• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user c. Climbers (Para Pendaki)

C. Kerangka Konseptual

Masalah adalah sebuah kata yang sering kita dengar, bahkan masalah tidak pernah bisa lepas dari kehidupan kita. Setiap orang memiliki masalah yang berbeda-beda di dalam kehidupannya dan mempunyai cara yang berbeda-beda pula untuk menyelesaikannya. Namun sesuatu menjadi masalah tergantung bagaimana seseorang mendapatkan masalah tersebut sesuai kemampuannya. Melalui masalah seseorang akan mendapatkan hal baru yang belum pernah mereka temui sebelumnya.

Masalah merupakan suatu konflik dan hambatan bagi siswa dalam menyelesaikan tugas belajarnya di kelas. Masalah tersebut harus diselesaikan oleh siswa agar proses berpikir siswa dapat terus berkembang. Semakin banyak masalah matematika yang dapat diselesaikan oleh siswa maka akan semakin banyak pengalaman yang didapat oleh siswa dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, semakin banyak pula cara yang didapat oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika dalam bentuk apapun.

commit to user

Dalam menyelesaikan suatu masalah tentunya banyak aturan atau langkah yang harus dilakukan oleh siswa, terutama dalam pembelajaran matematika. Langkah-langkah dalam pemecahan masalah matematika yang bisa digunakan oleh siswa salah satunya adalah menggunakan langkah-langkah model Polya. Langkah-langkah dalam pemecahan masalah menurut Polya (1973: xvi) terdiri dari empat langkah, yaitu understanding the problem (memahami masalah), devising a plan (menyusun rencana penyelesaian), carrying out the plan (menyelesaikan masalah sesuai perencanaan), dan looking back (memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh).

Pada saat siswa melakukan pemecahan atau penyelesaian dari suatu masalah diperlukan suatu kemampuan yang ada pada diri siswa untuk memecahkan masalah tersebut. Kemampuan yang dimiliki siswa untuk memecahkan masalah dan menjadikan masalah tersebut sebagai suatu tantangan untuk bisa dipecahkan atau diselesaikan dikenal dengan Adversity Quotient (AQ). Melalui AQ, seorang guru dapat melihat apakah siswa tersebut merupakan kelompok siswa yang suka untuk menerima tantangan atau tidak. Melalui AQ juga seorang guru dapat mengetahui apakah siswa mereka sudah memahami materi yang telah diberikan dan dapat mengetahui apakah siswa dapat menyelesaikan atau memecahkan masalah matematika yang ada dengan baik, atau bahkan sebaliknya.

Setiap siswa memiliki tipe AQ yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki pada saat dihadapkan pada suatu masalah. AQ menurut Stoltz (2000: 14) terdiri dari tiga tipe, yaitu quitters (mereka yang berhenti), campers (mereka yang berkemah), dan climbers (para pendaki). Siswa dengan tipe climbers memiliki sifat pantang menyerah terhadap masalah yang ada, selalu melakukan sesuatu sampai tuntas, berani mengambil segala resiko yang akan terjadi, dan akhirnya mereka dapat menikmati kebahagiaan atas hasil yang telah diperolehnya karena mereka telah mencapai puncak kesuksesan. Siswa dengan tipe campers memiliki sifat mudah merasa puas dengan apa yang telah diperoleh sehingga mereka memutuskan untuk berhenti di tengah jalan dengan hasil yang ada. Siswa dengan tipe quitters memiliki sifat mudah menyerah terhadap tantangan dan sangat takut terhadap resiko yang akan terjadi.

commit to user

Dengan adanya tipe AQ yang berbeda-beda tentunya akan berpengaruh pula pada proses berpikir pada masing-masing siswa tersebut dalam menghadapi masalah yang ada. Hal ini juga berlaku untuk mata pelajaran matematika. Pada saat siswa dihadapkan pada persoalan matematika dan soal tersebut memuat suatu tantangan yang harus diselesaikan oleh setiap siswa maka setiap siswa memiliki respon yang berbeda pula untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Pada saat siswa climbers dihadapkan pada persoalan matematika dan siswa menemukan masalah pada soal tersebut maka siswa akan terus berusaha untuk bisa menyelesaikan masalah yang ada sampai tuntas. Di sini proses berpikir siswa akan terus berlangsung sampai siswa bisa mendapatkan hasil yang benar, sesuai dengan yang diinginkan pada soal. Jika siswa sudah mendapatkan hasilnya maka siswa tidak akan dengan mudahnya meyakini hasil yang telah diperolehnya tersebut. Siswa akan memeriksa terlebih dahulu hasil yang telah diperolehnya untuk bisa meyakini bahwa hasil yang telah diperolehnya tersebut sudah benar.

Siswa campers memiliki respon yang sedikit berbeda dengan siswa climbers dalam menyelesaikan masalah matematika. Pada saat siswa campers dihadapkan pada persoalan matematika dan siswa menemukan masalah pada soal tersebut maka siswa akan tetap berusaha untuk bisa menyelesaikan masalah yang ada. Proses berpikir siswa akan terus berlangsung sampai siswa bisa mendapatkan hasilnya meskipun siswa tidak tahu apakah jawaban yang telah diperolehnya tersebut sudah benar atau belum. Jika siswa sudah mendapatkan hasilnya maka siswa tidak akan mencoba untuk memeriksa kembali hasil yang telah diperolehnya kecuali jika diperintahkan. Hal ini terlihat dari sifat dari siswa campers yang mudah puas dengan apa yang telah diperolehnya.

Siswa quitters memiliki respon yang berbeda dengan siswa climbers dan campers ketika dihadapkan pada situasi yang sama. Pada saat siswa quitters dihadapkan pada persoalan matematika dan siswa menemukan masalah dalam menyelesaikan soal tersebut maka siswa tidak mempunyai keinginan untuk bisa menyelesaikan masalah yang ada pada soal. Siswa akan lebih memilih menghindar dan menyerah pada masalah yang ada dibandingkan harus mencobanya terlebih dahulu di lembar jawaban lain.

commit to user

Dengan memahami proses berpikir yang ada pada setiap siswa sebenarnya dapat membantu seorang guru untuk dapat memilih metode pembelajaran seperti apa yang dapat digunakan di kelas. Dengan metode pembelajaran yang tepat maka akan dapat dengan mudah siswa mencerna materi yang diberikan oleh guru dan membuat proses berpikir siswa dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan penelitian terdahulu, yaitu yang dilakukan oleh Siti Nureini (2011), dikatakan bahwa siswa dengan tipe climber memiliki prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa dengan tipe camper dan quitter, sedangkan siswa dengan tipe camper memiliki prestasi belajar yang sama baiknya dengan tipe quitter. Jika dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Stoltz (2000) tentang AQ dan berdasarkan penjelasan yang telah diberikan maka seharusnya siswa dengan tipe camper memiliki prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa dengan tipe quitter. Hal ini disebabkan siswa tipe quitter memiliki sifat mudah menyerah dan tidak ada keinginan untuk mencoba menyelesaikan masalah yang ada dengan alasan tidak ingin mengambil resiko dari masalah yang sedang dihadapi, sedangkan siswa tipe camper memiliki sifat masih ada keinginan untuk mencoba menyelesaikan masalah yang ada meskipun tidak sampai selesai. Dengan adanya sifat yang berbeda tersebut tentunya akan berdampak pada proses berpikir siswa yang berbeda pula antara siswa tipe camper dengan siswa tipe quitter. Jadi jika dilihat dari sifat dan proses berpikir yang berbeda tersebut seharusnya memberikan dampak yang berbeda pula terhadap prestasi belajar siswa.

commit to user