• Tidak ada hasil yang ditemukan

MDS Ekologi

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Pembangunan Peternakan Di Era Otonomi Daerah

2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong

Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia.

Tabel 1. Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan.

Tingkat Pusat Tingkat Provinsi Tingkat Kabupaten/Kota

ƒ Penetapan kebijakan tata ruang peternakan

ƒ Pembinaan & pengembangan kelembagaan peternakan ƒ Perumusan model pengembangan kelembagaan ekonomi peternakan seperti koperasi, kelembagaan pemasaran dan pengembangan usaha.

ƒ Analisis dan pelayanan informasi pasar

ƒ Promosi ekspor komoditas ternak unggulan daerah.

ƒAnalisis dan pelayanan informasi peluang investasi.

ƒ Analisis pola

pengembangan usaha peternakan di kawasan agroekologi.

ƒ Penetapan tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi. ƒPemantauan dan pengawasan penerapan standar-standar teknis eksplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati serta tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi.

ƒ Identifikasi potensi, pemetaan tata ruang dan pemanfaatan lahan untuk penyebaran dan pengembangan peternakan.

ƒ Bimbingan dan pengawasan penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak.

ƒ Bimbingan dan pengawasan ternak oleh swasta.

ƒ Penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak pemerintah.

ƒ Pelaksanaan promosi komoditas peternakan.

ƒ Pembinaan dan pengembangan kemitraan petani ternak dan pengusaha.

ƒ Bimbingan kelembagaan usaha peternakan, manajemen usaha, analisis usaha, dan pemasaran hasil peternakan.

ƒ Bimbingan eskplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati peternakan.

ƒ Bimbingan teknis pengembangan lahan, konservasi tanah dan air dan rehabilitasi lahan kritis di kawasan peternakan.

Sumber : Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002

Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar (1991) menyatakan sebagai berikut.

1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, padahal tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka.

2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan.

3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif.

Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.

1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru

setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan pengembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok

dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unit-unit pelayanan, unit-unit-unit-unit pengembangan sarana dan unit-unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang.

3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA (kelompok usaha bersama agribisnis), dan dapat dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan.

Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB, 2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas. Kualitas tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas daging sapi yang ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. (1997) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan.

Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging.

Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan

teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan

Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam

rumen (alat pencernaan).

Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil temak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001).