BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan dan menambah khzanah keilmuan dalam bidang Administrasi Publik khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah.
2. Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis dari penelitian yang dilakukan penulis dengan cara mengaplikasikan teori-teori yang didapat selama perkuliahaan dalam pembahasan masalah mengenai implementasi program Smart City melalui e-PBB Kota Binjai.
3. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi pemerintah pemerintah/birokrat Kota Binjai khusus nya para birokrat yang berada dalam Dinas Badan Pengelola Keuangan Pendapatan dan Aset Daerah (BPKPAD) Kota Binjai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik
Kebijakan publik menurut Thomas Dye (dalam Subarsono 2009:2) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa (1) lebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk tidak membuat program baru. Sementara menurut James E.Anderson (dalam Subarsono 2009:2) mendefinisikan kebijakan publik sebgai kebijakan yang diteteapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah.
Definisi kebijakan publik banyak dikemukakan oleh para ahli, antara lain yaitu dikemukakan oleh Friedrick (Albab, 2007:14) yang menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.Laswell dan Kaplan (Albab, 2007:15) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah. Sejalan dengan
Laswell dan Kaplan, Edwards dan Sharkansky (dalam Albab, 2007:15) juga mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik tersebut berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah.
Menurut Abdul Wahab (2008) :
1. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan. paling tidak ada tiga perbedaan mendasar antara kebijakan dengan keputusan yakni :
a) Ruang lingkup kebijakan jauh lebih besar dari pada keputusan b) Pemahaman terhadap kebijkan yang lebih besar memerlukan
penelaahan yang mendalam terhadap keputusan
c) Kebijakan biasanya menvakup upaya penelusuran interaksi yang berlangsung diantara begitu banyak individu, kelompok dan organisasi.
2. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi. Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi mencerminkan pandangan klasik.
3. Kebijakan sebenarnya tidak merta dapat dibedakan dari administrasi.
Langkah pertama dalam menganalisis perkembangan kebijakan Negara ialah perumusan apa yang sebenarnya diharapkan oleh para pembuat kebijakan.
4. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan.
Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan melakukan tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan untuk tidak berbuat yang disengaja.
5. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai yang mungkin sudah dapat diantisipasikan sebelumnya atau mungkin belum dapat diantipasikan.
6. Kebijakan kebanyakan didefinisikan dengan memasukan perlunya setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu baik secara eksplisit atau implicit.
7. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu. Kebijakan itu bersifat dinamis,bukan statis. Artinya setelah kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan seterusnya.
8. Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar organisasi ataupun yang bersifat intra organisasi.
9. Kebijakan Negara menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintah, walaupun tidak secara ekslusif.
10. Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Hal ini berarti pengertian yang dimaksud dalam istilah kebijakan seperti proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan serta hasil akhir suatu kebijakan.
Tiga perbedaan antara kebijakan dengan keputusan (ruang lingkup, pemahaman dan interaksi antar orang). kebijakan dengan administrasi dilakukan dengan menganalisis perkembangan kebijakan Negara, dimana dalam perilaku kebijakan adanya kegagalan atas tindakan yang tidak sengaja. Didalam suatu kebijakan ada tujuan atau sasaran yang eksplisit atau implicit untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan seterusnya. Kebijakan Negara menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintah karena kebijakan meliputi hubungan yang bersifat antar organisasi ataupun yang bersifat intraorganisasi serta adanya proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan serta hasil akhir suatu kebijakan.
Dalam memecahkan sebuah masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis kebijakan publik yang harus dilakukan (Tangkilisan, 2003:5) yaitu:
1. Agenda Setting (Agenda Kebijakan)
Tahap penetapan agenda kebijakan ini adalah penentuan masalah publik yang akan dipecahkan, dengan memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah.
2. Policy Formulation (Formulasi Kebijakan)
Formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik untuk menentukan kebijakan pada tahap ini menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas.
3. Policy Adoption (Adopsi Kebijakan)
Merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan yang akan dilakukan. Terdapat di beberapa hal yaitu identifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan juga mengidentifikasi alternatifalternatif dengan menggunakan kriteria-kriteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.
4. Policy Implementation (Implementasi Kebijakan)
Pada tahap ini implementasi kebijakan lebih dilakukan oleh unitunit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen). Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program.
5. Policy Assesment (Evaluasi Kebijakan)
Tahap akhir dari sebuah proses kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian inisemua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria yang telah ditentukan).
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahwa tahapan analisis kebijakan yaitu dengan cara menentukan/mencari masalah publik yang akan dipecahkan. Setelah masalah sudah dapat ditentukan maka dilakukan formulasi kebijakan, dimana pengembangan suatu mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik yang terjadi dengan cara melakukan analisis. Kemudian tahap selanjutnya adalah adopsi kebijakan, pada tahap ini menentukan kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di publik dengan merealisasikan masa depan yang diinginkan dan menggunakan kriteria-kriteria yang relevan dalam suatu kebijakan yang dipilih. Tahap selanjutnya adalah melakukan implementasi kebijakan, dimana kebijakan lebih dilakukan oleh birokrasi pemerintah
tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya. Setelah implementasi, maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan untuk penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan, agar kebijakan yang sudah dibuat sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditentukan.
2.2. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan bagian yang paling berat pelaksanaannya dalam kebijakan, karena masalah yang ditemui dilapangan kadang kala tidak dijumpai dalam konsep yang ditemui dilapangan. Selain itu ancaman utama adalah konsistensi implementasi. Menurut Riant Nugroho (2006:119) rencana adalah 20%
keberhasilan, implementasi 60% keberhasilan dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Agustino, 2006:139), implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan-keputusan badan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan antau mengatur proses implementasinya. Kemudian menurut Grindle (dalam Agustino, 2006:154) bahwa pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai yang telah ditentukan yaitu melihat para action program dari individual projek dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai. Sedangkan, Van Meter Van Horn (dalam Winarno,
2002:102) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan sebelumnya.
Dari definisi implementasi kebijakan tersebut, maka penulis mengemukakan bahwa implementasi kebijakan adalah sebuah proses pelaksanaan kegiatan mencapai tujuan, dan melalui pelaksanaan itu, akan menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan yang dilaksanakan. Namun demikian, perlu ditambahkan bahwa proses implementasi sebagian besar akan dipengaruhi oleh banyaknya tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan bagaiaman tujuan-tujuan tersebut dirumuskan untuk dilaksanakan. Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan adalah tahapan yang paling penting dalam proses kebijakan.
2.2.1. Model-Model Implementasi Kebijakan
Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena (Indiahono, 2009: 19). Pada prinsipnya terdapat dua pemilihan jenis model implementasi kebijakan publik yaitu implementasi kebijakan publik yang berpola dari atas kebawah (top-down) dan dari bawah keatas (bottom-up), serta pemilihan implementasi kebijakan publik yang berpola paksa (command and control) dan pola pasar (economic incentive) (Nugroho, 2003: 167).
Untuk menjalankan proses kegiatan di dalam tahapan implementasi kebijakan, ada beberapa model-model implementasi kebijakan yang bisa digunakan agar sebuah kebijakan dapat dilaksanakan dengan tepat dan hasilnya sesuai dengan tujuan-tujuan
yang dirumuskan sebelumnya. Adapun model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh ahli ialah:
2.2.1.1. Model Implementasi Kebijakan Merile S. Grindle
Model ketiga adalah adalah model Merilee S. Grindle (dalam Wibawa, 1990:27). Model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.
Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi jakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan mencakup:
1. .Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan 2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Kedudukan pembuat kebijakan 5. (Siapa) pelaksana program
6. Sumberdaya yang dikerahkan Sementara itu konteks implementasinya adalah :
a. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat b. Karakteristik lenbaga dan penguasa
c. Kepatuhan dan daya tanggap
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahawa bahwa suatu implementasi sangat ditentukan oleh isi dan konteks implementasinya. Dalam teori ini juga adanya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula telah diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Setelah tujuan sesuai dengan yang direncanakan, maka itu berarti implementasi kebijakan berjalan dengan baik.
2.2.1.2. Model Implementasi Kebijakan Hoodwood dan Gun
Model kedua adalah model Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gun (dalam Nugroho 2014:668). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/ badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
2. Syarat kedua adalah, apakah untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu.
3. Syarat ketiga apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada
4. Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal.
5. Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi.
1. Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil.
2. Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
3. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.
4. Syarat kesembilan adalah komunikasi dan koordinasi yang senpurna.
5. Syarat kesepuluh adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahwa adanya syarat-syarat dalam melakukan implementasi kebijakan, dimana adanya kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga, adanya sumber daya yang memadai, adanya pemahaman dalam tujuan, , adnaya tugas-tugas yang sudah terinci dengan benar, adanya komunikasi dan kordinasi yang baik antar individu maupun kelompok organisasi serta adanya wewenang kekuasaan untuk mengatur kebijakan agar berjalan sesuai tujuan-tujuannya.
2.2.1.3. Model Implementasi George C.Edward III
Di dalam Model ini, Edwards menawarkan dan mempertimbangkan empat faktor dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu :
1. Faktor Komunikasi
Implementasi kebijkan dapat berjalan secara efektif, maka yang harus bertanggungjawab terhadap implementasi sebuah kebijakan harus mengetahui apa yang harus dilakukannya. Perintah untuk
mengimplementasikan kebijakan harus disampaikan secara jelas, akurat, dan konsisten kepada orang-orang yang mampu.
2. Faktor Sumber Daya
Sumber daya yang penting meliputi staf dalam ukuran yang tepat dengan keahlian yang diperlukan, informasi yang sukup relevan tentang cara untuk mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat di dalam implementasi; kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini di lakukansemuanya sebagai dimaksudkan; dan berbagai fasilitas (termasuk bangunan, peralatan, tanah dan persediaan) didalamnya atau dengan memberikan pelayanan.
3. Faktor Sikap Pelaksanaan
Sikap pelaksanaan merupakan faktor penting dalam pendekatan mengenai studi implementasi kebijakan publik. Jika impelementasi kebijakan diharapkan berlangsung efektif, para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan dan memiliki kapabilitas untuk melaksanakannya tetapi mereka juga harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
4. Faktor Struktur Birokrasi
Meskipun sumber daya untuk mengimplementasikan kebijakan telah mencakupi dan para pelaksana mengetahui apa yang harus dilakukan serta bersedia melaksanakannya, impelemtasi kebijakan masih terhambat oleh inefisiensi struktur birokrasi. Fragmentasi organisasi dapat menghambat koordinasi yang diperlukan guna keberhasilan kompleksitas implementasi sebuah kebijakan yang membutuhkan kerja sama dengan banyak orang.
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahwa dalam mengimplementasikan suatu kebijakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu adanya komunikasi antara orang-orang yang terkait, dimana adanya tugas-tugas yang harus di jalankan setiap orang didalam struktur birokrasi sesuai dengan tujuan kebijaan yang ingin dicapai.
2.2.1.4. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S Van Meter Van Horn dan Carl E Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa pelayanan dapat
diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103).
Menurut model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (dalam Agustino 2008:141-144), terdapat 6 variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu:
1. Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan (Sasaran Kebijakan)
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumber-Sumber Kebijakan (Sumber Daya)
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain perlu diperhitingkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena sumber daya yang diminta dan dimaksud Van Meter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik.
Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen
pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/Kecenderungan (Disposisi) para Pelaksana.
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat mengenai betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
Berdasarakan kutipan 6 variabel tersebut, penulis mengemukakan bahwa model implementasi kebijakan ini dapat mengukur serta menjelaskan bagaimana masalah implementasi program Smart City melalui e-PBB di Kota Binjai yang di lihat dari standard dan sasaran yang harus dicapai oleh pelaksana kebijakan, sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu implementasi kebijakan dan aparat yang yang terlibat sebagai organisasi pelaksana kebijakan tentang apa yang menjadi standard dan tujuan yang akan diterima atau ditolak oleh para agen pelaksana kebijakan yang sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi
kebijakan publik dan sangat berpengaruh pada lingkungan social, ekonomi dan politik.
2.3. Smart City dan E-government
E-Government sebagai paradigma baru pelayanan publik pada dasarnya dipicu oleh konsep administrasi negara yang terus berkembang. Berawal dari paradigma Old Public Administration (OPA). Namun secara konseptual Old Public Administration (OPA) bersifat kaku dan sentralistik. Lalu kemudian akibat dari kritikan OPA, maka lahirlah paradigma New Public Management (NPM) yang mengacu kepada sekelompok ide dan praktik kontemporer untuk menggunakan pendekatan-pendekatan dalam sektor privat (bisnis) pada organisasi sektor publik. Dalam pandangan New Public Management (NPM), organisasi pemerintah diibaratkan sebagai sebuah kapal. Peran pemerintah di atas kapal tersebut hanya sebagai nahkoda yang mengarahkan (steer) lajunya kapal bukan mengayuh (row) kapal tersebut.
Urusan mengayuh tersebut diserahkan kepada organisasi di luar pemerintah, yaitu organisasi privat (swasta) dan organisasi masyarakat sipil sehingga mereduksi fungsi dominasi dan monopoli yang dimiliki pemerintah. Tugas pemerintah yang hanya sebagai pengarah memberikan pemerintah untuk mengurus persoalan-persoalan domestik dan internasional yang lebih strategis. Melihat bahwa dalam NPM belum juga bisa menyelesaikan isu-isu semacam demokratisasi, hak asasi manusia, hukum, transparansi, civil society, good coorporate governance, maka kemudian lahir paradima terbaru yakni NPS (Indrajit. 2002: 7).
Istilah e-Government mengacu pada cukup banyak definisi. Secara umum, istilah yang berawalan “e” biasanya memiliki nuansa teknologi internet sebagai sarana utama yang menggantikan media konvensional. Mengingat bahwa esensi tugas pemerintah adalah memberikan pelayanan publik, maka konsep e-Government akan mengandung arti pada bagaimana pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan berbagai media teknologi, terutama internet, untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan berbagai media teknologi, terutama internet, untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sebagai „customer”-nya (Ariyanto, 20015:20).
E-Government adalah salah satu program dari Smart City. Smart City merupakan pengembangan dan pengelolaan kota dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komuniksi untuk mengetahui, memahami, dan megendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Smart governance merupakan bagian atau dimensi pada smart city yang mengkhususkan pada tata kelola pemerintahan. Adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat mewujudkan tata kelola dan jalannya pemerintahan yang bersih, jujur, adil, dan demokrasi, serta kualitas dan kuantitas layanan publik yang lebih baik. Smart governance terdiri atas tiga bagian sebagai berikut:
a. Keikutsertaan masyarakat di dalam penentuan keputusan secara langsung maupun online.
b. Peningkatan jumlah dan kualitas layanan publik. Implementasi smart city dalam hal ini memanfaatkan teknologi informasi dapat dilakukan
dengan cara penyedian sistem informasi berbasis web dan mobile untuk pelayanan publik (pembuatan KTP, SIM dan lain-lain), penyediaan layanan administrasi keuangan/pembayaran yang efektif, hemat waktu, dan otomatis (pembayaran listrik, air dan lain-lain), dan adanya database yang terstruktur dan tertata baik di dalam penyimpanan data dan informasi terkait dengan layanan publik.
c. Adanya transparansi di dalam pemerintahan, sehingga masyarakat menjadi tahu dan cerdas.
Didalam suatu pemerintahan, sangat dibutuhkan para pemerintah/birokrat
Didalam suatu pemerintahan, sangat dibutuhkan para pemerintah/birokrat