• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

3.4.1. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)

Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan pengambilan keputusan dengan menggunakan MPE adalah sebagai berikut.

a. Menentukan alternatif keputusan.

Dari komoditas peternakan yang ada di Kabupaten Jayapura, berdasarkan wawancara dengan peternak/kelompok peternak dan pendapat dari responden berdasarkan pengisian kuesioner, maka didapatkan komoditas alternatif

sesuai dengan jenis ternak yang banyak di pelihara di Kabupaten Jayapura. Komoditas alternatif yang ditetapkan adalah sapi potong, babi, kambing, ayam ras pedaging, ayam ras petelur, ayam buras (bukan ras) dan itik.

b. Menyusun kriteria keputusan yang akan diambil.

Penentuan kriteria dalam pemilihan komoditas unggulan ini ditentukan melalui kajian pustaka dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan serta kebiasaan yang lazim dalam usaha pengembangan komoditas alternatif oleh masyarakat/peternak serta pendapat dari responden. Kriteria yang digunakan adalah potensi pasar, sumberdaya peternak, kondisi sosial budaya, jumlah atau populasi ternak, ketersediaan modal, sarana dan prasarana transportasi pendukung, ketersediaan sarana produksi, keterampilan peternak, produksi dan produktifitas, teknologi, penggunaan teknologi, kebijaksanaan pemerintah dan ketersediaan lahan.

c. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan.

Batasan angka penilaian adalah sebagai berikut : nilai 4 jika kriteria tersebut sangat berpengaruh, nilai 3 jika kriteria berpengaruh cukup besar, nilai 2 jika kriteria kurang berpengaruh dan nilai 1 jika kriteria tidak berpengaruh terhadap komoditas alternatif.

d. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan (bobot).

Penentuan bobot kriteria dilakukan berdasarkan Paired Comparison Criteria yaitu dengan memberikan panilaian atau pembobotan angka pada masing-masing kriteria. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut : nilai 2 jika kriteria horizontal lebih penting dari kriteria vertikal, nilai 1 jika kriteria horizontal sama penting dengan kriteria vertikal dan nilai 0 jika kriteria horizontal kurang penting dari kriteria vertikal.

e. Melakukan perhitungan nilai dari setiap alternatif keputusan. f. Memberi peringkat nilai dari setiap alternatif keputusan.

Pembobotan dari setiap penilaian dilakukan dengan menggunakan matrik seperti terlihat pada Tabel 4.

Kriteria Alternatif Keputusan Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria N Nilai Rangking Alternatif keputusan I Nkn Nk12 Nk1n Alternatif keputusan II Alternatif keputusan m Nkm1

Bobot Bobot 1 Bobot 2 Bobot n

Keterangan :

Nkm1 = Nilai kriteria ke n untuk alternative keputusan ke m

Bobot i = Bobot untuk kriteria ke I

m = Pilihan Keputusan ke-m

n = Kriteria ke-n

3.4.2. Analisis Perilaku Peternak dan Karakteristik Peternak

Analisis perilaku peternak bertujuan untuk mengetahui karakteristik personal (umur, tingkat pendidikan, lama beternak, sumber modal, tingkat penghasilan, etnis; penduduk lokal dan transmigran) dan perilaku berusaha peternak sapi potong yang mendapatkan bantuan pemerintah (proyek SADP, Banpres, IDT, Dinas Koperasi, Sosial dan Transimigrasi) dan petani ternak yang tidak mendapatkan bantuan pemerintah. Disamping itu juga untuk mengetahui perilaku peternak berdasarkan skala usaha.

3.4.3. Analisis Keberlanjutan

Keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong akan dianalisis melalui pendekatan multidimensional scaling

(MDS) dengan analisis Rapfish. MDS adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pembangunan wilayah secara multidisipliner.

Dimensi dalam MDS menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan. Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan

=

=

n 1 i i bobot

(Nkm

1

)

m

Nilai

dari penentuan status ini menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong.

Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher 1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software

pendukung MDS. Dalam penelitian ini analisis MDS dilakukan dengan menggunakan

software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish (rapid assesment

techniques for fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center University of British Columbia, Kanada.

Dalam analisis MDS setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Ordinasi MDS dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang disajikan dalam skala 0 sampai 100%. Manfaat dari teknik MDS ini adalah dapat menggabungkan berbagai aspek untuk dievaluasi komponen keberlanjutannya dan dampaknya terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan. Prosedur MDS ditampilkan pada Gambar 8.

Terdapat lima dimensi yang digunakan dalam menilai pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong sebagai indikator keberlanjutan. Setiap dimensi tersebut dilengkapi dengan atribut yang digunakan untuk menilai kondisi di masa lalu dan saat ini. Atribut yang tersebar dalam lima dimensi kondisi disajikan pada Tabel ,5, 6, 7, 8 dan 9.

atribut yang datanya tersedia dalam bentuk numerik, maka menggunakan data dokumentasi. Atribut yang datanya berupa persepsi atau pandangan maka dilakukan wawancara terhadap responden yang mengetahui dengan tepat kondisi atribut tersebut.

Output dari hasil analisis ini adalah berupa status keberlanjutan pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong untuk ke-lima dimensi dalam bentuk skor dengan skala 0 – 100. Kategori keberlanjutan adalah: skor < 50 berarti tidak berkelanjutan; skor (50 – 75) berarti belum berkelanjutan; dan skor >75 berarti berkelanjutan. Kategori ini sesuai dengan standar Mersyah (2005), CSD (2001), dan Kavanagh (2001).

Hasil lain yang diperoleh adalah penentuan faktor pengungkit (leverage factors) untuk pengelolaan kawasan yang merupakan faktor-faktor strategis yang harus diperhatikan dalam pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong di masa mendatang. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif atau intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor sensitif untuk pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

Tabel 5. Dimensi ekologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong

No Atribut dimensi ekologi

1 Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik 2 Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak 3 Sistem pemeliharaan

4 Lahan (tingkat kesuburan tanah) 5 Tingkat pemanfaatan lahan 6 Daya dukung pakan ternak 7 Jenis pakan ternak

8 Ketersediaan RPH dan IPAL RPH 9. Pemotongan ternak betina produktif 10 Kebersihan kandang

11 Kuantitas limbah peternakan 12 Kejadian kekeringan

13 Kejadian banjir 14 Agroklimat

15 Jarak lokasi dengan pemukiman 16 Rencana Tata Ruang Wilayah 17 Kondisi prasarana jalan usahatani

Tabel 6. Dimensi teknologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong

No Atribut dimensi teknologi

1 Teknologi pengolahan hasil produk peternakan 2 Teknologi pakan

3 Teknologi pengolahan limbah peternakan

4 Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan (poskeswan) 5 Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan (IB)

6 Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan ternak 7 Ketersediaan teknologi informasi dan transportasi

8. Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis 9. Standar mutu produk peternakan

Tabel 7. Dimensi ekonomi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong

No Atribut dimensi ekonomi

1 Pendapatan dari usaha non tani 2 Trend harga ternak dan hasil ternak 3 Kontribusi terhadap PDRB dan PAD

4 Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga 5 Besarnya pasar

6 Rata-rata penghasilan peternak antar skala usaha 7 Rata-rata pendapatan peternak terhadap UMR 8 Transfer keuntungan

9 Kelayakan finansial

10 Ketersediaan industri pakan ternak 11 Ketersediaan agroindustri peternakan 12 Perubahan nilai APBD subsektor peternakan

No Atribut Dimensi sosial

1 Peran masyarakat dalam usaha agribisnis sapi potong 2 Jumlah rumah tangga peternak

3 Pertumbuhan rumah tangga peternak 4 Rasio tenaga kerja

5 Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak 6 Curahan waktu kerja dalam usaha peternakan 7 Frekuensi konflik

8 Partisipasi keluarga dalam usaha 9 Frekuensi penyuluhan dan pelatihan 10 Pengetahuan terhadap lingkungan 11 Pertumbuhan penduduk

12 Kesehatan masyarakat peternak 13 Alternatif usaha selain peternakan

Tabel 9. Dimensi kelembagaan keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong

No Atribut dimensi kelembagaan

1 Kemitraan kelompok tani 2 Kemitraan dengan pemerintah 3 Kemitraan dengan lembaga adat 4 Koperasi peternakan

5 Ketersediaan lembaga penyuluhan pertanian

6 Sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah 7 Partisipasi pengusaha dalam usaha peternakan

8 Kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan 9 Ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit)

Evaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan menggunakan analisis "Monte Carlo". Menurut Kanvanagh (2001) dan Fauzi dan Anna (2002) analisis "Monte Carlo" juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini. 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman

kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemanaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut;

2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda;

4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data);

3.4.4. Analisis Prospektif

Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang. Hasil analisis ini akan mendapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Jayapura sesuai dengan kebutuhan dari para pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam sistem ini. Faktor kunci tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting, dan sepenuhnya merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli mengenai agribisnis sapi potong. Pendapat tersebut diperoleh melalui bantuan kuesioner dan wawancara langsung di wilayah studi.

Bourgeois dan Yesus (2004) menjelaskan tahapan analisis prospektif yaitu: (1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang di kaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem.

Penentuan faktor kunci keberlanjutan pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis prospektif. Pada tahap ini dilakukan seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit berdasarkan hasil analisis MDS. Data yang digunakan dalam analisis prospektif adalah pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara serta melalui diskusi. Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, pada tahap pertama dapat dilihat dengan menggunakan matriks pada Tabel 10.

agropolitan berbasis peternakan sapi potong Dari Terhadap A B C D E F G H I A B C D E F G H I

Sumber: Godet et al. (1999). Keterangan: A - I = Faktor penting dalam sistem

Analisis prospektif dilaksanakan dengan metode kuesioner dan FGD melalui tahapan: menjelaskan tujuan studi, identifikasi faktor-faktor, dan analisis pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Analisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem

Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif menggunakan matriks. Pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor diisi dengan teknik sebagai berikut:

1. Apakah faktor tidak mempunyai pengaruh terhadap faktor lain? Jika jawabannya ya, maka diberi skor 0.

2. Jika jawabannya tidak, maka dilanjutkan ke pertanyaan berikut: Apakah pengaruhnya sangat kuat? Jika jawabannya ya diberi skor 3.

Kuadran I Faktor penentu INPUT Kuadran II Faktor penghubung STAKES Pengar u h Kuadran IV Faktor bebas UNUSED Kuadran III Faktor terikat OUTPUT Ketergantungan

kecil? jika jawabannya ya diberi skor 1, jika jawabannya tidak, diberi skor 2.

Hasil analisis tersebut selanjutnya dikonfirmasi kepada semua stakeholder

terkait. Hal ini dilakukan guna memperkuat hasil analisis. Selain itu, hasil kajian ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura sehingga hasil analisis ini dilakukan secara partisipatif.

3.4.5. Analytical Hierarchy Process

Penentuan kebijakan pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis multikriteria secara partisipatif. Alat analisis yang digunakan adalah AHP. Penggunaan AHP dimaksudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif kebijakan atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; (2) membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; (3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan (4) membuat skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan, dengan cara menentukan prioritas kebijakan.

Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki (Saaty, 1993).

Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis komputer menggunakan perangkat lunak expert choice 2000. Expert choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi pengambilan keputusan yakni AHP. Langkah-langkah dalam analisis data dengan AHP adalah:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan tujuan, kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari stakeholder dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Dalam

skala komparasi 1 – 9 berdasarkan skala Saaty seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Skala perbandingan berpasangan

Skala Definisi 1 Kedua elemen sama pentingnya (equally importance) terhadap

tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya (moderately importance)

5 Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya (strongly importance)

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya (very strongly importance)

9 Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya (extremely importance)

2, 4, 6 dan 8

Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan (intermediate value)

Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i

Sumber: Saaty (1993)

4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder

yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder.

5. Menguji konsistensinya. Indeks konsistensi menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.

Pembahasan strategi implementasi kebijakan dilalukan dengan melibatkan pakar dan stakeholder dalam bentuk FGD. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan lingkungan kawasan.

Wakil stakeholder ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Dasar pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden adalah: (1) mempunyai pengalaman yang memadai sesuai dengan bidangnya, (2) mempunyai reputasi, jabatan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai stakeholder

yang konsisten atau pakar pada bidang yang diteliti, dan (3) kesediaan untuk menjadi responden.

IV.PROFIL KAWASAN PENELITIAN

 

4.1. Letak Kawasan dan Aksesibilitas

Kawasan pengembangan agropolitan mencakup 4 kelurahan dan 53 kampung. Sebaran jumlah kelurahan dan kampung serta luasannya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah kelurahan dan kampung serta luas keempat distrik kawasan

pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura.

No Distrik Jumlah

Kelurahan

Jumlah Kampung Luas (Ha)

1 Nimboran 1 20 24.647

2 Nimbokrang 1 9 15.057

3 Kemtuk 1 10 20.175

4 Kemtuk Gresi 1 14 25.179

Jumlah 4 53 85.058

Kawasan pengembangan ini memiliki aksesibillitas yang cukup tinggi karena dapat dijangkau dengan sarana transportasi baik dari ibukota kabupaten (Sentani) maupun ibukota provinsi (Jayapura). Jarak tempuh dari ibukota kabupaten pada berbagai jalur transportasi alternatif disajikan pada Tabel 13.

Waktu tempuh dari ibu kota kabupaten (Sentani) ke ibu kota distrik terjauh (Nimbokrang ) lebih kurang 1,5 jam pada kecepatan normal. Jarak tempuh dari ibukota provinsi (Jayapura) ke ibukota kabupaten adalah 45 km, sehingga waktu tempuh dari ibukota provinsi ke ibukota distrik terjauh sekitar 2,5 jam pada kecepatan normal pada jalur transportasi tengah.

Tabel 13. Jarak tempuh antar ibukota distrik dalam kawasan pengembangan agropolitan dan dengan ibukota kabupaten (km)

Dari/Ke (Distrik/Kab) Sentani (Kabupaten) Sabron Samon (Kemtuk) Genyem (Nimboran) Sawoy (Kemtuk Gresi) Nimbokrang (Nimbokrang) Sentani (Kabupaten) - 31,7 55,7 55,2 60,6 Sabron (Kemtuk) 31,7 - 26,3 25,8 26,2 Genyem (Nimboran) 55,7 26,3 - 12,4 10,8 Sawoy (Kemtuk Gresi) 55,2 25,8 12,4 - 20,6 Nimbokrang (Nimbokrang) 60,6 26,2 10,8 20,6 -    

4.2. Keadaaan Biofisik dan Lingkungan.