• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Fisik Ekologis

Secara alamiah, wilayah Sulawesi Selatan terdiri atas beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), tepatnya 53 DAS yang pengelolaannya dikelompokkan ke dalam 4 (empat) Wilayah Pengelolaan DAS, ya itu WP-DAS Jeneberang, Bila-WalannaE, Sad - dang, dan Rongkong. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa seluruh wilayah Sula - wesi Selatan dibagi habis oleh WP-DAS tersebut. Malah, kawasan pe sisir, termasuk perairan yang ada diha dap annya, masih mendapatkan pengaruh dari DAS yang ber - ada di hilirnya. Dengan kata lain, keberadaan DAS-DAS ini membuat ada nya ke ter -

kaitan ekologis yang sa ngat erat di antara kawasan dan daerah kabupaten kota yang ada di Sulawesi Selatan.

WP DAS Jeneberang meliputi wilayah 8 (delapan) kabupaten di bagian selatan Su la wesi Selatan, termasuk kota Makassar, mencakup wilayah seluas 825.607 Ha dan kawasan hutan seluas 204.427 Ha. Sekitar 38% kawasan hutan di wilayah ini (77.092 ha) merupakan lahan kritis. Dampaknya terlihat pada meningkatnya kerentanan wilayah terhadap banjir dan longsor. Dampak ini mewujud pada tahun 2006 berupa longsor dalam skala besar yang terjadi di hulu DAS Jenebereng. Kejadian ini tidak sa - ja memengaruhi kualitas air baku bendungan Bili-Bili yang memasok kebu tuh an air ba ku bagi penduduk kota Makassar dan sekitarnya, tetapi sangat mungkin me mak sa pe nge lola bendungan untuk merevisi umur pakai bendungan.

WP DAS Bila-WalannaE mencakup empat kabupaten di bagian tengah Sula we - si Selatan, yaitu ka bupaten Sidrap, Wajo, Soppeng dan Bone. Luas lahan kritis di wi - layah ini pada tahun 2007 adalah 115.696 ha. Penu runan fungsi lindung kawasan ini telah berlangsung lama dan inten sitasnya semakin tinggi dengan dampak lang sung yang terjadi adalah semakin men dang kalnya danau Tempe. Akibat pendang kal an ter sebut danau Tempe tidak mam pu lagi menampung air dari sungai CenranaE se - hing ga diteruskan ke sungai Walan nae yang mengakibatkan banjir setiap tahun di sepanjang sungai di Wajo dan Bone. Se lain itu, terjadi juga ban jir setiap tahun di se ke - liling danau Tempe yang meneng gelamkan sejumlah kecamat an di kabupaten Sop - peng, Sidrap dan Wajo.

WP DAS Saddang terletak di sebelah Utara DAS Bila-WalannaE mencakup 5 (lima) kabupaten yaitu Tanatoraja, Enrekang, Sidrap, Pinrang, dan kota Parepare. Se - kitar 47,6% lahan kritis Sulawesi Selatan (176.084 ha) terdapat di kawasan hutan wi - layah ini. Padahal, dua bendungan besar yang memasok sebahagian besar kebu tuh an listrik dan mengairi sawah sentra produksi Sulawesi Selatan, yaitu bendungan Ben - teng dan bendungan Bakaru, bergantung pada DAS ini. Dampak dari kondisi DAS yang memburuk itu menimbulkan gangguan serius terhadap kinerja PLTA Bakaru yang pada beberapa tahun yang lalu sempat mengganggu pasokan listrik bagi selu - ruh wi la yah Sulawesi Selatan.

WP DAS Rongkong meliputi wilayah di 4 (empat) kabupaten di wilayah Utara Su lawesi Selatan, yaitu Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu dan kota Palopo. Tekanan ter ha dap DAS ini sema kin besar dalam dua dekade terakhir ini setelah pembukaan la han untuk perkebunan Kakao dan Cengkeh dilakukan secara besar-besaran dan se - te lah pembangunan infra struktur transpotasi dilakukan secara intensif. Akibatnya, ter ja di banjir setiap ta hun yang sebelumnya tidak ada.

Di samping itu, kerusakan ekosistem pada kawasan pesisir juga tidak kalah se - rius nya dibandingkan dengan yang terjadi di hulu (DAS). Kawasan hutan man grove berkurang dengan cepat karena dikonversi menjadi kawasan pertambakan atau un - tuk ke giat an budidaya lainnya. Kerusakan hutan man grove ini selain memengaruhi

kualitas hab i tat perairan yang pada umumnya bernilai ekonomis tinggi juga mening - katkan poten si aberasi yang gelombang dan pasang air laut, serta akan semakin di - per parah oleh kemungkinan kenaikan muka laut akibat pemanasan global. Di sam - ping itu, erosi yang berkepanjangan pada hampir semua sungai besar maupun kecil juga menimbulkan dampak negatif pada kawasan pesisir, an tara lain berupa proses sedimentasi (pendangkalan perairan pelabuhan) dan kua litas peng air an tambak.

Menurunnya kualitas lingkungan pada semua DAS dan mayoritas kawasan pesisir yang ada di Sulawesi Selatan seperti diuraikan di atas terutama disebabkan oleh semakin maraknya pembuka an lahan yang semakin tidak terkendali, baik yang di la ku kan oleh masyarakat maupun oleh kalangan pengusaha menengah dan besar, un tuk tujuan ekonomi, seperti pertanian, terutama perkebunan, termasuk kegiatan per tam bang an dan penggalian. Pada satu sisi, kegiatan itu memberikan nilai tambah pa da perekonomian Sulsel, tetapi pada sisi lain—terutama untuk jangka pan jang - — kegiatan- ke giatan itu justru mengancam sustainabilitas perekonomian. Potensi ancaman itu telah mulai mewujud sebagaimana terlihat pada kasus PLTA Bakaru dan Dam Bili-bili yang telah disinggung sebe lum nya.

Senyatanya, upaya pengendalian dampak lingkungan tidak hanya diprioritas - kan di kawasan hulu DAS, tetapi juga perlu dikedepankan dalam penataan wilayah hilir, termasuk kawasan perkotaan. Sejak satu atau dua dekade yang lalu, peren ca - naan kota Makassar su dah sangat tidak berwawasan lingkungan. Wilayah yang di - apit oleh jalan A.P. Petta Rani dan Jln. Vet eran, yang secara fisik ekologis semestinya menjadi daerah resapan atau hutan kota, telah dibiarkan bertumbuh menjadi kawas - an pemu kim an yang padat. Berkurangnya daerah resapan ini, yang diperparah oleh semakin menciutnya ar eal taman kota--malah lapangan Karebosi yang merupakan daerah resapan yang cukup potensial telah mulai dialihkan fungsinya--diiringi de - ngan pe ning katkan penggunaan sumur dalam, akibat pasokan air baku dari dam Bili-Bili dan sumber air lainnya yang tidak mencukupi kebutuhan penduduk dan industri, akan bermicu peningkatan intruisi air laut serta menurunnya permukaan tanah. Semua dampak negatif itu akan saling berakumulasi yang pada gilirannya akan mengganggu kinerja pelayanan perkotaan atau bahkan, pada kondisi ekstrim, akan mengancam keberlangsungan keberadaan kota Makassar

Gambaran di atas menunjukkan bahwa, walaupun sedikit terlambat, kebi jak an penataan ruang wilayah perlu diprioritaskan. Produk kebijakan yang mewujud da - lam bentuk Rencana Tata Ruang, termasuk rencana tata ruang kota, semestinya di ja - dikan acuan secara konsisten dalam setiap kegiatan pembangunan, khususnya dalam kegiatan yang berkaitan dengan pe manfaat an lahan dalam skala menengah ke atas. Dengan demikian, kepentingan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi demi untuk men jamin kesejahteraan masyarakat dapat selaras dengan kepentingan untuk men - jaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Tepatnya, pemenuhan kepentingan masa ki ni tetap diperhatikan tanpa harus mengorban kan kepentingan masa depan.