• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

2.1.2. Urbanisasi dan Suburbanisasi

Faktor–faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi sangat beragam dan rumit. Karena migrasi merupakan suatu proses yang secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu. Persoalan migrasi desa kota (rural urban migration)

merupakan sebuah faktor negatif yang menyebabkan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan serta sebagai suatu kekuatan yang secara terus-menerus memperburuk masalah-masalah penganggguran di berbagai daerah perkotaan yang pada awalnya bersumber dari ketidak seimbangan struktural dan ekonomi antara daerah-daerah perkotaan dan perdesaan (Todaro, 1994).

Urbanisasi mengacu kepada peningkatan proporsi jumlah penduduk perdesaan yang tinggal di pusat-pusat kota dengan ukuran tertentu (Abercombieet al, 1988 dalam Rustiadi, 1997). Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses yang menyertai transformasi struktural ekonomi pada suatu wilayah/daerah sehingga terjadi perubahan pola hidup akan kebutuhan sarana, prasarana dan jasa pelayanan serta perubahan yang modern. Seiring dengan meluasnya urbanisasi dan pembangunan pemukiman kumuh (slum) dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar (shanty town) serta semakin banyak penduduk perkotaan yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat pemukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia (Todaro, 1994).

Suburbanisasi adalah proses pengembangan pemukiman dan kadang-kadang disertai dengan pengembangan industri pada wilayah pinggiran kota (Mayhew, 1997; Jackson, 1985dalamRustiadi, 1997). Perkembangan urbanisasi di wilayah sub urban dipengaruhi oleh factor-faktor penarik dari dalam kota dan juga sistem pengembangan transportasi yang menghubungkan wilayah sub urban dengan wilayah urban. Proses Suburbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan akan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan. Di satu sisi, proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah urban ke wilayah pinggiran kota yang berdampak meluasnya sekala managemen wilayah urban secara real. Di sisi yang lain, proses ini sering dinilai sebagai proses yang kontra produktif mengingat

prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif (Rustiadi, 1997).

Proses suburbanisasi bukanlah fenomena yang relatif baru. Suburbanisasi telah melahirkan fenomena yang kompleks yaitu akulturasi budaya, konversi lahan partanian ke non pertanian yang bersifat irreversible, spekulasi tanah dan lain-lain. Van den Berg et al (1981) dalam Rustiadi (1997) mengidentifikasi empat tahapan proses urbanisasi: (1) tahap urbanisasi, migrasi penduduk dari desa ke kota; (2) tahap Suburbanisasi, tahap dimana kota berkembang dan mempengaruhi daerah – daerah sekitarnya dan menjanjikan kesejahteraan sehingga penduduk daerah pinggiran tertarik ke pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota; (3) tahap disurbanisasi, penurunan jumlah penduduk di daerah perkotaan diikuti oleh penurunan aktifitas ekonomi, disebabkan oleh kehilangan kesempatan kerja dan lapangan usaha; (4) tahap urbanisasi, dibangunnya pusat-pusat kegiatan baru dengan tingkat aglomerasi yang lebih rendah pada beberapa lokasi.

Proses suburbanisasi di wilayah sekitar Jakarta yang ditandai dengan perkembangan permukiman dan industri sekala besar di daerah-daerah di sekitar wilayah metropolitan (Jakarta) pada dasarnya didorong oleh adanya:

a. Kebijakan pemerintah, berupa:

 Kebijakan membangun Jakarta sebagai pusat pemerintah dan pusat kekuasaan;

 Subsidi dalam pembangunan perumahan;

 Pemberian fasilitas kepada beberapa konglomerat yang akan

menanamkan modalnya;

 Pembangunan infrastruktur, yang meningkatkan aksesibilitas ke Jakarta, misalnya: Jalan Tol Jagorawi, Tol Cikampek dan Tol Merak;

 Kebijakan pemerintah yang terpusat (sentralistik).

b. Pengaruh pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di perkotaan menjadi daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat. Sejalan dengan meningkat jumlah tersebut, maka

permintaan akan tanah menjadi meningkat pula. Pada kondisi dimana pertumbuhan penduduk telah melampaui kapasitas perkotaan dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan sosial, akan mengakibatkan terjadinya daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat. Sejalan dengan peningkatan jumlah tersebut, maka permintaan akan tanah menjadi meningkat pula. Pada kondisi dimana pertumbuhan penduduk telah melampaui kapasitas perkotaan dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan sosial, akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran akan tanah tentunya merupakan suatu indikasi bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan

(scarcity),disamping harga tanah yang semakin meningkat pula.

Pertumbuhan penduduk di sekitar Jakarta (Bogor, Bekasi dan Tangerang) antara tahun 1960 – 1998 menunjukkan bahwa pertumbuhan kota Jakarta cenderung mendekati kurva eksponensial. Pertumbuhan penduduk yang cenderung tinggi tersebut merupakan salah satu ciri telah terjadinya urbanisasi di kota Jakarta (Rustiadi, 2007). Studi yang dilakukan Rustiadi et al (1999) di Jakarta dan salah satu wilayah penyangga Jakarta, Kabupaten bekasi, memperlihatkan keterkaitan proses migrasi, pertumbuhan ekonomi dan konversi lahan. Di dalam studinya memperlihatkan bahwa paling sedikit terdapat tiga tahapan proses suburbanisasi di wilayah Bekasi (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal tahun 1980-an) dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai tahun 1990-an). Tahap pra-suburbanisasi di wilayah bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya produktivitas lahan sawah dan pertanian pada umumnya, Kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama. Suburbanisasi ini menciptakan pola penggunaan lahan yang kompleks sebagaimana ciri konsep desa-kota. Suburbanisasi tahap kedua dicirikan dengan semakin menurunnya luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate. Proses suburbanisasi ini juga telah mempercepat proses konversi lahan di Jakarta

dan sekitarnya. Konversi penggunaan lahan di dalam proses suburbanisasi umumnya merupakan proses konversi dari lahan-lahan pertanian yang umumnya paling produktif. Laju pertumbuhan ekonomi yang disertai konversi lahan di wilayah Jabotabek merupakan proses yang kontraproduktif dengan upaya mempertahankan sentra-sentra produksi beras utama di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.

Fenomena commuting (melaju) yang sangat besar dapat dijadikan sebagai salah satu indikator pelengkap yang menunjukkan telah terjadinya proses suburbanisasi. Faktor kenyamanan tempat tinggal dan harga lahan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan Jakarta menjadi sebagaian alasan dari perpindahan kaum urbanit untuk berpindah dari Jakarta ke pinggiran kota Jakarta. Pada tahun 1991,` rata-rata penduduk sekitar Botabek yang bekerja di Jakarta mencapai lebih dari 50%, kecuali Bogor. Sementara itu rata-rata 45% dari penduduk Botabek bersekolah di Jakarta.

Laju pertumbuhan penduduk Jakarta dan zone-zone yang melingkarinya lebih banyak ditentukan oleh pertumbuhan alami dari pada migrasi neto. Semakin jauh dari Jakarta, angka pertumbuhan alami makin besar. Sebaliknya pada migrasi neto bervariasi. Apabila dilihat dari wilayahnya, migrasi yang berasal dari Jakarta, zone-zone yang melingkarinya cukup signifikan. Hal ini memberikan gambaran bahwa telah ter-zone-zone yang melingkarinya jadi perpindahan tempat tinggal dari kota ke daerah pinggiran kota (suburbanisasi) yang keadaannya lebih bersih dan tidak terlalu padat (Joewono, 2003)

Menunjukkan hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan urban Jabotabek tahun 1992 sampai dengan tahun 2000. Semakin padat penduduk desa semakin tinggi rasio lahan urban-nya. Desa dengan kepadatan penduduk di bawah 1000 jiwa/km2 mempunyai rasio lahan urban yang relative sama, kisaran ini merupakan desa yang jauh dari pusat kota. Selisih rasio lahan yang besar terdapat pada kepadatan mulai dari 30.000 jiwa/km2 dimana wilayah ini merupakan desa yang berada di pusat kota, sampai pinggiran Jakarta atau jarak < 30 km dari Monas. Hal ini mengindikasikan kebutuhan lahan urban yang besar

karena adanya kebutuhan ruang untuk perumahan, industri, perdagangan dan jasa (Sitorus, 2004)