• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Kinerja

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL 2011 (Halaman 37-43)

scorecard (BSC). Tujuannya adalah ingin memantau kinerja setiap pegawai sebagai seorang individu. Namun,

BSC yang dikembangkan ketika itu hanya mengukur pencapaian kinerja organisasi.

Pada tahun 2009, mulai berkembang ide untuk menyusun Pengelolaan Kinerja Individu. Tetapi, terminologi “individu” tidak disetujui, sehingga pada akhirnya disebut dengan istilah Pengelolaan Kinerja Pegawai.

Untuk mendapatkan masukan dari best practices, Biro Sumber Daya Manusia (SDM) telah mengundang pajabat PT. Telkom maupun melakukan studi untuk melihat draft yang telah dimiliki. Ada beberapa alternatif yang kita sampaikan di TRB juga, sempat itu. Namun demikian, upaya ini tidak disetujui hingga akhirnya berkembang Pengelolaan Kinerja oleh Pushaka.

Agar lebih optimal, Biro SDM dan Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) kemudian bekerja sama menangani persiapan pengelolaan kinerja pegawai di Kementerian Keuangan. Konsep yang diolah masih didasarkan pada BSC semata, di mana kinerja diukur hanya berdasarkan target dan belum melihat ke unsur perilaku. Selanjutnya, berdasarkan arahan Menteri Keuangan, dilakukan penambahan unsur perilaku ke dalam target kinerja.

Selain ke PT. Telkom, studi banding juga dilakukan ke Bank Mandiri, terutama untuk unsur perilaku. Kementerian Keuangan belum memiliki benchmark perilaku, sehingga memerlukan inspirasi dari Bank Mandiri dalam menyusun Keputusan Menteri Keuangan Nomor 54 tentang Penilaian Kinerja Pegawai.

Pengelolaan Kinerja

Penyusunan laporan kinerja pada awalnya benar-benar dipisah di antara organisasi dan individu. Namun, setelah dipertimbangkan dengan matang dan mendapatkan masukan dari para Pejabat Eselon I, maka kemudian kedua aspek digabungkan, dan KMK-nya dibuat. Proses yang cukup lama disebabkan upaya untuk mencari keharmonisasian di antara 12 unit eselon I ke dalam satu aturan. Hal pertama pokok dimasukkan dalam KMK No. 12, sedangkan ciri khas masing-masing Eselon I menjadi turunannya.

Pengelolaan organisasi dilihat dari output kerja dari setiap individu. Output ditetapkan sebagai target melalui mekanisme kontrak, sehingga dapat diketahui tercapai atau tidaknya target seseorang dalam setahun bekerja. Namun, menilai kinerja hanya dari sisi output kerja belum dapat dikatakan lengkap. Perlu pula dinilai perilaku individu yang menggambarkan cara yang ditempuh dalam mencapai output yang ditargetkan.

Pengukuran perilaku dilakukan oleh para pegawai di sekitar pegawai yang dinilai dengan bobot yang berbeda-beda. Atasan mendapatkan bobot nilai yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh bawahan, dan selanjutnya rekan kerja. Para pihak inilah yang secara langsung mengetahui perilaku sehari-hari dari pegawai yang dinilai.

Kementerian Keuangan telah memiliki nilai-nilai yang mencerminkan budaya kerja yang harus dimiliki oleh para pegawai. Oleh karena itu, ke-5 nilai inilah yang pertama kali dilihat dan diukur dari semua pegawai. Perilaku dari setiap pegawai dilihat kesesuaiannya dengan nilai-nilai oleh atasan, bawahan, dan teman sekerja bagi pelaksana.

Selain dari sisi nilai, bagi para pejabat struktural, penilaian perilaku masih ditambah dengan 7 kompetensi manajemen. Pada awalnya, hanya diajukan 3 kompetensi manajemen, namun Menteri Keuangan mengarahkan untuk menambahkan 4 kompetensi manajemen lainnya. Pertimbangannya adalah karena pejabat struktural pada dasarnya adalah seorang manajer yang harus mempunyai kemampuan tertentu. Kemampuan dimaksud diperlukan dalam rangka membawa dirinya sendiri atau unit kerjanya untuk mencapai target yang telah ditetapkan.

Ketika penilaian perilaku dimulai, telah banyak dilakukan diskusi dan studi banding. Dari hasil studi banding, kemudian disusun jenis-jenis perilaku yang akan diukur. Namun, masih timbul perdebatan mengenai pihak yang berwenang mengukur perilaku seorang pegawai. Apakah penilaian cukup dilakukan oleh atasanya saja, atau perlu sampai ke bawahan, atau bahkan perlu sampai pers?

Kemudian disepakati bahwa semua pihak yang terkait harus ikut mengukur dan menilai, sehingga dinamakan 360 derajat. Meskipun demikian, pada tahun 2011, masih ada keraguan untuk menerapkan penilaian perilaku 360 derajat, karena disadari tidak mudah. Para pegawai diperkirakan menghadapi kesulitan, karena dalam keseharian tidak pernah secara langsung bergulat dengan masalah-masalah perilaku. Para ahli sekalipun memerlukan waktu untuk menilai perilaku dengan tepat.

Untuk mengatasinya, penilaian perilaku 360 derajat disusun sedemikian rupa, sehingga semua pihak mampu menilai dengan baik. Strategi yang ditempuh adalah penilaian perilaku bagi pelaksana hanya berdasarkan nilai-nilai Kementerian Keuangan, sedangkan untuk pejabat struktural juga dikaitkan dengan kompetensi menajemen. Pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan perilaku seorang pegawai disusun sedemikian rupa, sehingga mudah untuk melakukan penilaian, dan sekaligus menghindari bias.

Salah satu keterbatasan dari penilaian perilaku adalah belum adanya ukuran yang pasti, bahkan ketika seorang pegawai menilai dirinya sendiri. Kondisi ini berbeda dengan penilaian kinerja berdasarkan output, di mana pencapaian target dengan mudah dapat dibuktikan. Berdasarkan kondisi ini, maka dalam penilaian perilaku tidak diperkenankan bagi seorang pegawai untuk mengajukan keberatan atas penilaian bagi dirinya.

Sesuai arahan dari Tim Reformasi Birokrasi (TRB), Biro SDM menyusun perilaku sebagai bagian dari pengelolaan kinerja organisasi Kementerian Keuangan. Kinerja dinilai dengan menggabungkan antara output dan perilaku, sehingga penilaian kinerja seorang pegawai menjadi lengkap. Penilaian dilakukan terhadap target yang dicapai dan cara untuk mencapainya.

Saat ini dapat dirasakan bahwa seorang atasan akan bertindak lebih cermat, karena dinilai oleh bawahannya. Atasan akan lebih berhati-hati dalam melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap anak

Pengelolaan Kinerja

4

BAB

buahnya. Fenomena ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan di bidang manajemen SDM, meskipun cenderung bersifat subyektif.

Agar lebih obyektif, maka digunakan indikator untuk menampilkan nilai atas perilaku tertentu dari seorang pegawai. Dalam konteks ini, pihak yang menilai harus mengenal pihak yang dinilai dan telah berinteraksi cukup lama. Pegawai baru tidak diperkenankan memberikan penilaian, karena relatif belum mengenal pegawai yang akan dinilai.

Praktik penilaian kinerja melalui perilaku yang masih baru menyebabkan belum adanya pengalaman empirik. Namun demikian, manajer kinerja ditugaskan untuk mencermati kewajaran penilaian yang diberikan oleh seorang pegawai. Misalnya, terdapat seorang pegawai yang memberikan penilaian “kurang” terhadap perilaku pegawai tertentu, sedangkan semua pegawai lainnya menilai yang bersangkutan berperilaku “bagus”, maka hal ini perlu dicatat dan dievaluasi oleh manajer kinerja. Contoh kasus seperti ini perlu diantisipasi sejak dini, karena terdapat peluang untuk terjadi, karena seorang pegawai yang akan dinilai boleh mengusulkan pihak-pihak yang menilai perilakunya.

Perlu adanya pemahaman akan hubungan timbal balik di antara pegawai yang menilai dan yang dinilai. Seorang atasan akan menilai bawahannya, namun dirinya juga dinilai oleh bawahannya. Dengan sistem yang dikembangkan seperti ini, maka semua pihak lebih mawas diri. Seorang atasan harus mulai menunjukkan kemampuannya di bidang manajerial, sedangkan seorang pelaksana sepatutnya menjalankan nilai-nilai Kementerian Keuangan dengan seksama.

Dalam formula yang sederhana, kinerja seorang pegawai merupakan penjumlahan antara capaian kinerja pegawai (CKP) dan nilai perilaku (NP) yang dihitung pada akhir tahun. Sebagai pelengkap, terdapat pula

monitoring trajectory untuk keperluan pemantauan pencapaian target pada setiap tiga dan enam bulan. Jika

target tertentu tidak dicapai, maka atasan perlu melakukan komunikasi dengan bawahannya yang tidak mencapai target tersebut.

Hasil penilaian kinerja pada akhir tahun menjadi bahan untuk menentukan tunjangan kinerja. CKP dan NP dalam praktiknya akan dinilai pada setiap semester, yaitu semester I pada akhir bulan Juni dan semester

II pada akhir bulan Desember. Penilaian pada kedua semester kemudian dibagi dua untuk mendapatkan nilai rata-rata. Dari segi pembobotan, CKP diberi bobot 70, sedangkan NP diberi bobot 30, dan selanjutnya dikalikan dengan 100 persen.

Nilai CKP dan NP memiliki rentang nilai yang berbeda, sehingga perlu dilakukan konversi. Nilai maksimal CKP mencapai 120, sedangkan NP mempunyai nilai maksimal yang berbeda. Perbandingan bobot 70 untuk CKP berbanding 30 untuk NP bermakna bahwa penilaian output masih mendapatkan porsi yang lebih tinggi dibandingkan penilaian perilaku. Namun, pada unit Eselon I tertentu, tidak tertutup kemungkinan bobot CKP mencapai 80 untuk unit Eselon III ke bawah. Di Sekretariat Jenderal, perbandingan bobot yang digunakan adalah 70-30, tetapi dapat bervariasi untuk kantor-kantor vertikal. Setelah diperoleh bobot dan persentase, maka hasil penilaian kinerja seorang pegawai dapat masuk ke dalam kategori atau kriteria rendah, sedang, atau tinggi.

Capaian kinerja yang tinggi memiliki nilai yang berkisar antara 90-120 persen. Seorang pegawai yang memiliki nilai melebihi kisaran ini, misalnya 130 persen atau 140 persen, akan tetap dinilai 120 persen. Nilai ini nantinya akan dijadikan sebagai dasar pemberian tunjangan kinerja.

Untuk mengetahui tingkat pemahaman terhadap penilaian kinerja di kalangan pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan, Biro SDM menyiapkan survei pada tahun 2012. Misalnya, apakah buku pedoman penilaian kinerja dapat dengan mudah dipahami? Ataukan para pegawai masih mengalami kesulitan untuk memahaminya? Selain itu, ingin diketahui pula kesesuaian instrumen-instrumen yang digunakan untuk mengukur perilaku, sehingga dapat dievaluasi dan dilakukan penyempurnaan.

Penilaian perilaku dengan menggunakan aplikasi dimulai pada semester pertama tahun 2012. Adanya aplikasi sangat mempermudah proses penilaian perilaku. Jika data telah diinput, maka akan muncul kontrak kinerja.

Pengelolaan kinerja telah menjadi salah satu elemen dari siklus kegiatan di Biro SDM. Tatkala Biro Kepegawaian berubah menjadi Biro SDM, telah diterapkan Competencey-Based Human Resources Management. Salah satu alat kelengkapan yang dibutuhkan adalah performance management. Dengan kata lain, pengelolaan kinerja merupakan pengejawantahan dari siklus pengelolaan SDM, yaitu recruitment, developing, performance, serta reward and punishment.

Termasuk di dalamnya adalah proses coaching dan counselling yang saat ini sedang digalakkan pengembangannya. Terdapat Executive Coaching untuk tataran pimpinan, dan untuk tingkat di bawahnya, sedang dijalin kerjasama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk membuat diklat-diklat yang terkait dengan pengembangan kemampuan coaching. Selain itu, Biro SDM juga mensertifikasi pegawai-pegawai yang mampu menjadi trainer untuk coaching.

Inti dari pengelolaan kinerja pegawai sebenarnya adalah pada coaching yang mencakup upaya pengembangan kapasitas pegawai agar dapat mencapai target kinerja. Pada akhirnya, pegawai akan mendapatkan nilai tambah dan organisasi juga merasakan manfaatnya.

Tantangan terbesar yang dihadapi dalam penerapan penilaian perilaku adalah keterbatasan waktu, sedangkan komitmen pimpinan tidak menjadi persoalan. Biro SDM sudah harus menerapkan penilaian perilaku pada tahun 2011, sedangkan Peraturan Menteri Keuangan yang terkait juga baru disusun pada tahun 2011. Keterbatasan waktu menyebabkan Biro SDM belum dapat melakukan kajian secara mendalam, di samping belum siapnya para pegawai dan perangkat organisasi. Namun, dengan kerja keras, aplikasi penilaian perilaku telah siap untuk digunakan dan diharapkan tidak menemui kendala yang berarti dalam implementasinya.

Penetapan kontrak kinerja atau target pada dasarnya bukan hanya dari atasan, tetapi merupakan hasil komunikasi di antara atasan dengan bawahan. Dengan demikian, jika misalnya bawahan merasa banyak bekerja, tetapi tidak dimasukkan di dalam penilaian, maka bisa didiskusikan dengan atasannya. Atau sebaliknya, jika atasan memandang bahwa pekerjaan yang dilakukan bawahan diperlukan oleh organisasi, maka bisa saja dimasukkan sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU).

Tidak semua pekerjaan dimasukkan ke dalam IKU, namun hanya yang utama, yaitu yang memang dianggap penting dan khas. Kondisi pekerjaan di Kementerian Keuangan belum sepenuhnya seperti sektor swasta, di mana distribusi tugas telah lebih spesifik. Demikian pula dengan sistem reward and punishment-nya.

Pengelolaan Kinerja

4

BAB

KMK mengenai penilaian perilaku digunakan untuk mengukur kinerja organisasi dalam rangka mencapai tujuan. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan secara terus-menerus. Kinerja ke-12 unit Eselon I di Kementerian Keuangan perlu diselaraskan dan disinergikan. Pekerjaan ini tidak mudah, karena membutuhkan teamwork yang solid.

Misalnya mengenai penetapan pajak. Orang luar menganggapnya hal tersebut hanya merupakan pekerjaan DJP semata. Pandangan ini tidak benar, karena dalam praktiknya juga melibatkan BKF dan Sekretariat Jenderal (Sekjen). Bahkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga terpengaruh.

Ukuran aktivitas organisasi harus dibuat menjadi semakin jelas. Organisasi tidak akan berjalan tanpa dukungan pegawainya. Oleh karenanya, tujuan organisasi harus sejalan dengan tujuan pegawai. Tujuan organisasi di-breakdown dari Menteri Keuangan ke Eselon I, kemudian dari Eselon I turun ke Eselon II, dari Eselon II turun ke Eselon III, dan seterusnya sampai ke tingkat pelaksana. Dari sini, dapat diketahui peran setiap pegawai di dalam organisasi. Kemungkinan terdapat pegawai yang berperan sangat aktif atau berkontribusi besar terhadap organisasi, namun tidak tertutup kemungkinan dijumpai pegawai yang hanya berperan sangat kecil terhadap kinerja organisasi. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila terdapat ukuran yang jelas sebagai dasar dalam penataan pegawai.

Di samping itu, alat ukur kinerja yang digunakan harus mampu menunjukkan perbedaan di antara pegawai yang berkinerja baik dan kurang/tidak baik, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan penghargaan. Apabila semua ukuran kinerja sudah jelas, maka iklim kerja juga bisa menjadi lebih kondusif. Pegawai-pegawai yang berkompetensi tinggi diberikan motivasi untuk mencapai target yang ditetapkan. Sudah sewajarnya apabila pegawai dengan kelebihan tertentu atau memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi memperoleh pekerjaan lebih sesuai pula.

Tidak fair jika memberikan pekerjaan dengan bobot analisis yang berat kepada pegawai dengan tingkat pendidikan yang rendah, dan demikian pula sebaliknya. Masing-masing pegawai diberikan motivasi dan kontrak atas target yang ingin dicapai. Sebagian pegawai berstatus sebagai bawahan dan ada pula yang diposisikan sebagai atasan, dan diharapkan tercipta sinergi di antara keduanya.

Tingkat kepuasan pegawai terhadap pekerjaannya juga perlu digali dalam rangka menuju budaya kerja yang lebih efektif. Kualitas proses bisnis di setiap unit maupun kualitas setiap orang perlu dihargai. Di dalam organisasi Kementerian Keuangan, terdapat unit-unit kerja yang berperan sebagai front office dan ada pula yang bertindak selaku back office. Menteri Keuangan ditopang oleh sekitar 62 ribu pegawai, sehingga diperlukan pengolahan kinerja dengan lebih baik agar lebih fokus.

Sistem penilaian kinerja di kalangan organisasi pemerintah sudah ada sejak lama, yaitu DP3, yang berlaku sama di semua kementerian. Kemudian, Kementerian Keuangan telah mengembangkan BSC, meskipun belum mengukur kinerja orang per orang. Dengan posisi Kementerian Keuangan sebagai sentral reformasi, maka selalui diperlukan inovasi, termasuk dalam manajemen SDM.

Sistem pengolahan kinerja untuk pegawai Kementerian Keuangan sangat dibutuhkan, sehingga dimunculkan Pengelolaan Kinerja Pegawai yang belum ada di kementerian manapun. Apalagi dengan KMK No. 454 ini yang menggunakan penilaian 360 derajat.

Penilaian kinerja 360 derajat terkait dengan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugasnya, yaitu dalam melaksanakan target-target yang sudah ditentukan kepada yang bersangkutan. Pada sistem yang berlaku selama ini, pengukuran penilaian itu hanya dari atasan terhadap bawahan saja. Padahal, suatu teamwork seharusnya memungkinkan bawahan untuk menilai atasannya. Penggunaan pendekatan penilaian kinerja 360 derajat dapat menciptakan kondisi yang lebih berimbang walaupun bobotnya yang tidak disamaratakan.

Kualitas pekerjaan seorang pegawai sangat dipengaruhi oleh atasan, teman sejawat, dan bawahan. Ketiga pihak berkontribusi terhadap capaian kinerja seorang pegawai. Dalam konteks ini, penilaian 360 derajat bersifat komprehensif, dan unsur subyektivitas dapat dikurangi, meskipun tidak dapat dihilangkan.

KMK No. 454 pada dasarnya mengandung dua substansi utama. Pertama adalah penilaian organisasi dan yang kedua penilaian kinerja pegawai. Penilaian organisasi didasarkan pada kontrak kinerja. Secara teknis formula yang digunakan adalah penjumlahan di antara CKP dan NP.

Pada tahun 2010, Biro SDM telah membuat ukuran kinerja sampai dengan pegawai yang bersifat pilot

project saja. Satu unit di setiap Eselon I diminta sebagai pelaksana. Di tahun 2011, Biro SDM meminta seluruh

pegawai memiliki kontrak kinerja. Dari target pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan di bulan Juni 2011, terjadi kemunduran, namun dapat dihasilkan pengelolaan kinerja sampai dengan level organisasi, yaitu capaian kinerja pegawai, dan belum menyinggung masalah perilaku. Penilaian perilaku baru memasuki proses penyusunan. Peta strategi penilaian kinerja telah berjalan dengan baik dan dilakukan secara rutin. Minimal setiap tiga bulan dilakukan pertemuan untuk membahas perkembangan yang terjadi.

Banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh Biro SDM dalam mengoptimalkan penilaian kinerja pegawai. Untuk itu, senantiasa dilakukan pengembangan kapasitas dan sertifikasi. Aparat Biro SDM telah banyak yang mengikuti dan lulus sertifikasi internasional, yaitu Certified Strategy Execution International. Banyak konsep yang dalam praktiknya tidak sesuai dengan karakteristik pegawai dan budaya kerja di Kementerian Keuangan, sehingga perlu dilakukan penyesuaian. Hal ini ditempuh, karena sertifikasi pada umumnya digunakan untuk organisasi privat dan bukan organisasi publik.

Selama tahun 2011, Biro SDM lebih banyak melakukan kegiatan untuk mengenali karakteristik pegawai di semua lini dan berupaya meminimumkan kendala. Dengan jumlah pegawai Kementerian Keuangan yang mencapai 62 ribu, sangat tidak mudah untuk memberikan penjelasannya pada semua pegawai. Diperlukan banyak sumber daya untuk menjangkau pegawai Eselon III yang jumlahnya di bawah 2 ribu, 12 Pejabat Eselon I ada 12 yang ditambah Staf Ahli dan Staf Khusus. Kemudian terdapat 227 Pejabat Eselon II dan sekitar 1.700 Pejabat Eselon III.

Sebelum pengesahan KMK No. 454 pada 30 Desember tahun 2011, Biro SDM telah mempunyai gambaran kinerja pegawai secara utuh (grand design) sejak bulan September 2011. Selanjutnya, Sekretariat Jenderal telah mensosialisasikan KMK dimaksud kepada seluruh 12 unit Eselon I. Sosialisasi merupakan perwujudan salah satu prinsip terpenting dari pengelolaan kinerja adalah transparansi, selain objektivitas dan keadilan. Ketiga faktor merupakan bagian dari reformasi.

Sepanjang tahun 2011, Biro SDM memfokuskan upaya untuk melaksanakan Depkeu Five. Di samping itu, juga dipersiapkan aplikasi penilaian kinerja berbasis web dengan bantuan Pusintek. Dalam KMK telah diatur pembagian tugas dan tanggungjawab dalam pengelolaan kinerja organisasi maupun pegawai. Pihak yang berwenang merubah adalah orang-orang tertentu dan salah satu yang menjadi persyaratan pengelolaan kinerja adalah masalah integritas yang sesuai dengan values Kementerian Keuangan.

Pengelolaan Kinerja

4

BAB

Pembinaan dan Penataan

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN SEKRETARIAT JENDERAL 2011 (Halaman 37-43)