• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pohon Rambutan

Dalam dokumen sma10bhsind BerbhsIndDgEfektif Erwan (Halaman 80-83)

Oleh: Danarto Musim panas yang menyengat. Kalajengking

terperanjat. Melengkung ekor tajam ke depan merambat. Siap menusuk siapa saja dengan kesumat. Jalanan berdebu. Anak-anak madrasah dengan kerudung menahan panas

Mengayuh sepeda pelan sambil bercanda tentang pak guru yang terkantuk-kantuk waktu mengajar. Sebuah truk lewat, aduh, mak, debunya menjadi bedak para santriwati yang lantas menutup hidungnya dengan setangan maupun lima jari tangan kirinya. Sesampai di pohon rambutan, anak-anak berhenti. Mereka, anak-anak perempuan dan laki-laki, mengambil istirahat. Memarkir sepedanya berderet-deret sepanjang kali. Mereka berdesak berteduh di bawah pohon rambutan.

Ini pohon, pohon rambutan. Pohon tak bertuan. Hidup sendirian. Tiada teman, tiada sejawat. Tumbuh di tepi jalan, di tepi sawah. Pohon yang menawan. Menawan karena lebat buahnya kelewat-lewat. Menyebarkan ribuan buah "ciplat" yang menerbitkan air liur, harta karun yang siapa saja boleh memperebutkan. Siapa saja yang sempat lewat menggaet buahnya biar sebiji cuma, ia tahu pasti, rasanya kepati- pati. Siapa saja yang pernah merasakannya, bakal ketagihan. Selalu kaki-kakinya mengajak melangkah ke sana, walau jauhnya puluhan kilometer. Delima Mekah buah sorga. Korma nabi korma sejati, anggur Bordeaux, duren Bangkok, klengkeng Malang, ya ya ya, katanya, katanya.

Penuh keheranan, anak-anak menatap pohon rambutan. Satu dua anak meraba batangnya. Setiap hari mereka melewatinya, setiap kali mereka kehe- ranan. Kenapa sekarang pohon ini tak berbuah padahal musim rambutan sudah datang. Ada yang salah? Begitu pikir mereka.

"He, rambutan," kata anak perempuan. "Apa kamu sedang ngambek? Kenapa kali ini kamu tidak berbuah?"

"He, rambutan," kata anak lelaki, temannya. "Kamu ngambek karena anak-anak perempuan paling banyak makan buahmu, ya!"

Latihan Pemahaman

"Wow!" seru anak-anak perempuan itu sambil mengeroyok anak lelaki itu yang lari melompati parit.

Anak-anak sekolah itu biasa berebut buah rambutan itu dengan para petani yang sedang menggarap sawah. Penuh canda dan semangat, melompat dari cabang yang satu ke cabang lainnya yang penuh bergayutan buah rambutan yang memancing lidah hingga basah oleh selera. Selera yang bermacam itu akhirnya menyatu pada rambutan ini. Anak-anak madrasah itu juga berebut dengan para pedagang, perempuan maupun laki-laki, yang mengambil istirahat di bawah pohon itu. Anak-anak perempuan tidak perlu naik pohon. Mereka cukup menggaetnya karena buahnya banyak yang hampir menyentuh tanah. Mereka juga punya peraturan, rambutan tidak boleh dijual. Hanya direbut untuk dimakan, tidak boleh dibawa pulang.

Para pedagang itu mengayuh sepedanya yang penuh barang dagangannya, hasil kulakan dari kota ke desa masing-masing. Buah rambutan itu satu-satunya hiburan mereka yang didapat tanpa mengeluarkan biaya.

Siapa pun yang berebut harta karun itu termasuk anak-anak madrasah itu sama sekali tidak tahu, ada satu rahasia: dahulu, puluhan tahun sebelumnya, datanglah seorang laki-laki tua yang berteduh di bawah pohon rambutan itu. Laki-laki tua itu, seorang pengembara yang menjelajah dari kota ke desa, dari gunung ke lembah, dari daratan ke lautan, dari pasar ke mal dan plaza pusat perbelanjaan kota. Mengunjungi para pegawai negeri, pemulung, pengemis, dan para pengamen, tentara, polisi, serta para petani dan perambah hutan. Laki-laki tua itu tidak ke- nal dikenal, kecuali oleh pohon rambutan itu. Persahabatan yang dalam antara kedua makhluk yang berbeda jasadnya itu menyebabkan pohon rambutan subur berbuah. Rasanya, tak habis- habisnya buahnya diperebutkan begitu banyak orang.

Dahulunya, pohon rambutan itu meranggas. Hampir mati. Lalu berdoalah pohon itu dengan kencang. Dalam doanya, jika sudah tidak tidak berguna, pohon rambutan itu ingin dimatikan secepatnya. Sedang jika Tuhan masih memberinya hidup, karuniai kesuburan batangnya dan rimbun buahnya. Lalu Tuhan menghadirkan adegan ini:

meletuslah pertempuran antara para prajurit yang dipimpin Jenderal Sudirman melawan militer Belanda yang terus menindas. Tembak- menembak terjadi di sekitar pohon rambutan itu. Para prajurit Republik berlindung di balik pohon rambutan itu, di pematang sawah, selo- kan, dan di semak-semak bantaran sungai.

Sementara para prajurit Republik menembak satu dua letusan, pasukan militer Belanda dengan mobil bajanya terus memuntahkan pelurunya tak habis-habisnya di samping gelegar kanon dari daerah pertahanan kota.

Jenderal Sudirman yang memimpin per- tempuran di atas tandu, alhamdulillah, selamat. Bagai dewa langit yang melayang, enggan me- nginjak bumi, jenderal yang sangat dihormati oleh para pemimpin Republik itu, selalu muncul dengan diam, persis angin atau kabut. Dalam pertempuran itu, sekitar sembilan orang pra- jurit gugur, sedang di pihak militer Belanda tiga orang. Apa yang terjadi dengan pohon rambutan itu? Pohon rambutan itu terpangkas seluruh daunnya oleh peluru yang berdesingan, mirip pohon yang mati. Pagi harinya, kuncup- kuncup baru bertumbuhan di setiap ranting dan cabang pohon itu. Dalam sebulan, pohon itu telah rimbun daunnya, bagai perempuan yang bersolek. Namun beberapa tahun, pohon rambutan itu tidak juga berbuah.

Lalu berdoalah kembali pohon itu, memohon buah rambutan yang ciplat yang nglotok ribuan buah merimbun menggayuti batangnya. Dan Allah mengabulkan doanya. Didatangkannya seorang lelaki muda yang singgah dan berteduh di bawah pohon rambutan itu. Serta-merta entah oleh ilham dari mana, boleh jadi dibisiki malaikat, lelaki muda itu mengeluarkan kitab suci Al-Quran dari dalam tasnya. Lalu pohon itu diusap-usapnya dengan kita suci Al-Quran itu, seketika pohon itu berbuah, boleh dikata ribuan jumlahnya. Saking rimbunnya, buah rambutan itu berayun-ayun ditiup angin hampir mencium tanah. Terdengar dendang entah lagu atau tembang apa, menyelimuti kawasan itu, menyambut datangnya buah ciptaan penulis kitab suci itu.

"Wahai, anak muda," kata pohon rambutan itu. "Terima kasih atas bantuanmu memunculkan ribuan buah dari tubuhku."

"Begitulah kehendak dari langit," jawab anak muda itu.

"Siapakah engkau, wahai, anak muda?" tanya rambutan.

"Saya adalah prajurit Jenderal Sudirman yang pernah bertempur dan berlindung di balik batangmu."

"Alhamdulillah," tukas rambutan.

"Amien, ya rabbal alamien," sahut anak muda itu.

"Apa kabar Jenderal Sudirman?"

"Alhamdulillah. Beliau sehat-walaiat dan bertugas di kota."

"Engkau tampak berbeda dari anak-anak muda yang lewat di sini."

"Memang. Saya telah mengambil jalan pintas supaya lebih cepat sampai. Sedang selu- ruh teman-teman prajurit lainnya, ada yang menjadi pengusaha, guru, dokter, insinyur, dan melanjutkan sebaga tentara di kota."

"Engkau kelihatan lelah. Apakah engkau habis melakukan perjalanan jauh?"

"Ya, saya terus-menerus melakukan perja- lanan jauh."

"Apa pekerjaanmu?"

"Melakukan perjalanan jauh."

"Hahaha. Melakukan perjalanan jauh? Apa yang engkau dapat?"

"Apa saja." "Apa saja, apa itu?"

"Ini, itu, ia, dia, kami, kita, mereka." "Hahaha. Menyenangkan, ya?" "Sangat menyenangkan."

"Apakah ini, itu, ia, kami, kita, mereka, ada yang engkau bawa?"

"Ada." "Boleh lihat?" "Boleh."

Pemuda itu memperlihatkan "ini" di telapak tangannya kepada pohon rambutan itu.

"Ini ’ini’."

"Saya tidak melihat apa-apa." "Tidak soal."

"Tidak soal bagaimana?"

"Tidak apa-apa engkau tidak melihatnya." "Ya, itu jadi persoalan bagi saya."

"Engkau akan menderita jika memaksa untuk bisa melihatnya."

"Mengapa hanya untuk bisa melihatnya, harus menderita?"

"Karena engkau harus berlatih bertahun- tahun untuk bisa melihatnya."

Begitulah persahabatan antara manusia dengan pohon rambutan itu bertahun-tahun sampai anak muda itu menginjak usia tua.

Kekuatan yang merosot, rambut yang memutih, stamina yang terkuras, keterampilan yang rapuh, daya ingat yang mengering. Namun, kekayaan yang tersembunyi di dalam dadanya bertambah banyak, dalam, dan bening. Selalu ada waktu bertemu bagi keduanya. Paling tidak setahun sekali, orangtua itu menjenguk sahabatnya yang tetap berdiri sendirian di tepi jalan, di tepi sawah.

Ketika anak-anak madrasah meninggalkan pohon rambutan itu, tibalah orangtua itu dan memeluk pohon itu. Keduanya berangkulan lama, seperti menuntaskan rindu. Lalu orangtua itu mengeluarkan kitab suci Al-Quran dan mengusap- usapkannya ke batang pohon itu. Seketika pohon rambutan itu berbuah lebat, ratusan, ribuan, sampai buahnya mengendus-endus rumput. Dan pohon itu bersuka-cita yang tak berhingga. Anak- anak sekolah yang sebenarnya sudah cukup jauh meninggalkan pohon itu, seorang di antaranya menengok kembali dan melihat rimbunan buah itu lalu berbalik dan menggenjot sepedanya kencang- kencang ke arah pohon itu. Yang lain tentu tak mau ketinggalan, buru-buru mengikutinya sambil bersoark-sorai.

Ketika tahun baru Imlek 2007, pada Ahad, 18 Februari 2558, setiap orang Tionghoa dan pribumi mengucapkan gong xi fa Cai, orang tua itu berumur 81 tahun dan terus mengembara. Waktu bertemu pohon rambutan kembali, pohon itu bercerita bahwa pemilik PT. Djarum berniat membelinya. Salah satu pemilik dan pembangun Hotel Indonesia menjadi Mega HI di bundaran HI Jakarta Pusat itu berniat membeli pohon rambutan itu sebesar US$ 1 juta, senilai 10 miliar rupiah lebih. Pohon rambutan itu menolaknya.

Tanggerang 18 Februari 2007 Dikutip dari Majalah Horison, April 2007

Menceritakan Pengalaman

Dalam dokumen sma10bhsind BerbhsIndDgEfektif Erwan (Halaman 80-83)