Saat kecil, aku melihat salah seorang keluargaku sedang asik menulis. Dialah ayahku, beliau terlihat begitu sangat berkonsentrasi dan berhati-hati. Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang ayahku tulis. Sehingga membuat kening ayahku mengkerut. Bertambah tahun bertambah pula usiaku. Saat itu usiaku adalah lima tahun, dan tiba saatnya aku bersekolah. Aku begitu sangat antusias saat aku tahu bahwa aku akan bersekolah di Taman kanak-kanak. Saat itu aku melihat banyak sekali macam macam permainan didalam sekolahku. Itukah yang dinamakan dengan sekolah? mengapa aku begitu sangat antusias untuk bersekolah?. Ternyata aku sangat ingin bersekolah, karena aku melihat begitu asyiknya bila melihat orang-orang disekitarku menulis sehingga membuatku sangat ingin sekali mengetahui cara menulis. Hal itu timbul karena rasa penasaranku ketika aku melihat orang-orang disekitarku, seperti; ayahku yang waktu itu sangat serius sekali dan terlihat asik sekali menuliskan sesuatu. Bel berbunyi, tanda jam kelas dimulai. Aku tidak tahu apakah yang akan
108
kulakukan, teman-temanku dan guruku. Guruku mengambil sepotong kapur lalu menggoreskannya keatas papan. Tulisan itu sangatlah indah dimataku, tulisan itu menggambar eloknya lambaian tangan guruku. Itu kah sebuah tulisan? “Rasa penasaranku bertambah”. Aku terus memandangi tulisan itu, meski tidak ku mengerti baca dan artinya. Itu membuatku benar-benar semakin ingin belajar menulis. Waktu pun belum berjalan, guruku mengajariku satu per satu abjad dan angka. Menulis tidak semudah yang aku kira, satu per satu aku diajarkan menulis huruf, a, b, c, d, hingga z. Sulit bagiku untuk menirukan tulisan huruf “a” yang guruku sedang contohkan padaku. Walaupun sulit aku terus berusaha, “kamu pasti bisa nak!” itulah kata ibuku. Aku terus bersemangat dan terus berusaha. Hari-haripun mulai berlalu, aku masih saja berada diatas kesulitanku. Suatu ketika, akhirnya akupun dapat menulliskan huruf-huruf dan abjad-abjad itu dengan baik walaupun tidak sebagus tulisan guru TK ku.
Kini aku telah memasuki sekolah dasar. Didalamnya tidak ada lagi mainan. Jangankan bermacam-macam, satu macampun tidak ada. Tidak ada lagi nyanyian-nyanyian serta
109
permainan. Semuanya berubah. Suasana, tempat, teman, juga gurunya. Hari pertama aku sekolah dasar. Aku berangkat dengan langkah kaki yang semangat sambil bernyanyi disetiap langkahku. Setibanya disekolah aku berkenalan dengan teman-teman baruku. Semakin hari aku semakin terbiasa dengan lingkungan sekolahku. Aku juga semakin senang untuk bersekolah. Hingga suatu hari tepatnya saat aku duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Saat itu aku lelah selesai melalui hari liburan kenaikan kelas. Hari kedua adalah hari dimana ada pelajaran bahasa Indonesia. Guru sastraku memulai pengajarannya dengan bercerita saat mempergunakan waktu liburannya. Setelah selesai bercerita, kemudian guruku menyuruh saya dan teman-teman untuk menuliskan kisah liburan yang dilakukan. Sontak aku kaget ditambah bingung. Aku bertanya pada diriku sendiri apa yang harus aku lakukan. Aku bingung harus memulai cerita ini dari mana. Aku terus berpikir dan tidak tahu bagaimana cara mengawalinya. Dengan keteguhan hati yang besar aku terus mengerjakannya. Bel tanda pelajaran berakhirpun berbunyi, tetapi aku belum juga menuntaskan pekerjaanku. Setibanya dirumah, aku bercerita pada kakakku
110
mengenai tugas dari guru sastraku. Tentu saja ia ingin membantu dan akhirnya tugaskupun terselesaikan.
Hari menjelang pagi itulah saatnya aku pergi kesekolah. Guru sastraku menyuruh aku dan teman-temanku untuk membacakan cerita yang sudah kami tulis didepan kelas. Aku membacanya dengan penuh keseriusan dan guruku berkata, “liburan yang menyenangkan”. Membuat suatu karangan ataupun membuat suatu tulisan tidaklah semudah yang aku kira. Kegiatan semacam itu terus ada disetiap pelajaran disekolahku. Sekolah Dasar, sekolah Menengah Pertama, kegiatan itu selalu ada. Aku selalu mengalami kesulitan yang sama yaitu tidak tahu cara mengawali sebuah cerita dan cara mengarang alur yang akan aku ceritakan. “oh Tuhan, ternyata menulis itu sangat sulit, aku tidak berbakat untuk menulis.” Keputus asaanku semakin kuat. Hari-hari bersekolahku terus berlalu. Tetapi aku terus menjalaninya dengan penuh semangat.
Kini aku telah beranjak remaja. Aku beropini bahwa berhitung lebih menyenangkan dan lebih mengasikkan,
111
daripada harus menulis ataupun mengarang. Opiniku tentang hal itu adalah menulis sangat membosankan memberiku titik kejenuhan dalam belajar dan benar-benar tidak menyenangkan. Kesulitan akan hal itu selalu ada saat pelajaran Bahasa Indonesia, memulai materinya dengan pengalaman atau bercerita. Aku tidak suka sekali menulis. Saat harus menulis sesuatu, aku merasakan hal bagaikan jatuh dari atas pohon dan aku ingin teriakkan kata “menulis itu menakutkan”. Namun, suatu ketika aku mengenal suatu materi yaitu puisi. Guruku menggambarkan suatu puisi padaku tentang cara menuliskannya, cara membuatnya dan cara membacanya. Pembuatan puisi bagiku adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dimengerti. Tidak perlu bingung untuk mengawalinya karena semuanya sudah tertata rapi dalam ingatan. Puisi pertama yang aku buat adalah suatu puisi yang menjelaskan bahwa aku kini tidak takut untuk menulis. Puisi itulah yang mengawali aku suka menulis seperti halnya orang lain. Satu per satu waktu terus kujalani. Menulis bukanlah suatu kendala lagi bagiku.
112
Hari pertama masuk sekolah, kini aku telah berada di Sekolah Menengah Atas. Menulis bukanlah hal yang menjadi kendala lagi. Menulis memang bukanlah hobi untukku. Namun menulis akan tetap ada dalam setiap perjalanan hidupku. Tugas-tugas sekolahku mulai menumpuk. Mulai dari matematika, IPA, IPS, Bahasa Asing. Semua itu tidak membuatku enggan untuk belajar menulis. Hasil tulisanku memang jauh sekali dari kata sempurna, sebab itu aku terus berusaha. Dari semua yang selalu aku kerjakan menulis selalu membantu aku, saat aku menulis aku dapat merasakan ketenangan hati. Tidak aku buat dalam bentuk diari, tidak juga dalam bentuk puisi maupun cerpen. Namun aku selalu mengemas ceritaku dalam bentuk tulisan yang aku tulis dalam secarik kertas yang kemudian aku terbangkan impiannya agar Tuhan dapat membaca isi hatiku. Menulis juga aku gunakan untuk mencatat waktu luangku. Namun aku gunakan di sosial media yang ada, sebagai tempatku mengarang. Dengan maksud agar siapa saja yang membaca tulisanku dapat memahami, mengerti, dan dapat merasakannya juga. Serta
113
dapat menjadi gambaran ataupun tujuan yang sama bersama impian yang berbeda.
Kini menulis adalah suatu kebiasaan yang berdampingan dalam jalan hidupku. Bukan cita-cita bukan juga suatu hobi namun merupakan kebiasaanku. Jika dulu aku pernah berkata menulis itu membosankan, menjenuhkan, bahkan menakutkan, sekarang aku akan katakan dan beritahukan pada semuanya bahwa menulislah berkaryalah dengan goresan bolpoin yang ada ditanganmu. Apakah kita bisa lari dari yang namanya menulis?. Jawabannya tentu tidak, disetiap kehidupan kita mengandung berbagai macam cerita dan kegiatan dan saat itulah sebuah tulisan pasti ada mendampingi hidup kita. Percayalah menulis tidak akan merugikan dirimu sedikitpun, namun akan memberikan ketenangan hati dan jiwa. Ketenangan yang tak dapat kamu temukan. Jadi, ayo menulislah mulai dari sekarang bersamaku dan jangan pernah ada kata “menyerah” dan “menyesal”.
114