BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT
2. Pengertian Filsafat
Untuk dapat menjawab ini semua dibutuhkan filsafat logika. Tanpa logika, filsafat dan
ilmu pengetahuan tidak dapat memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang
benar.
Lalu, mengapa filsafat dibahas beriringan dengan pengembangan kekuatan dan keutamaan
karakter? Apa hubungan antara keduanya?
Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Filsafat memang
mengandalkan pikiran karena untuk mencapai kebenaran diperlukan pikiran. Tetapi berfilsafat
tidak hanya menggunakan pikiran. Berfilsafat berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk
terlibat dalam pencarian kebenaran. Ada syarat-syarat berfilsafat yang melibatkan sifat-sifat baik
manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan
karakter. Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memiliki
keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di
dalamnya. Tetapi, berfilsafat juga merupakan sebuah cara untuk membangun karakter. Aktivitas
dalam filsafat mencakup kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga
kesetiaan, berani mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan
karakter. Dengan dasar itu, maka filsafat dipelajari beriringan dengan pengembangan karakter.
2. Pengertian Filsafat
Kata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus
(484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja “berfilsafat” dalam percakapannya dengan Croesus
yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia mendengar Solon telah melakukan
perjalanan melalui berbagai negeri untuk berfilsafat digerakkan oleh hasrat akan pengetahuan.
21
Kata “berfilsafat” di situ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan
semata. Kata filosof atau filsuf berasal dari kata philosophos yang berati pencinta kebijaksanaan;
philos berarti kebijaksanaan, dan sophos berarti pecinta dari kata dasar sophia yang berarti cinta.
Ada dugaan yang tak dapat dilacak catatan tertulisnya bahwa kata filsafat dapat dilacak
lebih jauh lagi asalnya pada Pythagoras (sekitar 582-500 SM). Dugaan itu didasarkan pada
tulisan Cicero (106-43 SM), Diogenes Laertes dan Iamblichus. Sebagaimana dikatakan oleh
Cicero (terjemahan King, 1945), cerita tentang penggunaan kata filsafat itu terdapat dalam
percakapan Pythagoras dengan Leon, penguasa Phlius di Peloponnesus. Pythagoras menjelaskan
dirinya sebagai filsuf, dan berkata bahwa urusannya adalah menyelidiki hakikat benda-benda.
Penjelasan Cicero diperkuat oleh Laertes (terjemahan Hicks, 1931) dan Iamblichus (terjemahan
Burch, 1965). Dari ketiganya, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari orang-orang kebanyakan
yang mencari ketenaran atau kemasyuran (doxa), filsuf mencari kebenaran (aletheia, kalliston
theorian).
Penggunakan kata filsuf selanjutnya digunakan oleh beberapa penulis Yunani, di antaranya
Xenophon (430-354 SM) dan Plato (427-347 SM). Pengertian filsuf dalam tulisan-tulisan mereka
adalah orang yang mencurahkan diri dan hidupnya untuk mencari kebijaksanaan atau untuk
melakukan pembelajaran. Dalam arti sempitnya, filsuf adalah orang yang menyelidiki dan
mendiskusikan sebab-sebab benda dan kebaikan tertinggi (Thayer, 2011).
Dalam dialog Plato, Phaedrus, ditemukan penggunaan kata filsuf melalui paparan
Socrates:
“…to all of them we are to say that if their compositions are based on knowledge of the
truth, and they can defend or prove them, when they are put to the test, by spoken
arguments, which leave their writings poor in comparison of them, then they are to be
called, not only poets, orators, legislators, but are worthy of a higher name, befitting
the serious pursuit of their life… Wise, I may not call them; for that is a great name
22
which belongs to God alone,―lovers of wisdom or philosophers is their modest and
befitting title.” (Plato, terjemahan Jowett, 1892: 488)
Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran
dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka
adalah pencinta kebijaksanaan.
Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Dari asal katanya dalam bahasa
Yunani Kuno yaitu philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan) maka artinya adalah cinta akan
kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Definisi ini masih terlalu umum sebab ada banyak juga
usaha untuk memperoleh kebenaran yang bukan filsafat. Untuk itu perlu dirumuskan sebuah
definisi filsafat yang lebih spesifik. Jika kita pelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran filosofis
sejak Yunani Kuno hingga abad ke-21, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia
untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis.
Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah usaha. Sebuah usaha adalah
sebuah proses, bukan semata produk. Dengan demikian, yang pertama-tama memiliki sifat
sistematis, kritis dan radikal adalah proses memperoleh pengetahuan. Filsafat sebagai sebuah
upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung
terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan
kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan
mungkin ada. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses pemahaman
itu berlangsung terus menerus.
Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan
merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada
produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah
selesai. Bisa jadi, jika kita lihat produknya saja kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai
23
resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak,
jadilah makanan yang siap santap. Atau sebaliknya kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai
kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan
orang kebanyakan. Itu bisa terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Padahal, filsafat
semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan
pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses
pencarian pengetahuan universal.
Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi
kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin
merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah pemikiran yang perlu
dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi.
Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah latin kritein yang berarti
memilah-milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Sifat kritis filsafat mengandung dua
pengertian ini. Berfilsafat berarti memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian
terhadap obyek itu. Dalam berfilsafat, para filsuf memilah satu hal dari hal lainnya untuk
diperbandingkan. Hasil perbandingan kemudian dinilai guna mengetahui hubungan antara hal.
Penilaian diberikan dalam bentuk yang paling sederhana seperti “lebih kecil” atau “lebih besar”
hingga bentuk yang kompleks seperti “hubungan sebab-akibat” dan “dialektika” (perpaduan dua
hal yang berlawanan dengan dasar pemikiran yang lebih abstrak).
Secara lebih khusus lagi kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada
kemungkinan-kemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan-kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan),
tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan
waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir
24
kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan
secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah
informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.
Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang
berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin
diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis
memungkinkan orang untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan
mendalam, orang tidak begitu saja menerima apa yang ada, melainkan mencermati, menemukan
masalah dan “lubang-lubang” pada pengetahuan yang sudah ada, lalu mencari pejelasan baru
yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa jadi menggantikan penjelasan terdahulu,
membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Sifat radikal pada filsafat
memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan
yang mendasar.
Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti
keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya
memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta
hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Sifat sistematis itu disertai dengan
jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, sifat sistematis dalam filsafat
sekaligus mencakup sifat logis. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika.
Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang
digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk jamannya. Jika kita cermati pemikiran
para filsuf besar dunia, maka kita temukan di sana logika yang mereka gunakan untuk
memahami perwujudan kenyataan yang dikaji.
25
Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa
berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang
dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan
konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu.
Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, “Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan
sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta
paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang
sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu” (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui
yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus
merupakan ciri berpikir filosofis yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang
sistematis. Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang
rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri.
Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri
sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan
kritik secara timbal balik.
Hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. Kegiatan filosofis sesungguhnya merupakan
perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, tidak begitu saja menerima sesuatu, mengajukan
pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan “mengapa”,
dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan
filosofis harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang
saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan
26
Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang
merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses,
satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan
hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya
manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi,
seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada
dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri
adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan
karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah
sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek
filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah
segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus
jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:1—5.)
Dalam dokumen
Mpkt a Buku Ajar 1
(Halaman 41-47)