• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Karakter Berbasis Budaya Kolektif pada Generasi Z dalam Proses Pembelajaran

UPAYA MEMBANGUN KARAKTER ANAK BANGSA

G. Pembangunan Karakter Berbasis Budaya Kolektif pada Generasi Z dalam Proses Pembelajaran

Pembangun karakter dalam konteks pendidikan mempunyai tujuan salahsatunya adalah mengembangkan kemandirian dan rasa tanggung jawab siswa untuk hidupnya agar kelak siswa tidak bergantung kepada sosok yang menindas dan mampu bertahan dengan keadaan yang semakin sulit pada jaman sekarang. Lebih lanjut, pembangunan dalam konteks pendidikan

121 dapat menggunakan metode yang salah satunya adalah pembelajaran berbasis budaya, serta nilai yang dijadikan pembelajaran berbasis budaya disini adalah dengan mengambil dan menerapkan pada pembelajaran dari budaya kolektif.

Jalaluddin & Idi (2014, hlm 214-215) kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang anak didik dan generasi muda yang mengindikasikan kualitas karakter ini tidak terjadi dengan sendirinya. Selain faktor nature, nurture juga berpengaruh. Lebih jauh, proses sosialisasi atau pendidikan dalam proses pembentukan karakter anak didik, setidaknya terletak pada peranan orang tua/keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat, terlebih pemerintah.

Faktor alami (nature) dapat diartikan bahwa karakter yang terdapat pada seseorang telah hadir ketika anak didik tersebut lahir kedunia yang dipengaruhi oleh gen orang tua serta peran orang tua dalam membentuk karakter dalam keluarga. Sedangkan faktor pemeliharan (nuture) yang mempengaruhi dalam pembangunan karakter dapat dijelaskan bahwa pemeliharaan karakter seseorang dapat dilakukan dengan penerapan dan pembiasaan dalam sebuah proses pembelajaran yang berbasis budaya dilingkungan sekolah dan interaksi sosial di lingkungan masyarakat budaya. Dengan demikian peran lingkungan sekolah bukan salahsatu tempat dalam membangun karakter seseorang untuk menjadi lebih baik tetapi dalam hal ini campur tangan peran orang tua dalam lingkungan keluarga dan peran masyarakt dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya pun mendapatkan andil untuk mempengaruhi dalam pembangunan karakter seseorang.

Berkaitan dengan hal di atas, pembangunan karakter perlu dilakukan demi terwujudnya karakter mulia yang merupakan tujuan akhir dari suatu proses pendidikan. Budaya atau kultur yang ada di sekolah mempunyai preranan yang sangat penting dalam membangun karakter generasi Z. Karena itu, lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan karakter (pendidikan moral) bagi para peserta didik yang didukung dengan membangun lingkungan yang kondusif baik di lingkungan kelas, sekolah, tempat tinggal peserta didik, dan di tengah-tengah masyarakat.

Dalam mewujudkan karakter pada generasi Z sangat perlu dibangun budaya yang dapat mempercepat terwujudnya karakter yang diharapkan. Budaya bisa dikatakan kebiasaan atau tradisi yang kental dengan nilai-nilai tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan dalam hal ini adalah budaya kolektif yang diciptakan oleh masyarakat jaman dahulu untuk menyelesaikan sebuah permasalahan secara kekeluargaan dan kebersamaan.

Selain itu juga budaya kolektif merupakan sebuah pola masyarakat jaman dahulu yang melakukan segala kegiatan dengan cara bergotong royong dengan cara saling berinteraksi secara langsung dengan masyarakat lainnya untuk mempererat silahturahmi dan hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, Budaya kolektif memiliki konsep diri saling melengkapi. Ciri konsep diri dalam budaya kolektif ini membawa pengaruh pada banyak aspek terhadap perilaku seseorang.

Markus and Kitayama (Gea 2010, hlm 39) menjelaskan bahwa budaya kolektif atau bisa disebut dengan istilah non-Western, yang memiliki pemahaman lain tentang diri, di mana individu dipandang sebagai yang terhubung atau saling terhubungkan dengan yang lain, dan tidak dapat dipisahkan dari suatu konteks sosial tertentu, yang dicirikan dengan budaya kolektif.

Berkaitan dengan hal di atas, salahsatu contoh dari budaya kolektif adalah budaya gotong royong. Budaya gotong royong merupakan sebuah kebiasaan pada suatu kelompok masyarakat tanpa memandang status sosial dan kepentingan individu untuk mencapai sebuah tujuan bersama dengan rasa tanggung jawab dan kedisiplinan secara kolektif sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada kelompok masyarakat tertentu. Jika ditinjau dari pengertian dan contoh budaya kolektif, maka penerapan budaya kolektif atau budaya gotong royong dalam sebuah proses pembelajaran berfokus kepada peran aktif peserta didik untuk saling berinteraksi

122 secara langsung antar sesama peserta didik lain sehingga proses pembangunan karakter pada diri siswa dapat berjalan. Selain itu, nilai-nilai yang ada pada budaya kolektif (budaya gotong royong) tersebut memiliki nilai-nilai kearifan yang sejalan dengan konsep pendidikan di abad 21 yang menitik beratkan kepada empat kompetensi yang harus dimiliki siswa dalam pendidikan abad 21.

Morocco, et al (Abidin 2014, hlm 8) menjelaskan bahwa karakteristik pendidikan abad 21 mempunyai empat kompetensi, yaitu; (1) kemampuan pemahaman yang tinggi; (2) kemampuan berpikir kritis; (3) kemampuan berkolaburasi dan berkomunikasi; dan (4) kemampuan berpikir kreatif.

Berkaitan dengan hal di atas, jika kita hubungkan peran budaya kolektif pada proses pembelajaran maka akan menciptakan suatu pembelajaran yang mengkolaburasikan antara pembelajaran modern dengan nilai-nilai kerifan lokal (local wisdom). Sehingga potensi dan karakter yang ada pada diri peserta didik atau generasi Z dapat berkembang khususnya empat kompetensi yang harus dimiliki peserta didik dalam konsep pendidikan abad 21. Dalam hal ini, jenis pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif. Pada dasarnya pembelajaran kooperatif dengan budaya kolektif merupakan suatu pola yang sama akan tetapi budaya kolektif lebih memperhatikan lebih mengacu kepada nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Lebih lanjut penerapan pembelajaran kooperatif yang dilakukan harus memadukan dengan nilai-nilai yang terdapat pada budaya kolektif keindonesiaan seperti nilai gotong royong, kekeluargaan, kedisiplinan, dll.

Jika kita melihat karakter yang terdapat pada generasi Z maka generasi Z sudah jauh dari karakter keindonesiaan seperti apatis terhadap lingkungan sekitarnya, tidak mau berusaha dan bekerja keras atau bermental instans, dll. Dengan demikian perlu adanya pembiasaan yang dilakukan di sekolah terhadap generasi Z dengan menggunakan pembelajaran kooperatif yang di padukan dengan nilai-nilai budaya sekitar agar karakter generasi Z dapat berubah dan berkembang menjadi karakter yang mulia sesuai dengan karakter keindonesiaan.

Pembelajaran koopertif yang dipadukan dengan permainan tradisional berkelompok merupakan salahsatu model pembelajaran yang sangat cocok diterapkan di sekolah. Jika ditinjau dari perkembangannya, permainan tradisional dapat mempengaruhi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik pada generasi Z. selain itu, nilai-nilai yang terdapat pada permainan tradisional berkelompok juga sejalan dengan empat kompetensi yang harus dimiliki generasi Z dalam kmonsep pandidikan abda 21. Dengan demikian perpaduan antara pembelajaran kooperatif dengan nilai budaya kolektif yang terdapat pada permainan tradisional sangat cocok untuk diterapkan pada generasi Z dalam meminimalisasi dampak buruk karakter yang ada pada generasi Z.

Hal ini sejalan dengan Rusman (2011, hlm 202) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dimana siswa bekerja dan belajar dalam kelompok kecil heterogen yang terdiri atas 4-6 orang secara kolaboratif. Dengan demikian dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru sehingga aspek keterampilan sosial siswa berkembang.

Lie (2010, hlm 31) menjelaskan bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran kooperatif harus diterapkan, yaitu; (1) saling ketergantungan positif; (2) tanggung jawab perseorangan; (3) tatap muka; (4) berkomunikasi antar anggota; dan (5) evaluasi proses kelompok. Berdasarkan penjelasan tersebut maka model pembelajaran kooperatif menjadikan siswa saling kergantungan positif di dalam kelompok bertanggungjawab demi kelompoknya. Lebih lanjut model pembelajaran kooperatif juga memberikan kesempatan kepada siswa yang satu dengan yang lain agar saling menghargai atas berbagai pendapat, sehingga dapat saling bertukar pengalaman untuk menyelesaikan masalah.

123 Selain itu, Liliweri (2014, hlm 27) menjelaskan bahwa terdapat tiga fungsi kebudayaan bagi kelompok.

1) Kebudayaan membuat hubungan sosial antara personal menjadi utuh. Kebudayaan tidak hanya memenuhi fungsi yang dikehendaki individu tetapi fungsi bagi kelompok. Solidaritas kelompok bertumpuh pada fondasi kebudayaan

2) Kebudayaan telah memberikan visi baru bagi individu untuk bekerjasama antar personal. Kebudayaan mengajarkan setiap individu untuk menganggap dirinya sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Dengan konsep ini lahirlah kesadaran akan keluarga, komunitas suku bangsa, banga dan Negara.

3) Kebudayaan menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, kebutuhan tersebut dapat lahir dan drive sebagai pendorong terjadinya perubahan kelompok.

Dengan demikian, pembelajaran kooperatif yang dipadukan dengan nilai kearifan dari budaya kolektif menitik beratkan kepada kerjasama kelompok dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah serta dapat memberikan dampat yang positif terhadap generasi Z dalam membangun karakter.

Winataputra, dkk (2012, hlm 4.12) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis budaya merupakan suatu strategi penciptaan lingkungan belajar dan perencanaan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi pendidikan, ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, dan perkembangan pengetahuan. Budaya merupakan media untuk memotivasi peserta didik dalam mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan mempersiapkan keterkaitan antar berbagai macam pelajaran.

H. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, pembelajaran yang berbasis budaya kolektif seperti pembelajaran kooperatif dan permainan tradisional dapat meminimalisasi pengaruh kemajuan teknologi yang berdampak kepada kemunduran karakteristik pada generasi Z yang cenderung jauh dari karakter manusia keindonesiaan. Selain itu, pembelajaran berbasis budaya kolektif juga dapat mengembangkan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa dalam konsep pendidikan abad 21 seperti memiliki pemahaman yang tinggi, memiliki pemikiran yang kritis, memiliki pemikiran yang kreatif, dan mempunyai sikap berkomunikasi dan berkolaburasi.

Lebih lanjut, peranan budaya kolektif pada generasi Z dalam membangun karakter anak bangsa dapat menjadi solusi dalam permasalahan-permasalah yang ada dalam proses pembelajaran. Dengan demikian kolaburasi antara proses pembelajaran dengan budaya kolektif dapat menjadi usulan yang patut dicoba oleh para pendidik yang futuristik.

I. Saran

Dalam upaya memajukan pendidikan Indonesia yang futuristik maka lembaga pendidikan yang berpean penting dalam membangun karakter anak bangsa diharapkan dapat menerapkan pembelajaran berbasis budaya kolektif dalam proses pembelajaran di sekolah. Selain itu, untuk para akademisi diharapkan agar lebih bisa mengembangkan model-model pembelajaran yang dipadukan dengan budaya kolektif agar karakter generasi Z dimasa yang akan datang karakter dan jati diri generas Z yang keindonesiaan lebih kuat dan kokoh.

J. Daftar Pustaka

Abidin, Y. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama.

Jalalaluddin, H & Abdullah I. (2014). Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

124 Kemendikbud. (2015). Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta:

Kemendikbud.

Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland:Bantam books.

Liliweri, A. (2014). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.

Ma’mur, J. (2012). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press

Pratama, H. C. (2012). Cyber Smart Parenting. Bandung: PT. Visi Anugerah Indonesia. Pusat Kurikulum. (2010). Buku Pedoman Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:

Pusat Kurikulum Kemdiknas.

Santosa, E. T. (2015). Raising Children in Digital Era. Jakarta: Elex Media Komputindo. Saptono. (2014). Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi, dan Langkah

Praktis. Jakarta: Erlangga.

Simanjuntak, B. A. (2014). Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Tilaar, H.A.R. (2007). MENGINDONESIA: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Wintaputra, U. S, dkk. (2012). Pembaharuan Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Gea, A. A. (2010). Pengembangan Culture, Self, and Personality dalam Diri Manusia. Binus: Jurnal Humaniora. Vol. 1. No. 1. April 2010.

Lie, Anita. (2010). Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning Di Ruang- Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

125

REKONSTRUKSI FORMAT PEDAGOGIK :SEBUAH UPAYA