• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIF SISWA SEKOLAH DASAR

B. Tinjauan Pustaka 1 Konsep Pedagogik

Dalam berbagai kajian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli tentang pedagogik, terdapat berbagai definisi tentang pedagogik. Pedagogik sering diartikan dalam makna yang beragam. Ada yang mengartikan pedagogik sebagai ilmu pendidikan, dan ada juga yang mengartikan pedagogik secara spesifik sebagai ilmu pendidikan anak. Namun demikian, sebelum kita meninjau lebih lanjut makna pedagogik, terlebih dahulu perlu kiranya dipahami pedagogik dari dua istilah yang hampir sama, namun memiliki arti yang berbeda, yaitu pedagogi (paedagogie) dan Pedagogik (pedagogiek). Secara etimologi istilah pedagogik berasal dari dua kata dalam bahasa latin Yunani kuno, yaitu paedos yang berarti anak dan agogos yang berarti mengantar, membimbing atau memimpin. Sehingga berdasarkan kedua pengertian kata tersebut pedagogik yaitu seorang pembantu atau pelayan pada zaman Yunani kuno yang memiliki tugas untuk mengantar atau menjemput anak tuannya ke sekolah. Selain itu, ia juga memiliki tugas untuk membimbing anak majikannya.

Namun demikian, dalam perkembangannya istilah tersebut mengalami perubahan dan perluasan makna. Terdapat beberapa ahli yang memahami pedagogik berdasarkan cara pandangnya masing-masing. Ada yang memandang bahwa pedagogik dimaksudkan sebagai pendidikan dalam arti luas/ umum tanpa memandang dan membedakan tingkat usia kematangan seseorang. Namun ada juga yang secara tegas hanya membatasi pada pendidikan anak semata. Langeveld (dalam Salam, 2011) berpendapat bahwa pedagogik ialah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan.

Sadulloh (2011) berpendapat bahwa Pedagogik merupakan suatu teori dan kajian yang secara teliti, kritis dan objektif mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakikat manusia, hakikat anak, hakikat tujuan pendidikan serta hakikat proses pendidikan. Sejalan dengan itu, Purwanto (2003) mengungkapkan bahwa pedagogik sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Selain dari kedua pendapat ahli di atas, lebih jelas, Dariyo (2013) berpendapat bahwa pedagogik suatu disiplin ilmu yang mempelajari proses, tujuan, dan manfaat kegiatan pendidikan bagi pengembangan segenap potensi individu maupun kelompok dari masa bayi sampai dewasa, agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab di masyarakat.

Berbeda dengan beberapa pendapat ahli di atas, Hidayat (2013) yang memandang bahwa pedagogik dipahami sebagai suatu seni pengajaran secara umum. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pedagogik merupakan ilmu yang mengkaji secara kritis hakikat manusia, dan hakikat pendidikan yang meliputi proses, tujuan dan manfaat pendidikan sebagai upaya dalam mengembangkan potensi manusia dan mengantarkan manusia pada hakikat kemanusiaannya sebagai mahluk multidimensi (Memiliki relasi dengan Tuhan, Manusia, Alam dan dengan dirinya sendiri) melalui proses pendidikan, yang bertujuan untuk menumbuhkan kedewasaan dalam multiaspek.

173 Berdasarkan penjelasan di atas, pedagogik tentu bukan hanya diartikan sebagai ilmu praktis yang hanya akan terikat pada sebuah “metodologi” semata, melainkan lebih dari itu, pedagogik harus dipahami sebagai sebuah ilmu mengenai hakikat manusia dan hakikat pendidikan. Pedagogik sebagai ilmu yang mengkaji tentang hakikat manusia, memiliki makna bahwa proses pendidikan sejatinya harus mampu memberikan pemahaman bahwa manusia memiliki keterikatan hidup tidak hanya dalam satu dimensi yang mencakup hubungannya dirinya sendiri (Eksistensi diri), melainkan juga memiliki keterikatan dengan manusia lainnya (Sosial), alam (Zaman), dan Tuhan (Religius). Oleh sebab itu, maka pendidikan perlu dimaknai sebagai upaya yang tidak hanya untuk mengembangkan diri individu, melainkan perlu menyentuh dimensi sosial yang mencakup hubungannya dengan manusia lain dalam konteks kehidupan sosio-kultural. Sehingga hal tersebut akan menjadikan manusia, sebagai makhluk yang berbudaya.

Selain itu, pendidikan perlu dimaknai sebagai upaya untuk memberikan pemahaman tentang hakikat manusia yang memiliki keterikatan dengan alam/ zaman. Artinya bahwa pendidikan harus mempersiapkan manusia yang dapat hidup pada zamannya. Dengan kata lain, bahwa pendidikan harus mampu membekali manusia sebuah kompetensi yang sesuai dengan perkembangan zaman (ilmu pengetahuan dan teknologi), agar dapat menjalani hidup dan berkehidupan di tengah perubahan dan dinamika budaya yang semakin berkembang.

Selanjutnya, pendidikan perlu dimaknai sebagai upaya untuk memberikan pemahaman tentang hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan. Artinya pendidikan harus memberikan pemahaman bahwa manusia sebagai makhluk ber-Tuhan, harus senantiasa menjaga nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan, baik dalam menjalani hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia lainnya dan dengan alam/ zamannya. Sehingga hal ini akan menumbuhkan sebuah keseimbangan hidup, yang tidak hanya didasarkan pada kepentingan diri, melainkan pada dimensi kehidupan lainnya agar tercipta kehidupan yang harmonis.

2. Konsep Multiliterasi

Pada mulanya Multiliterasi hanya dikenal dengan istilah literasi yaitu alat yang dapat digunakan untuk memperoleh dan mengomunikasikan informasi. Sejalan dengan perkembangan waktu, istilah ini telah mengalami pergeseran makna yang lebih luas pada bidang ilmu lainnya. Secara terminologi, McKee dan Ogle (2005) mengemukakan bahwa literasi pada awalnya harus dipandang sebagai kemampuan untuk menggunakan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara seefisien mungkin untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Selanjutnya definisi ini diperluas dengan kemampuan mengkritisi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber dalam berbagai ragam disiplin ilmu (Pullen dan Cole, 2010). Berdasarkan pendapat di atas istilah literasi mengalami perubahan menjadi Multiliterasi yang merupakan sebuah alat komunikasi pada bidang ilmu yang dikomunikasikannya.

Abidin (2015, hlm. 100) mengungkapkan bahwa Multiliterasi merupakan kemampuan berbahasa (membaca, menulis, berbicara dan menyimak) yang bertemali dengan konteks, budaya, dan media. Artinya bahwa dalam penerapan kemampuan berbahasa tersebut dipadukan dengan keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Selain dari itu keterampilan tersebut akan berhubungan dengan berbagai disiplin ilmu dan berbagai budaya.

Selain itu, Abidin (2015) berpendapat bahwa Multiliterasi merupakan pembelajaran yang mengoptimalkan keterampilan-keterampilan multiliterasi dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih baik. Pembelajaran ini diorientasikan bagi pengembangan dan penggunaan keempat kompetensi abad ke-21 yakni kompetensi berpikir kritis, kompetensi pemahaman konseptual, kompetensi kolaboratif dan komunikatif, dan kompetensi berpikir kreatif. Selain itu, Multiliterasi merupakan pendekatan belajar yang dikembangkan

174 berdasarkan kesadaran dan pengakuan atas keberagaman dan kompleksitas perspektif budaya siswa dan keberagaman gaya belajar yang dimilikinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pedagogik multiliterasi merupakan konsep pembelajaran lintas disiplin yang secara substansial perlu diaplikasikan agar siswa memperoleh dan mampu membangun pengetahuan secara optimal dan mendalam melalui penggunaan media informasi dan teknologi dan dalam latar kehidupan budaya siswa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa siswa akan memperoleh pengetahuan yang bermakna jika pembelajaran didasarkan pada sebuah materi yang bersifat lintas bidang ilmu (interdisipliner) dan kontekstual sesuai latar budaya kehidupan siswa, guna membangun konsep pengetahuan siswa secara utuh. Hal ini dipertegas dengan pendapat Ivanic (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan multiliterasi merupakan proses memberikan tantangan kepada siswa untuk mengkaji dan menerapkan literasi praktis yang berfungsi sebagai alat mediasi untuk mempelajari berbagai konsep lintas kurikulum.

Berdasarkan penjelasan di atas, dalam kaitannya, pedagogik Multiliterasi informatif kritis diartikan sebagai sebuah model pendidikan yang membangun pengetahuan secara kontekstual dengan latar kehidupan budaya dan perkembangan media teknologi dan informasi, sebagai upaya melatih dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa untuk menyikapi fenomena/ problematika kehidupan dalam multiperspektif. Dengan kata lain Pedagogik Multiliterasi menekankan pada pengalaman bermakna siswa sebagai dasar untuk mengonstruksi ilmu secara efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan pendapat, Cope dan Kalantzis (2005) berpendapat bahwa pedagogik multiliterasi menyajikan sebuah pengalaman belajar yang efektif dan efisien. Selain itu, Pedagogik Multiliterasi informatif kritis dapat dikatakan pula sebagai model pendidikan yang didasarkan pada penggunaan media informasi dan situasi kehidupan nyata melalui pembelajaran lintas disiplin sebagai upaya dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa dan untuk menumbuhkan dan membangun kreativitas ideasional siswa.

Iyer & Luke, (2010) yang mengungkapkan bahwa melalui pendekatan Multiliterasi siswa akan memperoleh pemahaman yang tinggi. Selain itu, Abidin (2015) berpendapat bahwa Multiliterasi juga diyakini mampu mengembangkan kreativitas tingkat tinggi sebagai keterampilan paling penting bagi siswa. Hal ini dipertegas oleh Concannon-Gibney dan McCarthy (2012) berdasarkan penelitiannya, menyimpulkan bahwa “Multiliteracies education

plays a key role in science achievement”. Dengan kata lain bahwa pendidikan multiliterasi menjadi kunci utama dalam pencapaian ilmu pengetahuan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, Pedagogik Multiliterasi dapat dipandang sebagai sebuah model pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian hasil pengetahuan semata, melainkan lebih dari itu pada proses atau aktivitas yang mampu mengembangkan potensi dan seluruh aspek dalam diri siswa yang meliputi kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif, mandiri, dan kemampuan lainnya serta mengembangkan karakter siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Lickona (2004, hlm. 121) yang mengungkapkan bahwa “pembelajaran yang berorientasi proses akan mampu mengembangkan karakter siswa sekaligus mengembangkan kemampuan akademik siswa”.

The New London Group (2005) menyatakan bahwa pedagogik multiliterasi dibangun oleh empat komponen yakni situasi praktis, pembelajaran yang jelas, bingkai kritis, dan transformasi kritis. Lebih lanjut, Cope and Kalantzis (2005) menyatakan bahwa empat komponen tersebut satu kesatuan utuh yang saling memperkuat satu sama lain. Situasi praktis memungkinkan guru memahami latar belakang sosial budaya siswa dan menyediakan rangkaian pembelajaran yang penting bagi pembentukan identitas diri. Pembelajaran yang jelas dari guru merupakan penjelasan ataupun teoretis yang disediakan untuk membantu siswa membangun wawasan dan pemahaman yang mendalam. Bingkai kritis digunakan sebagai alat bantu bagi siswa agar mereka mampu bekerja secara inovatif melalui pengembangan

175 kapabilitas kritis kreatifnya. Praktik transformatif merupakan cara pembuktian tugas-tugas performatif yang telah dilakukan. Praktik ini berkenaan dengan balikan kritis terhadap guru dan siswa berkenaan dengan kebermanfaatan dan kreativitas tugas (Abidin, 2015).

3. Konsep Kreativitas Ideasional

Secara definisi, Kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memunculkan ide dan gagasan. Hal ini senada dengan pendapat Al-Khalili (2005, hlm. 35) mendefinisi bahwa “kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan pemikiran- pemikiran yang asli, tidak biasa, dan sangat fleksibel dalam merespons dan mengembangkan pemikiran dan aktivitas”. Berbeda dengan Perkins, (1991) berpendapat bahwa “kreativitas itu tidak sendirian, kemampuan khusus atau talenta, dan produk yang kreatif tidak bergantung kepada sifat saja, yaitu ide yang baru”, melainkan merupakan suatu kombinasi dari sesuatu yang telah ada.

Berkaitan dengan pendapat di atas, Lebih spesifik, Hassoubah (2007) mengungkapkan bahwa “berpikir kreatif adalah pola berpikir yang didasarkan pada suatu cara yang mendorong kita untuk menghasilkan produk yang kreatif”, Dalam konteks ini, kreativitas ideasional produktif merupakan suatu kemampuan merumuskan ide-ide secara kreatif, mampu memecahkan masalah, berpikir kritis dalam memahami secara cerdas, menginterpretasi secara mendalam dengan menganalisis dan mengevaluasi suatu hal untuk mendapatkan pengetahuan secara komprehensif dan bermakna.

Berdasarkan uraian di atas, dapat simpulkan bahwa pedagogik multiliterasi informasi kritis akan mampu mengembangkan berbagai kemampuan dan keterampilan pada diri siswa secara optimal, karena pedagogik multiliterasi informasi kritis merupakan sebuah konsep pendidikan yang menekankan pada upaya pengembangan potensi siswa dengan berasaskan pada konteks sosial budaya serta memiliki prinsip humanis, dan demokratis. Selain itu, Pedagogik multiliterasi informasi kritis dapat membangun pembelajaran yang bermutu dalam rangka mempersiapkan insan-insan pendidikan yang unggul, bernilai dan berkarakter, untuk dapat menjalani hidup dan berkehidupan pada abad ke-21 ini.