BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA
8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban
Telah dibahas dua aliran besar dalam filsafat moral, yakni pandangan deontologi
dengan pandangan konsekuensialis. Dalam bagian ini akan dibahas tentang
bagaimana pandangan moral intuitif dari seorang etikus bernama W.D Ross. Bila
Kant menegaskan bahwa rasio praktis memungkinkan kita memisahkan mana
kebaikan dan mana keburukan, atau maxim kewajiban yang harus kita lakukan, dalam
pandangan Ross, ia menggunakan penjelasan intuisi. Apa yang dimaksud dengan
intuisi?
Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang
bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang terlalu
menekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan kebahagiaan sebagai
kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan
kebaikan, justru kebaikan adalah bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan
moral adalah mencapai kebaikan bukan kebahagiaan. Ross mengkritik pandangan etis
dari kaum utilitarian sebagai pandangan hedonistik, yakni bertujuan hanya pada
kebahagiaan tanpa membedah lebih tajam perbedaan mendasar antara kebahagiaan
dan kebaikan. Meskipun ketika seseorang berbuat kebaikan dan kebaikan itu
menyebabkan rasa senang, kesenangan itu tidak relevan dengan suatu prinsip moral.
4
Ibid. hlm. 390
Justru untuk Ross, yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang signifikan adalah
benarnya tindakan individu itu.
Senada dengan Kant, Ross adalah seorang filosof moral yang menekankan bahwa
tindakan etis haruslah terlepas dari kepentingan individual. Bila dalam argumen
utilitarian ditekankan bahwa motif merupakan hal yang mendasar, bagi Ross, motif
menunjukan bahwa seseorang bertindak etis bukan karena tindakan itu benar secara
prinsipil, tapi tindakan itu menguntungkan baginya. Ross berargumen bahwa di luar
dari kebahagiaan terdapat berbagai hal yang menurutnya lebih tepat untuk dijadikan
prinsip tindakan moral yakni kebaikan melalui karakter yang mulia, atau berdasarkan
intelegensia. Sehingga untuk Ross premis yang mengatakan bahwa kebenaran moral
adalah memperbanyak kebahagiaan bagi semakin banyak orang dikoreksi menjadi
kebenaran moral adalah memperbanyak kebaikan bagi semakin banyak orang.
Pembedaan antara kebahagiaan dan kebaikan bagi Ross menjadi pembeda penting,
bahwa dari kedua hal tersebut kebaikan adalah yang tertinggi.
Meskipun terdapat keserupaan dalam filsafat moral Ross dengan Kant, ada perbedaan
penting antara Ross dan Kant. Ross mengkritik kewajiban sempurna dari Kant. Ia
mendebat bahwa kewajiban sempurna mengandaikan bahwa tidak ada perselisihan
menyangkut tindakan moral mana yang harus diprioritaskan. Bagi Ross, kita kerap
dibenturkan dengan dilema moral yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan
dengan prinsip mengikat imperatif Kant. Di satu sisi Ross menyetujui adanya
kewajiban, tetapi kewajiban yang ia maksudkan bukanlah kewajiban sempurna yang
dijelaskan oleh Kant, melainkan kewajiban dengan syarat atau kondisional.
Untuk mempermudah pembedaan kewajiban imperatif Kant dengan kewajiban
kondisional dari Ross adalah melalui contoh berikut. Prinsip moral dari Kant akan
melarang kita dari tindakan berbohong karena menurut Kant berbohong melanggar
prinsip kewajiban imperatif yang universal. Tetapi bagaimana bila keadaannya,
seseorang harus memilih antara berbohong atau mengatakan kejujuran, tetapi hasil
dari kejujurannya akan menyebabkan kematian orang lain? Dari contoh semacam ini
Ross memaparkan bahwa secara intuitif kita memahami mana prioritas dalam dilema
moral semacam ini. Jika kita menggunakan perspektif Kant maka secara imperatif
individu itu harus menyampaikan kejujuran, meski kejujuran itu menyebabkan
kematian orang lain, karena prinsip moral dari Kant mengandalkan kewajiban yang
mengikat dan bukan didasarkan pada hasil akhir dari tindakan. Ross mengkritik
konsep kewajiban menurut Kant. Dari perspektif Ross, justru dari pilihan antara
kejujuran dan kematian, kita memiliki pemahaman bahwa nyawa seseorang jauh lebih
mendesak untuk didahulukan.
Ide moral semacam ini disebut oleh Ross sebagai Prima Facie. Menurut Ross,
“Prima facie menunjukan bahwa sesungguhnya pada pandangan awal yang muncul
adalah situasi moral yang hanya kemunculan semata, tetapi apa yang dimaksud
dengan Prima Facie adalah situasi moral yang dapat ditelaah secara objektif.”
5Penelaahan secara objektif yang dimaksud oleh Ross adalah bahwa pada faktanya
manusia memiliki kecerdasan untuk membandingkan pilihan moral manakah yang
paling menyebakan kebaikan utama. Melalui cara ini, menurut Ross, maka kita dapat
menghindarkan generalisasi yang dapat mengakibatkan keburukan, seperti dalam
contoh menyampaikan kejujuran yang mengakibatkan kematian bagi orang lain.
Prima Facie menekankan tentang bagaimana seseorang merefleksikan pilihan-pilihan
moralnya, sebelum ia bertindak.
Ross menyebutkan tentang berbagai macam kewajiban yang membutuhkan
pertimbangan individu dalam kejadian-kejadian aktual, ia menyusunya sebagai
berikut: (1) fidelitas (kesetiaan) atau yang menyangkut perihal bagaimana seseorang
memegang janji atau komitmennya; (2) kewajiban atas rasa terimakasih ketika kita
berkewajiban atas jasa yang sudah ditunjukan oleh orang lain; (3) kewajiban
berdasarkan keadilan; hal ini menyangkut perihal pembagian yang merata yang
berhubungan dengan kebaikan orang banyak, (4) kewajiban beneficence, atau
bersikap dermawan, dan menolong orang lain sebagai tanggung jawab sosial, (5)
kewajiban untuk merawat dan menjaga diri sendiri, (6) kewajiban untuk tidak
menyakiti orang lain.
Enam tipe dari Prima Facie yang dijelaskan oleh Ross menunjukan bahwa dalam
kondisi-kondisi tertentu kita kerap terbentur untuk memutuskan di antara
pilihan-pilihan moral. Dalam suatu situasi yang amat mendesak, Ross menekankan pada
kemampuan intuitif manusia untuk mengambil keputusan. Keputusan ini ditujukan
untuk mencari tahu pilihan manakah yang dimungkinkan menyebabkan kebaikan
yang tertinggi. Pertimbangan intuitif ini bagi Ross sangat vital karena intuisi bukanlah
5
Ibid. bagian W.D Ross, hlm. 407
pertimbangan yang serampangan, tetapi pertimbangan yang menggunakan segala
aspek kecerdasan dan sensibilitas individu. Dengan demikian maka ia dapat
menghindarkan dirinya dari pilihan yang menyebabkan keburukan untuk dirinya
maupun terhadap orang disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Borchert, Donald M (Ed.). 2006. Encyclopedia of Philosophy Vol. III. Farmington
Hills: Thomson Gale
Callcut, Daniel. 2009. Reading Bernard Williams. London dan New York:
Routledge
Debashis, Guha. 2007. Practical and Professional Ethics Vol. 1: The Primer of
Applied Ethics. New Delhi: Concept Publishing Co
Graham, Gordon. 2010. Theories of Ethics: An Introduction to Moral Philosophy with
a Selection of Classic Readings. London dan New York: Routledge
Hinman, Lawrence M. 2012. Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory.
California: Wadsworth Publishing
Johnson, Oliver A. dan Reath, Andrews. 2011. Ethics: Selections from Classic
and Contemporary Writers. California: Wadsworth Publishing
Kagan, Shelly. 1997. Normative Ethics. New York: Dimensions of Philosophy
Kitchener, Karen Strohm. 1999. Foundations of Ethical Practice, Research, and
Teaching in Psychology and Counseling. London: Lawrence Erlbaum
Associates
Lee, Keekok. 1985. A New Basis for Moral Philosophy (International Library of
Philosophy). London: Routledge Kegan & Paul
MacIntyre, Alasdair. 1997. A Short History of Ethics: A History of Moral Philosophy
from the Homeric Age to the Twentieth Century. London dan New York:
Routledge
Pritchard, Michael S. 2012. What is Ethics?. Michigan: Department of Philosophy,
Western Michigan University & Theodore Goldfarb
Sidgwick, Henry. 2004. Outlines of the History of Ethics. Montana: Kessinger
Publishing
Tännsjö, Torbjörn. 2008 Understanding Ethics: Introduction to Moral Theory.
Edinburgh: Edinburgh University Press
Williams, Bernard. 2006. Ethics and the Limits of Philosophy. London dan New
York: Routledge
Cottingham, John. 1996. An Anthology: Western Philosophy. UK: Blackwell
Publisher
Singer, Peter. 1993. Practical Ethics. New York: Cambridge University Press.
Dalam dokumen
Mpkt a Buku Ajar 1
(Halaman 172-176)