• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Air Peternak

5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan di Kabupaten Jayapura

5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; 4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari.

 

5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Pembangunan dimensi ekologi di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang menjadi faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas pengembangan ternak pada kawasan. Terdapat 17 (tujuh belas) atribut yang menentukan keberlanjutan ekologi di Kabupaten Jayapura terdiri atas (1) Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk, (2) Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, (3) Sistem pemeliharaan ternak, (4) Lahan (tingkat kesuburan tanah), (5) Tingkat pemanfaatan lahan, (6) Daya dukung pakan ternak, (7) Jenis pakan ternak, (8) ketersediaan rumah potong hewan (RPH) dan IPAL RPH, (9) pemotongan betina produktif, (10) kebersihan kandang, (11) kuantitas limbah peternakan, (12) kejadian kekeringan, (13) kejadian banjir, (14) agroklimat, (15) jarak lokasi usaha dengan pemukiman, (16) rencana tata ruang wilayah(RTRW), (17) kondisi prasarana jalan usaha tani.

Berdasarkan nilai RMS (root mean square) dengan nilai di atas nilai tengah (> 2,0), ada 4 (empat) atribut ekologi yang merupakan faktor pengungkit adalah :

Sistem pemeliharaan ternak.

Sistem pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan oleh peternak sapi di Kabupaten Jayapura umumnya adalah pastural sistem dengan tipe manajemen ekstensif adalah sebesar 73,16 persen, semi intensif sebesar 22,69 persen dan intensif sebesar 4,15 persen. Sistem pemiliharaan yang dilakukan peternak menggambarkan pola pengelolaan usaha peternakan sapi potong yang cukup bervariasi, hal ini turut mempengaruhi dalam pengembangan usaha yang dikolola peternak, karena peternak dengan sistem pemeliharaan .ekstensif masih tergantung pada kondisi dan potensi sumberdaya alam sehingga dapat berdampak pada produksi dan mutu ternak. Peternak yang memiliki kandang hanya sebagian kecil, yakni (26,84%) dengan manajemen pemeliharaan secara intesif dan atau semi intensif. Secara intensif, ternak sapi berada di dalam kandang sepanjang hari. pemberian makan berupa hijauan (rumput dan leguminosa) dan konsentrat diberikan oleh peternak. Secara semi intensif ternak digembalakan atau dilepaskan pada pagi sampai siang hari di padang penggembalaan atau padang rumput maupun di lahan perkebunan untuk merumput, kemudian pada sore hari dimasukkan ke kadang. Pada saat ternak digembalakan, semua proses makan berlangsung di padang penggembalaan dan dikontrol oleh peternak. Sistem pemeliharaan secara ekstensif sebesar 73,16%, ternak sapi digembalakan sepanjang hari (pagi sampai sore hari) pada padang penggembalaan alam, baik pada Iahan milik sendiri maupun pada lahan-lahan umum. Teknik yang dilakukan dalam sistem pemeliharaan ini adalah menggunakan pola ikat secara berpindah-pindah, dan dilepaskan. Sapi dilepaskan sejak pagi sampai sore hari. Pada waktu sore hari sapi dimasukkan ke hutan atau lahan perkebunan untuk beristirahat di alam terbuka, hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas ternak, dapat mengganggu tanaman pertanian dan perkebunan, kotoran ternak tidak dapat diolah menjadi pupuk organik, ternak mudah terserang penyakit, mempersulit dalam pengontrolan dan dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat.

Tingkat pemanfaatan lahan.

Tingkat pemanfaatan lahan oleh peternak belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan ternak sapi dan juga pengelolaan terhadap lahan belum dilakukan secara maksimal, artinya masih terdapat lahan yang terlantar

begitu saja atau belum dikelola oleh peternak, misalnya; lahan yang masih kosong tersebut perlu ditanamai dengan jenis tanaman leguminosa untuk menjamin tingkat kesuburan tanah dan menjaga terjadinya erosi sehingga unsur hara tetap dapat dipertahankan, sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, kemudian diselingi dengan jenis rumput unggul atau rumput yang berkualitas sebagai pakan ternak. Rata-rata lahan kosong (belum digarap) yang dimiliki peternak adalah sebesar 0,8 ha. Lahan seluas ini harusnya dapat dilihat sebagai peluang berusaha, peternak perlu untuk mengelolanya, misalnya untuk membangun kandang, gudang penyimpanan makanan ternak, bak penampung kotoran ternak sebagai pupuk dan dimanfaatkan untuk penanaman hijauan makanan ternak (HMT). Bila hal ini dilakukan, maka keberlangsungan pengembangan ternak semakin berkembang dan keberlanjutan ekologinya akan tetap terus terpelihara.

  Gambar 29. Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak.

Ketersediaan rumah potong hewan (RPH) dan IPAL RPH.

Berdasarkan SK Meteri Pertanian nomer 555/Kpts/TN.240/9/1986 seperti yang dikemukakan dalam Manual Kesmavet (1993). Rumah Pemotongan Hewan merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai: (1) tempat dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar, (2) tempat dilaksanakannya pemeriksaan hewan sebelum dipotong (antemortem) dan pemeriksaan daging (post mortem) untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia, (3) tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan post mortem guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal hewan, dan (4) melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif, namun pada kenyataannya di Kabupaten Jayapura masih terjadi pemotongan ternak di luar RPH dan terjadi pemotongan betina produktif sehingga daging yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak terjamin mutu dan kesehatannya serta menurunkan populasi ternak betina. Sejak mulai di operasikannya RPH, masih banyak ditemukan para pemilik / pemotong hewan yang melakukan kegiatannya secara tersebar di luar lokasi RPH yang telah disediakan oleh pemerintah dan membuang limbah hasil kegiatan (darah, air bekas cucian dan kotoran lainnya) ke badan air terdekat (kali atau danau) tanpa terlebih dahulu dilakukan pengolahan sebagaimana mestinya. Sehingga lingkungan di sekitar lokasi pemotongan liar rentan terhadap pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dengan adanya limbah tersebut.

Agroklimat.

Agroklimat merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi performans ternak dimana ternak itu diusahakan. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik seperti: temperatur, kelembaban, curah hujan dan topografi (ketinggian tempat), lingkungan biotik seperii: tanaman, hewan dan mikroorganisme serta lingkungan kimiawi (Sihombing dkk., 2000). Kabupaten Jayapura merupakan bagian dari zone tropis lembab. Umumnya iklim cenderung panas, basah (lembab) dengan curah hujan bervariasi antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Curah hujan di Kabupaten Jayapura pada umumnya antara 2.000-3.000 Mm/Tahun. Gambar 31 berikut ini menunjukkan rata-rata curah hujan dan hari hujan di Tahun 2006 yang diperoleh dari Stasiun

Sentani, Genyem dan Kaureh yang bersumber dari Laporan BPTPH Provinsi Papua tahun 2006

Gambar 30. Data curah hujan dan hari hujan tahun 2006 

Dari Gambar 30 di atas terlihat ada 8 bulan basah (di atas 100 Mm) dan 4 bulan lembab (60-100 mm) dan tidak ada satupun bulan kering. Dengan demikian menurut Morh iklim tersebut dikategorikan iklim sangat basah (type A), sebab semua bulan basah rata-rata di atas 60 mm dengan total 1.874 mm selama Tahun 2006. Kondisi klimat tersebut sangat mendukung peningkatan produktivitas ternak sapi, karena sesuai dengan zona kenyamanannya. Sapi Bali yang terdapat di Kabupaten Jayapura mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan panas maupun cukup toleran terhadap pengaruh lingkungan yang dingin, sehingga temperatur lingkungan tersebut tidak menjadi kendala untuk pengembangannya. Soeprato dan Abidir, (2006) mengemukakan bahwa kondisi agroklimat dan kondisi lingkungan yang ideal sangat dibutuhkan oleh ternak sapi dalam memacu pertumbuhan dan perkembangannya berdasarkan potensi genetis. Sekaligus penentuan lokasi dapat terpenuhi melalui beberapa syarat tertentu, seperti; suhu lingkungan, arah angin, curah hujan, arah sinar matahari, kelembaban, topografi, disamping aspek lainnya. Unsur-unsur iklim seperti; temperatur, curah hujan, intensitas penyinaran dan lamanya siang hari sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas pakan hijauan (Reksohadiprodjo, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan pakan banyak mengandung air pada saat curah hujan dan kelembaban udara tinggi dapat mempengaruhi bahan kering pakan secara keseluruhan.