• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasam Teoretik Kontribusi Local Wisdom Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa

KONTRIBUSI LOCAL WISDOM TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

B. Landasam Teoretik Kontribusi Local Wisdom Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa

budaya bangsa atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara.

B. Landasam Teoretik Kontribusi Local Wisdom Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa

1. Pendidikan Sebagai Proses Pembentukan Karakter Bangsa

Menurut Zamroni (2001:87) Pendidikan adalah “suatu proses menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan tentang hidup”, sikap dalam hidup agar kelak peserta didik dapat membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk, sehingga kehadirannya di masyarakat akan bermakna dn berfungsi secara optimal. Pendidikan sebagai proses bentuk kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi lain, dilakukan dalam tiga bentuk yaitu: pertama, nilai-nilai budaya yang sesuai akan diteruskan contoh : rasa ingin tahu, kejujuran, tanggung jawab, disiplin, mandiri, cinta damai, dan lain-lain; kedua, nilai kebudayaan yang kurang sesuai akan dilakukan perbaikan dan penyesuaian yang akan melahirkan bentuk kebudayaan baru; ketiga, nilai kebudayaan yang tidak sesuai akan diganti dengan bentuk kebudayaan baru.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan Nasional, hal tersebut berbunyi sebagai berikut: “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kratif mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Senada dengan pendidikan nasional di atas, Dasim Budimansyah ( 2014:5) mengemukakan beberapa konsep lain yang memiliki makna dengan karakter, yaitu moral, etika, ahlak, dan budi pekerti. Antara lain karakter dan moral misalnya memiliki hubungan yang erat, dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Corley and Phillips, 2000). Dengan kata lain karakter merupakan kualitas moral seseorang. Jika seseorang mempunyai moral yang baik, maka akan membentuk karakter yang baik yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya dalam memilih acuan bersikap dan bertingkah laku dapat dilakukan dengan melaksanakan beberapa petuah apabila ada di luar dari kelompok etnis tertentu untuk menghindari terjadinya konflik, misalnya peribahasa yang terkenal: “ Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung” selanjutnya “ Pindah cai pindah tampian” Oleh karena itu , orang

53 untuk eksis dalam ‘dunia asing’ itu. Oleh karena itu kebermaknaannya tidak sekedar “turut patuh kepada aturan setempat” melainkan menyadari bahwa rantau adalah alam yang memberi nafas dan kehidupan bagi mereka dan karena itu rantau adalah kampung halaman kedua mereka yang patut dipelihara dengan segenap kekuatan dan kesetiaan; dimana rantiang dipatah, disinan semua digali, di sinan aie disauak, dimana nagari dihuni, disinan adat dipakai

(dimana ranting dipatah, disana sumur digali, disana air disauk, dimana negeri dihuni, disana adat dipakai).

Pewarisan tradisi nilai budaya sendiri sebagai proses enkulturasi dimana pengertian istilah

enkulturasia adalah sebagai suatu konsep secara harfiah dapat dipandankan artinya dengan “pembudayaan”. Manan, (1989:9) menyatakan “pendidikan termasuk ke dalam proses

enkulturasi dalam arti luas, di mana peserta didik bertumbuh dan berkembang diinisiasikan ke dalam cara hidup dari masyarakat” Proses enkulturasi merupakan proses pembentukan perilaku dan sikap peserta didik yang didasari oleh ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ukuran keberhasilan proses enkulturasi nampak dalam perubahan sikap dan perilaku peserta didik. Hal ini sesuai dengan anjuran.

Komisi Internasional UNESCO (1966 dal;am Sanjaya, 2005:97) untuk menerapkan empat pilar pendidikan, yaitu: “Learning to Know, Learning to Do, Learning to Live Together,

and Leaning to Be”Belajar tidak hanya sebatas untuk tahu (Learning to know), tetapi bagai bagaimana mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata bagi peserta didik (Learning to do), belajar membangun jati diri peserta didik (Learning to be), dan membentuk sikap serta perilaku peserta didik dalam kebersamaan yang harmoni

(Learning to live together). Dengan demikian pendidikan adalah suatu proses enkulturasi nilai- nilai budaya yang menjadikan landasan dari cara berkarakter menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui pendidikan di lingkungan rumah tangga, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di persekolahan.

Kluckhohn dan Mowrer (1944: 1-29) mengatakan bahwa kebudayaan "culuture is, of course, a highly abstract way of speaking. In the behavioral world what we actually see in parents and other older and more experienced persons teaching younger and less experienced person." Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa kebudayaan merupakan penentu sikap anggota dari masyarakat, dan dapat dilihat dari sikap orang tua, orang dewasa dan orang yang lebih berpengalaman dalam mengajar orang yang lebih dewasa dan orang yang lebih berpengalaman dalam mengajar orang yang lebih muda atau kurang berpengalaman. Dengan kata lain, upaya transmisi sistem nilai budaya dilaksanakan melalui pendidikan. Aspek-aspek dari pengalaman belajar memberi ciri khusus membedakan manusia dari makhluk lain, dan dengan menggunakan pengalaman-pengalaman ini, sejak awal kehidupan dan dalam kehidupan selanjutnya, dia memperoleh kompetensi dalam kebudayaannya.

Sebagaimana disampaikan oleh Dewantara (1929:344),bahwa “Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hubungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (menambah) kebudayaan sendiri.” Selanjutnya Manan (1988:55), pentingnya mengadakan studi banding dengan bangsa lain yang sudah maju dari bangsa sendiri, tiada lain untuk memperluas gagasan- gagasan yang ada dalam suatu masyarakat dan mengubah sikap tertutup suatu masyarakat hanya dapat dilakukan dengan memperluas pendidikan yang akan dapat membawa perubahan dalam sikap dan memberikan landasan bagi peminjam gagasan-gagasan dari masyarakat yang sudah maju.

Tentunya berguru dengan cara meniru bangsa lain atau berguru kepada Jepang bukan hal yang tabu, namun bagaimana peniruan itu menghasilkan kualitas yang jauh lebih baik dari sebelumnya, meniru merupakan langkah awal kreatif yang jelas (Imation is the first creativity). Bangsa Jepang pada periode awal meniru berbagai hal dari bangsa Barat termasuk teknologi,

54 namun kemudian menjadi pelopor dan unggul karena mampu mengambil alih dan mengembangkannya secara inovatif.

Jepang adalah bangsa yang mandiri dan kreatif. Ia senantiasa memproteksi diri dengan cara bangga terhadap produk sendiri. Demikian pula dengan persoalan moral budaya melalui dua pilar utama sushin dan shitsuke (bermoral dan disiplin), Jepang mengokohkannya dengan filosofi yang berjati diri Jepang.Proses kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah bangsa Jepang menekankan kepada pembinaan nilai-nilai dan karakter, seperti disampaikan oleh

Okamoto (2009;9), yakni:

The characteristic way of thinking about education omong most Japanece ha to do with

the fundamental “purpose” of education which is more towards spiritual aspects and character development, i.e. what the Japanece call ‘kokoro’, rather than practical knowledge and skills.

Kokoro is a concept with a wide range ofconnotations including heart, mind, soul, sprit, attitude, value system andhumanity.

Bangsa Jepang mempunyai cara berpikir yang khas mengenai pentingnya tujuan pendidikan dasar bagi bangsa Jepang, yang menekankan kepada aspek-aspek perkembangan karakter dan spiritual yang disebut “kokoro” (hati), dibandingkan dengan aspek-aspek ilmu pengetahuan dan keterampilan. ‘Kokoro’ adalah konsep dengan konotasi yang luas dan berkembang melibatkan hati nurani, pikiran, jiwa, spirit, perilaku, sistem nilai dan humanitas. Sebagaimana dijelaskan oleh Okamoto (2001:20), yakni:

Elementary and secondary school teacher in Japan are considered responsible for pupils behavior after school hours and even outside of school. If a pupil is caught shoplifting, the store manager will usually call the offending pupil’s homeroom teacher instead of notifying the police.

Bertemali dengan apa yang di kemukakan oleh Okamato tersebut, bangsa Jepang memberikan tanggung jawab kepada guru-guru sekolah dasar dan menengah sangat besar dalam membina kepribadian para peserta didik, khususnya dalam hal menyangkut moralitas peserta didik. Setiap tindakan peserta didik yang melanggar hukum di dalam masyarakat, maka yang akan diminta pertanggung jawaban, adalah guru.

Guru di Indonesia sebagai the agent of change (agen perubahan) dalam kegiatan persekolahan atau kegiatan pembelajaran di sekolahan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyiapkan peserta didik untuk menjadikan manusia terdidik yang membawakan pencerahan bagi kehidupan bangsanya, sejalan dengan peran, tugas, dan tanggung jawab di dalam (UU RI No.20 Tahun 2003 Bab 2 Pasal 3) di katakana “ pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Guru profesional dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai pengajar, memimpin, model dan manajer kelas, mampu menyusun silabus mengacu pada standar isi, dan menyusun rencana pembelajaran mengacu kepada silabus, serta mengimplementasikannya dalam kegiatan pembelajaran, akan memiliki peluang besar untuk mengubah sekolah menjadi wahana kontribusi dan transformasi sistem nilai budaya dan karakter bangsa.Selanjutnya guru sebagai tenaga profesional pada jalur pendidikan formal diangkat sesuai dengan undang-undang, guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Lebih lanjut guru yang profesional diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan, sedangkan untuk meningkatkan guru dalam pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) bertujuan untuk meningkatkan kompetensi, profesionalisme, danmenentukan kelulusan peserta sertifikasi guru, terampil, dan berkarakter. Untuk itu guru

55 yang profesional akan menghasilkan belajar peserta didik yang proaktif, kreatif, inovatif, dan mendapatkan pengetahuan yang terintegrasi.

Menurut kurikulum tahun 2013 akhir pembelajaran yaitu meningkatkan dan keseimbangan antara Softs Kills dan Hard Skills dari peserta didik yang meliputi aspek sikap, keterampilan,dan pengetahuan, pengertian Softs Kills yaitu kemampuan menjadi manusia yang baik dan Hard Skills kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak.Peran ini harus mendongkrak motivasi, kreasi, dan prestasi belajar peserta didik untuk menciptakan peserta didik bukan hanya cerdas secara intelektual tapi juga cerdas secara emosional (keseimbangan

IQ dan EQ) serta mulai memupuk bagaimana peserta didik merajut masa depan sehingga peserta didik merasa belajar yang selama ini terasa sebagai beban dapat berubah menjadi sebuah kebutuhan dengan meningkatkan AdvercityQuestion (AQ), serta membimbing peserta didik menuju keserdasan Spritual (SQ).

Kebudayaan menjadi bagian dari keberadaan manusia yang erat hubungannya dengan lingkungan, sehingga setiap kejadian secara historis atau berdasarkan evolusi manusia akan menjadi salah satu faktor penyebab perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan juga dapat disebabkan adanya kontak dengan budaya lain atau berasal dari kebudayaan itu sendiri, seperti adanya penemuanpenemuan baru (inventions) atau inovasi (innovation). Di samping itu alam turut menentukan perubahan kultur/budaya, misalnya berakhirnya zaman es mendorong lahirnya agrikultur. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa dengan adanya interaksi antar sesama manusia sebagai makhluk sosial, interaksi antara manusia dengan alam, dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka transformasi kebudayaan akan terus berlangsung.

Konsep dasar budaya sendiri menurut Koentjaraningrat (2002:181), adalah bahwa kata "kebudayaan" berasal dari kata Sanskerta, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal". Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan akal". Ada teori lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti "daya dari budi". Karena itu, mereka membedakan "budaya " dari "kebudayaan". Demikian "budaya" adalah "daya dari budi" yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan "kebudayaan" adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Dalam istilah "antropologi-budaya"perbedaan itu ditiadakan. Kata "budaya" di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari "kebudayaan" dengan arti yang sama.

Lebih jelasnya dikemukakan oleh Har Tilar (2000:49), bahwa: hakekatnya kebudayaan tampak dengan jelas betapa besarnya peranan pendidikan dalam perkembangan bahkan matinya kebudayaan. Dalam rumusan-rumusan hakekat kebudayaan misalnya dari Tylor, Koennjaraningrin kebudayaan itu, maupun Ki Hajar Dewantara tampak dengan jelas betapa pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Bahkan tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung dan berkembang bahkan memperoleh dinamikanya. Kontribusi Local Wisdom Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa

Kearifan nilai budaya lokal (local wisdom) sangat menarik dilakukan pada saat perhatian bangsa dan pemerintahan Indonesia saat ini tertuju pada upaya pendidikan dewasa ini tengah dihadapkan pada kebutuhan mendesak berkaitan dengan tuntutan peran kontribusi dalam membangun karakter bangsa. Hal ini bangsa Indonesia sejak dulu, berbagai karakter yang telah ikut membentuk bangsa Indonesia diakui ataupun tidak sekarang semakin tergeser dengan karakter baru yang belum tentu sesuai dengan karakter budaya bangsa Indonesia. Dalam kenyataan seperti ini diharapkan pendidikan berbasis budaya di lingkungan peserta didik mampu menjadi saluran penguatan nilai-nilai budaya bangsa salah satunya bersumber pada nilai budaya lokal (local wisdom) pada upaya menggali kembali nilai budaya lokal (local wisdom).

Selanjutnya Sartini (2004: 111-112) menyatakan bahwa local genius sebagai local wisdom. Berdasarkan pendapat di atas, maka local wisdom diidentikkan dengan local genius.

56 Dalam konteks makalah ini maka antara local wisdom dengan local genius dianggap sama atau identik. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Gobyah (2003) dalam Sartini (2004: 57) yang menyatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau

ajeg dalam suatu daerah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, nilai kearifan budaya lokal (lokal wisdom) terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Nilai kearifan budaya lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa kearifan lokal (local wisdom) adalah seluruh gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok etnis tertentu. Nilai kearifan budaya lokal dipahami sebagai khazanah budaya lokal yang dimiliki oleh warga di setiap daerah, dikenal, dihargai dan ditemukan melalui berbagai format (lisan, tulisan dan tindakan/perilaku).

Lebih lanjut keterkaitannya dengan bentuk-bentuk nilai kearifan budaya lokal (local wisdom) antara lain: kepercayaan (aspek dasar dalam kehidupan warga masyarakat) untuk mempertahankan lingkungan, kesehatan dan hidup keseharian warga. Sebagai contoh, kawasan hutan (bernilai magis), festival keagamaan, cerita-cerita rakyat, relasi sosial (kekerabatan) yang dipercayai berasal dari leluhur yang sama, seni tari, nyanyian, makan bersama dan sebagainya. Nilai kearifan budaya lokal (local wisdom) memiliki dua karakteristik pokok yakni: pertama, warga lokal akrab dengan elemen-elemen budaya/pengetahuan lokal yang ada, dipahami, dipraktekkan dan dipreservasi. Kedua, kumpulan pengetahuan atau khasanah lokal tersebut hidup dan berkembang di dalam lingkungan sosial, tertentu. Perubahan waktu, intensif kontak dengan dunia luar, pesatnya komunikasi, arus globalisasi (faktor eksternal), dan kebutuhan serta perkembangan dan dalam komunitas itu sandi (faktor internal) telah ikut mereduksi kearifan lokal itu sendiri.

Penerapan di dunia pendidikan gagasan tentang pentingnya kearifan lokal (local wisdom) menjadi basis pendidikan dan pembudayaan, digagas pertama kali oleh Alwamsilah (2008 dan 2009) yang menawarkan konsep etnopedagogi. Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Kearifan nilai lokal budaya (local wisdom)

adalah koleksi fakta, konsep, kepercayaan, dan persepsi masyarakat ihwal dunia sekitar. ini mencakup cara mengamati dan mengukur alam sekitar, menyelesaikan masalah, dan memvalidasi informasi. Singkatnya, kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan.

Berkaitan dengan beberapa pendapat para ahli tersebut, karakteristik kearifan lokal yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kolaborasi dan sinergi dari pendapatnya Habba

(2008), Moendardjito (2006) dan Alwasilah (2008) yang bercirikan sebagai berikut:

(1) Sebagai penanda identitas, perekat kohesi sosial dan kebersamaan sebuah komunitas, (2), terbentuknya berdasarkan pengalaman, secara evolusioner dan sangat terkait dengan sistem kepercayaan, (3),unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli serta memberi arah pada perkembangan budaya, (3) teruji setelah digunakan berabad-abad, terbina secara komulatif, bersifat dinamis dan terus berubah, (4) padu dalam praktik keseharian masyarakat dan lembaga yang lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, (5) tidak abadi, dapat menyusut, dan tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah.

Kearifan budaya lokal (local wisdom) yang tumbuh berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki kekhususan dari berbagai aspek, nilai-nilai kearifan budaya lokal (local wisdom) karakter, politik, pendidikan, dan ekonomi yang tumbuh berkembang. Agaknya, sepanjang sejarah hidup masyarakat bangsa Indonesia yang terus-

57 menerus bergulat mempertahankan eksistensi nilai budaya lokal (local wisdom) dan sebagai identitas jati diri bangsa Indonesia.

Adimihardja,(2008:122) mengemukakan bahwa bentuk perwujudan kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan pencerminan sistem pengetahuan bersumber pada nilai budaya di Paneglang (Banten Selatan) masih nampak pada 0rang Baduy, seperti:

(1). Dalam lahan perladangan lama cukup dibersihkan semak belukarnya, dibakar, dibersihkan kembali, ditanam hingga dituai. Bagi penduduk Baduy daerah Paneglang (Banten Selatan) melanggar siklus dalam tahap-tahapan perladangan itu merupakan pantangan berat, hingga kini ungkapan gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, sasaka teu meunang direumpak,“gunung tidak boleh dihancurkan, dataran tidak boleh dirusak, dan tanah

suci tidak boleh diacak-acak,” tetap dipegang teguh. Menurut mereka, melanggar adat, buyut, berarti meruntuhkan cita-cita manusia untuk menjadi ratu, menurunkan derajat dan wibawa, kalah dalam peperangan, dan seluruh negeri akan menderita. (2). Orang Baduy sangat tampan, berwajah halus. Dengan demikian pula tangan dan kaki, panjang serta halus pula,sedang kulitnya pucat dan penampilan mereka menyenangkan. Sikap mereka alamiah, tidak memperlihatkan emosi dan keinginan tahuan yang berlebihan pada saat menerima tamu dari luar.Mereka adalah orang-orang lembut, tetapi tidak penakut. Orang Baduy sangat jujur, patuh pada pimpinan adat. (3) Dalam sistem politik yang berlaku dikalangan orang Baduy Daleum yang terdiri dari tiga kmpung suci yaitu; Cibeo, Cikartawana dan Cikuesik, masing-masing kiampung tersebut memiliki fungsi sosial yang berbeda dan masa periode jabatannya tidak ditentukan. Jabatan di bawah jaro adalah girang seurat ini bertugas memelihara huma serang (ladang bersama) menjadi penghubung serta pembantu utama puun. ((4) Bareusan, semacam badan perwakilan yang bertanggung jawab dalam bidang ketertiban dan keamanan.

Lebih jauh dikemukakan oleh Garna, (1999:98) bahwa:

Dari beberapa kasus Orang Baduy yang menentang pikukuh tampak bahwa sebenarnya pelanggaran itu sebenarnya masih mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihannya, asalkan ia tidak bermukim di Kanekes dan tak menyebut lagi sebagai Orang Baduy. Sebenarnya mereka sadar dan mengetahui sesuatu, seperti halnya tentang bersekolah, yang menyatakan bahwa: sakola mah pikeun pinter, lain bener, tapi nu penting jal ma mah bener lain pinter (sakola itu untuk pandai, tetapi yang penting bagi manusia, bener bukan pinter). Apabila memang keinginannya adalah pindah ke luar Kanekes, maka terlebih dahulu minta izin puun untuk menjadi orang luar dan hidup di tempat lain.

Sejalan dengan penjelasan di atas, lebih jelas tampaknya orang Baduy sudah melaksanakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar apa yang ada di dalam tujuan pendidikan tersebut, seperti halnya tentang bersekolah, yang menyatakan bahwa: Sakola mah pikeun pinter, lain bener, tapi nu penting jang jelema mah bener lain pinter (sekolah itu untuk pandai, tetapi yang penting bagi manusia, bener bukan pinter).

Sependapat dengan itu Kusnawan, (Pikiran Rakyat, 23 Desember 2013) menyatakan

Theodore Roosevelt pernah menyampaikan kekhawatirannya mengenai pendidikan suatu bangsa, “ To educate person in mind and not society (pendidikan seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak bukan pada aspek moral adalah ancaman marabahaya dalam masyarakat).”

Senada dengan itu, Winataputra, (2008:11.10), menjelaskan bahwa:

Warga negara yang cerdas sebagaimana hendak diwujudkan melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) tidak semata-mata memenuhi kualifikasi cerdas secara intelektual (Intelelectual Quation) melainkan cerdas secara emosional (Emotional Intelligence),cerdas spiritual (Spritual Intelligence),cerdas secara moral (Moral Intelligence)..

58 Selanjutnya beberapa contoh kearifan lokall (local wisdom) masyarakat Jawa Timur menurut Nurul Zuriah, 2011: 16) antara lain:

1)“ Seng gedhe ora keno gumedhe,seng cilek ora keno mitek” (yang besar tidak boleh sombong, yang kecil tidak boleh seperti ayam,2)“Sayuk rukun saiyeg praya”

(manunggal rukun bersama-sama satu tujuan),3)”Sing guyub saeka praya” manungal rukun bersama-sama satu tujuan),4)”Gototng royong”(kerja bersama,kebrsamaan untuk mencapai keselarasan dan kebagiaan),5)”Ana caturmungkur“(menghindari silat

lidah, biar dingin dulu), 6)”Aja adigang-adigung adiguna” (jangan menyombongkan

kekayaan, kekuatan dan kekuasaan),7) “Aja dumeh, tepa sliro, ngerti kuwalat (jangan merasa hebat, tenggang rasa dan tahu karma),8)“Wong urip nggur sawang sinawang

(orang hidup hanya saling memandang satu sama lain), 9)” Negara mawa tata, desa mawa cara“ ( negara punya aturan,desa punya cara),10) “Tata tentrem karta rahaja”

(tertata tentrem, makmur dan aman),11)”Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangurungkebi, mulat sarira hangrasa wani”( merasa ikut memiliki, merasa wajib

membela, melihat badan dan mawas diri), 12) Empan papan (sesuai waktu dan tempat), dan 13) “Salam satu jiwa Arema” ( salam untuk merasa satu jiwa).

Senada dengan itu, beberapa kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Jakarta, menurut Suswandari (2009:11) Enik menjadi faktor pengikat yang cukup kuat apabila dibandingkan dengan identitas sosial lainnya,yang direferensikan pada enik.Contoh,sepanduk itu berbunyi: “kalau bukan kite, siapa lagi yang jaga kampung kite,lujual gue beli, nyok rama-rame kita