan
masalah-masalah etis?
2. 4. Metaetika
Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti
atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,
metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang
diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik?
Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi
pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk
dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan
sebagai sesuatu yang bermakna.
Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme
Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung
Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang
menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna.
Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan
etis, maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak
ada bukti, maka tidak ada makna.
Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan "naturalistic fallacy", yaitu
dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa
yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika
adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Disinilah peran sentral dari
metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud
dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna.
Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis
dan nonrealisme etis.
Dalam dokumen
Mpkt a Buku Ajar 1
(Halaman 156-161)