• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) memberikan penghargaan kepada Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebagai Kementerian/ Lembaga (K/L) terbaik pertama dalam mengelola anggarannya pada Tahun 2013. Penghargaan tersebut didasarkan penilaian aspek efektivitas dan efisiensi organisasi pelaksana dalam melaksanakan anggaran. Kementerian PU berhasil meraih poin 82,4 persen (24 Februari 2014).

F. PEMBELAJARAN LEBIH LANJUT

Dalam perjalanan kemajuan reformasi birokrasi Kementerian PU, perlu dilakukan pembelajaran lebih lanjut untuk perbaikan dimana dalam pelaksanaannya mengalami kendala yang bersifat langsung dan tidak langsung.

Kendala

1.

Beberapa kendala yang dihadapi secara operasional dapat dijelaskan sebagai berikut:

Aspek Organisasi Pelaksana

Reform is a journey, not a final destination. Mungkin pepatah ini dapat

menggambarkan tak akan berhentinya proses reformasi birokrasi dalam upaya pencapaian kualitas pada setiap aspek yang dikelolanya. Terkait kondisi ini, di dalam Permen PAN Nomor 10 Tahun 2011 disebutkan bahwa untuk menduduki jabatan di dalam Tim Perubahan/Reformasi perlu dicari personil dengan kategori

Champion untuk menjamin pelaksanaan reformasi di organisasinya berjalan secara

kontinyu. Sehingga pemahaman yang terbangun adalah keanggotaan dalam Tim Perubahan tidak lah secara ex-officio, akan tetapi lebih ke personal fulfillment. Hal ini menjadi krusial ketika di dalam sebuah instansi, tidak ada lembaga yang secara khusus mengelola perubahan/reformasi ini.

156

Demikian halnya di Kementerian PU, dengan ketiadaan struktur formal yang secara eksplisit memiliki tugas dan fungsi pelaksanaan reformasi birorasi, maka kendala pelaksaaan terkait kesinambungan peran anggota Tim nya menjadi persoalan tersendiri. Hal ini dapat tergambar dengan kesinambungan informasi yang akan selalu terputus dengan bergantinya person dalam jabatan Tim Perubahan.

Yang menjadi pekerjaan yang perlu segera diselesaikan adalah bagaimana

men-generate pemahaman reformasi secara masif kepada seluruh pegawai dengan

struktur kerja perumus yang kecil. Dari kondisi ini, tantangan yang muncul adalah terus membuat desain manajemen perubahan yang efektif dan efisien dalam menggerakkan seluruh elemen instansi PU.

Aspek SDM •

Sebagai sebuah bagian dari ilmu manajemen pemerintah, reformasi birokrasi merupakan sebuah keilmuan yang tidak bisa dibilang baru, akan tetapi membutuhkan dinamika pembelajaran yang terus mengalami pembaruan. Sebagaimana diketahui bahwa kementerian PU merupakan salah satu kementerian yang sangat teknis, dimana output/peran yang diamanatkan banyak yang bersentuhan dengan infrastruktur fisik. Hal ini berimplikasi pada kebutuhan kualifikasi pendidikan untuk mengisi formasi jabatan di lingkungan kementerian PU, lebih banyak untuk pemenuhan rumpun pekerjaan keteknikan.

Meskipun terdapat supporting unit dalam menangani aspek manajemen, akan tetapi dirasa kurang optimal untuk mengawal secara khusus tantangan manajemen penyelenggaraan pemerintahan mengingat sudah terdapat suprastruktur di level nasional yang memiliki fungsi tersebut. Dampak ini dirasakan ketika beberapa instrumen yang digunakan dalam penilaian proses reformasi birokrasi merupakan instrumen manajemen yang memiliki dinamika keilmuan yang tinggi seperti proses PMPRB, pengawasan, akuntabilitas, termasuk kemasan penyelenggaraan pelayanan publik. Kondisi ini menjadi kendala tersendiri dalam penyelenggaraan RBPU, sehingga desain organisasi supporting ke depan perlu lebih mengetatkan unsur kualifikasi dalam pemenuhan jabatannya.

Sistem/Prosedur Kerja •

Walaupun telah disusun SOP penyelenggaraan tugas dan fungsi pada seluruh unit organisasi, akan tetapi efektivitas penerapannya masih belum dapat dipetakan. Kondisi ini terkait dengan kapasitas kelola organisasi, dimana proyeksi kebutuhan penambahan jumlah SDM dibandingkan peran yang diemban belum dapat

di-excercise menggunakan pendekatan penyederhanaan proses kerja. Hal yang menjadi

tantangan strategis ke depan adalah penataan kembali proses bisnis (business

process re-engineering) menghilangkan proses yang tidak efektif (non-added value process) dari dalam rantai pelaksanaan tugas pekerjaan, sehingga efisiensi proses

Terkait pelaksanaan RB, karena ketiadaan kelembagaan yang secara spesifik menangani, maka sistem kerja yang ada adalah ad-hoc, dalam implementasinya kurang optimal mengingat peran di dalam reformasi birokrasi merupakan peran kedua setelah pekerjaan utamanya. Melihat kenyataan ini maka pada tahun 2015-2019 perlu sebuah sistem kerja yang terpadu dengan struktur pelaksana reformasi birokrasi sehingga pengelolaannya akan lebih termonitor dan terukur.

Hambatan

2.

Struktur Organisasi Belum Memadai Untuk Menyelenggarakan RB Secara Terpadu a.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa terdapat tiga elemen struktur pelaksana reformasi birokrasi secara nasional, yaitu pelaksana pada level makro, level meso, dan level mikro. Sering kita jumpai bahwa di dalam pelaksanaan program dan kegiatan pada level mikro (K/L) mengalami kebuntuan, terkait pemahaman terhadap kebijakan nasional yang terbaru. Hal ini menunjukkan kurang terkendalinya hubungan kerja antar struktur pelaksana level makro-meso-mikro. Sebagai contoh terkait pelaksanaan PMPRB, konsepsi bench learning yang diusung belum terlihat pola efektifnya, yang menimbulkan tersendatnya proses pelaksanaannya. Media “saling belajar” dalam PMPRB tersebut dirasa perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga benar-benar menjadi wahana knowledge and implementation sharing diantara K/L maupun antara K/L dengan suprastruktur reformasi birokrasi pada skala nasional.

Operasionalisasi Kebijakan Nasional Terkait RB Yang Memiliki Dinamika Tinggi b.

Sebagaimana diketahui bahwa sejak bergulirnya Perpres RI Nomor 81/2010 tentang

Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, maka diperlukan peraturan pelaksana

untuk menentukan seluruh K/L dan Pemda melaksanakan program kerja reformasinya. Dalam kurun waktu 2011-2012 saja, produk Permenpan terkait penyelenggaraan reformasi birokrasi sangat banyak untuk dijalankan oleh seluruh instansi publik. Kenyataan ini membutuhkan akselerasi pemahaman atas seluruh peraturan tersebut dalam waktu singkat karena segera dituntut pelaksanaannya. Sebagai contoh, pelaksanaan evaluasi yang semula built in dalam program Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan menggunakan instrumen evaluasi sederhana (pemenuhan dokumen pelaksanaan), berganti metode dengan bergulirnya Permenpan 53/2011 yang hanya berumur 6 bulan karena kemudian juga diubah dengan Permenpan 1/2012 dan PermenPAN 31/2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) melalui metode self-assessment. Dinamika ini dirasa cukup menyita perhatian dan upaya, mengingat di Internal Kementerian PU belum ada unit organisasi yang secara spesifik memiliki tugas fungsi pelaksanaan reformasi birokrasi.

158

Faktor Pendukung