• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelas Kemampuan

4.4. Kondisi ekonomi

Struktur perekonomian dapat dilihat dari komposisi PDRB suatu wilayah yang merupakan suatu indikator pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, wilayah yang diteliti adalah Indonesia yang terdiri dari DKI Jakarta, Bodetabek, dan Sisa Indonesia. DKI Jakarta didominasi oleh sektor tersier yaitu sektor bank dan lembaga keuangan lainnya yang sangat kuat yaitu sebesar 75.09%, serta sektor jasa hiburan dan rekreasi sebesar 53.85% dari total nasional. Jika dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta yang hanya 0.03% serta jumlah penduduk sebesar 4.14% dari total Indonesia, maka sektor-sektor tersebut mendominasi di DKI Jakarta, dengan kata lain DKI Jakarta merupakan pusat dari sektor-sektor tersebut.

Wilayah Bodetabek didominasi oleh sektor sekunder yaitu sektor listrik, gas, dan air minum sebesar 17.56%, serta sektor industri sebesar 17.22% dari total nasional. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah Bodetabek yang hanya sebesar 0.32% serta jumlah penduduk sebesar 6.93% dari total Indonesia maka dapat dilihat bahwa sektor- sektor tersebut sangat mendominasi di Bodetabek. Sementara itu perekonomian diluar DKI Jakarta dan Bodetabek, yaitu Rest of Indonesia masih didominasi oleh sektor primer yaitu sektor tanaman perkebunan sebesar 99.81%, serta sektor kehutanan sebesar 99.97% dari total nasional. Dibandingkan dengan keadaan nasional kegiatan ekonomi di DKI Jakarta dan Bodetabek sudah lebih dahulu bergeser dari sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier. Adanya perbedaan intensitas kegiatan ekonomi secara

sektoral, menunjukkan adanya perbedaan struktur kegiatan produksi. Hal

ini berimplikasi pada perbedaan dalam penggunaan input produksi, teknologi

produksi dan keahlian sumberdaya manusia. Untuk selanjutnya berimplikasi

pada pola hubungan ekonomi antar wilayah yang menentukan keterkaitan ekonomi secara sektoral maupun spasial antar wilayah.

Dilihat dari proporsi luas wilayah dan jumlah penduduk yang tersebar di Indonesia, serta perbedaan sektor-sektor yang dominan di setiap wilayah, maka terlihat jelas bahwa di Indonesia telah terjadi ketimpangan

pembangunan. Pembangunan yang berkembang hanya di wilayah Jabodetabek,

khususnya DKI Jakarta, dengan ciri sektor yang dominan adalah sektor tersier dan sekunder. Sedangkan wilayah Rest of Indonesia masih didominasi oleh sektor primer. Apabila ketimpangan yang ada tidak diperbaiki, akan mengakibatkan kesenjangan yang semakin lebar sehingga banyaknya penduduk bermigrasi ke DKI Jakarta yang merupakan pusat pembangunan di Indonesia yang cukup berkembang.

Tabel 16. Kontribusi Output dan Input di Masing-masing Wilayah di Indonesia, 2009 (dalam Persen)

No Input/Output DKI

Jakarta Bodetabek Rest of Indonesia Indonesia 1 DKI Jakarta 85,10 0,58 14,32 100,00 2 Bodetabek 4,18 78,67 17,15 100,00 3 Rest of Indonesia 8,09 2,28 89,64 100,00

Sumber : Hasil analisa table IRIO tahun 2002 yang di update tahun 2009 dengan RAS

Berdasarkan hasil analisisinput outputinterregional Tahun 2009, kontribusi

inputdanoutputdi DKI Jakarta, Bodetabek, serta Sisa Indonesia dapat ditunjukkan bahwa keterkaitan yang ada di Indonesia sangat lemah. Pemanfaatan output untuk wilayah lainnya, di DKI Jakarta sebesar 85,10 %, Bodetabek sebesar 78,67 %, serta Sisa Indonesia sebesar 89,64 % terhadap totaloutputnasional.

Output DKI Jakarta yang digunakan untuk aktivitas (input) di Bodetabek adalah 0,58 % dan di sisa Indonesia sebesar 14,32 % terhadap totaloutputnasional. SedangkanoutputBodeabek yang digunakan untuk aktivitas (input) di DKI Jakarta sebesar 4,18 % dan di sisa Indonesia sebesar 17,15 % terhadap total output

nasional. Output di sisa Indonesia yang digunakan untuk aktivitas (input) di DKI Jakarta adalah 8,09 % dan di Bodetabek sebesar 2,28 % terhadap total output

Tabel 17 Permintaan Antara dan Akhir sertaOutputdi Masing-masing Wilayah di Indonesia (Juta Rupiah)

No Wilayah 2002 2009 Jumlah Permintaan Antara Jumlah Permintaan Akhir Output Jumlah Permintaan Antara Jumlah Permintaan Akhir Output 1 DKI Jakarta 167.362.693 271.565.864 438.928.557 263.439.083 595.482.421 858.921.504 2 Bodetabek 123.120.938 123.362.413 246.483.351 193.799.863 151.380.337 345.180.200 3 Sisa Indonesia 1.092.690.238 1.588.239.727 2.680.929.965 1.719.961.055 2.891.000.000 4.610.961.055 Sumber : Hasil analisa table IRIO tahun 2002 yang di update tahun 2009 dengan RAS

Distribusi permintaan akhir dapat dilihat pada Tabel 1 7 . Untuk DKI Jakarta, kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 33,20 persen, konsumsi pemerintah sebesar 3,23 persen, investasi sebesar 21,03 persen, serta ekspor

luar negeri sebesar 41,52 persen terhadap permintaan akhir nasional.

Sedangkan di Bodetabek, kontribusi konsumsi rumah anggaran sebesar 22,71 persen, konsumsi pemerintah sebesar 1.98 persen, investasi sebesar 8,39 persen, serta ekspor luar negeri sebesar 10,08 persen terhadap permintaan akhir nasional.

Tabel 18 Distribusi Permintaan Akhir terhadap Total Permintaan Akhir (%)

No Permintaan Akhir DKI Jakarta Bodetabek Sisa Indonesia Total 1 Konsumsi Rumah Tangga 33,20 22,71 43,20 40,71 2 Konsumsi Pemerintah 3,23 1,98 6,78 6,00 3 Investasi 21,03 8,39 17,64 17,81 4 Perubahan Stok 57,45 33,09 67,62 64,52 5 Ekspor Luar Negeri 41,53 10,08 32,24 32,84 Jumlah Permintaan Akhir 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Hasil analisa data BPS tahun 2009

Berdasarkan total final demand nasional, proporsi konsumsi rumah tangga di DKI Jakarta sebesar 13,35 persen terhadap total konsumsi rumah tangga

nasional. Proporsi konsumsi pemerintah di DKI Jakarta sebesar 8,81persen

terhadap total konsumsi pemerintah nasional. Untuk penyerapan investasi di DKI Jakarta sebesar 19,32 persen terhadap penyerapan investasi nasional. Hal ini terlihat sangat mencolok sekali apabila dibandingkan dengan luas wilayah

DKI Jakarta hanya 0.03% dari total luas wilayah Indonesia. Sedangkan

proporsi konsumsi rumah tangga di Bodetabek sebesar 2,32 persen terhadap total konsumsi rumah tangga nasional. Proporsi konsumsi pemerintah di

Bodetabek sebesar 1,38 persen terhadap total konsumsi pemerintah nasional.

Untuk penyerapan investasi di Bodetabek sebesar 1,98 persen terhadap

penyerapan investasi nasional. Begitu pula dengan Bodetabek, luas wilayah Bodetabek hanya 0.32% dari total luas wilayah Indonesia.

Tabel 19 Distribusi Permintaan Akhir di Masing-Masing Wilayah (%)

No Permintaan Akhir DKI Jakarta Bodetabek Sisa Indonesia Total 1 Konsumsi Rumah Tangga 13,35 2,32 84,33 100,00 2 Konsumsi Pemerintah 8,81 1,38 89,82 100,00 3 Investasi 19,32 1,96 78,71 100,00 4 Perubahan Stok 14,58 2,13 83,29 100,00 5 Ekspor Luar Negeri 20,70 1,28 78,02 100,00 Jumlah Permintaan Akhir 16,37 4,16 79,47 100,00 Sumber: Hasil Analisis data BPS tahun 2009.

Pada Tabel 19 disajikan nilai sumbangan kelima sektor besar tersebut pada perekonomian DKI Jakarta secara berurutan adalah sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, industri, perdagangan, usaha bangunan dan jasa perusahaan, serta bangunan. Lima sektor produksi terbesar di Bodetabek secara berurutan adalah sektor industri, perdagangan, listrik dan air minum, bangunan, serta restoran dan hotel.

4.5. Kelembagaan

Kawasan metropolitan atau metropolis sebagai kawasan fungsional yang bersifat metropolitan memerlukan perhatian khusus dari sisi pengelolaannya. Oleh karena sifat fungsional perkotaannya yang lintas batas wewenang administratif, maka pengelolaan tidak dapat dilakukan secara legal formal oleh tiap-tiap daerah otonom pemegang kekuasaan otoritas administratif, khususnya dalam penataan ruang, tanpa menimbulkan eksternalitas ke daerah lainnya. Jika yang terdorong adalah eksternalitas positif, tentunya tidak akan banyak timbul persoalan di antara tiap-tiap daerah, dan juga di antara masyarakat dalam lingkup kawasan metropolitan tersebut. Sayangnya, justru berbagai eksternalitas yang negatif yang seringkali muncul ke permukaan, sebagai implikasi dari tuntutan layanan fasilitas, utilitas,

serta infrastruktur yang bersifat makro – lintas daerah, lintas fungsi, dan lintas dampak. Oleh karena itulah muncul usaha untuk menginternalisasi berbagai eksternalitas penataan ruang yang timbul dari kebutuhan penyediaan pelayanan jasa dan produk yang bersifat “inter-local public goods/services” kedalam pembentukan suatu institusi kawasan secara lebih luas. Tingkat kebutuhan akan institusi ini akan hampir sama besarnya dengan tingkat kebutuhan kita atas ada/ tersedia dan berfungsinya infrastuktur, fasilitas, dan utilitas dasar makro untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupan penduduk kawasan metropolitan itu sendiri.

Kawasan metropolitan yang semula hanya merupakan fenomena dari kawasan perkotaan dengan ciri-ciri tertentu, dengan adanya penetapan suatu kawasan perkotaan sebagai kawasan metropolitan yang perlu dikelola secara khusus dalam berbagai rancangan peraturan, menjadi sebuah status yaitu suatu entitas objek pengaturan yang jelas batas dan lingkup pengelolaannya. Keberhasilan dalam mengelola suatu kawasan metropolitan akan tergantung kepada: Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan akan dibawa. Hal ini mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini mesti didukung oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk mengelola metropolitan; Kedua, aturan hukum yang lengkap dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan aturan yang disusun dan disepakati bersama. Kelengkapan aturan beserta penegakannya dimaksudkan agar kebijakan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu peraturan yang jelas danapplicable. Penegakan hukum mesti dilakukan secara konsisten dengan prinsip zero tolerance, yaitu penerapan hukum tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan aparat dan aparatur atau birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan kewenangan dan tugasnya secara jujur dan bersih.

Meskipun masyarakat yang tinggal di berbagai kawasan metropolitan di seluruh dunia sepakat membutuhkan suatu bentuk kelembagaan dan lembaga formal untuk menjamin terselenggaranya dan/ atau terpenuhinya standar tingkat layanan makro yang dibutuhkannya, tetapi dapat dipastikan tidak ada bentuk kelembagaan dan/ atau lembaga metropolitan yang persis sama di dunia ini. Hal yang paling dekat diketemukan adalah kemiripan saja antara satu dengan lainnya dalam beberapa aspek sehingga kemudian dijadikan alat pengklasifikasian untuk mengelompokkan bentuk atau format lembaga- lembaga metropolitan tersebut.

Derasnya pembangunan Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara, menyebabkan terjadinya peluapan (spillover) perkembangan kota ke wilayah di sekitarnya, sehingga terjadilah berbagai alih fungsi peruntukan di kota-kota sekitar Jakarta. Sementara itu, belum ada perencanaan terpadu di kawasan sekitar Jakarta, yang didasarkan kepada satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi. Sehingga, diperlukan pemahaman untuk mengelola bersama dalam kerangka kerjasama antardaerah yang telah ditetapkan mekanisme dan sistemnya oleh peraturan yang berlaku.

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta Kabupaten dan Kota di Bodetabekjur harus duduk bersama dan menyamakan persepsi serta tujuan bersama mengenai pentingnya Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional ini. Ego dan kepentingan-kepentingan kedaerahan yang berbenturan dengan Peraturan ini, harus dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar. Perpres nomor 54/2008 bukan untuk kepentingan satu wilayah saja, melainkan kepentingan bersama daerah di Wilayah Jabodetabekjur dan kepentingan nasional pada umumnya.

Kota Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pusat segala jenis kegiatan baik ekonomi, hiburan, pendidikan, kesehatan serta jasa merupakan gerbang utama penghubung dengan dunia internasional di era globalisasi ini. Kenyataan tersebut memberikan konsekuensi agar Jakarta mengembangkan diri baik secara fisik maupun cakupan pelayanan. Pengembangan Kota Jakarta berdampak terhadap Kabupaten dan Kota di sekitarnya baik yang berbatasan langsung maupun tidak. Berangkat dari latar belakang diatas maka pada tahun 1976 Gubernur Provinsi DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat sepakat untuk

melaksanakan kerjasama antar wilayah yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Kerjasama ini ditandai dengan didirikannya Badan Kerjasama Pembangunan Jabotabek. Seiring dengan isu otonomi daerah yang diikuti dengan munculnya daerah-daerah administrasi baru (seperti terbentuknya Provinsi Banten) maka badan kerjasama tersebut berganti nama menjadi Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur yang dikenal saat ini. Namun, 30 tahun sejak didirikan, BKSP Jabodetabekjur belum memperlihatkan keefektifannya. Hal ini terbukti dengan tidak tercapainya tujuan awal didirikannya BKSP Jabodetabekjur yang ditunjukkan dengan makin parahnya persoalan-persoalan bersama di kawasan ini. Persoalan kawasan Jabodetabekjur diantaranya, bencana banjir tahunan, berkurangnya ruang terbuka hijau, meningkatnya permukiman kumuh di perkotaan merupakan sebagian dari setumpuk persoalan yang belum dapat diselesaikan oleh BKSP Jabodetabekjur. Diasumsikan, belum terwujudnya tujuan BKSP Jabodetabekjur dapat disebabkan oleh ketidakpatuhan BKSP Jabodetabekjur dalam melaksanakan tugas pokoknya

Pada Pemerintah daerah yang bekerjasama, badan ini melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) masalah seluruh aspek Jabotabek. Pada hubungan dengan Pemerintah Pusat, badan ini menjadi representasi daerah yang bekerjasama dalam melakukan konsultasi kepada Pemerintah Pusat mengenai seluruh aspek pembangunan Jabodetabekjur.

Kemudian berbagai peraturan penataan kawasan Jabodetabek telah dibuat. Pola dan struktur ruang Jabodetabek beberapa kali telah berubah dan yang terakhir berupa Perpres no 54 tahun 2008, yang banyak mengacu pada undang-undang tata ruang. Perpres nomor 54/2008, secara jelas mengatur dan mendorong keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan. Selanjutnya untuk mengkoordinasikan kebijakan kerjasama antardaerah serta melaksanakan pembinaan yang terkait dengan kepentingan lintas Provinsi/Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekpunjur dilakukan dan/atau difasilitasi oleh badan kerjasama antardaerah.

Untuk menterpadukan pemanfaatan ruang yang optimal di kawasan Jabodetabekjur yang terdiri dari 3 Pemerintah Provinsi dan 8 Kabupaten/Kota, Pemerintah daerah perlu melakukan kerjasama dimulai dari proses perencanaan,

pelaksanaan dan pengendalian pembangunan serta pemanfaatan berbagai sumberdaya yang dimiliki. Ini perlu, agar para pelaku pembangunan memiliki sudut pandang yang sama terhadap permasalahan yang ada dan menetapkan skala prioritas pembangunan yang setara.

Manajemen tata ruang Jabodetabekjur yang terpadu harus dapat diwujudkan, agar masalah-masalah pelik Kawasan Jabodetabekjur, seperti banjir, penyediaan air bersih, permukiman, penanganan sampah, penataan transportasi, perekonomian, sosial budaya dan lain-lain, dapat diatasi bersama. Apalagi kerjasama antardaerah di wilayah Jabotabek sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1976. Namun dengan semakin berkembangnya pembangunan, kelembagaan kerjasama antardaerah yang ada, dirasakan kurang optimal.