• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Filsafat

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 1 (Halaman 41-47)

BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT

2. Pengertian Filsafat

Untuk dapat menjawab ini semua dibutuhkan filsafat logika. Tanpa logika, filsafat dan

ilmu pengetahuan tidak dapat memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang

benar.

Lalu, mengapa filsafat dibahas beriringan dengan pengembangan kekuatan dan keutamaan

karakter? Apa hubungan antara keduanya?

Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Filsafat memang

mengandalkan pikiran karena untuk mencapai kebenaran diperlukan pikiran. Tetapi berfilsafat

tidak hanya menggunakan pikiran. Berfilsafat berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk

terlibat dalam pencarian kebenaran. Ada syarat-syarat berfilsafat yang melibatkan sifat-sifat baik

manusia.

Dari sini dapat dipahami bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan

karakter. Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memiliki

keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di

dalamnya. Tetapi, berfilsafat juga merupakan sebuah cara untuk membangun karakter. Aktivitas

dalam filsafat mencakup kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga

kesetiaan, berani mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan

karakter. Dengan dasar itu, maka filsafat dipelajari beriringan dengan pengembangan karakter.

2. Pengertian Filsafat

Kata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus

(484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja “berfilsafat” dalam percakapannya dengan Croesus

yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia mendengar Solon telah melakukan

perjalanan melalui berbagai negeri untuk berfilsafat digerakkan oleh hasrat akan pengetahuan.

21

Kata “berfilsafat” di situ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan

semata. Kata filosof atau filsuf berasal dari kata philosophos yang berati pencinta kebijaksanaan;

philos berarti kebijaksanaan, dan sophos berarti pecinta dari kata dasar sophia yang berarti cinta.

Ada dugaan yang tak dapat dilacak catatan tertulisnya bahwa kata filsafat dapat dilacak

lebih jauh lagi asalnya pada Pythagoras (sekitar 582-500 SM). Dugaan itu didasarkan pada

tulisan Cicero (106-43 SM), Diogenes Laertes dan Iamblichus. Sebagaimana dikatakan oleh

Cicero (terjemahan King, 1945), cerita tentang penggunaan kata filsafat itu terdapat dalam

percakapan Pythagoras dengan Leon, penguasa Phlius di Peloponnesus. Pythagoras menjelaskan

dirinya sebagai filsuf, dan berkata bahwa urusannya adalah menyelidiki hakikat benda-benda.

Penjelasan Cicero diperkuat oleh Laertes (terjemahan Hicks, 1931) dan Iamblichus (terjemahan

Burch, 1965). Dari ketiganya, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari orang-orang kebanyakan

yang mencari ketenaran atau kemasyuran (doxa), filsuf mencari kebenaran (aletheia, kalliston

theorian).

Penggunakan kata filsuf selanjutnya digunakan oleh beberapa penulis Yunani, di antaranya

Xenophon (430-354 SM) dan Plato (427-347 SM). Pengertian filsuf dalam tulisan-tulisan mereka

adalah orang yang mencurahkan diri dan hidupnya untuk mencari kebijaksanaan atau untuk

melakukan pembelajaran. Dalam arti sempitnya, filsuf adalah orang yang menyelidiki dan

mendiskusikan sebab-sebab benda dan kebaikan tertinggi (Thayer, 2011).

Dalam dialog Plato, Phaedrus, ditemukan penggunaan kata filsuf melalui paparan

Socrates:

“…to all of them we are to say that if their compositions are based on knowledge of the

truth, and they can defend or prove them, when they are put to the test, by spoken

arguments, which leave their writings poor in comparison of them, then they are to be

called, not only poets, orators, legislators, but are worthy of a higher name, befitting

the serious pursuit of their life… Wise, I may not call them; for that is a great name

22

which belongs to God alone,―lovers of wisdom or philosophers is their modest and

befitting title.” (Plato, terjemahan Jowett, 1892: 488)

Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran

dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka

adalah pencinta kebijaksanaan.

Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Dari asal katanya dalam bahasa

Yunani Kuno yaitu philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan) maka artinya adalah cinta akan

kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Definisi ini masih terlalu umum sebab ada banyak juga

usaha untuk memperoleh kebenaran yang bukan filsafat. Untuk itu perlu dirumuskan sebuah

definisi filsafat yang lebih spesifik. Jika kita pelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran filosofis

sejak Yunani Kuno hingga abad ke-21, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia

untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis.

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah usaha. Sebuah usaha adalah

sebuah proses, bukan semata produk. Dengan demikian, yang pertama-tama memiliki sifat

sistematis, kritis dan radikal adalah proses memperoleh pengetahuan. Filsafat sebagai sebuah

upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung

terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan

kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan

mungkin ada. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses pemahaman

itu berlangsung terus menerus.

Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan

merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada

produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah

selesai. Bisa jadi, jika kita lihat produknya saja kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai

23

resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak,

jadilah makanan yang siap santap. Atau sebaliknya kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai

kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan

orang kebanyakan. Itu bisa terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Padahal, filsafat

semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan

pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses

pencarian pengetahuan universal.

Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi

kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin

merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah pemikiran yang perlu

dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi.

Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah latin kritein yang berarti

memilah-milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Sifat kritis filsafat mengandung dua

pengertian ini. Berfilsafat berarti memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian

terhadap obyek itu. Dalam berfilsafat, para filsuf memilah satu hal dari hal lainnya untuk

diperbandingkan. Hasil perbandingan kemudian dinilai guna mengetahui hubungan antara hal.

Penilaian diberikan dalam bentuk yang paling sederhana seperti “lebih kecil” atau “lebih besar”

hingga bentuk yang kompleks seperti “hubungan sebab-akibat” dan “dialektika” (perpaduan dua

hal yang berlawanan dengan dasar pemikiran yang lebih abstrak).

Secara lebih khusus lagi kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada

kemungkinan-kemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan-kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan),

tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan

waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir

24

kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan

secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah

informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.

Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang

berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin

diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis

memungkinkan orang untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan

mendalam, orang tidak begitu saja menerima apa yang ada, melainkan mencermati, menemukan

masalah dan “lubang-lubang” pada pengetahuan yang sudah ada, lalu mencari pejelasan baru

yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa jadi menggantikan penjelasan terdahulu,

membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Sifat radikal pada filsafat

memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan

yang mendasar.

Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti

keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya

memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta

hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Sifat sistematis itu disertai dengan

jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, sifat sistematis dalam filsafat

sekaligus mencakup sifat logis. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika.

Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang

digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk jamannya. Jika kita cermati pemikiran

para filsuf besar dunia, maka kita temukan di sana logika yang mereka gunakan untuk

memahami perwujudan kenyataan yang dikaji.

25

Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa

berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang

dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan

konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu.

Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, “Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan

sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta

paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang

sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu” (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui

yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus

merupakan ciri berpikir filosofis yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang

sistematis. Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang

rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri.

Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri

sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan

kritik secara timbal balik.

Hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. Kegiatan filosofis sesungguhnya merupakan

perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, tidak begitu saja menerima sesuatu, mengajukan

pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan “mengapa”,

dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan

filosofis harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang

saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan

26

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang

merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses,

satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan

hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya

manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi,

seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada

dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri

adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan

karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah

sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek

filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah

segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus

jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:1—5.)

Dalam dokumen Mpkt a Buku Ajar 1 (Halaman 41-47)