• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Air Peternak

5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan di Kabupaten Jayapura

5.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Dimensi kelembagaan memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena < 50. Dengan demikian pembangunan dimensi kelembagaan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Jayapura perlu memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit yang bertujuan untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan kelembagaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat petani ternak. Terdapat sembilan atribut kelembagaan yang menentukan keberlanjutan yaitu: (1) ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian (BPP), (2) ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit), (3) kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan, (4) koperasi peternak, (5) kemitraan dengan lembaga adat, (6) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, (7) partisipasi pengusaha (swasta) dalam usaha peternakan, (8) kemitraan dengan pemerintah, (9) kemitraan dengan kelompok tani. Empat diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 1,5). Atribut kelembagaan yang merupakan faktor pengungkit adalah (1) ketersediaan

lembaga keuangan (bank/kredit), (2) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, (3) ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian (BPP), (4) kemitraan dengan lembaga adat. Secara visual disajikan pada Gambar 36.

 

Gambar 36. Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak

 Ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit)

Sampai saat ini banyak kalangan menilai bahwa sektor pertanian memiliki banyak permasalahan, namun disisi lain, sektor pertanian sebagaimana diketahui memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia diantaranya sebagai penghasil devisa, sektor yang terbesar menyerap tenaga kerja (sekitar 73% dari angkatan kerja nasional) dan menampung 90% usaha kecil menengah. Sektor pertanian merupakan salah satu dari care business di Kabupaten Jayapura dan merupakan salah satu pilar penyokong pertumbuhan

perekonomian daerah. Selain itu, terbukti sektor ini masih dapat bertahan dimasa krisis, dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Jayapura. Berlakunya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan provinsi dan kabupaten/ kota menimbulkan perubahan yang fundamental dalam keseluruhan sistem kewenangan pemerintahan termasuk dalam proses pelayanan yang berhubungan dengan penanaman modal. Disamping itu, persaingan dalam menarik investasi di dalam negeri cenderung meningkat semakin tajam pada berbagai sektor terutama sektor Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), sektor pertanian terutama pada pertanian rakyat ternyata sulit sekali ditemukan investor menanamkan modalnya pada sektor ini sehingga sangat sulit menempatkan pertanian sebagai sektor ekonomi yang dapat berdiri sendiri, dimana berdasarkan cakupan pelaku maupun keterkaitan antar kelembagaan akan berkaitan dengan kebijakan moneter, infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia serta kebijakan perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Secara umum kelembagaan keuangan menjalankan fungsi pembiayaan di Indonesia meliputi Bank Usaha Milik Negara (BUMN), bank swasta nasional, bank asing, Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan lembaga keuangan non bank. Namun, banyaknya lembaga keuangan tersebut yang serius dan konsisten dalam pembiayaan sektor pertanian masih sangat terbatas.

Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah

Agenda pembangunan daerah Kabupaten Jayapura merupakan satu kesatuan dalam mendukung agenda pembangunan nasional dan provinsi. Sinergitas dan konsistensi kebijakan pembangunan menjadi hal yang mendasar untuk dapat dilaksanakan dalam setiap tahapan proses kebijakan pembangunan di daerah. Keterpaduan dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan tahun 2011 antara Pemerintah Kabupaten Jayapura dengan Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Pusat nampak dari isu strategis dan masalah mendesak dan prioritas program dan kegiatan yang menunjang guna mengatasi hal dimaksud. Keterpaduan dan sinkronisasi dilakukan melalui upaya penyamaan presepsi terhadap tantangan, prioritas dan langkah kebijakan pembangunan sehingga secara simultan tercapai tujuan pembangunan nasional

sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Keterpaduan dan Sinkronisasi kebijakan program kegiatan terutama yang terkait dengan penurunan angka kemiskinan (pro poor) ; penurunan tingkat pengangguran (pro job) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) dengan tetap memperhatikan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) dan keadilan untuk semua (justice for all) merupakan tantangan yang membutuhkan penyatuan persepsi dalam penyusunan program kegiatan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 mengisyaratkan adanya tantangan utama pembangunan yang harus dihadapi dan diatasi pada tahun 2011, yaitu : (a) Penciptaan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang mampu menciptakan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan; (b) Pembangunan tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pengeluaran pemerintah; (c) Peningkatan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah.

Berdasarkan atas realisasi pembangunan 2009 dan perkiraan capaian tahun 2010 serta tantangan yang dihadapi pada tahun 2011 maka terdapat 11 (sebelas) prioritas kebijakan pembangunan nasional tahun 2011 dan (tiga) prioritas lainnya. Adapun 11 prioritas dimaksud adalah: (1) Pemantapan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan; (2)Peningkatan akses dan kualitas pendidikan; (3) Perbaikan akses dan mutu Kesehatan; (4)Penanggulangan Kemiskinan; (5) Peningkatan Ketahanan Pangan; (6)Peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur; (7) Perbaikan iklim investasi dan iklim usaha; (8) Peningkatan sumber daya energi; (9) Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) Penanganan daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca – konflik; (11) Pengembangan kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi. Sedangkan 3 prioritas lainnya adalah 1). Bidang Politik hukum dan keamanan ; 2). Bidang Perekonomian ; dan 3) Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Ketersediaan badan penyuluh pertanian (BPP)

Sektor pertanian di masa mendatang diharapkan masih memegang peran strategis sebagai penghela pembangunan ekonomi nasional, karena kontribusinya yang nyata bagi 230 juta penduduk Indonesia, penyedia bahan baku industri, peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), penghasil devisa

negara melalui ekspor, penyedia lapangan pekerjaan, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan peran sektor pertanian sebagai penghela pembangunan nasional, Kementerian Pertanian pada periode 2010 - 2014 telah menetapkan visi pembanguan pertanian, yaitu “Terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan kesejahteraan petani”. Target utama penetapan visi pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan empat sukses pembangunan pertanian, yaitu: 1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, 2) peningkatan diversifikasi pangan, 3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan 4) peningkatan kesejahteraan petani. Dalam rangka mewujudkan empat sukses pembanguan pertanian tersebut, diperlukan sumber daya manusia pertanian yang profesional, kreatif, inovatif, dan berwawasan global. Untuk itu, penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan sertifikasi SDM pertanian perlu terus dikembangkan dan dimantapkan untuk menyiapkan aparatur yang kompeten, visioner, serta memahami peran dan fungsinya dalam pembangunan pertanian. Di samping itu, kegiatan penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan sertifikasi SDM pertanian juga ditujukan untuk: 1) memperkuat kelembagaan petani, 2) memberdayakan usaha petani, dan 3) mewujudkan pelaku utama pembangunan pertanian yang mandiri, berjiwa wirausaha, berdaya saing, dan berwawasan global. Hal ini dimaksudkan agar pelaku utama pembangunan pertanian mampu bersaing, baik di pasar regional maupun di pasar global.

Kemitraan dengan lembaga adat

Sebagai kelanjutan dari perjalanan reformasiditanah air telah melahirkan tuntutan masyarakat adat dalam rangka memperoleh hak-haknya untuk memiliki suatu sistem sosial tersendiri. Pada periode sebelumnya hak-hak masyarakat adattelah dirampas oleh rezim Orde Baru. Salah satu akibatnya adalah lahirnya proses marginalisasi di segala bidang. Marginalisasi yang dilakukan Negara terhadap masyarakat adat antara lain: (1) dengan lahirnya UU no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, maka masyarakat adat tidak lagi memiliki suatu pemerintahan lokal yang otonom yang menjalankan fungsinya sesuai dengan kepentingan politik dan ekspresi sosial kulturalnya. Pemerintahan desa yang diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 1979 menggantikan pemerintahan adat seperti nagari, pasirahan, ketemukungan, dan berfungsi sebagai kepanjangan

tangan dari pemerintahan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. (2) lembaga adat yang melayani kepentingan komunitasnya kemudian dikebiri dengan dijadikan sebagai bagian dari organisasi state corporatisme. Oleh karenanya di tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan di luar Jawa muncul apa yang disebut Lembaga Masyarakat Adat, suatu organisasi buatan pemerintah yang visi, misi, dan struktur organisasinya tidak selaras dengan konsepsi lembaga adat asli, kalaupun lembaga adat asli masih dibiarkan hidup tetapi fungsinya dibatasi pada hal-hal yang tidak mengurangi hegemoni negara atas masyarakat asli misalnya mempertahankan berlakunya hukum adat secara terbatas karena masyarakat masih mempertahankannya, (4) masyarakat adat menjadi semakin terasing dengan dunia politik di lingkungannya dan tidak mempunyai suatu kepemimpinan lokal yang sejalan dengan worldviewnya. Akibatnya, masyarakat adat menjadi tidak mempunyai bargaining power dalam menghadapi kekuatan dari luar baik yang merepresentasikan negara maupun pasar. Masyarakat adat menjadi terpuruk ekonominya dan semakin ketinggalan terhadap arus kemajuan jaman yang dibawakan oleh rezim Orde.

Perjuangan masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya selalu menghadapi hambatan dan ancaman serta tantangan ke depan yang tidak mudah diatasi. Salah satu hambatan adalah melemahnya modal sosial (social

capital) kepempinan dan kebersamaan yang mereka miliki untuk mewujudkan

suatu kekuatan bersama dalam mengembangkan komunitasnya, dan rendahnya kemampuan untuk mengelola organisasi adat. Disisi lain mereka dituntut untuk mampu berhadapan dengan berbagai stakeholder seperti lembaga legislatif, eksekutif, press, dan sektor swasta yang mempunyai kepentingan berlainan dan dapat menghambat proses revitalisasi masyarakat adat ke depan. Tidak ketinggalan masyarakat adat pun ke depan dituntut untuk mempunyai kepedulian dengan agenda nasional dan global terhadap semangat demokrasi, HAM dan pluralisme dan keselarasan antara gerakan lokalisme dengan globalisme.

Perjuangan yang berat dari masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya tidak mungkin dibiarkan berjalan sendiri tanpa kepedulian dari berbagai elemen masyarakat sipil lainnya . Beberapa agenda penting yang bisa jadi acuan antara lain: (1) menguatkan kapasitas lembaga-lembaga adat sehingga bisa dikelola secara mandiri dan berkelanjutan, (2) Pelembagaan demokrasi masyarakat adat dengan kepemimpinan yang demokratis, dan bisa diterima oleh komunitas dan masyarakat, (3) membangun akses organisasi dan