Keterasingan membuat saya merasa terbelenggu oleh kehidupan. Kadang terasa tidak adil ketika hidup saya yang stabil dan nyaman dirombak oleh takdir yang mengharuskan saya menjalani kehidupan – kehidupan baru yang asing. Namun setidaknya saya dapat memulai dan memberanikan diri untuk melanjutkan kemahiran goresan pena sehingga kini dapat membantu dan menunjang kehidupan serta untuk masa depan cerah. Saya awali goresan pena dengan pengalaman terasing dari kehidupan yang tidak pernah terduga. Barito Selatan, tepatnya daerah Buntok Kalimantan Tengah. Sebuah kota kecil diujung kabupaten menjadi saksi jatuhnya tinta pertama yang termuat di majalah “MAMETA” (Majalah Menengah Pertama). Sebuah majalah bulanan sederhana yang di peruntukkan untuk siswa – siswi menengah pertama di daerah itu.
Mutasi ayah yang membuat keluarga kami meninggalkan hiruk pikuk masyarakat berkebudayaan Jawa
101
Timur dengan aksen khas kota Gresik dan berpindah ke tempat sepi dan berbalik seratus delapan puluh derajat. Meninggalkan semua kehidupan rutin, Kerabat, kampung halaman, dan pondok tercinta merupakan sesuatu yang berat. Terlebih lagi kondisi saya yang masih dalam tataran Sekolah Menengah Pertama, kelas dua semester ke dua membuat situasi dan kesanggupan dalam beradaptasi jauh berkurang. Pertama menginjakkan kaki di bumi ber-rawa itu, tersurat perbedaan yang signifikan dalam bermasyarakat dan berkebudayaannya. Mulai dari agama, tiga agama mayoritas yang tersorot adalah Islam, Nasrani dan Kahayanan. Penduduk asli kota Buntok mayoritas beragama Nasrani, masyarakat pendatang baik berasal dari Jawa maupun dari kabupaten lainnya mayoritas beragama Islam. Sedangkan masyarakat dari pedesaan adalah beragama Kahayanan.
Rumah dan bangunan serta jembatan yang semuanya berdiri diatas rawa – rawa membuat keadaan semakin khas. Gerakan dan derik antar kayu yang bergerak ketika terinjak menjadi bagian dari alunan tiap detik waktu yang terlewat. Ketika ada suara babi yang riuh di pekarangan tetangga, maka
102
akan jadi pertanda bahwa sebentar lagi si empunya akan menyelenggarakan pesta. Banyak kenangan tentang proses belajar mengajar yang telah mengakar dari tahun ke tahun. Seluruh kota adalah sebagian besar berawa membuat hujan menjadi kendala sekaligus anugrah bagi seluruh siswa – siswi. Ketika sungai barito meluap dan rawa penuh air, sekolahan beserta akses menuju ruang belajar banjir. Terlebih lagi ketika hujan badai dan petir melanda, tak kenal siang maupun malam. Tidak ada hiburan, Water boom, Mall, pusat perbelanjaan Modern, maupun obyek wisata. Hanya ada sungai yang terbentang luas menjadi salah satu tempat hiburan masyarakat. Sungai Barito akan menjadi pantai pasir putih ketika air sungai surut. Sebaliknya, akan menjadi kolam raksasa yang sanggup menenggelamkan orang dewasa ketika air pasang. Pasar yang terbagi menjadi dua area, yakni area basah, berdiri diatas sungai ketika mulai pasang, berisikan sayur mayur dengan harga dua kali lipat serta ikan, ayam, bebek maupun udang sungai yang seukuran paha orang dewasa. Di tengah kota terdapat pasar modern yang berisi dagangan kering.
103
Keadaan yang asing membuat saya tertertekan. Terlebih lagi ketika pertama pindah saya sekeluarga dihadapkan oleh musim ulat bulu. Ditiap jengkal serambi rumah, mobil, maupun jendela terdapat ratusan bahkan ribuan ulat bulu yang menyebar merata. Hal ini membuat saya semakit stress. Seorang guru matematika yang melihat potensi saya membimbing dalam menulis. Beliau mengharuskan saya menulis kegiatan dan kejadian yang telah terlewat dalam sebuah buku. Perlahan tapi pasti, kebudayaan asing, kehidupan asing, situasi asing, gambaran kehidupan asing, mlai dari yang biasa sampai ter-ekstrem saya tuliskan.
Bermula dari nilai matematika saya yang turun sangat drastis jika dibandingkan bulan awal masuk ke sekolahan baru itu. Guru matematika itu secara privat menawarkan saya untuk les matematika. Namun, sampai tiga bulan selanjutnya, masih belum ada perkembangan yang signifikan. Akhirnya beliau mengharuskan saya menulis minimal tiga ratus kata dalam buku diary, tentang semua yang saya rasakan. Lambat laun saya merasa menemukan cara mengusir keterasingan terhadap
104
lingkungan baru tempat hidup saya. Puluhan buku diary masih tersimpan rapi dalam lemari kamar saya.
Hinga suatu ketika, guru matematika memberikan sebuah majalah kepada saya, beliau berpesan agar mulai menulis untuk menunjukkan diri saya yang sebenarnya. Dengan keadaan saya yang menggunakan jilbab ditengah 900 siswa SMPN 1 Dusun Selatan/ Buntok, namun tetap survive apa adanya itu, beliau ingin murid–murid didiknya yang mempunyai keinginan untuk berjilbab dapat berani melakukannya. Awalnya saya tidak tertarik dengan dunia tulis – menulis. Yang ada dipikiran saya, akan sangat banyak aturan dalam penyampaian perasaan serta maksud yang ada diotak saya. Akan banyak editing–editing yang merusak kata demi kata yang ingin saya pergunakan. Banyak hal yang akan terbuang karena tidak layak muat dalam majalah itu, dan saya takut merasa kecewa.
Sampai ketika terjadi banjir bandang dilingkungan itu. Membuat inspirasi saya dalam menulis hilang sewaktu banjir bandang menelan rumah guru matematika itu dan akhirnya meninggalkan kami. Keinginan terakhirnya adalah ketika saya
105
dengan memakai jilbab menjadi sebuah cerita mengalahkan ratusan cemooh orang – orang disekitar saya dan keteguhan menjadi satu – satunya siswi berjilbab di kompleks pelajar termuat di majalah khusus tingkatan SMP. Keinginan guru matematika itu saya wujudkan dalam bentuk puisi dan termuat di majalah seperti yang diinginkannya.
Kini, saya melanjutkan perjuangan dalam menuntut ilmu sesuai dengan objek yang saya minati, yakni Program Studi Ilmu Komunikasi di luar pulau Jawa kembali. Cara–cara adaptasi dengan menggunakan “Pena Terasing” yang telah diajarkan almarhumah guru matematika yang sangat membantu saya dalam berbagai hal. Sering tugas luar kota yang mengharuskan saya luwes dengan kebudayaan dan keterbatasan kota – kota tersebut membuat tulisan makin beraneka ragam. Banyak makna kehidupan yang dapat menggantikan guru matematika mendampingi saya dalam menggoreskan pena dimasa kini serta masa mendatang.
Ketika saya mulai menekuni bidang fotografi sebagai hobi sekaligus mengasah kemampuan dan kemahiran
106
mengambil gambar, saya selalu mencari makna–makna kehidupan yang terselip di tiap foto yang diambil. Semakin banyak foto terkumpul, semakin banyak pula imaji yang tercipta. Mengungkapkan realita yang sebenarnya adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi saya. Sederet kisah dan pengungkapan realita versi saya selalu menuai kritik dan koreksi dari pihak – pihak disekitar. Hal ini membuat saya lebih senang terus berkarya dan mencurahkan segala yang dirasa, dilihat serta dijalani kedalam folder pribadi yang hanya orang- orang tertentu saja yang bisa membacanya. Kini, menulis adalah salah satu kewajiban agar jiwa dan hati saya terasa tenang.
107