BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Implementasi Kebijakan Publik
2.2.1 Model-Model Implementasi Kebijakan
2.2.1.2 Model Implementasi Kebijakan Hoodwood dan Gun
Model kedua adalah model Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gun (dalam Nugroho 2014:668). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/ badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
2. Syarat kedua adalah, apakah untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu.
3. Syarat ketiga apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada
4. Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal.
5. Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi.
1. Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil.
2. Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
3. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.
4. Syarat kesembilan adalah komunikasi dan koordinasi yang senpurna.
5. Syarat kesepuluh adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahwa adanya syarat-syarat dalam melakukan implementasi kebijakan, dimana adanya kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga, adanya sumber daya yang memadai, adanya pemahaman dalam tujuan, , adnaya tugas-tugas yang sudah terinci dengan benar, adanya komunikasi dan kordinasi yang baik antar individu maupun kelompok organisasi serta adanya wewenang kekuasaan untuk mengatur kebijakan agar berjalan sesuai tujuan-tujuannya.
2.2.1.3. Model Implementasi George C.Edward III
Di dalam Model ini, Edwards menawarkan dan mempertimbangkan empat faktor dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu :
1. Faktor Komunikasi
Implementasi kebijkan dapat berjalan secara efektif, maka yang harus bertanggungjawab terhadap implementasi sebuah kebijakan harus mengetahui apa yang harus dilakukannya. Perintah untuk
mengimplementasikan kebijakan harus disampaikan secara jelas, akurat, dan konsisten kepada orang-orang yang mampu.
2. Faktor Sumber Daya
Sumber daya yang penting meliputi staf dalam ukuran yang tepat dengan keahlian yang diperlukan, informasi yang sukup relevan tentang cara untuk mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat di dalam implementasi; kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini di lakukansemuanya sebagai dimaksudkan; dan berbagai fasilitas (termasuk bangunan, peralatan, tanah dan persediaan) didalamnya atau dengan memberikan pelayanan.
3. Faktor Sikap Pelaksanaan
Sikap pelaksanaan merupakan faktor penting dalam pendekatan mengenai studi implementasi kebijakan publik. Jika impelementasi kebijakan diharapkan berlangsung efektif, para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan dan memiliki kapabilitas untuk melaksanakannya tetapi mereka juga harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
4. Faktor Struktur Birokrasi
Meskipun sumber daya untuk mengimplementasikan kebijakan telah mencakupi dan para pelaksana mengetahui apa yang harus dilakukan serta bersedia melaksanakannya, impelemtasi kebijakan masih terhambat oleh inefisiensi struktur birokrasi. Fragmentasi organisasi dapat menghambat koordinasi yang diperlukan guna keberhasilan kompleksitas implementasi sebuah kebijakan yang membutuhkan kerja sama dengan banyak orang.
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahwa dalam mengimplementasikan suatu kebijakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu adanya komunikasi antara orang-orang yang terkait, dimana adanya tugas-tugas yang harus di jalankan setiap orang didalam struktur birokrasi sesuai dengan tujuan kebijaan yang ingin dicapai.
2.2.1.4. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S Van Meter Van Horn dan Carl E Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa pelayanan dapat
diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103).
Menurut model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (dalam Agustino 2008:141-144), terdapat 6 variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu:
1. Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan (Sasaran Kebijakan)
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumber-Sumber Kebijakan (Sumber Daya)
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain perlu diperhitingkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena sumber daya yang diminta dan dimaksud Van Meter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik.
Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen
pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/Kecenderungan (Disposisi) para Pelaksana.
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat mengenai betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
Berdasarakan kutipan 6 variabel tersebut, penulis mengemukakan bahwa model implementasi kebijakan ini dapat mengukur serta menjelaskan bagaimana masalah implementasi program Smart City melalui e-PBB di Kota Binjai yang di lihat dari standard dan sasaran yang harus dicapai oleh pelaksana kebijakan, sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu implementasi kebijakan dan aparat yang yang terlibat sebagai organisasi pelaksana kebijakan tentang apa yang menjadi standard dan tujuan yang akan diterima atau ditolak oleh para agen pelaksana kebijakan yang sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi
kebijakan publik dan sangat berpengaruh pada lingkungan social, ekonomi dan politik.
2.3. Smart City dan E-government
E-Government sebagai paradigma baru pelayanan publik pada dasarnya dipicu oleh konsep administrasi negara yang terus berkembang. Berawal dari paradigma Old Public Administration (OPA). Namun secara konseptual Old Public Administration (OPA) bersifat kaku dan sentralistik. Lalu kemudian akibat dari kritikan OPA, maka lahirlah paradigma New Public Management (NPM) yang mengacu kepada sekelompok ide dan praktik kontemporer untuk menggunakan pendekatan-pendekatan dalam sektor privat (bisnis) pada organisasi sektor publik. Dalam pandangan New Public Management (NPM), organisasi pemerintah diibaratkan sebagai sebuah kapal. Peran pemerintah di atas kapal tersebut hanya sebagai nahkoda yang mengarahkan (steer) lajunya kapal bukan mengayuh (row) kapal tersebut.
Urusan mengayuh tersebut diserahkan kepada organisasi di luar pemerintah, yaitu organisasi privat (swasta) dan organisasi masyarakat sipil sehingga mereduksi fungsi dominasi dan monopoli yang dimiliki pemerintah. Tugas pemerintah yang hanya sebagai pengarah memberikan pemerintah untuk mengurus persoalan-persoalan domestik dan internasional yang lebih strategis. Melihat bahwa dalam NPM belum juga bisa menyelesaikan isu-isu semacam demokratisasi, hak asasi manusia, hukum, transparansi, civil society, good coorporate governance, maka kemudian lahir paradima terbaru yakni NPS (Indrajit. 2002: 7).
Istilah e-Government mengacu pada cukup banyak definisi. Secara umum, istilah yang berawalan “e” biasanya memiliki nuansa teknologi internet sebagai sarana utama yang menggantikan media konvensional. Mengingat bahwa esensi tugas pemerintah adalah memberikan pelayanan publik, maka konsep e-Government akan mengandung arti pada bagaimana pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan berbagai media teknologi, terutama internet, untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan berbagai media teknologi, terutama internet, untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sebagai „customer”-nya (Ariyanto, 20015:20).
E-Government adalah salah satu program dari Smart City. Smart City merupakan pengembangan dan pengelolaan kota dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komuniksi untuk mengetahui, memahami, dan megendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Smart governance merupakan bagian atau dimensi pada smart city yang mengkhususkan pada tata kelola pemerintahan. Adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat mewujudkan tata kelola dan jalannya pemerintahan yang bersih, jujur, adil, dan demokrasi, serta kualitas dan kuantitas layanan publik yang lebih baik. Smart governance terdiri atas tiga bagian sebagai berikut:
a. Keikutsertaan masyarakat di dalam penentuan keputusan secara langsung maupun online.
b. Peningkatan jumlah dan kualitas layanan publik. Implementasi smart city dalam hal ini memanfaatkan teknologi informasi dapat dilakukan
dengan cara penyedian sistem informasi berbasis web dan mobile untuk pelayanan publik (pembuatan KTP, SIM dan lain-lain), penyediaan layanan administrasi keuangan/pembayaran yang efektif, hemat waktu, dan otomatis (pembayaran listrik, air dan lain-lain), dan adanya database yang terstruktur dan tertata baik di dalam penyimpanan data dan informasi terkait dengan layanan publik.
c. Adanya transparansi di dalam pemerintahan, sehingga masyarakat menjadi tahu dan cerdas.
Didalam suatu pemerintahan, sangat dibutuhkan para pemerintah/birokrat yang smart, yang berarti orang-orang yang benar-benar memiliki kemampuan dibidangnya, transparansi, adil, berperilaku baik, serta memiliki kualitas yang baik.
Hal ini dapat menentukan berjalan atau tidaknya suatu kebijakan yang dibuat, serta para pemerintah la yang memegang kekuasaan akan Negara, sehingga sangat diperlukan pemerintah yang pintar dalam menjalankan tugas Negara. E-Goverment adalah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempromosikan pemerintah yang lebih effisien dan penekanan biaya yang efektif, kemudian pasilitas layanan terhadap masyarakat umum dan membuat pemerintah lebih bertanggung jawab kepada masyarakat.
Sedangkan dalam buku Goverment In Action (2005:5) menguraikan E-Goverment adalah suatu usaha menciptakan suasana penyelanggaraan pemerintah yang sesuai dengan objektif bersama (Shared goals) dari sejumlah komunitas yang berkepentingan, oleh karena itu visi yang dicanangkan juga harus mencerminkan visi bersama dari pada stakholeder yang ada misalnya:
a. Memperbaiki produktifitas dan kinerja operasional pemerintah dalam melayani masyarakatnya;
b. Mempromosikan pemerintah yang bersih dan transparans;
c. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat meluli kinerja pelayanan publik;
d. Menjamin terciptanya penyelengaaan negara yang demokratis;
Karena visi tersebut berasal “Dari, Oleh dan Untuk” masyarakat atau komunitas dimana E-Goverment tersebut diimplementasikan, maka masanya akan sangat bergantung pada stuasi dan kondisi masyarakat setempat. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa E-Goverment adalah upaya untuk penyelanggaraan pamerintah yang berbasis elektronik dalam rangka mengingkatkan kualitas pelayanan publik secara efektif dan efesien. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa E-Goverment merupakan proses pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat untuk membantu manjalankan sistem pemerintah secara efesien.
Teknologi meliputi seluruh proses transformasi yang terjadi dalam organisasi, yang juga menyangkut mesin-mesin yang digunakan, pendidikan dan keahlian karyawan, serta prosedur kerja yang digunakan dalam pelaksanaan seluruh kegiatan.
Teknologi dalam organisasi memiliki peranan utama dalam mempelajari sifat-sifat dari teknologi suatu organisasi dan hubungan teknologi terhadap struktur organisasi.
Robbins (1994:195), Perhatian pertama terhadap teknologi sebagai determinan struktur dapat dirunut balik ke pertengahan 1960-an dan pada karya Joan Woodward. Penelitiannya berfokus pada teknologi produksi, adalah usaha besar pertama yang melihat struktur organisasi dari perspektif teknologi. Penelitian Woodward memperlihatkan adanya hubungan antara teknologi, struktur dan keefektifan. Perusahaan yang kurang lebih mendekati struktur yang khas bagi teknologi adalah yang paling efektif. Perusahaan yang menyimpang dari struktur ideal mereka adalah yang kurang berhasil. Oleh karenaya, Woodward mengatakan bahwa keefektifan adalah fungsi dari suatu kesesuaian teknologi struktur yang tepat.
Organisasi yang mengembangkan struktur yang sesuai dengan teknologi adalah yang paling berhasil dibandingkan yang tidak mengembangkannya sesuai dengan teknologi.
Adanya teknologi maka suatu organisasi menjadi lebih efektif. Jika suatu organisasi atau perusahaan tidak mengikuti perkembangan teknologi sesuasi struktur, maka organisasi atau perusahaan tersebut tidak akan berhasil dan menyimpang.
Dengan demikian, organisasi yang mengembangkan struktur yang sesuai dengan teknologi adalah yang paling berhasil dibandingkan yang tidak mengembangkannya sesuai dengan teknologi.
Teknologi pengetahuan (knowledge technology) harus lebih diperhatikan dari pada teknologi produksi dan mendefinisikan teknologi sebagai “tindakan yang dilakukan seorang individu terhadap sebuah objek, dengan atau tanpa bantuan alat atau perlengkapan mekanis, untuk membuat perubahan tertentu pada objek tersebut.
Perrow menyatakan bahwa metode kontrol dan kordinasi harus bervariasi sesuai dengan jenis teknologi, yaitu routine, engineering, craft, dan nonroutine. Makin rutin teknologinya maka makin tinggi organisasi tersebut di struktur. Sebaliknya, teknologi non rutin membutuhkan fleksibilitas struktural yang lebih besar. Aspek-aspek utama dari struktur yang dapat dimodifikasi kepada teknologi: (1) tingkat keleluasaan yang dapat dilakukan untuk tugas, (2) kekuasaan kelompok untuk mengontrol tujuan dan strategi dasar unit. (3) tingkat saling ketergantungan antara kelompok tersebut, dan (4) tingkat sejauh mana kelompok tersebut turut serta dalam mengkordinasikan pekerjaan mereka baik dengan menggunakan umpan balik atau perencanaan dari orang lain (Robbins 1994 : 200).
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahwa teknologi merupakan tindakan yang dilakukan seorang individu terhadap suatu objek untuk membuat suatu perubahan pada objek tersebut. Didalam teknologi ada metode kontrol dan kordinasi yang bervariasi, makin rutin teknologinya maka makin tinggi organisasi tersebut di struktur. Adanya aspek dari struktur yang dapat dimodifikasi dalam teknologi, seperti keleluasaan yang dapat dilakukan dalam tugas suatu organisasi, hubungan saling ketergantungan yang dilakukan antara kelompok organisasi, kekuasaan kelompok organisasi untuk mengontrol tujuan serta partisipasi
kelompok organisasi dalam mengkordinasikan pekerjaan kelompok organisasi tersebut .
Pendapat James Thompson, yaitu terletak pada upaya untuk menunjukkan bahwa teknologi menentukan pemilihan strategi untuk mengurangi ketidakpastian dan bahwa pengaturan struktur yang spesifik dapat membantu dikuranginya ketidakpastian. (Robbins 1994 : 206). Thompson mengemukakan bahwa organisasi mau tidak mau harus melakukan beberapa hal mendasar sebagai sebuah keharusan, karena kalau tidak maka tujuan organisasi tidak akan tercapai karena organisasi diharapkan menghasilkan sesuatu, maka tindakannya pun hendaknya masuk akal atau rasional.
Berdasarkan kutipan tersebut, penulis mengemukakan bahwa dengan adanya teknologi dapat mengurani ketidakpastian dan menjadi lebih rasional dan hubungan teknologi dengan struktur ternyata bersifat terbatas dan bahwa pengaruh teknologi terhadap struktur terasa pada bagian dari suatu organisasi ataupun pada organisasi yang ukurannya kecil. Sementara itu, struktur suatu organisasi terutama pada organisasi besar, merupakan hasil akhir dari berbagai macam pengaruh, yaitu pengaruh teknologi, ukuran, dan lingkungan organisasi. Oleh karena itu, dalam merencanakan desain dari suatu organisasi berukuran besar sebaiknya organisasi besar itu dipandang sebagai suaturangkaian bagian yang masing-masing dipengaruhi oleh teknologi dengan cara yang berbeda-beda.
Pada saat ini sudah mulai banyak lembaga-lembaga pemerintahan yang mulai memanfaatkan kemajuan teknologi informasi ini guna diaplikasikan sebagai media dalam memberikan kemudahan penyampaian informasi publik dan kemudahan pelayanan publik. Hal ini tentunya bukan saja penerapan e-gov bukan semata-mata karena perkembangan itu dari perspektif lingkungan strategik, tetapi lebih penting lagi adalah dirasakan adanya kebutuhan akan penerapan teknologi informasi dan
teknologi komunikasi tersebut guna mencapai kualitas pelayanan prima kepada masyarakat, disamping juga adalah guna tercapainya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efisiensi, koherensi dan daya guna lainnya yang dimungkinkannya.
Tujuan teknologi komunikasi dalam bidang administrasi pemerintah :
1. Mempermudah perkerjaan kita dalam hal pendataan baik itu orang, produk dan sebagainya
2. Lebih efisien dalam hal waktu
3. Hilangnya batasan ruang dan waktu dengan adanya administrasi membuka peluang baru untuk melakukan pekerjaan dari jarak jauh.
4. Kemudahan dalam melakukan pengolahan data dan menyelesaikan perhitungan yang rumit.
Keuntungan dari penerapan teknologi informasi menurut Sutarman (2009:19) adalah sebagai berikut:
1. Kecepatan (Speed)
Komputer dapat mengerjakan sesuatu perhitungan yang kompleks dalam hitungan detik, sangat cepat, jauh lebih cepat dari yang dapat dikerjakan oleh manusia.
2. Konsistensi (Consistency)
Hasil pengolahan lebih konsisten tidak berubah-ubah karena formatnya (bentuknya) sudah standar, walaupun dilakukan berulang kali, sedangkan manusia sulit menghasilkan yang persis sama.
3. Ketepatan (Precision)
Komputer tidak hanya cepat, tetapi juga lebih akurat dan tepat (persis).
Komputer dapat mendeteksi suatu perbedaan yang sangat kecil, yang tidak dapat dilihat dengan kemampuan manusia, dan juga dapat melakukan perhitungan yang sulit.
4. Keandalan (Reliability)
Keuntungan dari penerapan teknologi informasi untuk membuat suatu pekerjaan menjadi efektif dan efisien. Sehingga suatu pekerjaan dilakukan dengan baik dan benar. Ketika suatu pekerjaan dapat dilakukan dengan benar, maka pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan.
Pengembangan e-Government mengacu pada INPRES No. 3 Tahun 2003, yaitu tentang melaksanakan strategi keenam dengan melaksanakan pengembangan
secara sistematik melalui tahapan-tahapan yang realistis dan terukur, maka dapat dilaksanakan dalam empat tingkatan yaitu persiapan, pematangan, pemantapan, dan pemanfaatan (Irawati, 2014:4).
Semenjak dikeluarkan instruksi presiden saat itu, hampir seluruh daerah di Indonesia sudah memiliki banyak kemajuan dengan menampilkan sistem teknologi pemerintahan berbasis e-Government. Karena pada praktiknya Good Governance dalam meningkatkan pelayanan publik terutama melalui pemanfaatan teknologi e-Government bertujuan juga dalam pembangunan Kota dan penerapan Smart City (Kota Cerdas) yang tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai penyedia layanan yang dominan dan memegang kendali. Kota-kota berbagai belahan dunia pada mulanya Smart City bertujuan untuk menciptakan kemandirian daerah dan meningkatkan layanan publik. Konsep dan implementasinya pun makin berkembang.
Kini Smart City sudah diterapkan di banyak negara termasuk di Indonesia.
Implementasi Smart City juga terjadi di sejumlah kota dan daerah di Indonesia.
Menurut Rosyada dkk, (2003:180), good governance merupakan tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan kehidupan keseharian. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, good governance adalah kepemerintahan yang mengembankan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrsi, efisiensi, efektivitas supremasi hokum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
New Public Service (NPS) meletakkan pelayanan publik sebagai kegiatan utama para administrator negara. Salah satu intisari dari prinsip New Public Service (NPS) ini adalah bagaimana administrator publik mengartikulasikan dan membagi kepentingan (shared interests) warga Negara. Agar kepentingan warga negara tersebut dapat terdistribusi dengan baik dan adil, diperlukan media pertemuan antara pemerintah dengan warga masyarakat, sehingga semua kepentingan warga masyarakat dapat terakomodasi dengan baik. Agar kebutuhan masyarakat dapat segera direspon dengan baik oleh pemerintah maka diperlukan media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Pemanfataan teknologi informasi komunikasi (e-Government) mampu menjadi mediator untuk memfasilitasi komunikasi tersebut dengan cepat (Irawan: 2013).
Indrajit (2002:1) mendefinisikan e-Government tidaklah cenderung universal seperti e-Commerce dan e-Business. Ini dikarenakan setiap negara memiliki skenario implementasi atau penerapannya yang berbeda, seperti kondisi internal baik secara makro maupun mikro, kemudian sangat ditentukan oleh sejarah, budaya, pendidikan, pandangan politik, kondisi ekonomi dari negara yang bersangkutan. Dengan demikian e-Government merupakan suatu mekanisme interaksi baru antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang berkepentingan, dengan melibatkan penggunaan teknologi informasi (terutama internet) dengan tujuan memperbaiki mutu (kualitas) pelayananan (Indrajit. 2002: 36). E-Government adalah penyelenggaraan kepemerintahan berbasiskan elektronik untuk meningkatkan kualitas layanan publik secara efisien, efektif dan interaktif. Intinya e-Government
adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain (penduduk, pengusaha maupun instansi lain).
Secara umum, jenis layanan e-government menurut Indrajit (2006:21) antara lain:
a. Jenis layanan yang bertujuan untuk penyediaan informasi seperti visi dan misi pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan, prosedur pendirian
a. Jenis layanan yang bertujuan untuk penyediaan informasi seperti visi dan misi pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan, prosedur pendirian