• Tidak ada hasil yang ditemukan

MDS Ekologi

IV. PROFIL KAWASAN PENELITIAN

4.5. Keadaan Sosial Budaya 1. Struktur sosial

Masyarakat yang berdomisili di wilayah penelitian berasal dari satu rumpun besar Masyarakat Mamberamo Tami (Mamta) yang terdiri dari 4 (empat) rumpun kelompok masyarakat yaitu (1) Rumpun Baiwase, (2) Rumpun Banibaiwase, (3) Rumpun Irapbaiwase, dan (4) Rumpun Bayuwase. Rumpun-rumpun masyarakat ini tersebar dalam suatu wilayah yang pada masa pemerintahan Belanda dikenal sebagai wilayah under Afdeling Nimboran. Wilayah ini tersebar pada wilayah Kecamatan Unurumguay, Kecamatan Kaureh, Kecamatan Demta, Kecamatan Nimboran/Kemtuk, dan Kecamatan Sentani Barat. Salah satu kelompok masyarakat yang mendiami

wilayah Under Afdeling Nimboran adalah masyarakat Nimboran/Kemtuk Gresi yang biasanya dikenal sebagai orang Genyem yang berdiam di 4 (empat) distrik wilayah penelitian.

Masyarakat Nimboran/Kemtuk Gresi terdiri dari beberapa kelompok marga/fam yang terikat dalam satu hubungan kekerabatan, dimana setiap marga/fam merupakan kumpulan keluarga-keluarga dengan penamaan marga/fam yang sama. Marga/fam itu di wilayah penelitian seperti marga/fam Tegai, Tarko, maupun Demongkrang. Kedudukan marga/fam di dalam sistem masyarakat adalah sederajat dimana aksesibilitas setiap kelompok marga/fam dalam belbagai proses pembangunan memiliki peluang yang sama.

Struktur sosial masyarakat Nimboran/Kemtuk Gresi bersifat terbuka, artinya bahwa kedudukan marga/fam adalah sederajat tanpa membedakan tinggi rendahnya kelompok tertentu. Disamping itu sistem perkawinan bersifat perkawinan campuran yaitu perkawinan dapat terjadi antar anggota-anggota dari satu marga/fam dengan marga lainnya. Adanya struktur sosial terbuka dan sistem perkawinan campur yang dianut menciptakan terbentuknya marga/fam-marga/fam yang cukup banyak tersebar di wilayah penelitian.

Satu kelompok marga/fam biasanya akan mencari suatu wilayah tertentu untuk dihuni secara bersama-sama dimana marga/fam yang pertama kali datang di wilayah tersebut dianggap sebagai kelompok masyarakat asli dan dikukuhkan sebagai pemilik lahan/tanah yang syah, dan kepemilikan lahan yang dikuasai didasarkan atas kepemilikan komunal masing-masing keluarga dari marga/fam tersebut. Pengaturan pengelolaan dan pembagian tanah setiap keluarga akan dilakukan dengan membagi luasan lahan milik keluarga secara merata kepada semua anggota keluarga laki-laki baik yang belum menikah maupun sudah menikah. Dengan demikian setiap anak laki-laki akan memiliki bagian hak atas tanah masing-masing.

Kepemilikan lahan/tanah adat menjadi hak milik laki-laki sedangkan perempuan tidak memiliki hak tersebut, namun hanya sebatas hak pakai. Adapun alasan hak pakai untuk perempuan dikarenakan apabila perempuan menikah maka ia akan meninggalkan marga/famnya dan akan mengikuti marga/fam laki-laki, demikian pula anak-anak hasil perkawinan akan mengikuti garis keturunan laki-laki (patrilinial). Dengan demikian untuk menjaga agar luasan lahan yang dimiliki suatu marga/fam tidak dialihkan kepada orang lain (diluar marga/fam) maka hak perempuan hanya sebatas hak pakai. Hak pakai perempuan atas tanah dapat berubah menjadi hak milik apabila semua keturunan dari suatu marga/fam berjenis kelamin perempuan dan apabila perempuan tersebut telah menikah dengan laki-laki marga/fam lain, maka anak

cucu hasil perkawinan tersebut yang berjenis kelamin laki-laki dapat memiliki hak milik atas tanah yang berada di keluarga perempuan (pihak istri).

Adanya perkembangan pembangunan di mana banyak memerlukan penggunaan-penggunaan lahan maka pengalihan hak tanah dapat diwujudkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pengalihan tanah dengan cara membeli atau menganti rugi kepada pemilik lahan, dan cara kontrak lahan dalam kurun waktu tertentu. Pengalihan hak lahan dalam bentuk pembelihan tanah biasanya diperuntukkan untuk pemanfaatan lahan untuk kepentingan umum (masyarakat) seperti pembangunan-pembangunan sarana prasarana antara lain gereja, dan jalan raya. Pengalihan hak lahan untuk kepentingan suatu kelompok atau individu lebih banyak bersifat kontrakan tanah dalam suatu kurun waktu tertentu dan akan dikembalikan kepada pemiliknya setelah dikontrak.

Pengalihan lahan dengan cara membeli pada saat ini banyak mendatangkan masalah dengan adanya pemalangan tanah pada areal sarana prasarana umum. Adanya pemalangan ini dikarenakan belum tuntasnya ganti rugi tanah-tanah adat kepada pemilik-pemilik yang sah, dimana kepemilikan tanah adat ini biasanya tidak disertai dengan sertifikat tanah yang sah yang dapat menunjukkan kepemilikan tanah tersebut. Tidak adanya sertifikat tanah ini, menimbulkan permasalahan dalam menetapkan siapa yang berhak atas tanah-tanah yang telah dibangun sarana prasarana umum tersebut, sehingga beberapa anggota masyarakat secara individual mengaku mengklaim kepemilikan tanah tersebut.

4.5.2. Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan kontak antara individu dengan individu lainnya maupun individu dengan suatu kelompok. Masyarakat di wilayah penelitian melakukan interaksi sosial dengan sasaran di dalam sistem masyarakat, dan dengan sasaran di luar sistem masyarakat tersebut.

Wujud interaksi sosial yang nampak di wilayah penelitian dapat dikelompokkan dalam tiga bidang interaksi sosial. Pertama, interaksi budaya, menyangkut persoalan mas kawin. Kedua, interaksi sosial, menyangkut kegiatan gotong royong dalam pembukaan dan pemanenan hasil. Ketiga, interaksi ekonomi, menyangkut kegiatan transaksi antara petani dengan para pedagang.

Interaksi budaya yang terjadi dinampakkan dengan adanya kerjasama antara keluarga-keluarga dalam satu marga/fam untuk menanggung bersama besar dan jumlah mas kawin yang ditetapkan keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Di dalam pertemuan tersebut, keluarga-keluarga yang tergabung dalam satu marga/fam dan anak laki-lakinya akan menikah bersama-sama akan mendiskusikan

tentang pembagian tanggungan untuk anggota-anggota keluarga pihak laki-laki yang dapat membantu meringankan tanggungan mas kawin yang akan dibayarkan pihak laki-laki kepada perempuaan. Kondisi ini memperlihatkan adanya pembagian tanggungan antar anggota-anggota dalam keluarga pihak laki-laki maka terlihat kesatuan hubungan kekerabatan dalam suatu marga/fam.

Interaksi sosial diwujudkan dalam kegiatan gotong royong pembukaan lahan dan pemanenan hasil. Masyarakat di wilayah penelitian biasanya melakukan kegiatan usahatani pada kawasan lahan yang cukup luas yaitu berkisar antara 0,25 ha – 2 ha, di satu sisi ketersediaan tenaga kerja relatif kecil yaitu 2 (dua) orang dan di sisi lain luasan lahan yang cukup luas. Adanya luasan lahan yang cukup luas dan ketersediaan tenaga kerja yang kecil mengakibatkan pencurahan kerja pada tahapan pembukaan lahan dan pemanenan hasil mengalami masalah tenaga kerja. Melalui kegiatan gotong royong bersama-sama dengan anggota-anggota dalam suatu marga/fam ataupun tetangga maka kesulitan tenaga kerja dapat terpecahkan. Pembayar atau penggantian biaya yang dikeluarkan untuk tenaga-tenaga kerja ini diberikan dalam bentuk makan bersama yang disediakan oleh pemilik lahan tersebut.

Kegiatan gotong royong ataupun interaksi sosial juga terjadi apabila anggota-anggota masyarakat sepakat untuk bergabung dalam suatu kelompok tani, dimana interaksi sosial nampak terjadi pada saat pembukaan dan pemanenan hasil. Kegiatan gotong royong ini biasanya melibatkan tenaga kerja yang berkisar antara 20 – 40 orang untuk melakukan pembukaan lahan dan selanjutnya lahan akan dipetak-petakkan untuk masing-masing anggota untuk pengelolaannya hingga tahap pemanenan. Pada tahap pemanenan ini, juga nampak adanya kegiatan gotong royong untuk saling membantu meringankan beban kerja.

Interaksi ekonomi diwujudkan dalam bentuk transaksi dagang antara petani dengan pedagang lokal maupun pedagang non lokal. Transaksi dagang ini banyak ditemui pada cabang usahatani kakao dimana petani menjual biji kakao basah dengan harga 2.500 – 3.000/kg kepada pedagang lokal, dan selanjutnya pedagang lokal akan menjual kembali dalam bentuk kering dengan kisaran harga Rp 7.500 – 8.000,- Adanya transaksi dagang yang demikian menggambarkan suatu hubungan kerjasama antara keduanya. Disamping itu menunjukkan adanya suatu hubungan usaha yang saling menguntungkan. Selain interaksi ekonomi dalam usaha kakao, interaksi ekonomi yang cukup tinggi adalah interaksi antara petani dengan para pengojek yang beroperasi di wilayah penelitian. Adapun kegiatan pengojek biasanya dimanfaatkan petani untuk mengunjungi saudara, ke pasar, ke kantor-kantor pemerintahan desa.

4.5.3. Pola Kepemimpinan

Di dalam suatu masyarakat dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang dapat mengatur dan mengelola anggota-anggota masyarakatnya. Masyarakat di wilayah penelitian mengenal beberapa pola kepemimpinan yaitu (1) kepemimpinan in formal yaitu adat, (2) kepemimpinan formal yaitu pemerintahan, dan (3) kepemimpinan kombinasi antara in formal dan formal.

Secara adat istiadat, masyarakat di wilayah penelitian memiliki pemimpin-pemimpin adat yang mengatur dan mengurus masyarakat. Pemimpim tersebut terbagi atas (1) Iram/Dequina dengan fungsi sebagai melindungi lapisan masyarakat, (2) Trang dengan fungsi sebagai menjaga dan membagi hak ulayat kepada anggota masyarakat, (3) Tegai dengan fungsi sebagai panglima perang atau keamanan, (4) Strom dengan fungsi sebagai pengatur kegiatan gotong royong atau kerja bakti kampung, dan (5) Bemey dengan fungsi sebagai bendaharawan masyarakat.

Adanya pembagian kepemimpinan atas lima status dan peran ini tidak menunjukkan bahwa status dan peran yang satu lebih tinggi dari status dan peran lainnya. Peran kelima pemimpin tersebut untuk dapat mengatur dan mengorganisir kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Walaupun demikian, peran Iram/Dequina merupakan status yang penting yaitu melindungi seluruh lapisan masyarakat, disamping juga melindungi sumber daya alam. Sebutan Iram/Dequina pada kelompok-kelompok masyarakat lainnya dikenal sebagai Ondoafi.

Dalam perkembangan pembangunan dan hingga saat ini status dan peran kelima pemimpin adat ini semakin luntur dalam hal fungsi dan tugasnya. Keadaan ini dikarenakan adanya modernisasi kelembagaan ataupun akibat akulturasi budaya dengan kelompok masyarakat lainnya di luar sistem masyarakat Nimboran/kemtuk Gresi. Pada kondisi sekarang, hanyalah peran dan fungsi Iram/Dequina yang masih berfungsi namun hanya sekedar pengakuan status sebagai pemimpin dalam suatu kelompok masyarakat. Pengambilan keputusan dalam pembangunan masyarakat lebih banyak dipegang oleh aparat-aparat desa sebagai pemimpin pemerintahan. Khusus untuk masalah-masalah yang menyangkut adat seperti tanah biasanya keterlibatan Iram/Dequina masih dibutuhkan dimana bersama-sama dengan kepala kampung dalam mengambil keputusan.

Pola kepemimpinan formal melibatkan pemimpin-pemimpin pemerintahan antara lain kepala kampung, ketua RT dan ketua RW. Kampung beserta aparat inilah yang mengatur kegiatan-kegiatan administrasi, maupun pembangunan di kampung, seperti pengaturan kelompok tani, pengaturan administrasi desa dan pembenahan keamanan. Pemimpin-pemimpin formal lebih banyak berperan dibandingkan pemimpin in formal.

Pola kepemimpinan yang ketiga merupakan gabungan antara pola formal dan in formal yang dikenal sebagai Dewan Adat. Dewan Adat di wilayah penelitian terbagi dalam dua kelompok yaitu Dewan Adat untuk masyarakat Nimboran/Nimbokrang dan Dewan adat untuk masyarakat Kemtuk/Kemtuk Gresi. Fungsi dewan adat sebagai lembaga adat yang menampung semua aspirasi-aspirasi Iram/dequina yang membawahi aspirasi kelompok-kelompok kecil masyarakatnya dalam kegiatan pembangunan. Artinya bahwa fungsi dan tugas dewan adat lebih ditekankan kepada hubungan antara permasalahan-permasalahan adat dan permasalahan pemerintahan. Salah satu permasalahan yang ditangani dewan adat menyangkut pemalangan tanah-tanah adat yang menjadi lokasi fasilitas-fasilitas pemerintahan maupun sarana prasarana umum. Contohnya irigasi, demikian pula dengan permasalahan politik menyangkut dukungan masyarakat adat terhadap kepemimpinan formal seseorang.

4.5.4. Pola Penguasaan dan Pengusahaan Tanah

Di dalam hukum negara dikenal adanya pengertian tanah negara, tanah hak milik, dan tanah ulayat. Tanah negara adalah tanah yang pengaturan sepenuhnya dikuasai negara. Tanah milik adalah tanah yang secara hukum negara menjadi milik pribadi seseorang. Tanah ulayat adalah tanah yang kepemilikannya diatur menurut ketentuan adat setempat.

Sistem kepemilikan tanah di Papua selain mengikuti peraturan pemerintah juga mengikuti Hukum Adat. Menurut Hukum Adat, tanah dan isinya dikuasai, dimiliki, dan diatur oleh adat setempat. Kawasan agropolitan “Grime-Sekori” merupakan hak ulayat dari rumpun besar Masyarakat Mamberamo Tami (Mamta). Oleh karena itu untuk penggunaan tanah di kawasan diatur oleh “ondoafi” dan atau kelompok masyarakat yang lebih kecil yaitu klan.

Lahan usaha pada masyarakat asli Papua adalah bersifat individu. Namun sebelum beralih menjadi milik individu, status tanah yang dimiliki oleh petani asli Papua merupakan milik komunal artinya dikuasai oleh marga/fam. Selanjutnya tanah-tanah tersebut akan diwariskan kepada setiap anak laki-laki dari setiap marga/fam , sehingga status tanah menjadi milik individu. Tanah-tanah yang dimiliki oleh setiap kepala keluarga, akan diwariskan lagi kepada anak laki-laki mereka dan selanjutnya tanah tersebut akan berubah status menjadi milik anak mereka, begitu seterusnya hingga sekarang. Masyarakat di wilayah penelitian mengusahakan usahatani dalam sebidang lahan yang berkisar antara 2 – 5 hektar. Kepemilikan tanah atas lahan yang diusahakan merupakan kepemilikan yang bersifat individu, yakni setiap orang dari anggota keluarga memiliki sebidang tanah yang akan diusahakan.

Berdasarkan adat istiadat, hak atas tanah yang akan diusahakan untuk berbagai kegiatan usahatani bersifat komunal. Artinya bahwa sebidang tanah dikuasai oleh kelompok marga/fam masing-masing yang bermukim dalam suatu wilayah. Selanjutnya dari kepemilikan komunal tersebut akan diwariskan/diturunkan kepada seluruh anggota keluarga yang berjenis kelamin laki-laki sebagai hak milik secara individu. Dengan demikian sistem kepemilikan tanah di wilayah penelitian adalah bersifat individu.

Setiap laki-laki secara adat diwajibkan untuk mengusahakan lahan miliknya untuk dapat menghasilkan makanan yang diperuntukkan bagi keluarganya. Laki-laki dipandang sebagai generasi penerus keluarga yang dapat mempertahankan atau meneruskan marga/fam. Oleh karenanya hak milik tanah menjadi hak laki-laki sebagai penerus marga/fam yang mana tanah akan diusahakan akan menjadi hak milik secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya dari suatu garis keturunan laki-laki tersebut. Sedangkan perempuan dipandang sebagai istri yang bertugas untuk melayani suami, oleh karenanya hak milik tanah tidak diberikan kepada perempuan tetapi perempuan hanya diberi hak pakai dan hak mendapatkan manfaat atas hasil-hasil yang di dapatkan dari pengusahaan tanah. Hal ini berhubungan dengan sistem perkawinan yang dianut dimana apabila seorang perempuan menikah maka ia akan mengikuti suaminya (patrilokal) dan keturunan yang diperoleh merupakan garis keturunan marga/fam suaminya (patrilinial).

Pengalihan hak milik atas tanah pada masa dahulu telah terjadi, seperti diindikasikan oleh adanya beberapa luasan tanah yang dibeli oleh pendatang seperti suku-suku Sulawesi, untuk bangunan-bangunan rumah. Pada masa kini pengalihan hak milik tanah berupa kegiatan pembelian tanah sangat jarang dilakukan. Keadaan ini diduga karena luasan tanah yang dimiliki setiap individu semakin menurun sesuai adanya pertambahan jumlah jiwa di dalam setiap keluarga yang berhak menerima hak milik atas tanah. Disamping itu adanya pengalihan hak milik tanah untuk pembangunan sarana prasarana umum. Dilain sisi diduga pula, bahwa masyarakat telah memahami bahwa wilayah tempat tingganya sebagai suatu wilayah strategis untuk pembangunan sehingga tanah sebagai wilayah permukiman dan areal usahataninya akan memberikan kemudahan berusaha di kemudian hari.

Pengalihan hak milik atas tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan dilaksanakan melalui tiga bentuk yaitu (1) pengalihan hak milik tanah khusus untuk pembangunan-pembangunan sarana prasarana umum, (2) pengalihan hak pakai sementara sebagai hak kontrak, dan (3) pengalihan hak pakai tanpa adanya hak kontrak.

Pengalihan hak milik tanah dari pemilik kepada orang lain (pemerintah) dalam suatu transaksi jual beli dapat dilakukan selama tanah yang akan dijual diperuntukkan untuk gedung sekolah, gereja, jalan raya, gedung-gedung pemerintahan. Pada kondisi ini harus dilakukan transaksi jual beli antara pemilik tanah dengan pihak pembeli (pemerintah) sesuai dengan luasan tanah. Berdasarkan penelitian diperoleh informasi bahwa senantiasa terjadi pemalangan tanah pada tanah-tanah lokasi sarana prasarana umum seperti kantor-kantor pemerintahan maupun saluran irigasi. Hal ini dikarenakan pemilik tanah tidak memiliki surat tanda sertifikat yang jelas tentang kepemilikan tanah, sehingga banyak ditemui adanya pengakuan dari beberapa orang yang mengkukuhkan dirinya sebagai pemilik tanah.

Pengalihan hak pakai atas tanah dalam bentuk kontrak maupun tidak kontrak dapat terjadi dimana pengontrak tanah hanya menggunakan tanah dalam kurun waktu tertentu dan selanjutnya tanah akan diserahkan kembali kepada pemiliknya. Pengontrakkan tanah biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok usaha yang ingin berusaha di wilayah penelitian. Namun berdasarkan hasil wawancara tipe pengalihan tanah seperti ini sangat sedikit.