• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Air Peternak

5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan di Kabupaten Jayapura

5.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi

Gambar 34. Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak.

5.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi

Dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena masih lebih kecil dari 50,0. Dengan demikian pembangunan dimensi teknologi untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten jayapura perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan pembangunan. Terdapat sembilan atribut teknologi yang menentukan keberlanjutan program yaitu; (1) standar mutu produk peternakan, (2) ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis, (3) ketersediaan teknologi informasi dan transportasi, (4) ketersediaan tempat pelayanan Inseminasi Buatan (IB), (5) teknologi pakan, (6) ketersediaan tempat atau pos pelayanan kesehatan hewan, (7) teknologi pengolahan limbah peternakan, (8) teknologi pengolahan hasil produk peternakan, (9) penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan ternak. Tiga diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 2,0). Atribut teknologi yang merupakan faktor pengungkit adalah (1) ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan (IB), (2)

ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan dan (3) ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis. Secara visual disajikan pada Gambar 35.

Leverage of Attributes 0.77 2.56 1.71 1.80 2.69 1.77 1.71 2.40 0.47 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Teknologi pengolahan hasil produk peternakan Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hew an Teknologi pengolahan limbah peternakan Teknologi pakan Ketersediaan tempat pelayanan IB Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan

ternak

Ketersedian teknologi inf ormasi dan transportasi Ketersedian sarana dan prasarana agribisni Standar mutu produk peternakan

At

tr

ib

u

te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

 

Gambar 35. Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan ternak

 

Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan (IB)

Secara nasional populasi dan produktivitas ternak potong dan ternak perah selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun. Tingkat pertumbuhan sapi potong selam 3 (tiga) tahun terakhir hanya mencapai 1,08% per tahun. Sementara dilain pihak, dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat rata-rata 1,5% per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5% sampai 5,0% pada tahun 2005, maka diperkirakan permintaan terhadap daging sapi akan terus meningkat. Bila tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi, maka ternak potong lokal akan terkuras karena tingginya angka pemotongan, sehingga harus dilakukan impor sapi sebesar rata-rata 300 ribu ekor/tahun, dimana tahun 2009 dapat mencapai 500 ribu ekor (Dirjenak, 2010). Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang merupakan pilihan utama untuk

peningkatan populasi dan mutu genetik ternak. Melalui kegiatan IB, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan murah, mudah dan cepat, serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura telah dilaksanakan dari tahun 1990 namun sampai sekarang belum menunjukkan keberhasilan yang baik hal ini terlihat dari besarnya Service per Conception (S/C) rata-rata yang diperoleh baru mencapai 3,4 dan dan Conception Rate (CR) 40% (Dinas Peternakan Provinsi Papua, 2010). Hal ini jauh dari target keberhasilan untuk wilayah tahapan swadaya untuk S/C < 2 dan CR 80% (Dirjenak, 2010). Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura selama ini masih bergantung straw dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, dan hanya ada 2 (dua) unit pos IB itupun dengan memanfaatkan rumah petugas yang ada di distrik.

Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan

Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999, disertai dengan penyerahan aset dan pegawai pusat kepada pemerintah daerah. Salah satu aset pemerintah pusat yang diserahkan tanggung jawabnya ke pemerintah daerah adalah Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan). Dengan pelaksanaan otonomi, subsidi yang diberikan pemerintah pusat kepada Poskeswan dihapuskan, sedangkan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Jayapura hanya memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp. 3.788.978.208 Tahun Anggaran 2003 dan pada Tahun Anggaran 2002 mendapat Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp. 344.854.260.445, sementara untuk belanja rutin pegawai memerlukan dana sebesar Rp. 340.986.894.951. Dengan kondisi keuangan Pemda Kabupaten Jayapura yang demikian, mengakibatkan Pemda menghadapi kendala untuk memberikan subsidi berupa dana operasional, obat-obatan dan bahan kimia yang dibutuhkan oleh Poskeswan. Seperti yang kita ketahui, sektor penanganan penyakit membutuhkan perhatian yang serius, karena tidak hanya menyangkut masalah ternaknya saja tetapi juga manusianya, Beberapa penyakit hewan dapat menular ke manusia. Penyakit hewan yang menular ke manusia bersifat zoonosis, penyakit tersebut diantaranya : A1, Anthrax, Brucellosis dan Tuberculosis. Pencegahan penyakit tersebut dapat dilakukan dengan vaksinasi, pemberian penyuluhan tentang tanda-tanda klinis penyakit tersebut, sistem pelaporannya penanganan sementara hewan sakit dan perilaku hidup bersih dan sehat serta biosecurity untuk mencegah penyebaran dan penularan lebih luas. Kesadaran masyarakat

dan pihak-pihak terkait sangat diperlukan dalam penanganan dan pemberantasan penyakit hewan penanganan yang cepat dan tepat dapat membantu mengurangi resiko dan kerugian akibat penyakit hewan. Pemberian pengetahuan melalui penyuluhan sangat diperlukan secara terus menerus dan berkelanjutan agar dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi ternak dan kebutuhan masing-masing petani peternak dalam upaya peningkatan derajat kesehatan hewan. Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) sebagai unit terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat petani peternak melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan hewan dan penyuluhan, memiliki peran strategis terhadap upaya peningkatan populasi dan produktivitas ternak. Dari berbagai pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh Poskeswan hasilnya kurang optimal karena keterbatasan sarana prasarana, personil serta wilayah kerja yang cukup luas

Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis

Menurut Ernalia et al, (2004), dan Deptan (2004a), suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti benih/bibit, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian), kegiatan pengolahan hasil pertanian sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dll) dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil, agrowisata). Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu : 1) pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan, 2) Lembaga Keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis, 3) memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, asosiasi) yang harus berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis (SPPA), 4) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agriibisnis yang lebih efisien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan ogropolitan ini BPP

perlu diarahkan menjaadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakan/petani maju, tokoh, masyarakat, dll, 5) percobaan/pengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan, 6) jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian (agribisnis) yang lebih efisien. Memilki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan social/masyarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan dan lain-lain. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota terjamin. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sarana dan prasarana agribisnis ini masih jauh dari harapan atau dengan kata lain kurang memadai. Untuk itu, di masa yang akan datang perlu ada perhatian yang serius bagi semua stakeholder sehingga pengembangan pertanian dan peternakan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani ternak di pedesaan.