• Tidak ada hasil yang ditemukan

MDS Ekologi

IV. PROFIL KAWASAN PENELITIAN

4.4. Keadaan Ekonomi

Penduduk wilayah studi secara ekstensif mengusahakan banyak jenis tanaman dan ternak sapi. Rata-rata setiap kepala keluarga di wilayah studi mengusahakan tujuh jenis tanaman yang berbeda dengan kisaran terendah empat jenis tanaman dan kisaran tertinggi sembilan jenis tanaman. Perbedaan jumlah jenis tanaman yang diusahakan oleh setiap kepala keluarga di wilayah studi disebabkan oleh perbedaan pengetahuan dan ketrampilan bercocoktanam serta perbedaan etnis penduduk yang berdomisili di masing-masing distrik. Distrik Nimboran dan Distrik Nimbokrang selain didiami oleh penduduk asli Papua juga berdiam penduduk asal luar Papua yang didominasi oleh etnis jawa menyusul kemudian Etnis Sulawesi.

4.4.1. Pendapatan Rumah Tangga

Rumah tangga di wilayah studi dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan sumber utama pendapatan, yakni (1) rumah tangga penduduk asal Papua dan (2) rumah tangga penduduk asal luar Papua. Rumah tangga asal Papua menganggap kakao dan sapi sebagai sumber utama penghasil cash bagi keluarga, di samping ubi-ubian, sagu, kelapa, pisang, sayuran, kacang tanah dan jagung. Khusus untuk Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi, selain kakao dan sapi, hasil hutan berupa kayu olahan merupakan salah satu sumber penghasil cash terpenting. Rumah tangga asal luar Papua menganggap padi dan ternak sapi merupakan komoditas terpenting penunjang keberlanjutan keluarga, selain palawija, usaha dagang seperti kios dan jajanan dan usaha industri rumah tangga seperti industri gula merah dari kelapa, industri tahu dan industri tempe. Perbedaan orientasi ekonomi ini lebih didorong oleh perbedaan kemampuan memanfaatkan peluang usaha dan menciptakan kerja serta motivasi dan kerja keras.

Pendapatan kotor rumah tangga asal luar Papua lebih besar dibandingkan rumah tangga asal Papua. Hal ini dapat dimengerti mengingat walaupun jumlah jenis tanaman yang diusahakan rumah tangga Papua memiliki kombinasi lebih banyak dibandingkan rumah tangga asal luar Papua, (rata-rata rumah tangga Papua mengusahakan tujuh jenis tanaman dengan kisaran minimum empat jenis tanaman dan maksimum sembilan jenis tanaman sedangkan rumah tangga asal luar Papua mengusahakan tiga jenis tanaman) jenis komoditi yang diusahakan rumah tangga asal luar Papua umumnya memiliki nilai pasar yang jauh lebih tinggi dibanding komoditi yang diusahakan rumah tangga Papua. Selain faktor harga, produksi per satuan lahan rumah tangga asal luar Papua juga lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas lahan rumah tangga asal Papua.

Tabel 24. Pendapatan kotor rumah tangga di wilayah studi berdasarkan macam jenis tanaman yang diusahakan

No. Jumlah Jenis Tanaman Pendapatan Kotor

Rata-Rata Minimum Maksimum A. Rumah Tangga Asal Luar Papua

3 Jenis Tanaman 14,427,000.-- 12,840,000.-- 25,350,000 B. Rumah Tangga Asal Papua

4 Jenis Tanaman 1,020,000.-- 952,500.-- 1,020,000 5 Jenis Tanaman 3,466,250.-- 2,952,500.-- 3,980,000 6 Jenis Tanaman 3,596,666.-- 1,077,000.-- 9,946,500 7 Jenis Tanaman 3,661,730.-- 1,427,000.-- 7,147,500 8 Jenis Tanaman 3,820,333.-- 1,333,000.-- 8,150,000 9 Jenis Tanaman 8,535,000.-- 8,535,000.-- 9,028,000

Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas lahan rumah tangga asal Papua dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Rumah tangga asal Papua tampaknya belum memperhatikan produktivitas usahataninya. Hal ini nampak dari beragamnya jenis tanaman yang diusahakan, tanpa masukan input dan sedikit sekali dilakukan tindakan agronomis. Keamanan pangan merupakan hal yang mencolok dari tipe pengusahaan rumah tangga asal Papua.

a. Letak kebun yang terpencar sebagai akibat pola pemilikan lahan mengikuti clan mengakibatkan pengelolaan kebun menjadi sangat sulit. Penggunaan tenaga kerja menjadi tidak efektif dan biaya pengelolaan kebun menjadi sangat tinggi. b. Masih minimnya pengetahuan rumah tangga asal Papua mengenai teknik

bercocok tanam yang benar. Hal ini dapat dipahami mengingat umumnya rumah tangga asal Papua belum menerapkan sistem pertanian menetap. Faktor lain yang mempengaruhi minimnya pengetahuan bercocoktanam adalah petugas penyuluh lapang belum berperan secara aktif. Kehadiran PPL belum mampu memberikan masukan yang berarti bagi petani karena minimnya kontak di lapangan. Selain kurang aktifnya PPL, peluang yang ada di wilayah studi untuk meningkatkan produktivitas lahan belum dimanfaatkan oleh sebagian besar rumah tangga asal Papua sebagai contoh misalnya pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk.

4.4.2. Jenis Tanaman

Hasil penelitian di lapang menunjukan bahwa rumah tangga asal luar Papua umumnya mengusahakan tanaman padi, palawija dan tanaman buah-buahan. Padi sebagai makanan pokok merupakan komoditas yang bernilai pasar tinggi dan sangat diminati oleh penduduk asal luar Papua. Namun, pada saat penelitian lapang berlangsung keberlanjutan pengusahaan padi di wilayah studi terutama Distrik Nimboran dan Distrik Nimbokrang menjadi isu utama. Pengusahaan padi di wilayah studi sebenarnya sudah memanfaatkan irigasi yang tersedia. Namun, pemblokiran dan pengalihan aliran air oleh clan pemilik tanah ulayat di wilayah studi mengakibatkan keresahan dan keenganan rumah tangga asal luar Papua untuk mengusahakan padi.

Rumah tangga asal Papua umumnya memilih tanaman kakao sebagai komoditas unggulan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak dapat diproduksikan sendiri seperti minyak goreng, minyak tanah, garam, vetsin dan beras. Selain kakao, tanaman sagu juga diusahakan oleh rumah tangga asal Papua. Walaupun jumlah tanaman sagu yang diusahakan setempat-setempat dan dalam jumlah yang tidak luas, sagu sebagai makanan pokok memiliki nilai tersendiri bagi

rumah tangga asal Papua. Sagu merupakan sumber cadangan makanan yang memberikan rasa aman bagi penduduk lokal untuk jangka panjang. Sagu juga merupakan warisan orangtua kepada generasi berikutnya. Hal ini menandaskan bahwa keberadaan tanaman sagu di wilayah studi tidak dapat digantikan dengan tanaman lain.

Tanaman lain yang juga diusahakan penduduk adalah ubi-ubian. Beberapa jenis ubi-ubian yang diusahakan rumah tangga asal Papua adalah keladi, bete, ubi dan singkong. Umumnya ubi-ubian diusahakan untuk keperluan konsumsi keluarga. Namun jika diperlukan maka ubi-ubian dapat pula dijual untuk mendapatkan cash. Sayuran yang umumnya diusahakan penduduk lokal adalah kangkung, gedi, bayam dan sayur lilin. Kangkung yang diusahakan adalah kangkung cabut. Kangkung ini umumnya diusahakan untuk dipasarkan. Gedi dan sayur lilin merupakan sayuran pelengkap hidangan dari sagu oleh karenanya pengusahaan sayuran-sayuran ini umumnya untuk kepentingan konsumsi keluarga. Jenis tanaman lain yang diusahakan rumah tangga asal Papua adalah pisang. Pisang merupakan tanaman unggulan penghasil cash setelah tanaman kakao dan sagu. Jenis pisang yang umumnya diusahakan penduduk adalah pisang barangan yang telah memiliki pasar tersendiri. Selain monokultur, penduduk lokal umumnya menggunakan tanaman pisang sebagai tanaman naungan kakao.

4.4.3. Pemasaran

Pemasaran produk hasil usatani penduduk di wilayah studi umumnya dilakukan secara individu. Pengelompokan dilakukan hanya untuk mengatasi biaya transportasi. Umumnya sebanyak 5 – 6 orang penduduk berkelompok menggunakan satu kendaraan ke pasar kabupaten. Terdapat 4 mata rantai tata niaga produk usahatani penduduk di wilayah studi. Secara rinci mata rantai tata niaga produk usahatani penduduk wilayah studi digambarkan sebagai berikut:

Penduduk wilayah studi umumnya telah memanfaatkan fasilitas pasar yang ada di pusat-pusat kota Kabupaten Jayapura. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai telah memungkinkan sebagian besar penduduk wilayah studi dapat menjual secara langsung hasil usahataninya ke konsumen akhir di Pasar Hamadi, Pasar Sentani, Pasar Abepura, dan Pasar Genyem. Namun demikian untuk beberapa daerah di wilayah studi terutama daerah yang terletak di antara Genyem-Kemtuk Gresi dan Jayapura seperti Kampung Mamda, Kampung Bonggrang, Kampung Meikari, dan Kampung Sabron Samon kelangkaan sarana transportasi mengakibatkan hasil kebun penduduk tidak dapat mencapai pasar dalam waktu yang tepat.

                                     

Gambar 23. Tata niaga pemasaran produk usahatani penduduk di wilayah penelitian

Umumnya angkutan pedesaan telah penuh dengan muatan pada terminal awal. Hal ini mengakibatkan penduduk di antara terminal awal (Genyem-Kemtuk Gresi) dan Jayapura tidak dapat menggunakan angkutan pedesaan pada waktu yang diinginkan. Kenyataan ini mengakibatkan penduduk tidak dapat melakukan aktivitas perdagangannya dengan baik. Waktu untuk berdagang menjadi sangat sempit sehingga barang dagangan umumnya dijual secara borongan dengan nilai yang rendah jika tidak dilakukan maka dagangan akan menjadi rusak dan tak bernilai. Permasalahan lain yang dihadapi penduduk di wilayah studi adalah jarak ke pasar kabupaten yang jauh. Penduduk umumnya menjual hasil usahanya ke pasar kabupaten secara individu dan mengingat jarak yang jauh maka umumnya penduduk wilayah studi yang akan berjualan ke pasar kabupaten sudah mulai melakukan perjalanan dari wilayah studi ke pasar kabupaten (Pasar Hamadi, Pasar Sentani dan Pasar Abepura) pada jam satu atau dua subuh. Dengan demikian mereka akan punya cukup waktu untuk berjualan yaitu mulai dari jam 5 pagi hingga 5 sore. Kenyataan ini mengakibatkan beberapa permasalahan, yaitu (1) perhatian orangtua terutama ibu terhadap anak menjadi berkurang karena harus melakukan aktivitas dagang di pasar kabupaten seharian penuh, (2) barang dagangan dari wilayah studi umumnya seragam sehingga harga jual dapat ditekan oleh pedagang pengumpul tingkat kabupaten, dan (3) umumnya barang dagangan dilelang menjelang sore hari. Hal ini kurang menguntungkan penduduk wilayah studi yang berjualan ke pasar kabupaten karena tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.

Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Kabupaten Konsumen Akhir

Petani Pengumpul Pedagang Tingkat Kampung Pedagang Pengumpul Tingkat Kabupaten Penampung Kabupaten

Petani Konsumen Akhir

Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Kampung Penampung Kabupaten

Permasalahan lain yang dihadapi oleh penduduk wilayah studi terutama dari Distrik Kemtuk adalah tidak lancarnya transportasi karena terputusnya jembatan-jembatan di Wilayah Kemtuk. Pada saat penelitian lapang berlangsung terdapat dua jembatan yang menghubungkan Kampung Sabron Samon dan Sabeyab terputus. Demikian pula jembatan yang menghubungkan Kampung Sawoi dan Kampung Sabeyab, juga jembatan yang menghubungkan Puai dan Distrik Kemtuk. Hal ini mengakibatkan penduduk wilayah studi yang hendak berjualan harus mengeluarkan biaya transportasi ekstra untuk mengangkut barang dagangan ke titik yang dapat dijangkau oleh transportasi umum.

Khusus untuk komoditi pisang dan biji kakao, penduduk telah memanfaatkan jasa pedagang pengumpul tingkat desa. Jasa pedagang pengumpul tingkat desa untuk komoditas pisang belum banyak menarik perhatian penduduk di wilayah studi mengingat harga beli pedagang pengumpul yang rendah. Penduduk wilayah studi baru tertarik untuk menjual pisang muda ke pedagang pengumpul tingkat desa. Pisang yang sudah masak umumnya dijual langsung oleh petani ke konsumen akhir. Lain halnya dengan komoditas kakao, sebagian besar penduduk wilayah studi menjual hasilnya ke pedagang pengumpul tingkat desa dalam bentuk biji basah dengan harga Rp 2.000 per kg. Di wilayah studi baru terdapat dua orang pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual biji kakao kering langsung ke pengumpul biji kakao kering di kabupaten dengan harga Rp 15.000 per kg. Pedagang pengumpul tingkat desa lainnya menjual biji kakao kering ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten yang langsung membeli di wilayah studi dengan harga bervariasi dari Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per kg. Masih sedikitnya pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual biji kakao kering ke pengumpul kabupaten umumnya karena terbatasnya modal yang dimiliki.

4.5. Keadaan Sosial Budaya