• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patterns of spatial transformation in the Jabodetabek region spatial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Patterns of spatial transformation in the Jabodetabek region spatial"

Copied!
449
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

YUNUS ARIFIEN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Nama : Yunus Arifien

NPM : H 061060031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Prof Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengembangan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda , MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr

(4)

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc

(5)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

Berkat limpahan rahmat dan ridlo Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulisnya dalam bentuk disertasi yang berjudul Pola Transformasi Spasial dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek. Melalui disertasi ini penulis berupaya untuk dapat memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan kawasan Jabodetabek..

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr. selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MSi dan Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc selaku anggota komisi pembimbing; yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi. Kepada seluruh dosen dan karyawan pada Program Studi PWD khususnya, serta Sekolah Pascasarjana IPB umumnya, yang telah menambah ilmu dan wawasan, serta membantu penulis selama menempuh studi; dengan tulus disampaikan terima kasih yang tinggi.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor serta seluruh dosen dan karyawan Universitas Nusa Bangsa, atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3. Kepada seluruh unsur Pemerintah Jabodetabek yang telah membantu dalam pengumpulan data dan informasi selama penulis melakukan penelitian,

disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada seluruh teman

mahasiswa PWD, penulis ucapkah banyak terima kasih atas kebersamaan selama menempuh pendidikan.

Kepada Bapak dan Ibu, serta seluruh keluarga besar yang telah mendidik, membesarkan, dan membantu penulis dengan tulus, hanya rasa terima kasih yang dapat disampaikan. Akhirnya secara khusus kepada Dwi Lesrari istri penulis tercinta serta anak-anak penulis Ikhu dan Fakhri tersayang, yang dengan penuh rasa cinta telah mendampingi, mendorong, dan membantu penulis selama ini, hanya rasa terima kasih dan cinta mendalam yang dapat kupersembahkan.

Semoga seluruh amal perbuatan di atas mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amin.

Bogor, Februari 2012

(7)

Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 4 Nopember 1961 anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan HA Mudjahid SH dan Siti Aisyah Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1990 melanjutkan S2 pada program studi Ilmu Tanah IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1994, Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor diperoleh pada tahun 2006 di Program Studi Ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja di Universitas Nusa Bangsa sejak tahun 1987. Selama bekerja di U N B , penulis pernah menjabat sebagai Kabag Humas, Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian, Pembantu Dekan I Fakultas Kehutanan, Kepala BAAK dan Wakil Direktur I Program Pascasarjana sampai sekarang. Selain itu penulis juga bekerja pada beberapa konsultan yang bergerak dalam bidang perkebunan, Amdal, Pemetaan, Tata Ruang danHigh Conservation Value(HCV).

(8)

YUNUS ARIFIEN. Patterns of Spatial Transformation in the Jabodetabek Region Spatial. Under direction of ERNAN RUSTIADI, SETIA HADI and AKHMAD FAUZI.

The objective of this research is to examine: (1) pattern of spatial transformation which happened and (2) intersectoral and inter-regional linkages of Jabodetabek region, and (3)the impact of increased investment in Jakarta to changes in output and land use Bodetabek. The research was conducted by using the analysis of Geographic Information System (GIS), Inter Regional Input-Output (IRIO) and dynamic system. The result shows that land use change from agricultural land into built up area during 1972-2009 on the outskirts of the city resulting in changes in rural areas into urban or spatial transformation. Changes in land use is influenced by the increase in population and economic linkages in the Greater Jakarta. Economic linkages between Jakarta and rest of Indonesia backwash phenomenon, whereas in the presence of Jakarta regional scale showed a positive multiplier on the economy of the region Bodetabek. In general, scenario Scenario model 2 (restriction of building land in Jakarta that still 10% green land and the population does not exceed capacity) is the best choice, which provide impact on the best land use change and the increase impact of economic growth.

(9)

YUNUS ARIFIEN. Pola Transformasi Spasial dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, SETIA HADI dan AKHMAD FAUZI.

Semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung secara terus-menerus akan mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya ke daerah pinggiran kota. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggiran kota. Pokok persoalan yang terdapat di daerah urban fringe pada dasarnya dipicu oleh proses transformasi spasial dan sosial akibat perkembangan daerah urban yang sangat intensif.

Perubahan pemanfaatan ruang yang tidak memperhitungkan keseimbangan geobiofisik akan berakibat kepada kemubaziran atau sebaliknya bencana alam yang terjadi. Pemanfaatan ruang optimum merupakan pemanfaatan ruang yang memberikan kesempatan tiap komponen aktivitas dalam unit ruang tersebut berinteraksi secara maksimal sesuai daya dukung kawasan yang pada akhirnya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang berkepentingan secara berkelanjutan. Aktivitas manusia, baik sosial maupun ekonomi merupakan sumber perubahan dalam pemanfaatan ruang atau kawasan. Dinamika sosial yang diikuti oleh dinamika aktivitas ekonomi akan selalu membawa perubahan tata ruang yang dinamis pula. Oleh karena itu, sifat dinamis tersebut perlu dipertimbangkan dalam pendekatan optimalisasi pemanfaatan ruang (Anwar, 2001).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (1) pola transformasi spasial yang terjadi dan (2) keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan dan (3) dampak peningkatan investasi DKI Jakarta terhadap perubahanoutputdan penggunaan lahan secara sektoral dan spasial Bodetabek.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis dan menggunakan basis data sekunder untuk analisis dan dibantu dengan teknik pemetaan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Keterkaitan aspek ekonomi digunakan model IRIO sedang pengembangan pemodelan dengan system dinamik. Dalam pemodelan, menggunakan Tabel IRIO yang dikelompokan menjadi 2 sektor yaitu sektor pertanian dan sektor non pertanian.

(10)

penduduk kawasan Jabodetabek khususnya di DKI Jakarta yang semakin meningkat maka luas lahan terbangun juga meningkat di Kawasan Jabodetabek. Pola perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun mulai tahun 1972 – 2009 dengan pola mengikuti makin meluasnya kota Jakarta yaitu keliling lahan terbangun DKI Jakarta makin besar ke pinggiran kota. Kemudian lahan terbangun makin besar mengikuti sarana transportasi yang memadai baik melalui kereta maupun jalan tol, arteri atau jalan lingkar Jakarta. Akibat peningkatan luas lahan terbangun, penggunaan lahan saat ini terdapat lokasi yang tidak sesuai dengan daya dukungnya serta tidak konsisten dengan Perpres nomor 54 tahun 2008. Hasil simulasi ketidak konsistenan ini akan terus meningkat, seiring dengan pertambahan luas bangunan.

Struktur perekonomian yang ada di DKI Jakarta, Bodetabek, dan Sisa Indonesia yang sangat beragam mengakibatkan adanya keterkaitan antar sektor ekonomi yang ada di Indonesia. Kontribusi output untuk masing-masing wilayah, lebih dominan digunakan untuk input pada wilayahnya sendiri, hanya sedikit yang digunakan untuk wilayah lainnya. Output dari DKI Jakarta yang digunakan sebagai input oleh Bodetabek, sektor yang memilki nilai tertinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri, serta bangunan. Keterkaitan sektor-sektor ekonomi DKI Jakarta dan Bodetabek dengan wilayah Sisa Indonesia

lainnya berindikasi kuat terjadinya fenomena backwash. Sedangkan dalam

sekala regional keberadaan DKI Jakarta memperlihatkan multiplier yang positif terhadap perekonomian kawasan Bodetabek.

Peningkatan investasi pada sektor non pertanian di DKI Jakarta dapat meningkatkan PDRB baik di DKI Jakarta maupun di Bodetabek dan Sisa Indonesia, tetapi juga berdampak penurunan lahan pertanian di Bodetabek. Untuk mencapai DKI Jakarta nyaman dan sesuai dengan daya tampung maka peningkatan investasi non pertanian di DKI Jakarta tidak lebih dari 10 % dan di Bodetabek 15 %. Skenario kedua (moderrat) yaitu di DKI Jakarta dengan pembatasan lahan bangunan sehingga lahan hijau tetap 10 % dan jumlah penduduk tidak melebihi daya tampung namun penduduk yang pindah ke Bodetabek maksimal sesuai dengan daya dukungnya merupakan yang paling baik. Alokasi penggunaan lahan tahun 2015 yaitu lahan terbangun sebesar 229.520 ha dan lahan pertanian 377.177 ha, bila tidak bijak akan terjadi penambahan luas lahan yang tidak konsisten sebesar 35,19 ha

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan bahwa agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan koefisien yang berasal dari IRIO yang dinamis serta memperhatikan perubahan harga dan inflasi

(11)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pola Transformasi Spasial dalam Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(12)

xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.5. Kebaruan (Novelty) ... 12

1.6. Kerangka Berpikir ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ... 19

2.1.1. Metropolitan ... 22

2.1.2. Urbanisasi dan Suburbanisasi ... 26

2.1.3. Transformasi Spasial... 30

2.2. Penggunaan Tanah(Land Use) ... 32

2.3. Model Input-Output (I-O) ... 36

2.3.1. Input-Output Regional ... 37

2.3.2. Model Input-Output Interregional ... 38

2.3.3. Aplikasi Input-Output dalam Perencanaan Daerah ... 48

2.4. Model Sistem Dinamik ... 51

2.5. Spasial Dinamik ... 54

2.5.1. Sistem Informasi Geografis ... 54

2.5.2. Analisis Spasial ... 55

2.6. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 57

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 61

3.1. Desain Penelitian ... 61

3.2. Pengumpulan Data ... 62

3.3. Teknik Analisis dan Pemodelan ... 63

3.3.1. Analisis Sistim Informasi Geografi ... 63

3.3.2. Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 64

3.3.3. Analisis Kesesuaian Lahan ... 70

3.3.4. Analisa Daya Tampung ... 73

3.3.5. Analisis Input Output Interegional (IRIO) ... 74

3.3.6. Rancangan Bangun Model ... 95

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 107

4.1. Lokasi Penelitian ... 107

4.2. Kondisi Fisik Lahan ... 109

4.2.1. Klimatologi ... 109

4.2.2. Morfologi dan Topografi ... 111

4.2.3. Geologi ... 113

(13)

xiv

4.2.7. Sarana Transportasi berupa Jalan ... 124

4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan ... 126

4.3.1. Jumlah Penduduk ... 126

4.3.2. Kepadatan Penduduk ... 127

4.3.3 Ketenagakerjaan ... 127

4.4. Kondisi Ekonomi ... 129

4.5. Kelembagaan ... 132

V.. ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KETER-SEDIAAN LAHAN ... 137

5.1 . Pola Perubahan Penggunaan Lahan ... 137

5.2 . Daya Dukung Lahan ... 141

5.2.1. Satuan Peta Tanah ... 142

5.2.2. Arahan Pemanfaatan Air Baku ... 144

5.2.3. Kemampuan Lahan ... 146

5.2.4. Kesesuaian Lahan ... 149

5.2.5. Prakiraan Daya Tampung Lahan ... 151

5.3 . Penilaian Inkonsistensi Lahan ... 151

5.3.1. Inkonsistensi terhadap Kemampuan Lahan ... 151

5.3.2. Inkonsistensi terhadap Kesesuaian Lahan ... 152

5.3.3. Kesesuaian Penggunaan Lahan Terbangun dengan Tata Ruang ... 152

5.4. Ketersediaan Lahan ... 157

5.5 Ikhtisar ... 158

VI. KETERKAITAN ANTAR SEKTOR ANTAR WILAYAH ... 159

6.1 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan ... 162

6.2 Analisis Penggada ... 172

6.2.1 Pengganda Output ... 172

6.2.2 Pengganda Pendapatan ... 175

6.2.3. Pengganda Nilai Tambah ... 176

6.2.4. Dampak terhadap Perubahan Penggunaan Lahan ... 178

6.3 Ikhtisar ... 179

VII. MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN JABODETABEK ... 181

7.1. Model Dinamika Jabodetabek dalam Penelitian ... 181

7.1.1. Sub Model Penduduk ... 182

7.1.2. Sub Model Ekonomi ... 183

7.1.3. Sub Model Lahan ... 192

7.2. Validasi Model ... 194

7.3. Simulasi Model Kawasan Jabodetabek ... 196

7.4. Dampak dari Hasil Simulasi Model ... 202

7.4.1. Dampak terhadap Sektor Populasi ... 202

7.4.2. Dampak terhadap Sektor Ekonomi ... 204

7.4.3. Dampak terhadap Sektor Lahan ... 207

7.4.4. Inkonsisten terhadap Tata Ruang ... 212

(14)

xv

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 219

8.1. Simpulan ... 219

8.2. Saran ... 220

DAFTAR PUSTAKA ... 221

(15)
(16)

xvii

Halaman

1. Struktur Dasar Tabel Inter Regional Input-Output (IRIO) ... 40

2. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan (Kliengebiel & Montgo-mery,1961 dalam Arsyad, 1989) ... 65

3. Kritertia Kesesuian Lahan untuk Lahan Pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agrokimat, 2003) ... 72

4. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pemukiman Penduduk .... 73

5. Struktur Dasar Tabel Inter Regional Input-Output (IRIO) dalam Penelitian ... 75

6. Luas Wilayah Kawasan Jabodetabek Menurut Wilayah Administrasi 108 7. Sebaran Besar Curah Hujan untuk Kawasan Jabodetabek ... 110

8. Kelas Kemiringan Lereng Kawasan Jabodetabek ... 112

9. Sebaran Formasi Geologi Kawasan Jabodetabek ... 115

10. Sebaran Jenis Tanah di Kawasan Jabodetabek ... 122

11. Penggunaan Lahan di Jabodetabek Tahun 2009 ... 123

12. Sebaran Penduduk Jabodetabek pada Tahun 2002, 2006 dan 2009 ... 126

13. Kepadatan Penduduk Jabodetabek Tahun 2002, 2006 dan 2009 ... 127

14. Perkembangan Jumlah Ketenagakerjaan di DKI Jakarta Tahun 2002– 2009 (Jiwa) ... 128

15. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di DKI Jakarta pada Tahun 2002-2009 (Jiwa) ... 128

16. Konstribusi Output dan Input di Masing-Masing Wilayah di Indonesia, 2009 (dalam Persen) ... 130

17. Permintaan Antara Dan Akhir Serta Output di Masing-Masing Wilayah di Indonesia (Juta Rupiah) ... 131

18. Distribusi Permintaan Akhir terhadap Total Permintaan Akhir (%) ... 131

19. Ditribusi Permintan Akhir di Masing-masing Wilayah (%) ... 132

20. Persentasi Luas Tutupan Lahan Terhadap Luas Total Jabodetabek Tahun 2002-2009 ... 135

21. Jumlah Penduduk Dengan Luas Lahan Terbangun Di Kawasan Jabodetabek ... 136

22. Diskripsi Satuan Peta Tanah Kawasan Jabodetabek ... 143

23. Kelas Kemampuan Lahan Kawasan Jabodetabek ... 149

(17)

xviii

26. Penggunaan Lahan pada Saat Ini yang Tidak Konsisten terhadap

Kesesuaian Lahan Kawasan Jabodetabek ... 152

27. Sebaran Zone Tata Ruang Kawasan Jabodetabek Berdasarkan Perpres

No 54 Tahun 2008 ... 154

28. Sebaran Penggunaan Lahan Terbangun Saat Ini yang Tidak Sesuai

dengan Alokasi pada Perpes No 54 Tahun 2008 ... 156

29. Lahan Tersedia untuk Lahan Terbangun Kawasan Jabodetabek ... 157

30. Konstribusi Output dan Input di Masing-masing Wilayah di Indonesia,

2009 (dalam Persen) ... 159

31. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan DKI Jakarta

Menurut Sektor Tahun 2009 ... 163

32. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Bodetabek

Tahun 2009 ... 164

33. Nilai Pengganda Output di Masing-masing Wilayah Terhadap Seluruh

Wilayah Indonesia Tahun 2009 ... 173

34. Nilai Pengganda Output di Wilayah Indonesi Tahun 2009 ... 174

35. Nilai Pengganda Pendapatan di Masing-masing Wilayah terhadap

Seluruh Wilayah Indonesia Tahun 2009 ... 176

36. Nilai Pengganda Nilai Tambah di Masing-masing Wilayah terhadap

Seluruh Wilayah Indonesia, 2009 ... 177

37. Penguji Nilai Tengah (Mean) Data Historis dan Data Pemodelan ... 196

38. Kebutuhan dan Arahan Alokasi Penggunaan Lahan Kawasan

(18)

xix

1. Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek Tahun 1972 –

2009 ... 8

2. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan ... 14

3. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 16

4. Skema Pelaksanaan Penelitian ... 62

5. Kelas Kemampuan Lahan dan Intensitas Penggunaan Lahan ... 64

6. Hubungan Keterkaitan antara Dimensi Ekonomi, Sosial dan Ling-kungan ... 97

7. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno 1999) ... 99

8. Bagan Alir Alokasi Penggunaan Lahan ... 104

9. Gabungan Sistem Dinamik dan Analisis Non Spasial dengan Analisis Spasial ... 106

10. Peta Administrasi Kawasan Jabodetabek ... 107

11. Peta sebaran Besar Curah Hujan untuk Kawasan Jabodetabek ... 110

12. Sebaran Kemiringan Lereng Kawasan Jabodetabek ... 112

13. Sebaran Formasi Geologi Kawasan Jabodetabek ... 114

14. Sebaran Jenis Tanah di Kawasan Jabodetabek ... 122

15. Sebaran Penggunaan Tanah Kawasan Jabodetabek Tahun 2009... 124

16. Jaringan Jalan Kawasan Jabodetabek ... 125

17. Sebaran Satuan Peta Tanah (SPT) Kawasan Jabodetabek ... 144

18. Sebaran Kelas Kemampuan Lahan Kawasan Jabodetabek ... 148

19. Sebaran Keseuaian Lahan untuk Pertanian dan Pemukiman Kawasan Jabodetabek. ... 150

20. Pola dan Struktur Tata Ruang Kawasan Jabodetabek Berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2008 ... 155

21. Sebaran Pengguaan Lahan Terbangun Saat ini yang Tidak Sesuai dengan Perpres No 54 Tahun 2008 ... 156

22. Hasil Overly Lahan Tersedia Kawasan Jabodetabek ... 157

23. Diagram Keterkaitan antar Sektor terhadap Output di DKI Jakarta, Tahun 2009 ... 166

(19)

xx

26. Diagram Keterkaitan .antar Sektor di DKI Jakarta terhadap Output di

Bodetabek, Tahun 2009 ... 168

27. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Bodetabek terhadap Output di Bodetabek, Tahun 2009 ... 169

28. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Sisa Indonesia terhadap Output di Bodetabek, Tahun 2009 ... 169

29. Diagram Keterkaitan antar Sektor di DKI Jakarta terhadap Output di Sisa Indonesia, Tahun 2009 ... 170

30. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Bodetabek terhadap Output di Sisa Indonesia, Tahun 2009 ... 171

31. Diagram Keterkaitan antar Sektor di Sisa Indonesia terhadap Output di Sisa Indonesia, Tahun 2009 ... 171

32. Tutupan Lahan Kawasan Jabodetabek Hasil Interpretasi Citra TM7 tahun 2002 dan 2009 ... 179

33. Causal LoopEkonomi, Populasi dan Lahan di Jabodetabek ... 181

34. Causal LoopSub Model Penduduk ... 183

35. Causal LoopPDRB dan PDRB Per Kapita DKI Jakarta ... 184

36. Causal LoopPerubahan Final Demand Sektor Pertanian ... 185

37. Causal LoopPerubahan Final Demand Sektor Non Pertanian ... 186

38. Causal LoopSub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final Demand Sektor Non Pertanian ... 188

39. Causal Loop Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Output Sektor Pertanian ... 189

40. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Pertanian DKI Jakarta ... 197

41. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Pertanian Bodetabek ... 198

42. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Terbangun DKI Jakarta ... 198

43. Grafik Simulasi Pemukiman Per Kapita terhadap Lahan Terbangun Bodetabek ... 199

44. Grafik Simulasi Optimasi Peningkatan Investasi terhadap PDRB DKI Jakarta ... 199

45. Grafik Simulasi Optimasi Peningkatan Investasi terhadap PDRB Bodetabek ... 200

(20)

xxi

48. Grafik Simulasi Optimasi dengan Asumsi Jumlah Penduduk dan Luas

Lahan pertanian DKI Jakarta terhadap PDRB Bodetabek ... 201

49. Hasil Simulasi Dampak terhadap Penduduk DKI Jakarta ... 202

50. Hasil Simulasi Dampak terhadap Penduduk Bodetabek ... 203

51. Hasil Simulasi Dampak terhadap Penduduk Sisa Indonesia ... 203

52. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB DKI Jakarta... 204

53. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Bodetabek ... 205

54. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Sisa Indonesia ... 205

55. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Perkapita DKI Jakarta ... 206

56. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Perkapita Bodetabek ... 206

57. Hasil Simulasi Dampak terhadap PDRB Perkapita Sisa Indonesia ... 207

58. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Pertanian DKI Jakarta ... 208

59. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Pertanian Bodetabek ... 209

60. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Pertanian Sisa Indonesia ... 209

61. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain DKI Jakarta ... 210

62. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain Bodetabek.. ... 210

63. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain Sisa Indonesia ... 211

64. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Bangunan DKI Jakarta ... 211

65. Hasil Simulasi Dampak terhadap Lahan Bangunan Bodetabek ... 212

66. Hasil Simulasi Dampak terhadap Luas Lahan Lain Sisa Indonesia ... 212

67. Hasil Simulasi Dampak terhadap Pelanggaran Tata Ruang di DKI Jakarta dan Bodetabek ... 213

68. Alokasi Penggunaan Lahan pada Tahun 2015 ... 216

(21)
(22)

xxiii

1. Tabel Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan Sissa

Indo-nesia Tahun 2002 (dengan 9 Sektor) ... 225

2. Tabel Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan Sissa

Indo-nesia Tahun 2002 (dengan 9 Sektor) ... 234

3. Tabel Matrik A Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan Sissa Indonesia Tahun 2002 (dengan Tabel Matrik I-A Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan Sissa Indonesia Tahun 2002

(dengan 2 Sektor) ... 238

4. Tabel Matrik I Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan

Sis-sa Indonesia Tahun 2002 (dengan 2 Sektor) ... 241

5. Tabel Matrik I-A Input Output Interregional Jakarta, Bodetabek dan

Sissa Indonesia Tahun 2002 (dengan 2 sektor) ... 241

6. Tabel Matrik Invers (I-A) Input Output Interregional Jakarta,

Bodeta-bek dan Sissa Indonesia Tahun 2002 (dengan 2 Sektor) ... 242

7. Hubungan Sub Model Penduduk DKI Jakarta ... 243

8. Hubungan Sub Model Penduduk Bodetabek ... 243

9. Hubungan Sub Model Penduduk Sisa Indonesia ... 244

10. Hubungan PDRB dan PDRB Per Kapita DKI Jakarta ... 244

11. Hubungan PDRB dan PDRB Per Kapita Bodetabek ... 245

12. Hubungan PDRB dan PDRB Per Kapita Sisa Indonesia ... 245

13. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian DKI Jakarta ... 246

14. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian di Bodetabek ... 247

15. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian di Sisa Indonesia ... 248

16. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di DKI Jakarta ... 249

17. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Kawasan Bodetabek ... 250

18. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Sisa Indonesia ... 251

19. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Output

Sektor Non Pertanian di DKI Jakarta ... 252

20. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Output

(23)

xxiv

22. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Non Pertanian di DKI Jakarta ... 253

23. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di DKI Jakarta ... 254

24. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Bodetabek ... 254

25. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Perubahan Final

Demand Sektor Pertanian di Sisa Indonesia ... 255

26. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi dan

Kapital Sektor Non Pertanian DKI Jakarta ... 255

27. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi dan

Kapital Sektor Non Pertanian Bodetabek ... 256

28. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi dan

Kapital Sektor Non Pertanian Sisa Indonesia ... 256

29. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi Dan

Kapital Sektor Pertanian DKI Jakarta ... 257

30. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi Dan

Kapital Sektor Pertanian Bodetabek ... 257

31. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung Investasi Dan

Kapital Sektor Pertanian Sisa Indonesia ... 258

32. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Non Pertanian DKI Jakarta ... 258

33. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Non Pertanian Bodetabek ... 259

34. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Non Pertanian Sisa Indonesia ... 259

35. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Pertanian DKI Jakarta ... 260

36. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Pertanian Bodetabek ... 260

37. Hubungan Sub Model Ekonomi dalam Menghitung C, G, X Dan M

Sektor Pertanian Sisa Indonesia ... 261

38. Diagram Alir Fungsi Lahan DKI Jakarta ... 262

39. Diagram Alir Fungsi Lahan Bodetabek ... 263

40. Diagram Alir Fungsi Lahan Sisa Indonesia ... 264

41. Equation Model Sistem Dinamik Kawasan Jaodetabek dengan

(24)

1.1. Latar Belakang

Pada dua dekade akhir abad 20 dan memasuki millenium ke-3 wacana

pembangunan wilayah di Indonesia ditandai dengan membesarnya fenomena

metropolitanisasi. Sampai tahun 1990 telah tumbuh beberapa kawasan yang

mengarah terbentuknya metropolitan seperti Jabodetabek, Medan Raya, Bandung

Raya, Surabaya Gerbangkertasusila, dan Semarang Raya dan lain-lain.

Salah satu isu yang mengiringi menguatnya metropolitanisasi dan perlu

mendapat perhatian adalah perkembangan koridor antar kota. Dalam sepuluh

tahun terakhir, wilayah sepanjang koridor Cirebon-Semarang,

Jakarta-Bandung, Semarang-Solo-Yogyakarta dan Surabaya-Malang mengalami

pertumbuhan daerah perkotaan yang pesat (Firman, 1992), bahkan kawasan

Jabodetabek dan Metropolitan Bandung raya berkecenderungan membentuk

koridor yang nyaris bersatu. Pembentukan koridor-koridor ini ditandai oleh

semakin kaburnya (blurring) perbedaan antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan (Firman, 1992).

Daerah-daerah perdesaan di sepanjang koridor telah mengalami

transformasi struktur wilayah (McGee, 1991) menyebut transformasi tersebut

sebagai proses “kota-desasi”, yaitu perubahan struktur wilayah agraris ke arah struktur non agraris. Proses transformasi wilayah tersebut tentunya bukan hanya

spasial, tetapi yang lebih penting adalah perubahan sosioekonomik dan kultural

penduduk perdesaan yang antara lain menyangkut struktur produksi, mata

pen-caharian, konsepsi dan praktek-praktek kehidupan bersama, cara hidup, perilaku

dan banyak aspek sosiokultural lain. Di samping itu, tidak terintegrasinya

kegiatan-kegiatan perkotaan yang melakukan penetrasi ke daerah perdesaan

diyakini akan menimbulkan kesenjangan sosioekonomi, konflik-konflik sosial

budaya, terutama sebagai konsekuensi menjadi marginalnya penduduk perdesaan.

Ruang adalah sesuatu yang dinamis, misalnya ketersediaan jalan disatu sisi

akan mengintervensi pola hidup manusia, namun di sisi lain manusialah yang

mengintervensi ketersediaan jalan karena manusia membutuhkan aksesibilitas

(25)

manusia dituntut untuk dapat berada dimana saja dan kapan saja. Perubahan

ruang, merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi bukan berarti semua

perubahan ruang berdampak baik bagi kehidupan manusia. Transformasi spatial

merupakan sebuah proses perubahan ruang dari yang bercirikan perdesaan

menjadi perkotaan atau juga dapat disimpulkan sebagai sebuah proses

perkembangan daerah suburban atau pinggiran kota, kehidupan manusia akan

didorong ke arah modern. Kehidupan modern yang diidentifikasi melalui kegiatan

perekonomiannya, akan menimbulkan dua sisi dampak yang berbeda.

Perekonomian akan menimbulkan akses terhadap pengembangan kualitas

kehidupan lebih baik, namun disisi lain mendorong manusia untuk lebih

konsumtif.

Penekanan pembangunan pada sektor modern perkotaan telah terbukti

meningkatkan pertumbuhan di sektor dan lokasi yang hanya memiliki tingkat

produktifitas tinggi. Laju pertumbuhan investasi dan akumulasi modal hanya

terpusat di sektor modern tersebut. Konsep tersebut menginspirasikan

terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan (growth pole economy).

Diharapkan dengan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi

proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang(trickle down process)

dan pemerataan akan terjadi secara "otomatis" dari kutub-kutub pertumbuhan ke

daerah belakang tersebut (hinterland). Namun pada kenyataannya penetesan pembangunan itu tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya

yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran (massive backwash effect).

Paradigma pembangunan yangurban biasedtersebut telah menimbulkan berbagai persoalan seperti terjadinya urbanisasi yang berlebihan(over urbanization)karena akumulasi kapital yang berada di perkotaan. Urbanisasi yang berlebihan tersebut

pada akhimya menimbulkan berbagai persoalan di kota dan yang terjadi bukan

lagieconomies of scale (economies of agglomeration)namun justrudiseconomies of scale. Kota-kota besar tumbuh dengan cepat sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang sering mengabaikan fungsinya untuk memberikan pelayanan kepada

daerahhinterland(Rustiadi dan Panuju, 2005).

Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya

(26)

(urban fringe)yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl). Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial berupa proses densifikasi permukiman dan

transformasi sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi

spasial. Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota

merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah

perkotaan.

Daerah pinggiran kota (urban fringe) sebagai suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai

bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930 an saat

pertama kali istilah urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan

oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan

fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta

kondisi sosial ekonomi.

Mc.Gee (1991) menyatakan bahwa proses perkembangan dan urbanisasi

kota-kota di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) ditandai oleh adanya

restrukturisasi internal kota-kota besarnya. Kota-kota di Indonesia pada beberapa

dekade mendatang cenderung akan terus berkembang baik secara demografis,

fisik, maupun spasial. Fenomena menyusutnya penduduk perdesaan dalam dua

dekade yang lalu akibat adanya migrasi besar-besaran penduduk perdesaan. Hal

ini memberi indikasi bahwa kota-kota di Indonesia akan berkembang pesat baik

secara demografis maupun spasial di masa mendatang.

Diberlakukannya Undang-Undang mengenai Otonomi Daerah akan

berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah.

Pemerintahan Daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar di dalam

merencanakan arah pembangunannya. Di sisi lain, pemerintah daerah akan

semakin dituntut untuk lebih mandiri di dalam memecahkan masalah-masalah

pembangunan di daerahnya. Otonomi daerah juga mengisyaratkan semakin

pentingnya pendekatan pembangunan dengan basis pengembangan wilayah

dibanding pendekatan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan

(27)

intersektoral, interspasial, serta antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan

antar daerah.

Keterpaduan intersektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan

sinergi antar sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program-program

pembangunan di dalam kelembagaan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka

pembangunan wilayah. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan

antar lembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku-pelaku ekonomi secara luas

dengan sektor yang berbeda. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya

keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan

outputbarang dan jasa antar sektor secara sangat dinamis.

Keterpaduan interspasial membutuhkan adanya interaksi spasial yang

optimal dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah secara dinamis.

Akibat potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi yang

tersebar secara tidak merata dan tidak seragam, maka diperlukan adanya

mekanisme interaksi intra- dan inter-wilayah secara optimal.

Keterkaitan konsep ruang dan waktu merupakan kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan. Dalam kehidupan umat manusia, khususnya pemanfaatan

sumberdaya wilayah membutuhkan pengaturan ruang dan waktu yang

terintegrasi. Dengan demikian, keterkaitan konsep ruang dan waktu sangat

esensial dalam pengelolaan wilayah Jabodetabek dan perlu diperlakukan secara

eksplisit dalam setiap perencanaan dan pengelolaan, yang diarahkan ke

perbaikan dan penyempurnaan kehidupan manusia. Konsep ruang dan waktu

ini sangat relevan untuk mengkaji berbagai isu yang mencuat ke permukaan,

khususnya mengenai isu-isu keruangan di wilayah Jabodetabek.

Pembentukan Kawasan Metropolitan Jakarta atau yang dikenal dengan

Jabodetabek disebabkan oleh adanya keterkaitan antar wilayah yang membuat

adanya suatu hubungan sehingga setiap kabupaten/kota yang terkait terus

berkembang, belum lagi adanya aliran investasi asing dan dalam negeri serta

kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung pembentukan wilayah

metropolitan. Perkembangan Kota Jakarta yang tadinya merupakan kota kecil

mengalami perkembangan yang sangat pesat dan seiring dengan adanya

(28)

pertumbuhan wilayah di sekitarnya sampai terbentuk suatu kawasan metropolitan

seperti sekarang. Saat ini kawasan metropolitan Jabodetabek tidak dapat

dipandang sebagai suatu unit yang berdiri sendiri, akan tetapi terus memberikan

pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah yang terintegrasi.

DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan pintu gerbang utama Indonesia

telah melakukan serangkaian kegiatan pembangunan dengan ciri-cirinya sebagai

pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan jasa. Pembangunan yang terus

dilakukan, menyebabkan hubungan dan keterkaitan antar berbagai sektor ekonomi

di DKI Jakarta bergerak ke arah yang semakin kompleks. Perubahan yang terjadi

pada satu sektor tertentu telah berpengaruh timbal-balik pada berbagai sektor

lainnya. Bahkan, perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi di DKI Jakarta

telah mempengaruhi daerah sekitamya (hinterland), antara lain Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek).

Menurut Hidayat (2004), sesuai dengan Instruksi Presiden Republik

Indonesia No. 13 tahun 1976, Bogor, Tangerang dan Bekasi berfungsi sebagai

daerah penyangga bagi DKI Jakarta, dan secara tidak langsung mengisyaratkan

bahwa wilayah tersebut harus mampu untuk menampung limpahan

kegiatan-kegiatan yang tidak terakomodir DKI Jakarta, antara lain: limpahan penduduk,

industri dan perdagangan. Bogor selain menampung pernukiman juga berfungsi

sebagai kantong air untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih bagi penduduk

yang berdomisili di kawasan DKI Jakarta dan Bodetabek, sedangkan Tangerang

dan Bekasi menampung pernukiman dan aktifitas industri. Hidayat (2004) juga

meyebutkan bahwa untuk mendukung pelaksanaan fungsi tersebut diperlukan

pengaturan tata guna lahan yang dikaitkan dengan proporsi lahan yang tersedia

untuk mengalokasikan pembangunan fisik dari sarana dan prasarana yang

dibutuhkan.

Struktur dari wilayah metropolitan Jabodetabek, dapat dilihat dengan

adanya jumlah migrasi yang keluar dan masuk DKI Jakarta dan kota Sekitarnya.

Jumlah ini menunjukkan suatu keterkaitan karena adanya pergerakan yang dapat

disebabkan oleh kegiatan ekonomi (tempat bekerja), perumahan (tempat tinggal),

dan lainnya. Keterkaitan ini juga didukung oleh adanya infrastruktur terutama

(29)

Perkembangan jumlah penduduk juga dapat memberikan suatu gambaran

bagaimana perkembangan suatu kawasan metropolitan terjadi. Jumlah penduduk

Jakarta sedikit menurun dari tahun 2000 ke tahun 2003, sedangkan keadaan yang

sebaliknya terjadi pada wilayah kabupaten, dimana jumlah penduduk pada tahun

2003 meningkat dari 7,58 juta jiwa menjadi 8,90 juta jiwa. Pertumbuhan ini dapat

disebabkan oleh adanya pertumbuhan alamiah atau pun adanya migrasi.

Penurunan ini juga terjadi pada tahun 2003, bersamaan dengan itu terjadi

pertambahan jumlah penduduk pada Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor,

serta Kota Depok. Pertambahan tersebut mengindikasikan adanya gejala sub

urbanisasi dengan didukung oleh peningkatan pembangunan infrastruktur seperti

jalan, transportasi umum, bahkan perumahan yang mendorong pergerakan keluar

dari pusat atau inti.

Pertumbuhan kepadatan penduduk yang pesat meningkatkan eksploitasi

sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga daya dukung dan daya tampung

lingkungan berpeluang terlampaui. Hal ini mendorong adanya perambahan

pemanfaatan ruang pada kawasan yang seharusnya dikonservasi dan dilindungi,

seperti konversi lahan pertanian sawah dan bantaran sungai menjadi perumahan

dan industri. Dengan demikian, pemanfaatan ruang dan konversi lahan pada

kawasan Jabodetabek ini harus didasarkan pada aspek ekonomi dan ekologi

dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah dikemudian hari.

Namun kenyataanya adanya penyalahgunaan peruntukan lahan pada kawasan

Jabodetabek, terutama permasalahan lingkungan yaitu perubahan penggunaan

lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya sehingga banjirpun menjadi

bencana yang rutin terjadi setiap tahun, kerusakan lingkungan, kini semakin

berkembang.

Sebagai ibukota negara dan pusat perdagangan dan jasa, peran sektor

pertanian dan sektor pertambangan dalam struktur perekonomian DKI Jakarta

sangat tidak berarti, dan sebaliknya peran sektor industri, sektor perdagangan dan

sektor jasa amat berarti. Berdasarkan data-data BPS bahwa selama periode

1993-2002, peran sektor pertanian pada pembentukan produk domestik regional bruto

(PDRB) relatif kecil dan tendensi menurun yaitu dari 0,28 persen di tahun 1993

(30)

diimbangi dengan peningkatan peran tiga sektor terbesar yaitu sektor industri dari

20,95 persen monjadi 21,64 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran dari

22,14 persen menjadi 23,81 persen, dan sektor keuangan, persewaan bangunan

dan jasa perusahaan dari 22,64 persen menjadi 23,66 persen. Sementara, laju

pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mencapai 8,61 persen ditahun 1994 menjadi

3,99 persen di tahun 2002 atau laju pertumbuhannya hanya meningkat sebesar

2,92 persen pertahun. Perekonomian mulai meningkat menjadi 4,33 persen di

tahun 2000, sedikit melambat menjadi 3,64 persen tahun 2001, dan meningkat

lebih tinggi menjadi 3,99 persen di tahun 2002. Laju pertumbuhan sektoral yang

paling dominan selama periode 1993-2002 adalah sektor listrik, gas dan air

minum sebesar 4,89 persen, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi 4,31

persen, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 3,89 persen.

Sementara itu, laju pertumbuhan untuk sektor lainnya hanya meningkat dibawah

3,00 persen babkan minus 2,59 persen untuk sektor pertanian. Laju pertumbuhan

ekonomi DKI Jakarta yang masih dibawah rata-rata nasional sebesar 5,00 persen,

mengindikasikan bahwa kemajuan ekonomi di daerah yang didominasi oleh sektor

barang akan menangkatkan kemajuan DKI Jakarta yang didominasi oleh sektor

jasa-jasa dan keuangan. Keberhasilan pembangunan ekonomi DKI Jakarta yang

diukur dengan perubahan struktur juga didukung oleh investasi dan komposisi

ekspor. Peran investasi mencapai 49,66 persen pada tahun 1993, namun mulai

menurun setelah krisis 1997 menjadi 38,36 persen pada tahun 2002. Sementara

itu, peranan ekspor mencapai 55,91 persen pada tahun 1993 dan menurun menjadi

48,12 persen.

Untuk Bodetabek, kontribusi sektor industri secara rata-rata mencapai

sebesar 58,12 persen, disusul sektor perdagangan 16,82 persen dan sektor

pertanian 5,28 persen, sedangkan kontribusi sektor lainnya dibawah 6,00 persen.

Sementara, laju pertumbuhan ekonomi Bodetabek mencapai rata-rata 6,64 persen

pertahun. Sektor yang kenaikannya paling tinggi adalah sektor listrikk, gas, dan

air minum sebesar 9,35 persen, diikuti sektor perdagangan sebesar 8,29 persen,

sektor industri 7,73 persen. Untuk sektor pertanian terjadi perlambatan

pertumbuhan sebesar minus 1,03 persen. Sektor tradisional yang mencakup

(31)

pembentukan nilai tambah di DKI Jakarta sebaliknya sektor modern yang terfokus

pada sektor industri dan sektor jasa menunjukkan peningkatan yang cukup berarti.

Salah satu bentuk implikasi fisik dari dinamika pertumbuhan penduduk dan

aktivitas sosial ekonomi di kawasan Jabodetabek dapat terlihat dari dinamika

perubahan penggunaan lahan yang dapat didekati dari analisis perubahan

penutupan lahan (land cover). Kecenderungan perubahan penggunaan lahan di Kawasan Jabodetabek dari tahun 1972 hingga tahun 2009, terlihat sangat

signifikan terutama untuk areal terbangun (built-up area). Pada tahun 1972, areal permukiman tampak hanya terkonsentrasi di DKI Jakarta. Kemudian pada

tahun 2005, tampak terjadi peningkatan areal permukiman yang secara visual

menyebar menuju Bogor, Tangerang dan Bekasi. Hal ini dapat dilihat pada

Gambar 1.

Keterangan: Warna merah adalah lahan terbangun

Sumber: Tahun 1972–2005 (Rustiadi dan Tim P4W, 2007) sedangkan 2009 hasil interpretasi citra TM 7

Gambar 1. Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek Tahun 1972–2009

1.2. Perumusan Masalah

Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah

(32)

proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah

menimbulkan masalah pembangunan yang cukup kompleks, dan cenderung akan

mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang sangat

besar (Anwar, 2005), Dalam penelitian ini, wilayah DKI Jakarta merupakan pusat

dari aktivitas masyarakat yang didominasi oleh sektor tersier, serta wilayah

Bodetabek yang merupakan wilayah penyangga DKI Jakarta didominasi oleh

sektor sekunder. Sedangkan wilayah Sisa Indonesia masih didominasi oleh sektor

primer. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan

pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan.

Semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan

dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung secara terus-menerus akan

mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena

wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya

ke daerah pinggiran kota. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah

perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang

berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggian kota. Pokok

persoalan yang terdapat di daerah urban fringe pada dasarnya dipicu oleh proses transformasi spasial dan sosial akibat perkembangan daerah urban yang sangat

intensif. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota

yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada

perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggiran kota.

Pembangunan ekonomi di DKI Jakarta yang ditunjukkan dengan

peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang telah menyebabkan

perubahan struktur ekonomi sektoral dan mempengaruhi permintaan akhir, telah

berpengaruh pada perkembangan perekonomian dan penggunaan lahan di

Bodetabek. Meningkatnya perekonomian Bodetabek ini dapat dilihat dan

meningkatnya output dan pendapatan dan kaitannya dengan perubahan

penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.

Perubahan pemanfaatan ruang yang tidak mempehitungkan keseimbangan

geobiofisik akan berakibat kepada kemubaziran atau sebaliknya bencana alam

(33)

memberikan kesempatan tiap komponen aktivitas dalam unit ruang tersebut

berinteraksi secara maksimal sesuai daya dukung kawasan yang pada akhirnya

memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang berkepentingan

secara berkelanjutan. Aktivitas manusia, baik sosial maupun ekonomi merupakan

sumber perubahan dalam pemanfaatan ruang atau kawasan. Dinamika sosial yang

diikuti oleh dinamika aktivitas ekonomi akan selalu membawa perubahan tata

ruang yang dinamis pula. Oleh karena itu, sifat dinamis tersebut perlu

dipertimbangkan dalam pendekatan optimalisasi pemanfaatan ruang (Anwar,

2001).

Dalam pembangunan suatu daerah diperlukan suatu alat yang mampu

menganalisis dampak dan keterkaitan antarsektor dan antarspasial dalam

perekonomian. Untuk menganalisis dampak perekonomian suatu daerah atau

nasional dan melihat hubungan dan keterkaitan antarsektor perekonomian

biasanya digunakan tabel input- output.

Atas dasar isu keruangan tersebut menuntut adanya suatu komitmen yang

jelas dari para perencana, pengelola dan pengusaha di wilayah Jabodetabek, agar

tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya berkelanjutan serta tujuan pembangunan

ekonomi berkelanjutan dapat tercapai. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu

pada hakekatnya diperlukan suatu kearifan dalam penataan ruang, pengelolaan

dan pengusahaan, sehingga diperlukan adanya suatu konsep dinamis yang dapat

mengatur pemanfaatan sumberdaya wilayah Jabodetabek secara optimal, akan

tetapi tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Konsep dinamis yang

dimaksud adalah adanya suatu desain sistem terhadap pemanfaatan sumberdaya,

sehingga secara simultan dapat diketahui tingkat pemanfaatan saat ini dan masa

mendatang. Model dinamik sangat memungkinkan untuk dapat mengatur

berbagai opsi antara tujuan optimasi pemanfaatan ruang dengan berbagai

perubahan variabel secara berkelanjutan, dengan suatu bentuk pola transformasi

dan pemodelan.

Penelitian ini dilakukan di Jabodetabek karena:

1. Kawasan Jabodetabek merupakan kawasan dengan peranan strategis di

(34)

dalam konteks politik, sosial, budaya dan hankam. Perkembangan ini perlu

dicermati secara seksama agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan

terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan mengingat sangat

besarnya peranan nasional, ekonomi, politik dan hankam, maupun

lingkungan di wilayah ini terhadap pembangunan wilayah maupun

nasional.

2. Proses suburbanisasi merupakan proses global yang tengah berlangsung di

berbagai metropolitan dunia. Wilayah Jabodetabek mengalami proses

suburbanisasi dengan berbagai keunikan dan kecenderungan yang

berimplikasi khusus terhadap wilayah lainnya secara nasional.

3. Wilayah Jabodetabek dicirikan oleh keterkaitan antar wilayah (regional linkages) yang sangat tinggi, seperti dalam masalah keterkaitan ekosistem seperti adanya daerah aliran sungai (DAS) yang bersifat lintas wilayah serta

masalah sosial yang dicirikan dengan intensitas menglajo (commuting) dari wilayah suburban ke pusat perkotaan serta semakin menonjolnya fenomena

migrasi keluar (out migration) dari kota Jakarta kesuburban.

4. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dengan Puncak dan Cianjur

(Jabodetabekpunjur) merupakan salah satu contoh kawasan yang

direncanakan ditata secara formal melalui Keppres. Rancangan ini

didasarkan pada suatu kesadaran akan fakta bahwa Jabodetabekpunjur

merupakan satu sistem yang utuh yang setiap dinamika komponennya

mempengaruhi dinamika komponen yang lain. Hubungan fungsional

ekologis-ekonomis antar wilayah tersebut sulit untuk dipisahkan secara

tegas. Geliat perekonomian di wilayah Bodetabekpunjur dipengaruhi oleh

geliat ekonomi Jakarta. Di sisi lain, geliat aktifitas yang mempengaruhi

kondisi ekologis Bodetabekpunjur akan mempengaruhi kondisi Jakarta.

Berdasarkan pada pemahaman wilayah Jabodetabek sebagai satu kesatuan

sistem, maka perlu dilihat dinamika yang terjadi di wilayah tersebut.

Disain model penataan ruang di wilayah Jabotabek ini diharapkan

merupakan suatu kajian transformasi spasial dengan pendekatan sistem dinamik

(35)

prinsip umpan balik (causal loops) antar subsistem lingkungan, subsistem sosial dan subsistem ekonomi. Salah satu karakteristik dari proses pola transformasi

spasial tersebut adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan

kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang rasional, terukur dan transparan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

dalam penelitian ini adalah

1) Bagaimana pola transformasi spasial yang terjadi pada kawasan

Jabodetabek?

2) Bagaimana keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang

kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan?

3) Bagaimana dampaknya terhadap perubahan output dan penggunaan lahan

secara sektoral dan spasial Bodetabek apabila investasi DKI Jakarta

diubah.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Mengkaji pola transformasi spasial yang terjadi pada kawasan

Jabodetabek.

2. Mengkaji keterkaitan intersektoral dan interspasial dalam penataan ruang

kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan.

3. Menganalisis dampak peningkatan investasi DKI Jakarta terhadap

perubahan output dan penggunaan lahan secara sektoral dan spasial Bodetabek.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari sisi teoritis akademis penelitian ini akan memperkaya teori-teori

mengenai perkembangan wilayah perkotaan dan perdesaan, khususnya mengenai

keterkaitan baik secara sektoral maupun spasial di kawasan Jabodetabek.

Kontribusi terhadap ilmu pengetahuan yang berasal dari originalitas tema

penelitian yang belum banyak diteliti, aspek-aspek metodologis yang diterapkan

(36)

praktis empiris, penelitian ini bermanfaat dalam membangun kerangka pikir dan

perumusan kebijaksanaan pembangunan wilayah dengan memperhatikan

keterkaitan wilayah perkotaan dan perdesaan secara dinamik.

1.5. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis

secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis yaitu analisis

sistem dinamik, analisis I-O interregional dan analisis spasial untuk dapat

menghasilkan pola penggunaan lahan kawasan Jabodetabek secara terpadu dan

berkelanjutan.

Hasil dari model ini menggunakan prinsip-prinsip keterpaduan dalam

pengelolaan kawasan antara lain (1) keterpaduan sektor yaitu antar sektor

pertanian dengan lahan terbangun (pemukiman, industri, jasa dll), (2) keterpaduan

wilayah yaitu antara DKI Jakarta dengan Bodetabek yang masuk dalam satu

kawasan metropolitan, dan (3) keterpaduan sosial, ekonomi dan fisik lahan.

1.6. Kerangka Berpikir

Ruang sebagai bentuk konstruksi interaksi masyarakat yang terbentuk

dalam jangka waktu tertentu dan berubah secara dinamis karena dipengaruhi oleh

banyak aspek, seperti sosial, politik, ekonomi, geografi, dan lain-lain. Dalam

sudut pandang ini ruang bukanlah suatu bentuk statis yang hanya bisa dilihat dari

segi fisik saja, namun juga terbentuk oleh faktor-faktor non-fisik. Sehingga ruang

tidak hanya bisa dibentuk dalam selembar kertas, kemudian melupakan aktivitas

sebenarnya yang terjadi di realita. Dikarenakan manusia, sebagai komponen

utama dalam kota selalu berkembang. Populasi yang meningkat akan

mempengaruhi jumlah permintaan lahan, air bersih, fasilitas kesehatan, fasilitas

pendidikan, ketersedian jalan dan lain-lain, yang pada gilirannya akan

mempengaruhi ruang hidup manusia. Oleh karena itu, baik dalam perencanaan

(37)

di realita. Interaksi yang terjadi harus dapat diwadahi dalam ruang-ruang yang

sesuai.

Perubahan ruang, merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi bukan

berarti semua perubahan ruang berdampak baik bagi kehidupan manusia.

Transformasi spasial merupakan sebuah proses perubahan ruang dari yang

bercirikan perdesaan menjadi perkotaan atau juga dapat disimpulkan sebagai

sebuah proses perkembangan daerah di daerah sub-urban atau pinggiran kota, kehidupan manusia akan didorong ke arah modern. Kehidupan modern yang

diidentifikasi melalui kegiatan perekonomiannya, akan menimbulkan dua sisi

dampak yang berbeda. Perkembangan ini antara lain ditunjukkan oleh tingginya

pertumbuhan penduduk, peningkatan investasi, dan kontribusi sektor non agraris

serta cepatnya proses alih fungsi lahan. Sebagai daerah transisi penghubung,

daerah sepanjang koridor mengalami proses perubahan yang tinggi akibat tekanan

kegiatan-kegiatan perkotaan yang terus meningkat yang tidak saja berdampak

pada perubahan spasial akan tetapi juga aspek sosio-ekonomi dan kultural

penduduk. Secara spasial daerah ini dicirikan dengan perubahan tata guna lahan

pertanian menjadi guna lahan industri komersial atau permukiman (McGee,

1991).

Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh wilayah

sekitarnya, terutama antara wilayah kota dengan wilayah pinggirannya. Sejalan

dengan perkembangan kota Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan,

perdagangan dan jasa, Bodetabek sebagai daerah penyangga secara langsung

menerima dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota tersebut. Salah

satu pengaruh yang mulai jelas terlihat adalah terjadinya urban sprawl. Urban sprawl merupakan suatu proses peluberan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran, dengan kata lain terjadi proses perembetan kenampakan fisik

kekotaan ke arah luar yang menyebabkan transformasi spasial dari

bentuk-bentuk kedesaan menjadi bentuk-bentuk-bentuk-bentuk kekotaan. Proses transformasi spasial

ini dapat terjadi lebih dahulu dari proses transformasi sosio kultural, namun

dapat pula terjadi sesudah terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan

(38)

Gambar 2. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan (Djakapermana, 2010)

Dalam Pengembangan pemodelan spasial dinamik dilakukan dengan

terlebih dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada. Kajian ini dibagi ke

dalam tiga kategori yakni model ekonomi, model ekologi, dan model sosial

berdasarkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan pada

dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan

lingkungan. Dengan demikian, tujuan Pembangunan Berkelanjutan terfokus pada

ketiga dimensi, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Hubungan keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan disajikan pada Gambar 2.

Pemodelan yang akan dibangun mempertimbangkan ketiga dimensi di atas

dalam satu kesatuan, sehingga akan ada suatu trade-off antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Pemodelan ini nantinya dapat digunakan untuk

menyusun alternatif-alternatif skenario pembangunan yang mendukung

terwujudnya proses pembangunan berkelanjutan. Selain mempertimbangkan

Ekonomi

 Pertumbuhan

 Efisiensi

 Stabilitas

Sosial

 Pemberdayaan

 Inklusi

 Konsultasi

Lingkungan

 Keliatan/keanekaragaman

 Sumber daya alam

 Polusi

Penurunan Kemiskinan Keberlanjutan

(39)

ketiga dimensi tersebut dalam penyusunan model tersebut juga dikaitkan dengan

perubahan-perubahan penatagunaan lahan (land use changes) akibat adanya pembangunan tersebut. Mengingat dikaitkan dengan perubahan tata guna lahan,

maka model yang digunakan bukan merupakan model statik tetapi merupakan

model sistem dinamik yang digabungkan dengan model dinamis spasial.

Selanjutnya, ketiga subsistem tersebut akan dilihat kinerjanya terhadap perubahan

lahan secara spasial. Dalam menganalisis perubahan lahan, penting memberi

penjelasan tentang terminologi perubahan untuk mendeteksinya dalam dunia

nyata. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai (secara

kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau berkurang) dari suatu jenis

penggunaan atau tutupan lahan. Pendeteksian dan pengukuran perubahan

tergantung kepada level ruang (spasial): semakin tinggi detil dari level spasial,

semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam.

Fokus analisis perubahan penggunaan lahan terletak pada dua hal yang

saling berkaitan: (1) faktor yang mendorong atau menyebabkan perubahan

penggunaan lahan dan (2) dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut

(baik secara ekologi maupun sosial-ekonomi). Faktor-faktor pendorong perubahan

penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu: kondisi bio-fisik dan

kondisi sosial-ekonomi. Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses

ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses

geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan

ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan faktor sosial-ekonomi melibatkan

persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan, serta

proses-proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur

industri, perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.

Faktor bio-fisik tidak mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara

langsung, kebanyakan hanya menyebabkan terjadinya perubahan pada tutupan

lahan, atau mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut.

Keputusan pengelolaan terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor perubahan

(40)
(41)

Berdasarkan uraian di atas untuk memperoleh alokasi penggunaan lahan

dalam rangka penataan ruang kawasan Jabodetabek yang berkelanjutan dengan

menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik

analisis yaitu analisis sistem dinamik, I-O interregional dan spasial dinamik

(42)

2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur

yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi dan Tim P4W (2007)

wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik

tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling

berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat

fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.

Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam,

sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentukbentuk kelembagaan.

Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan

sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis

tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam

Rustiadi dan Panuju, 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan

konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen

(uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, fase kemajuan perekonomian region/wilayah diklasifikasikan

menjadi: (1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan

keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial

dan politik, (2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan

koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian

dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal ataupolarized region

dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara

fungsional saling berkaitan, (3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang

(43)

Wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya

mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu, yang dimaksud

dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis

berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong

menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan

bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan

pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3)

keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep

wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan

sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat-sifat alamiah maupun non

alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan

wilayah perencanaan.

Perencanaan wilayah adalah suatu aktivitas manusia dalam usaha untuk

memanfaatkan suatu sumberdaya ruang yang terbatas yang tersedia di atas bumi

dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari suatu ruang.

Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia,

terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama

adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya

hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni

faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era

1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan

(unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya

dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna

mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal

dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang

memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa –kota (rural– urban linkages)

(44)

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas

kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran

cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan

gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif akan mampu

mempercepat terjadinya pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi)

memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota yang hirarki prasarana

jalan melalui Orde Kota.

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia

sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model

pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan

administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa

memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri

(Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005). Pengembangan wilayah dengan

memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional,

meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas.

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2005) prinsip-prinsip dasar

dalam pengembangan wilayah adalah:

1 Sebagaigrowth center Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan

secara nasional.

2 Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar

daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan

wilayah.

3 Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari

daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

4 Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi

Gambar

Gambar  1.  Perubahan  Penggunaan  Lahan  Kawasan  Jabodetabek  Tahun 1972 – 2009
Gambar 2.  Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan (Djakapermana, 2010)
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 4. Skema Pelaksanaan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana pengaruh tingkat pendidikan, jumlah tenaga kerja, dan pengeluaran pemerintah terhadap

Mengacu pada paparan latar belakang tersebut di atas maka peneliti akan mengkaji melalui penelitian tindakan kelas dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Children Learning

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mortalitas lalat buah Bactrocera papayae secara in-vitro dengan

Dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan untuk dicari jawabannya melalui studi yaitu: (1) Bagaimanakah keterkaitan ke belakang dan ke depan

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi pangan

Dengan adanya latar belakang dan permasalahan dalam penyelenggaraan perumahan di Kota Semarang bagian atas, maka disusun suatu penelitian yang bertujuan untuk

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan perlakuan akuntansi atas budidaya

Dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan untuk dicari jawabannya melalui studi yaitu: (1) Bagaimanakah keterkaitan ke belakang dan ke depan