• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Perubahan Penggunaan Lahan

Kelas Kemampuan

5.1. Pola Perubahan Penggunaan Lahan

Penelitian ini menganalisa perubahan sebaran penutupan lahan di wilayah Jabodetabek. Dengan melihat peta penutupan lahan wilayah Jabodetabek dari tujuh titik tahun yaitu, tahun 1972, 1983, 1992, 2000, 2002, 2005 dan tahun 2009 (Gambar 1) sudah dapat terlihat bagaimana sebaran penutupan lahan di wilayah Jabodetabek tersebut. Penutupan lahan Kawasan Jabodetabek pada tahun 1972 didominasi oleh sawah, kebun campuran, dan ladang yang mendominasi hampir di seluruh wilayah Jabodetabek. Pada tahun 1983, penutupan lahan yang ada pada wilayah Jabodetabek mulai terlihat perubahannya dimana lahan terbangun telah menyebar ke bagian timur, barat, dan selatan Jakarta tetapi penyebaran ruang terbangun ini belum terlalu memberikan pengaruh terhadap penutupan lahan yang lain. Lahan terbangun Kota Bogor, Kota Bekasi Bekasi dan Kota Tangerang sudah mulai tampak bercak kecil-kecil dalam peta. Perubahan penutupan lahan mulai tampak jelas terlihat pada tahun 1992. Semakin bertambahnya lahan terbangun di wilayah Jabodetabek i ni menunjukkan semakin bertambahnya jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Tabel 20. Persentase Luas Tutupan Lahan terhadap Luas Total Jabodetabek Tahun 2002 - 2009

No Tutupan Lahan PersentasePersen Luas thd Total Luas Jabodetabek 1972 1983 1992 2000 2002 2005 2009 1 Badan air 1,37 1,59 2,02 2,08 2,08 2,19 1,98 2 Bangunan 2,25 8,88 11,23 25,47 26,06 28,58 35,60 3 Hutan 11,87 11,19 10,65 10,39 9,47 5,99 8,62 4 Kebun Campuran 31,07 26,80 32,08 25,19 26,61 27,84 16,86 5 Ladang/Lahan Kering 22,69 16,82 11,49 13,83 11,20 6,13 13,86 6 Rumput 6,51 5,95 5,55 4,26 - 4,29 -7 Sawah 9,22 11,92 16,55 11,91 11,68 12,04 11,18 8 Semak 15,03 16,84 10,42 6,86 12,90 12,95 11,90 Jumlah 100 100 100 100 100 100 100

Sumber : Tahun 1972–2005 (Rustiadi dan Tim P4W, 2007) sedangkan 2009 hasil interpretasi citra TM 7

Pada tahun 2000 - 2005, penutupan lahan untuk sawah dan ladang yang pada tahun sebelumnya mendominasi, kini telah tergantikan fungsinya oleh ruang

terbangun yang semakin menyebar. Pada peta penutupan lahan Jabodetabek tahun 2000 dapat terlihat warna hijau yang identik dengan sawah dan kebun campuran semakin berkurang dan dominasinya tergantikan oleh ruang terbangun yang

luasnya semakin bertambah. Persentase lahan terbangun terhadap luas

Jabodetabek dari tahun 1972 yang 2,25% terus meningkat dan pada tahun 2009 telah mencapai 35,6% atau seluas 237.267,91Ha. Perincian perubahan penggunaan lahan kawasan Jabodetabek dapat dilihat pada Tabel 20.

Semakin luas lahan terbangun di Kawasan jabodetabek menunjukkan jumlah

penduduk yang semakin bertambah. Pada tahun 1972 jumlah penduduk

Jabodetabek 8.629.076 jiwa dengan lahan yang terbangun seluas 14.767 ha, dan pada tahun 2009 jumlah penduduk Jabodetabek 26.121.671 jiwa dengan luas lahan yang terbangun seluas 237.268 Ha. Perinciannya dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Jumlah Penduduk dengan Luas Lahan Terbangun di Kawasan Jabodetabek.

No Tahun Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Luas lahan Terbangun (Ha) 1 1972 8.629.076 14.767 2 1983 12.959.254 58.227 3 1992 17.111.391 73.506 4 2000 19.200.327 164.265 5 2002 19.492.631 173.702 6 2005 23.722.430 187.138 7 2009 26.121.671 237.268

Sumber : Hasil Analisa data BPS dan GIS

Jika jumlah penduduk sebagai variabel bebas dan luas lahan terbangun sebagai variabel terikat, maka keduanya dapat diperoleh hubungan berupa persamaan regresi yaitu

Y = - 105.308,53 + 12,94 X dengan r = 0,957 dan r2= 0,916 Dimana X : jumlah penduduk (ribuan jiwa)

Dari persamaan tersebut dapat artikan bahwa bila terdapat kenaikan jumlah penduduk sebanyak 1.000 jiwa maka akan terjadi kenaikan luas lahan terbangun seluas 12,94 Ha di Jabodetabek atau setiap kenaikan jumlah penduduk 1 orang maka akan terjadi kenaikan luas` lahan terbangun seluas 129,4 m2.

Pola perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun mulai tahun 1972 –2009 dengan pola mengikuti makin meluasnya kota Jakarta yaitu keliling lahan terbangun DKI Jakarta makin besar. Kemudian lahan terbangun makin besar mengikuti tempat yang telah dibangunnya sarana transportasi yang memadai baik melalui kereta maupun jalan tol, arteri atau jalan lingkar Jakarta. Hal ini senada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa pada tahun 2000 dan 2005, peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dipengaruhi oleh aksesibilitas yang baik dan tingkat kemiskinan yang rendah Penurunan luas penggunaan lahan hutan dan kebun campuran dipengaruhi oleh

peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dan sawah. Sedangkan

penurunan luas penggunaan lahan sawah dipengaruhi oleh peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dan kebun campuran (Wulandhana et al. 2007). Pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan periode 1983–2001 pada setiap koridor memiliki kecenderungan semakin meningkat dimana koridor Jakarta -Bekasi mempunyai percepatan yang paling tinggi kemudian Jakarta – Tangerang dan yang paling rendah adalah koridor Jakarta– Bogor. Faktor yang paling besar pengaruhnya perubahan penggunaan lahan perkotaan untuk koridor Jakarta –

Bogor adalah panjang jalan, koridor Jakarta–Tangerang adalah jumlah rumah dan koridor Jakarta – Bekasi adalah jumlah industri (Hidayat, 2004). Lahan yang paling besar peluangnya untuk berubah menjadi urban adalah lahan yang dahulunya digunakan sebagai pertanian lahan kering. Semakin luas pertanian lahan kering maka semakin besar peluangnya untuk berubah menjadi urban (Carolita,. 2005).

Perkembangan Kota Jakarta yang tadinya merupakan kota kecil mengalami perkembangan yang sangat pesat dan seiring dengan adanya peningkatan perekonomian dan pembangunan infrastruktur telah mendorong pertumbuhan wilayah di sekitarnya sampai terbentuk suatu kawasan metropolitan seperti

sekarang. Saat ini kawasan metropolitan Jabodetabekjur tidak dapat dipandang sebagai suatu unit yang berdiri sendiri, akan tetapi terus memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah yang terintegrasi

Kota-kota di kawasan Jabodetabek telah mengalami perubahan struktur tata ruang yang ditandai oleh perubahan fungsi lahan dari semula wilayah pertanian menjadi wilayah pemukiman, industri, jasa dan perdagangan. Bersamaan dengan itu juga terjadi perkembangan fasilitas pelayanan publik dan jaringan transportasi yang sangat pesat. Adapun perubahan struktur sosial ekonomi ditandai dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan investasi di sektor industri, jasa dan perdagangan, serta perubahan sosial budaya agraris menjadi budaya industri dan bisnis. Seiring dengan perubahan struktural sosial ekonomi, dampak sosial negatif juga terjadi dengan semakin tingginya kemiskinan, tindak kriminal, kejahatan seksual, dan prostitusi.

Beberapa kota di kawasan Jabodetabek telah mengalami beberapa kali perubahan struktur administrasi dan pengelolaan pembangunan, dari mulai kewedanaan, kabupaten, kota administratif sampai akhirnya dikukuhkan menjadi kota.

Transformasi spasial di Kawasan Jabodetabek ditunjukkan dengan

perubahan fungsi kota menjadi kota pemukiman penduduk, padatnya kompleks perumahan, meluasnya sentra ekonomi, perubahan modus transportasi, perubahan fungsi lahan pertanian ke non pertanian dan perubahan fungsi sebagai kawasan penyeimbang menjadibuffer zonesbagi DKI Jakarta.

Bersamaan dengan proses transformasi spasial tersebut, muncul wilayah

centre dan periphery, yang secara makro direfleksikan dengan pesatnya perkembangan wilayah DKI Jakarta sebagai wilayah pusat dan kota sekitarnya (Bogor, Bekasi dan Tangerang) sebagai wilayah pinggiran, dan secara mikro direfleksikan dengan pesatnya perkembangan pemukiman penduduk Jakarta ke Bodetabek dan tergesernya pemukiman penduduk asli kedesa pinggiran.

Penduduk asli diantaranya dapat dikategorikan sebagai komunitas marginal, karena kalah bersaing dalam sistem ekonomi DKI Jakarta yang berkembang

keterbatasan keterampilan, semakin miskin, berada di daerah kumuh, diantaranya telah melakukan penyimpangan perilaku, melakukan tindak kejahatan dan terlibat dalam prostitusi. Beberapa kelompok komunitas diantaranya bertahan hidup di pinggiran kompleks-kompleks perumahan, yang selanjutnya disebut sebagai komunitas lokal.

Karakteristik komunitas lokal yang dapat diidentifikasi yaitu banyak penduduk asli yang tinggal sebelum dibangun kompleks perumahan, bekerja pada sektor informal dan tidak tetap, berpenghasilan subsistence level, mempunyai tanggungan keluarga yang banyak, tinggal dalam rumah yang sempit dan tidak layak huni, berada dalam lingkungan kumuh dan status tanahnya ilegal, tidak tercatat dalam regristasi penduduk, sulit akses terhadap pelayanan sosial dasar dan anak-anaknya rawan putus sekolah, menjadi anak jalanan, menjadi anak yang dilacurkan dan mengalami gizi buruk.