• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Air Peternak

5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan di Kabupaten Jayapura

5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya

Gambar 31. Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak

5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya

Dimensi sosial budaya memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong cukup berkelanjutan karena masih lebih kecil dari nilai 75,0. Dengan demikian pembangunan dimensi sosial budaya di Kabupaten Jayapura dalam pengembangan sapi potong harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha.

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan dimensi ekonomi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu (1) pertumbuhan rumah tangga peternak, (2) peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan, (3) jumlah rumah tangga peternak, (4) tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak, (5) frekuensi konflik, (6) partisipasi keluarga dalam usaha peternakan, (7) frekuensi penyuluhan dan pelatihan, (8) Curahan waktu kerja untuk usaha peternakan, (9) pengetahuan terhadap lingkungan, (10) pertumbuhan penduduk, (11) kesehatan masyarakat peternak, (12) alternatif usaha selain peternakan, (13) rasio tenaga kerja. Berdasarkan nilai RMS (> 1,5), empat diantaranya merupakan faktor pengungkit. Adapun atribut sosial budaya yang merupakan faktor pengungkit adalah:

Peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan.

Elemen terpenting dalam mengimplementasikan pembangunan agribisnis peternakan adalah elemen dari peran masyarakat petani peternak yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan (prime mover to development) serta berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan agribisnis peternakan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa selama ini peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan relatif masih rendah sehingga perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agribisnis peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan mengakibatkan ketersediaan produk agribisnis peternakan jumlahnya sangat sedikit pula.

Frekuensi penyuluhan dan pelatihan.

Kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan oleh instansi teknis bidang peternakan akan memberikan pengaruh kepada perubahan perilaku peternak agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk memberdayakan petani peternak (farmer development) peran penyuluhan memiliki posisi yang sangat strategis. Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang

memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun kelembagaan peternak (kelompok tani) dan melakukan perlindungan melalui keberpihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang, menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan dan melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait serta sebagai media dalam proses transfer atau adopsi teknologi peternakan.

Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak.

Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak di lokasi penelitian secara formal adalah sekolah dasar (SD) sedangkan pendidikan secara non formal (kursus atau pelatihan) masih banyak yang tidak pernah mengikuti kursus atau pelatihan. Pendidikan formal diukur berdasarkan tingkatan atau jenjang formal dan merupakan standar nasional pada tingkatan pendidikan di Indonesia secara formal. Pendidikan non formal diukur berdasarkan frekuensi dalam mengikuti kursus dan atau pelatihan yang berhubungan dengan usahanya dalam kurun waktu satu tahun terakhir, terhitung setahun sampai dengan penelitian ini berlangsung. Pendidikan formal merupakan jenjang pendidikan yang pernah dilalui oleh peternak secara formal, proporsi terbesar tingkat pendidikan formal pada seluruh Distrik adalah tingkalan SD. Proporsi terbesar pendidikan tingkat SD berada pada Distrik Kemtuk Gresi sebesar 56,67 persen berikutnya Distrik Kemtuk sebesar 48 persen, Distrik Nimboran sebesar 46,67 persen dan Distrik Nimbokrang sebesara 44 persen. Proporsi berikutnya adalah tingkatan SMP dengan persentase pada masing-masing yaitu Distrik Kemtuk Gresi sebesar 36,67 persen, Distrik Nimboran sebesar 33,33 persen, Distrik Kemtuk sebesar 32 persen dan Distrik Nimbokrang sebesar 28 persen. Untuk tingkatan SMA, terdapat 3 distrik yang memiliki persentase 16 persen yaitu Distrik Nimboran, Nimbokrang dan Kemtuk sedangkan Distrik Kemtuk gresi hanya 6,66 persen yang mengecap tingkat pendidikan SMA.

Akumulasi dari angka atau persentase di atas mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan peternak tergolong rendah, sehingga peternak perlu untuk meningkatkan pengetahuannya melalui pendidikan non formal yang berhubungan dengan usaha yang dilakukannya, agar dapat memberikan informasi baru dan menambah pengetahuan serta wawasan peternak guna dapat mengembangkan usaha peternakan sapi potong dengan lebih baik.

Tabel 44. Tingkat Pendidikan Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura Pendidikan  Formal  Distrik  Nimbokrang  Distrik Nimboran  Distrik Kemtuk Gresi  Distrik Kemtuk  Total  n=25  n=30 % n=30 % n=25 % n=110  SD  SMP  SMA  Diploma  Sarjana  11  7  4  2  1  44  28  16  8  4  14  10  5  1  0  46,67 33,33 16,67 3,33  0  17 11  2  0  0  56,67 36,67 6,66  0  0  12 8  4  1  0  48 32  16  4  0  54  36  15  4  1  49,09  32,73  13,64  3,64  0,9  Total  25  100  30  100 30 100 25 100 110  100   

Rata-Rata Tingkat Pendidikan Peternak

Sarjana, 0.9 Diplom a, 3.64 SM A, 13.64 SD, 49.09 SMP, 32.73 SD SMP SMA Diploma Sarjana  

Gambar 32. Rata-rata tingkat pendidikan formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura

Pendidikan non formal peternak diukur dengan frekuensi pelatihan/kursus, terlihat bahwa peternak yang tidak pernah mengikuti pelatihan/kursus menempati proporsi terbesar, masing-masing; Distrik Kemtuk Gresi 76,67 persen, Distrik Kemtuk sebesar 70 persen, Distrik Nimboran sebesar 48 persen dan Distrik Nimbokrang sebesar 40 persen. Namun sebagian peternak mengikuti pelatihan/kursus dengan frekuensi pelatihan/kursus sebanyak 1-3 kali, masing-masing; Distrik Nimboran sebesar 28 persen, Distrik Nimbokrang sebesar 24 persen, Distrik Kemtuk Gresi 20 persen dan Distrik Kemtuk 16,67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh peternak sapi potong di Kabupaten Jayapura dikategorikan rendah.

Peternak yang mengikuti pelatihan/kursus sebanyak 4-6 kali, masing-masing; Distrik Nimbokrang sebesar 24 persen, Distrik Nimboran sebesar 26 persen, Distrik Kemtuk 10 persen dan Distrik Kemtuk Gresi 3,33 persen. Peternak yang mengikuti pelatihan/kursus lebih dari 6 kali, hanya terdapat pada Distrik Nimbikrang, Nimboran dan Kemtuk masing-masing; 12%, 8 % dan 3,33%.

Akumulasi dari angka dan persentase di atas sangat memprihatinkan dalam dunia usaha atau bisnis bila tidak ditopang dengan pendidikan non formal yang secukupnya. Dari data yang ada peternak yang pernah mengikuti kursus atau pelatihan sebesar 40 persen dan peternak yang tidak mengikutinya di Kabupaten Jayapura sebesar 60 persen. Pendidikan non formal yang diikuti peternak dilakukan oleh berbagai instansi terkait, yakni Dinas Pertanian dan Peternakan Kabuputen Jayapura, Dinas Sosial Kabupaten Jayapura dan Dinas Koperasi, dan lain-lain. Selain itu ada peternak yang mengikuti pelatihan dan atau kursus di Kota Jayapura, penyelenggaraannya adalah Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, Dinas Koperasi Provinsi Papua dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 45.

Tabel 45. Tingkat Pendidikan Non Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura

  Pendidikan Non          Formal 

Distrik 

Nimboran  KemtukDistrik   KemtukDistrik Gresi    NimbokrangDistrik   

Total

n=110 %

Tidak pernah mengikuti  12 = 48% 21= 70% 23= 76,67% 10 = 40%  66 60 Pernah mengikuti 1 ‐3 kali  7   = 28% 5 = 16,67% 6 = 20% 6 = 24%  24 21,82 Pernah mengikuti 4 ‐6 kali  4  = 16% 3 = 10 % 1 = 3,33% 6 = 24%  14 12,73 Pernah mengikuti > 6 kali  2  = 8% 1 = 3,33% 0 3 = 12%  6 5,45

T ingkat Pendidikan Non Formal Peternak Jayapura

60 21.82

12.73 5.45

Tidak Pernah Kursus Kursua 1 - 3 Kali Kursua 4 - 6 Kali > 6 Kali

 

Gambar 33. Rata-rata Tingkat Pendidikan Non Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura

Pertumbuhan rumah tangga peternak (RTP).

Pertumbuhan RTP yang tinggi akan memberikan kontribusis yang tinggi pula dalam hala penyerapan tenaga kerja. Selama ini RTP di Kabupaten Jayapura relatif masih rendah namun secara nasional terjadi peningkatan. Menurut hasil Sensus Pertanian (BPS, 2004a), terjadi peningkatan RTP dari 4,50 juta pada tahun 1983 menjadi 5,62 juta pada tahun 1993 dan menjadi 5,63 juta pada tahun 2003. peningkatan sebesar 1,1 juta RTP selama 10 tahun pertama menunjukkan bahwa subsektor peternakan memiliki peranan yang signifikan dan cenderung meningkat dalam menciptakan lapangan kerja dan sebagai pendapatan keluarga, namum peningkatan tersebut makin menurun pada sepuluh tahun kedua karena memang ada beberapa provinsi yang mengalami penurunan RTP seperti Provinsi Papua. Keadaan ini supaya dirubah dan diperbaiki di masa yang akan datang supaya dapat ditingkatkan dalam upaya pengembangan agribisnis peternakan. Berdasarkan jumlah RTP masing-masing komoditas, Sensus Pertanian 1993 menunjukkan bahwa usaha sapi potong melibatkan paling banyak RTP yaitu 2,95 juta. Kemudian diikuti RTP babi 0,60 juta, RTP ayam buras 0,48 juta dan RTP kambing 0,39 juta. Sensus Pertanian 2003 hanya tiga jenis ternak yang didata. Dari 5,63 juta ternak, RTP sapi potong 2,57 juta (42,5%), kambing 0,60 juta (10,6%), ayam buras 0,85 juta (15,1%), dan ternak lainnya 1,61 juta (28,6%) (BPS, 2005a). Indikator ini menunjukkan pentingnya peran usaha peternakan sapi untuk menciptakan pemerataan

kesempatan kerja dan pendapatan. Secara visual atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit dapat di lihat pada Gambar 34.

Leverage of Attributes 1.623 2.165 0.818 1.713 1.369 1.649 1.857 1.202 1.385 1.208 0.901 1.134 0.832 0 0.5 1 1.5 2 2.5

Pertumbuhan rumah tangga peternak Peran masyarakat dalam usaha

agribisnis peternakan Jumlah rumah tangga peternak

Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak

Frekuensi konflik Curahan waktu kerja dalam

usaha peternakan Frekuensi penyuluhan dan

pelatihan partisipasi keluarga dalam

usaha Pengetahuan terhadap

lingkungan Pertumbuhan penduduk Kesehatan masyarakat peternak Alternatif usaha selain

peternakan Rasio tenaga kerja

A

ttr

ib

u

te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

 

Gambar 34. Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak.