• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Sosial Budaya

Sulawesi Selatan didiami oleh 3 (tiga) rumpun budaya, yaitu etnis Bugis yang ber di am di bagian tengah Sulawesi Selatan, etnis Toraja di wilayah pegunungan pada bagian utara Sulawesi Selatan, dan etnis Makassar yang berdomisili di wilayah pe si sir pada bagian selatan Sulawesi Selatan.

Sejak zaman dahulu interaksi sosial budaya antar ketiga etnik telah terpe li hara baik. Itu dapat terjadi karena adanya kesetaraan dan kepadanan nilai-nilai dasar, ser - ta nilai keterbukaan yang tinggi pada ketiga etnis yang memungkinkan ter cip tanya kondisi dialogis yang sehat yang bermuara pada terjadinya proses akulturisasi yang berlangsung mulus, antara lain me lalui perkawinan antaretnis yang bahkan dipelo - pori oleh kalangan istana dan pemu ka masyarakat. Hasilnya, seperti yang terlihat sa - at ini, adalah terciptanya ni lai- nilai dasar dari ketiga etnis itu yang semakin setara dan sepandan (com pat i ble) satu terhadap lainnya. Malah, batas antara etnis menjadi sema - kin pudar, seperti yang terjadi pada etnis Bugis dan Makassar. Walaupun intensitas kecen de rungan ini relatif kurang dengan etnis Toraja. Itu mung kin di se bab kan oleh kendala geografis dan per be daan aga ma.

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa tidak ada masalah mendasar dalam mem ba ngun dan menjaga kualitas interaksi antaretnik. Dengan kata lain, dari sisi budaya, Sulsel dapat dilihat sebagai suatu entitas yang utuh.

Sejatinya, keterkaitan sosial-budaya lebih mendasar sifatnya dibandingkan de - ngan keterkaitan lainnya, termasuk keterkaitan ekonomi, karena interaksi sosial bu - daya dibangun di atas nilai-nilai yang lebih "dalam" ketimbang dengan interaksi lain - nya yang umumnya hanya mengacu kepada kepentingan yang bersifat sekunder. Wa lau pun demikian, sejak beberapa dekade terakhir, terlihat adanya pemba lik an kecende rung an. Pertimbangan sosial budaya menjadi sering dilupakan ketim bang pertimbangan yang bersifat praktis keseharian, seperti pertimbangan ekonomi. Pada beberapa dekade yang lalu, keterkaitan kekerabatan masih merupa kan salah satu pilar dari hubungan desa-kota, selain keterkaitan ekonomi. Dalam hal ini, sejum lah besar penduduk kota di Sul sel, khu susnya Ma kassar memiliki keluarga yang ber diam di desa, se hing ga rutinitas kunjungan bernuansa kekerabatan banyak mewar nai hu - bung an desa-kota. Pada sa at sekarang, hubungan ini telah mencair, interaksi hu bung - an desa-kota lebih banyak terjadi karena pertimbangan ekonomi. Sekarang, pendu - duk desa yang datang berseko lah ke Ma kas sar atau kota lainnya, lebih cende rung untuk menyewa rumah atau ka mar ketimbang tinggal di rumah kerabatnya. Ini a - dala h contoh dari gejala terde sak nya hubungan kekerabatan oleh pertimbangan yang bersifat busi ness like.

Pembalikan kecenderungan ini sangat mungkin disebab kan oleh pengaruh mo - der ni sasi yang membawa nilai-nilai yang sangat bernuansa materialisme. Dapat pula di du ga bahwa pembalikan itu dipicu, sedikit banyaknya, oleh pendekatan pemba -

ngun an semasa Orde Baru yang lebih mengedepankan pemba ngun an fisik (ekonomi) ke tim bang pembangunan non fisik.

Pada skala yang lebih besar, terdapat keterkaitan yang berbasis sosial budaya dan kekerabatan an ta ra Sulawesi Selatan dengan daerah lain di In do ne sia atau bahkan di negara ASEAN. Jika dirunut kebelakang, keterkaitan dimaksud antara lain terjalin de ngan beberapa negara bagian di Ma lay sia dan Singapura. Hubungan itu tercipta oleh adanya perpindahan penduduk Sulawesi Selatan yang mencari peluang kehi dup an yang lebih baik. Di samping pertimbangan ekonomi itu, pe mi cu lainnya ada lah budaya sebagian masyarakat Sulsel yang lebih memilih mening galkan kam - pung halamannya jika merasa tidak sependapat dengan pemerintah atau raja yang ber kua sa. Komunitas Makassar di Thai land yang terbentuk pada era pasca perjanjian Bunga ya me ru pakan wujud dari motivasi berpindah itu. Beberapa versi menye but - kan alasan yang sama untuk terbentuknya komunitas Bugis di Ma lay sia dan Singa - pura, serta di Sumatera dan Kalimantan jauh sebelum kemerdekaan In do ne sia.

Kebiasaan berpindah itu menyebabkan banyak turunan etnis Sulsel yang ber di - am di luar Sulawesi Selatan. Beberapa sumber memperkirakan jumlahnya sama de - ngan jumlah penduduk Sulsel sekarang. Sampai beberapa dekade terakhir, kecen - derungan yang sama, tetapi lebih ber motif ekonomi, masih terjadi. Misalnya, petani Kakao di Sulawesi Tenggara, para peke bun skala kecil di Kalimantan Timur; sebe - lum nya, komunitas Bugis Makassar di Pa pua (termasuk pedagang dan petambak), serta komunitas pedagang di Timor Timur, khususnya di kota Dili. Yang menarik ada lah bahwa hubungan kekerabatan itu tidak berkembang men jadi hubungan eko - nomi, malah cenderung semakin me redup. Intensitas hubung an an ta ra Sulsel dengan masyarakat asal Sulsel di Riau dan di kawasan pe sisir timur pulau Suma tera misal - nya, menjadi semakin pudar dari waktu ke waktu, jangankan da pat dipupuk men ja di hubungan ekonomi. Yang masih bertahan, karena masih ber umur relatif pendek, adalah petani Kakao di Sultra yang tetap menjaga hubungan eko nomi dengan daerah asalnya, yaitu dengan mengirimkan hasil kebunnya ke Sulsel. Tetapi hal ini terutama disebabkan oleh alasan ekonomi, yaitu karena in fra struk tur Kakao di Sultra be lum ber kem bang baik sehingga mengirimkannya ke Sulsel lebih menguntungkan secara ekonomi.

Akar dari kecenderungan itu diduga oleh nilai budaya masyarakat Bugis Ma - kas sar yang melakukan perantauan untuk mencari tempat menetap yang memberi - kan peluang untuk kehidupan yang lebih nyaman, secara ekonomi maupun pertim - bang an non ekonomi, bukan sebagai perantau temporer yang hanya untuk mengum - pul kan kekayaan yang akan dibawa kembali ke kampung halaman. Model remitansi pun, seperti yang terjadi pada beberapa suku bangsa di In do ne sia, tidak terjadi secara sig ni fikan. Dengan kata lain, keberhasilan masyarakat Sulawesi Selatan di dae - rah– daerah perantauan, di da lam negeri mau pun diluar negeri, belum memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan Sulsel. Hal ini banyak ditentukan oleh

budaya Bugis-Makassar yang cenderung terikat kepada tanah tempat hidupnya dan seakan-akan "melupakan" kampung asalnya. Tentu saja kekecualian harus diberikan kepada etnik Toraja yang terus beru paya me me lihara hubungannya dengan sanak keluarga dan kerabatnya yang ada di Tator.

Sejak beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk memanfaatkan potensi hu - bung an kekerabatan yang cukup besar itu sebagai acuan untuk mengembangkan ke - terkaitan ekonomi. Upaya ini diwujudkan dalam bentuk pembentukan kelompok Sau dagar Bugis-Makassar. Walaupun telah berumur relatif panjang, kelompok ini be - lum sepenuhnya mam pu mewujudkan sasaran pembentukannya.

Keterkaitan antarbudaya se Nusantara juga tidak menonjol, itu sangat mungkin disebabkan oleh karena kebijakan pemerintah di masa lalu yang dimotivasi oleh kondisi keterpurukan ekonomi yang parah sehingga lebih mengedepan kan upaya- upa ya pembangunan yang diarahkan pada pertumbuhan ekonomi ketimbang per - tim bangan budaya. Di samping itu, pendekatan stabilitas (sebagai salah satu trilogi pembangunan) sangat tidak kondusif terhadap perkembangan budaya. Secara tersi - rat, pendekatan ini melihat perbedaan sebagai biang percekcokan dan perseteruan atau bahkan konflik antaretinik. Oleh karena itu, pluralitas sebaiknya tidak dikede - pan kan dalam pembangunan In do ne sia.

Senyatanya, upaya-upaya untuk membangun kembali keterkaitan berbasis bu - daya perlu digalakkan pada tataran nasional, karena, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, keterkaitan budaya memiliki dasar yang kokoh dibandingkan dengan je nis keterkaitan lainnya, sehingga peningkatan kualitas keterkaitan itu secara lang - sung akan lebih meningkat kualitas Ketahanan Nasional. Bertitik tolak dari premis itu, beberapa lembaga antarpropinsi atau pada tataran re gional perlu ditata ulang dengan memberikan penguatan pada aspek pertimbangan budaya. BKPRS misalnya, akan menjadi lebih kokoh jika diberi dimensi budaya, demikian pula halnya dengan BIMP-EAGA. Secara lebih khusus, konsorsium perguruan tinggi se Kawasan Timur In do ne sia perlu mengedepankan kerjasama yang berbasis dan berorientasi budaya. Dalam hal ini, konsorsium dimaksud bukan hanya bertujuan untuk memajukan kua - litas pendidikan tinggi di KTI, tetapi juga diarahkan untuk menggali dan melakukan reaktualisasi dan revitalisasi terhadap nilai-nilai budaya bahari yang selanjutnya di - sum bangkan untuk memerkaya budaya Nusantara.

2.4 Identitas Wilayah

Pada dasarnya identitas merupakan modal spir i tual (modal utama) dari suatu tatanan. Modal lainnya adalah modal sosial (interkoneksitas) dan modal fisik (antara lain berupa ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan yang sehat).

Identitas tatanan setidaknya terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu misi yang meru - pa kan alasan keberadaan (rai son d'etre), visi yang merupakan gambaran keber hasilan atau cita-cita bersama yang menjadi perekat dari semua tatanan in ter nal, serta sepe rang -

kat nilai yang dijadikan acuan oleh semua tatanan in ter nal dalam berak ti vi tas sehari- hari. Nilai dimaksud merupakan nilai-nilai budaya tatanan (komunitas).Dalam hal ini, identitas merupakan acuan dalam self-ref er ence yang menjadi syarat ha rus dalam proses adaptasi-kreatif. Tanpa identitas yang jelas dan mantap, suatu ta ta nan akan sirna dalam menghadapi dinamika lingkungan globalnya.

Pendekatan pembangunan berbasis identitas sebenarnya sejak awal reformasi mu - lai diterapkan di Sulsel. Garis-garis Besar Haluan Daerah (GBHD) Sulsel dan Propeda Sulsel dirumuskan dengan menggunakan pendekatan ini.

Nilai-nilai dimaksud ditemukenali pada berbagai literatur (lontaraq- pap pa seng- pa - sanga), yang dikemas sedemikian rupa untuk mendukung 7 (tujuh) watak dasar dari ma - sya rakat Sulawesi Selatan, yaitu:

1. Ke mandirian berbasis pada nilai kerja keras yang berbasis pada mak na reso pa temma - ngingi namalomo naletei pammase dewata; resopa temangingi namang ngamaseang bataraya; yakni pembangunan yang hanya dapat berha sil me lalui kerja keras yang di ri dhoi oleh Tuhan yang maha kuasa. Sebagai se mangat ker ja, tekad untuk pantang mun dur sebelum berhasil dalam fal safah kualleang ngangi tallangi natowaliya; takkalai nisom ba - lang dotai ruppu dai natu wali.

2. Kemitraan dan kebersamaan yang berbasis pada falsafah sipakatui sipaka labbiri; siron - do- rondoi; sitaiyyang apiangang tassitaiyyang addaiyyang; abbulo sipap pa- allemo sibatu- tallang sipahua manyu siparampe dengan makna menjalin kerjasa ma dan kebersamaan berdasarkan penghargaan kepada sesama ma nusia atau kelom pok manusia. Saling mengingatkan kepada kebaikan dan saling mence gah pada kejahatan.

3. Keterbukaan/akuntabilitas dapat ditemukan dalam falsafah lempu; get teng; ada to - ngeng; temmapassilaingeng; tappa; barani; sukaran/aluk; mballa asi-asinna jiong mangapaqna tana; membawa makna kehidupan kemasya rakat an dan penegakan hukum secara jujur, tegas, adil terpercaya, berani ka rena benar, tunduk pada hukum, transparan dan bertanggungjawab.

4. Kesadaran kosmologis, berbasis pada falsafah parrampunganta; malilu sipa kainge mali siparappe sipatuo sipatokkong; siama amasei yang mengandung mak na mempersatukan atau memosisikan secara in te gral antara alam, manusia dan sang pencipta. Harus sa - ling melindungi, menyadarkan, to long meno long satu dengan lainnya bahkan saling mendukung untuk kebaik an ber sa ma. Oleh karena itu harus terjadi interko neksitas harmonis agar tetap ter lin dungi oleh sang pencipta. Falsafah ini sekaligus memberi - kan makna tanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan, baik ling kung an alam mau pun lingkungan sosial.

5. Kebhinekaan yakni menghargai keberagaman untuk kebersamaan dalam bingkai kese tia kawanan sosial dalam masyarakat sebagai kekayaan budaya yang menjamin ter selenggaranya pembangunan yang berke si nam bungan. Ba sis falsafah ini dapat ditarik dari makna siri na pacce; pesse; siama masei; sia nac capamei yakni memiliki rasa kesetiakawanan sosial.

6. Demokratis dapat dicermati melalui angngaru-mangngaru, sumpah kese tia an dan kon tak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Assa maturuseng; passa maturukang; abbulo sibatang; ademi ripopuang; luka taro arung-telluka taro ade- luka taro ade-telluka taro anang; tengkona tang diturung- ajokkana tang dilendo kang; Persatuan dan kesatuan dengan mak na keber sama an dalam kemu fakat an sebagai kiat untuk mempertemukan berbagai aspirasi masyarakat menjadi ba sis harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Adat lebih me nen tukan dari penguasa, bahkan rakyat lebih me nentukan dari adat. Kekua saan di tangan rakyat karena aturan ade’ yang dipatuhi bukan karena ke hen dak sang pengu asa.

7. Profesionalisme/kualitas manusia sebagai modal dasar untuk pe ngem bang an tatanan mod ern dapat dipetik makna budaya lokal dari falsafah sulapa eppa; sulapa appa; toddopuli temmalara; misa kada sipatuo; pantang kada di po mate; anre nakulle nigiling nijarrekkija tanirokkai; yakni jika tekad memang su dah bulat tidak akan bisa diubah oleh siapapun. Nekad bertindak menu rut kesepakatan, dalam pengertian seseorang akan memi liki tekad keras yang bulat karena dalam dirinya sudah memiliki kemam - puan, keteram pilan, dan pengetahuan yang memadai sehingga bisa ber tekad untuk me ngem ban amanah/tugas yang dibebankan kepadanya.

Masalahnya, pendekatan perencanaan pembangunan itu tidak dilaksanakan se pe - nuhnya. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, penyelenggaraan pro - gram pembangunan hampir tidak pernah mengacu kepada ni lai- nilai dasar yang dican - tumkan pada dokumen perencanaan tersebut, karena pem bangunan lebih diartikan se - bagai kegiatan fisik untuk mencapai sasaran-sasaran yang ber sifat fisik pula, bukan pem - ba ngunan manusia (dalam arti sebenarnya) dan kelem bagaannya yang lebih ber di mensi bu daya. Pendekatan pembangunan berbasis identitas sudah asing bagi para perencana, pembangunan lebih banyak dimengerti sebagai pembangunan fisik yang be bas nilai, se - tidaknya tidak perlu dikaitkan dengan budaya. Kedua, keterba tasan wawasan para pe - ren cana pada khususnya dan aparat pemerintah pada umumnya yang umumnya me - lihat pembangunan sebagai kegiatan fisik untuk mencapai tujuan yang berdimensi fisik pula. Laju perubahan dalam sistem perencanaan yang relatif sangat cepat (teruta ma da - lam era reformasi) membuat aparat belum mampu menyesuaikan diri. Di samping itu, sis tem perencanaan yang diketengahkan belum sepenuhnya bebas dari cacat (meto do lo - gis, hukum dan lainnya). Ketiga, budaya dan kearifan lokal telah terkikis habis, sebagai - mana telah dijelaskan pada sub bab 2.1, masyarakat Sulawesi Selatan telah melupakan budayaya. Kehidupan sehari-hari masyarakat Sulsel sudah tidak dibimbing oleh spirit budayanya.identitas komunitas (termasuk identitas lembaga-lembaga kemasyarakatan tradi sio nal pada dasarnya tidak kuat. Hal ini ditunjukkan oleh memu dar nya identitas dimaksud sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya. Keempat, persepsi masyara - kat dan kalangan aparatur pemerintah yang belum se penuhnya benar tentang fungsi dari identitas daerah. Itu terutama dise bab kan oleh karena pola pengelolaan pemerin - tahan dan pembangunan yang ber basis identitas masih relatif baru.

BAB III

VISI & MISI PEMBANGUNAN PROPINSI SULAWESI SELATAN