• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Sumber Pembelajaran PKn dalam Perspektif dan Pendekatan Budaya Lokal

KEWARGANEGARAAN DALAM TRADISI BUDAYA LOKAL SUNDA

B. Pengembangan Sumber Pembelajaran PKn dalam Perspektif dan Pendekatan Budaya Lokal

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik tidaklah sesungguhnya terlepas dari landasan filosofik kenegara-bangsaan yang merupakan moral based bagi segenap warganegara dimana negara itu berada. Itu karenanya tidak terlalu salah, jika sebutan PKn sebagaimana dipakai dalam KTSP 2006 karena dianggap cukup merepresentasikan tujuan pendidikan politik lengkap dari Negara. Adapun yang kemudian dirasakan menjadi masalah terletak didalam penjabaran isi bahan pelajaran, oleh karena sangat mungkin menapikan kepentingan situasi pendidikan dari sudut psikologi perkembangan peserta didik, sehingga tidak terdapat critical analysis atas kebutuhan materil dan pembelajaran pada semua jenjang yang berbeda, selain sekedar penguasaan pengetahuan yang bahan dan sumbernya sangat terbuka dari media global. Selanjutnya, penyebutan kembali Pancasila dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia (PKn) bermula merupakan salah satu hasil keputusan Kongres Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila (AP3KnI) se-Indonesia 2012 di Bandung, atas kekhawatiran dan kesepahaman bahwa peniadaan secara eksplisit Pancasiladi dalam sebutan mata pelajajaran PKn ditenggarai menjadisalah satu sebab pelemahan komitmen moral anak bangsa terhadap Pancasila sebagai idiologi politik kebangsaannya. Sebaliknya melalui penyebutan kembali secara eksplisit ke dalam label resmi mata pelajaran dirasionalisasi akan turut memperkuat landasan ketahanan bangsa dalam menghadapi ancaman persaingan dunia global, yakni mental dan moral juang yang telah terbentuk dalam ujud dan identitas kultural bangsa – yang kelangsungan adanya bergantung pada upaya nyata pewarisan dan pendidikan lintas generasi. Karena itu melalui pengembangan mata pelajaran PPKn dari sekedar PKn diproyeksikan generasi masa depan bangsa ini siap menghadapi tantangan global, menguasai pengetahuan dan permasalahan global di atas kekayaan pengetahuan dan identitas nasional dan kultural lokalnya.Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) seperti disebut di dalam Kurikulum 1994 menjadi pilihan kembali dan mendapat penyempurnaan sesuai kompleksitas

92 perkembangan yang menjadi latar pengembangan Kurikulum 2013, yang intinya bahwa pendidikan politik nasional Indonesia harus bermuara pada pembentukan karakter manusia Indonesia, dan itu sumbernya tidak bisa lain dari pada Pancasila baik sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Berdasar kepentingan teknis dan strategis pengembangan materil PPKn di sekolah sebagai pendidikan moral dan politik sekaligus, pendekatan sosial-budaya menjadi salah satu model pendekatan berbasis pengembangan media dan subtansi materil sebagai satu kesatuan di dalamnya, hal itu sesuai dengan pandangan teoritik bahwa “medium

is massage”, yakni keterdapatan makna atau isi tujuan pelajaran dari media itu sendiri.

Indonesia sebagai bangsa yang multi-kultur memiliki realitas budaya yang berakar pada kekayaan dan keutuhan sub-nation yang beraneka (Bhineka Tunggal Ika). Kekayaan dan keutuhan kultural sub-nation inilah yang dapat dimaksimalkan potensinya dalam memperkuat ketahanan budaya nasional ditengah terpaan ancaman negatif pertumbuhan budaya global. Karena itu, pengembangan materi pembelajaran PPKn di sekolah akan mendekati pencapaian sasarannya sebagai instrumentasi dan wahana pendidikan politik berbasis nilai moral kebangsaan jika disemaikan melalui medium pemeliharaan dan pelestarian spirit dan kesadaran nilai lokal yang hidup pada realitas dan pertanda kultural masyarakat pendukungnya. Masyarakat Sunda sebagai salah satu pendukung entitas budaya nasional yang secara etnografis mewakili sekelompok besar warga Jawabarat; sebagaimana etnik Jawa di tanah Jawa, melayu di Sumatra dan yang lainnya di seluruh penjuru tanah air, memenuhi potensi kekayaan sebagai sumber pengembangan dan acuan pemeliharaan dalam konvigurasi Nusantara, menarik untuk menjadi bahan telusur sejauh pertanda yang melekat dan dimilikinya. Untuk itu, kajian pertanda (semiotika) dalam konstruks budaya kaitannya dengan studi pendidikan kewarganegaraan sebagai rujukan metodologis sekaligus wahana pembelajaran dalam mendukung pencapaian tujuan akademis persekolahan dan praksis kemasyarakatan semakin terbuka.

Pendidikan kewarganegaraan, selain merupakan kajian filosofis akademis dan teoritis politis harus bermuara pada terbentuknya karakter dan kecakapan hidup dalam aktualisiasi praksis kemasyarakatan. Masyarakat dalam realitas sebagai kompleks budaya adalah miniatur kehidupan negara, dilihat dari pertanda terbentuknya kelangsungan hidup bersama satuan masyarakat dalam menjalankan aturan atau norma yang melekat ke dalam semangat dan kesadarannya hingga menjadi hukum yang ditaati secara adat. Karena itu, penukilan setiap jejak-tanda yang ada dalam keseluruhan bangun masyarakat adat meniscayakan adanya kontrol diri (self control) yang kuat, yang merupakan kemampuan pengendalian (distance &

moderation sign) setiap warga pendukung dalam menjaga keberlangsungan dan harmoni kehidupan yang menjadi pilihannya; dan kesemuanya itu menjadi realitas yang sukar dicari ujudnya secara masif di dalam kecenderungan interaksi masyarakat terbuka yang menandai dirinya sebagai bagian dari masyarakat modern di satu sisi, tetapi kurang atau tidak terpelajar sama sekali. Sementara jumlah dan satuan peninggalan sebagai artefak budaya yang tersebar pada masyarakat besar etnik Sunda, tidak sedikit yang masih terselubung dan tidak terbatas keberadaannya pada lumbung budaya yang disebut kampung komunitas pemelihara adat.

Misteri dibalik rekreasi produk seni tradisi yang masih terpelihara di tengah masyarakat hingga saat ini, hampir dapat dikatakan tersembunyi dan akan terus tersembunyi tanpa ada upaya membukanya dari sudut kajian tanda dan maknaberkenaan dengan pesan pendidikan yang ada di dalamnya. Konstruksi keindahan seni itu sendiri dari ujudnya telah dan tetap berperan menjadi pemantik tertanamnya keindahan jiwa yang diharapkan terbentuk menjad karakter setiap diri manusia. Tetapi kebergunaan sebuah produk karya seni tentu tidak dimaksudkan hanya bagi mereka yang nota-bene merupakan pelaku dan pemelihara langsung ujud salah satu jenis kesenian itu. Melalui pendidikan terbuka di sekolah dan di tengah masyarakat, khalayak luas sebagai warganegara dan anak bangsa diharapkan turut terisi kebutuhan psikologisnya akan keindahan makna kehidupan yang dimediasi oleh keindahan

93 seni atas nama kesempurnaan hidup yang menjadi tujuan luhur bersama. Dari perspektif inilah kiranyajalan keluar dalam mengatasi tantanganpembangunan karakter bangsa dapat didekati; dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia sebagai salah satu bahan pelajaran umum, terbuka – kecuali berperan mengisi pengetahuan politik hukum (konstitusi) dan ketatanegaraan, adalah menjadi alat strategis penanaman dan pembentukan nilai-moral bangsa sebagai acuan sikap dan prilaku keseharian sebagai warganegara.

Bahwa seni adalah ‘medium’ dan sekaligus ‘esensi’ menjadi satu kebulatan dengan fungsi ganda bagi hajat kehidupan umat manusia. Sebagai medium ‘seni’ adalah pengantar atau perantara yang berfungsi memudahkan pencapaian tujuan. Tetapi sebagai ‘esensi’ atau ‘isi’ keindahan pesan di dalamnya bersentuhan langsung dengan diri atau faktor kejiwaan pelaku dan pengguna yang terlibat dalam sebuah komunikasi seni. Manusia di dalam interaksi dengan diri dan lingkungannya tidak terlepas dari ‘seni’, meski tidak setiap diri manusia kemudian adalah seorang “seniman” sebagaimana “tidak semua orang manusia dapat disebut seorang ‘filsuf’, karena termasuk bisa berpikir”. Tidak semua orang pula menjadikan ‘seni’ sebagai kendaraan sepenuh jiwa dalam mengekspresikan kediriannya. Tetapi ‘seni’ tetap merupakan salah satu potensi dan kebutuhan dasar insaniah setiap diri manusia. Dengan demikian pendekatan seni di dalam kerangka budaya yang telah terbentuk di tengah masyarakat dapat menjadi acuan dan kekayaan sumber pembelajaran.

C. Nilai Moral Pendidikan Kewarganegaraan dalam Selubung Kekayaan Seni Budaya