• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sang Pewaris – Bab Dua Puluh Dua

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 106-110)

Mata liarnya jelalatan kesana-kemari mencari celah untuk meloloskan diri, namun tempat dimana ia berdiri sudah terkepung rapat lima orang yang mengelilinginya, namun dari ke lima orang itu yang paling ditakuti adalah Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung yang berada tepat didepannya. Dikarenakan sosok dalang kondang itulah pemegang tuah mantra yang paling ditakutinya.

Mantra Rajah ‘Kalacakra Pangruwating Diyu’!

“Kakang Padmanaba, dia bukan istrimu!” seru Ki Dalang Kandha Buwana. “Tidak! Aku yakin sekali, dialah Rengganis. Aku yakin dia ... “ “Bukan! Jika aku bilang bukan, berarti dia memang bukan istrimu!” potong Ki Dalang Kandha Buwana dengan cepat, “kalau kakang tidak percaya, lihat tangan kirinya!” Juragan Padmanaba hampir saja membentak Kakek Pemikul Gunung karena meragukan sosok wanita itu adalah Nyi Rengganis istrinya, namun mendengar ucapan sang besan mengatakan perihal tangan kiri, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pandangan matanya segera beralih ke tangan kiri sosok wanita itu. Sepasang mata itu tampak nanar menatap tangan kiri wanita yang memiliki salah satu dari sepasang rajah setan bertanduk. Bahkan Ayu Parameswari, Nawala dan Nawara pun ikut-ikutan

menatap tangan kiri si wanita yang dikepungnya.

tujuh,” gumam Nawala setelah mengamati beberapa saat. “Aku juga sama, bahkan tangannya terawat dengan baik sekali. Pasti dia wanita yang rajin merawat

diri,” timpal Nawara.

Yang terlihat oleh tiga anak muda itu memang sebentuk tangan halus wanita dengan balutan kulit kuning langsat dengan jari-jari yang terawat rapi, bahkan kukunya cenderung runcing namun bersih. Namun bagi Juragan Padmanaba dan Ki Dalang Kandha Buwana malah memiliki pandangan yang berbeda. Justru dikarenakan jari tangan dan kuku yang lengkap dan terawat rapi itulah yang membuat Juragan Padmanaba sedikit tersentak kaget, karena setahunya jari manis kiri Nyi Rengganis terpotong sabit sebatas kuku, sedang sosok wanita di yang diakui sebagai istri memiliki memiliki jari

tangan yang lengkap. Jelas wanita itu adalah ...

Nyi Rengganis palsu!

“Benar ... dia memang bukan istriku!” gumam laki-laki tambun itu sedikit terhenyak. “Kakang Padmanaba, tolong ... tolonglah aku ... aaaahh ... kepalaku sa ... kitt ... sakit sekali ...” “Kau bukan istriku! Siapa kau sebenarnya!?” bentak Juragan Padmanaba dengan keras. Suaranya keras menggelegar bak petir di siang hari. Getaran suara yang sarat dengan kemarahan dan luapan emosi berbaur dengan kekuatan tenaga dalam tanpa wujud terlontar dari ‘Ajian Gelap Ngampar’ tanpa disadarinya. Gendang telinga khalayak yang ada disitu serasa ditusuk-tusuk ribuan jarum tajam, bahkan sosok wanita yang ternyata Nyi Rengganis palsu nampak terhuyung-huyung

sampai akhirnya jatuh terjengkang.

Justru karena lontaran ‘Ajian Gelap Ngampar’ membuat tuah mantra sakti penolak setan menjadi tawar!

Nyi Renggani palsu akhirnya bangkit berdiri setelah rasa sakit yang menyerang kepalanya sirna.

“Terima kasih, kakang! Kau telah ... “

“Aku bukan suamimu!” bentak Juragan Padmanaba dengan kecewa, karena justru bentakan penuh emosi tadi membuat wanita itu sadar kembali, “Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang telah kau

lakukan pada istriku!?”

“Nisanak, untuk apa kau menyamar sebagai Nyi Rengganis?” tanya Ki Dalang Kandha Buwana

dengan tajam.

“Kakang Padmanaba, aku ini benar-benar istrimu! Istrimu yang sesungguhnya ... “ ucap Nyi Rengganis palsu, berusaha meyakinkan Kepala Dukuh Songsong Bayu. “Tidak! Kau bukan istriku! Sekali kubilang tidak, maka selamanya tidak!!” bentak Juragan Padmanaba dengan keras, namun kali ini suara keras itu dilambari dengan ‘Ajian Gelap Ngampar’ tingkat tinggi.

Swoshh ... buasshh ... !!

Sontak, tempat itu bagai diguncang gempa bumi kecil, tanah bergetar cukup kencang disertai tiupan angin yang sedikit membadai, bahkan beberapa pohon kecil yang ada di depannya ikut tercabut dari akar-akarnya dan akhirnya tumbang setelah terlempar dua tiga tombak.

Brakk ... Blamm ... !!

Bahkan Kakek Pemikul Gunung harus mengerahkan dua ilmu andalannya sekaligus yaitu ilmu kebal ‘Aji Tameng Wojo’ untuk melindungi tubuhnya dari lontaran serangan ‘Ajian Gelap Ngampar’ Juragan Padmanaba dan ‘Aji Gajah Wulung’ untuk memberatkan tubuh agar tidak tersapu angin kencang yang

menerpa dari depan.

“Gila! ‘Ajian Gelap Ngampar’ Kakang Padmanaba sudah mencapai tahap pamungkas! Betul-betul ilmu yang dashyat. Entah bagaimana dengan ‘Pukulan Gelap Sewu’ miliknya?” kata hati Ki Dalang Kandha

Buwana memuji.

Bahkan gadis cantik murid tunggal Naga Bara Merah dan si kembar dari Benteng Dua Belas Rajawali menerima serangan yang tidak kalah parahnya. Mereka bertiga harus membentengi diri dari serangan tidak langsung ilmu yang dikerahkan oleh kepala Dukuh Songsong Bayu dengan kekuatan tenaga

dalam masing-masing.

“Uhh ... gila benar! Ilmu macam apa ini?” gerutu Nawala sambil menutup telinga dengan tangan yang

sudah dialiri tenaga dalam untuk menahan getaran tersebut.

Justru yang paling parah adalah Nyi Rengganis palsu. Tubuhnya langsung terlempar keras, hingga

menabrak hancur beberapa pohon.

Brakk! Krakk!!

Justru sialnya, arah lemparan tubuh ramping berkebaya ke arah sosok laki-laki bersenjatakan gunungan emas berdiri. Dengan manis, ki dalang segera mengulurkan tangan kanan menyentuh punggung, lalu dengan gerakan cepat memutar ke kanan luar dalam jurus ‘Kibasan Gunungan Wayang Kulit’, tubuh wanita itu justru semakin terlempar jauh dan keras sekali menghantam sebuah

batu hitam sebesar sapi.

Wutt! Blarr!!

batu. Meski sudah dihajar dengan dua kekuatan tangguh, namun wanita itu masih bisa bangkit bahkan kini berdiri tegak. Tak terlihat roman kesakitan dari wajahnya.

“Huh, sudahlah! Aku tidak akan bermain sandiwara lagi!”

“Bagus kalau kau sudah menyadarinya.”

“Kalau kau tanya istrimu, lebih baik kau tanyakan saja pada raja akhirat!” “Wanita keparat! Kau ... kau telah membunuh istriku!?” suara Juragan Padmanaba sedikit bergetar mengetahui bahwa istrinya telah tiada. Sebagian dari sisi hatinya telah hilang untuk selamanya. Dia

haanya bisa menangis tersedu-sedu sambil berjongkok.

Ayu Parameswari segera menghampiri sosok tambun itu, namun tidak ada kata yang bisa terucap

untuk menghibur kesedihan mertua dari kakaknya itu.

Sementara itu, wanita yang menyamar sebagai Nyi Rengganis segera meraba wajah, lalu dengan

tarikan yang kuat, dia menarik sesuatu dari wajah cantiknya.

Srett!

Seraut wajah yang lumayan cantik berkulit putih cemerlang, namun matanya berkesan jalang dengan hidung yang cukup mancung dipadu dengan sebentuk bibir tipis menggiurkan. “Aku pun juga sudah bosan memakai baju kumal seperti ini!”

Brett! Brett!

Dalam satu tarikan napas saja, kebaya wanita itu sudah hancur tercabik-cabik, sehingga terlihat sebentuk baju dalam hitam ketat. Baju hitam ketat itu membentuk badan ramping dari seorang wanita umur lima puluhan tahun. Meski sudah berusia setengah abad, namun pancaran kecantikannya masih

terlihat sempurna untuk ukuran wanita seusianya.

“Oooo ... ternyata cuma si kucing garong! Kukira siapa?” seru Nawala setelah beberapa saat

mengamati wanita cantik itu beberapa saat.

“Bocah keparat! Sekali lagi kau mengatakan kucing garong, kubeset mulutmu!” “Nawala, rupanya kucing garong itu masih kangen denganmu!” seru Nawara sambil tertawa geli. “Bah! Paling-paling juga, kangen sama anginku ... maksudku sama angin busuk alias ... kentut!” “Bangsat kecil! Kurobek mulutmu!” bentak wanita yang disebut ‘kucing garong’ oleh Nawala. “Bangsat besar! Kalau kau berani, sini ... beset mulutku, tapi pakai bibir ya? Jangan pakai tangan!”

seloroh Nawala sambil mengangsurkan mulutnya ke depan, “Nih!”

“Kurang ajar!”

Wanita itu sangat marah dengan perbuatan salah satu dari Sepasang Naga Dan Rajawali. Memang pada setahun silam, wanita cantik berbaju hitam ketat yang menyebut diri sebagai Kucing Iblis Sembilan Nyawa dan suaminya si Musang Terbang Tangan Hitam dari Partai Sarang Iblis dan Setan yang bernaung di bawah bendera Benteng Tebing Hitam pernah menyatroni Benteng Dua Belas Rajawali, untuk melakukan penyelidikan mengenai kekuatan aliran putih yang sedang memupuk diri. Pasangan golongan sesat yang terkenal dengan ilmu ringan tubuhnya itu diutus oleh Roda Sakti Tujuh Putaran untuk menyelidiki seberapa besar kekuatan aliran putih, namun akhirnya penyelidikan mereka kandas, dikarenakan kepergok oleh murid kembar dari Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait. Setelah terjadi baku hantam beberapa puluh jurus, dengan terpaksa pasangan dari Partai Sarang Iblis dan Setan harus angkat kaki karena tidak kuasa menahan gempuran Sepasang Naga Dan Rajawali, terutama dengan ilmu pasangan pedang dan tombak dua anak kembar itu. “Kucing garong, mana suamimu si musang busuk itu? Kenapa tidak kelihatan batang hidungnya? Sudah mampus ya!?” kata Nawala dengan sedikit bercanda. Memang diantara Nawara dan Nawala,

hanya si pemuda saja yang paling suka bercanda.

Kucing Iblis Sembilan Nyawa hanya melirik saja pada Ki Dalang Kandha Buwana. “Kakek Pemikul Gunung! Kau harus menggantikan nyawa suamiku yang tewas ditanganmu!” geram

Kucing Iblis Sembilan Nyawa, suara terdengar bergetar.

“Jadi ... “

“Ya! Laki-laki yang menyatroni rumahmu kemarin malam adalah suamiku, Musang Terbang Tangan Hitam!” sebelum kata-katanya selesai, Kucing Iblis Sembilan Nyawa sudah menyerang ke arah Ki

Dalang dengan sepasang cakar terkembang.

Sett!

Namun baru sampai setengah jalan, tiba-tiba saja Juragan Padmanaba yang tadi sedang menangis dikarenakan kehilangan istri, mendadak menerjang maju ke arah Kucing Iblis Sembilan Nyawa. Sepasang telapak tangannya yang besar nampak terselimuti oleh pendaran cahaya hitam keunguan dan sekarang terulur ke depan dalam sebuah dorongan yang kuat. Wukk!

Dalam kemarahannya, Juragan Padmanaba merapal satu ilmu andalannya yang bernama ‘Pukulan Gelap Sewu’, sebuah ilmu pukulan maut yang memiliki tenaga penghancur kelas tinggi bahkan bisa menghancurkan bukit cadas dalam sekali pukul. Jika yang jadi sasaran adalah tubuh manusia, bisa

dibayangkan apa akibat yang bakal terjadi, tubuh bakal hancur lebur menjadi bubur! Selama ini, laki-laki bertubuh tambun itu memang selalu menyembunyikan ilmu kesaktian yang dimilikinya, hanya Kakek Pemikul Gunung saja yang mengetahui kalau sosok kepala Dukuh Songsong Bayu adalah orang berilmu tinggi. Setiap kali ditanya oleh kakek yang bersenjatakan Gunungan Emas kenapa ia tidak mau mengangkat nama harum di kalangan rimba persilatan, selalu

dijawab dengan alasan yang cukup sederhana.

Karena ia orang yang cinta damai!

Ia tidak mau repot dengan urusan tetek-bengek yang berhubungan dengan darah, segala bentuk balas dendam, saling jegal satu sama lain, bahkan sampai lempar batu sembunyi tangan, terlebih lagi dengan rebutan kitab sakti dan senjata pusaka, terlebih lagi dengan segala macam tipu muslihat antar sesama pendekar. Itulah gambaran rimba persilatan menurut Juragan Padmanaba, gambaran yang membuatnya malas terjun ke rimba hijau. Bahkan mantunya, anak dari Ki Dalang Kandha Buwana yang bernama Wanengpati pun sudah diwanti-wanti agar tidak ikut dalam kancah berdarah seperti itu. Sebagai sosok yang juga cinta damai sama seperti mertuanya, Wanengpati pun tidak keberatan dengan hal itu, karena mengingat pengalaman pahit yang dialami oleh sang ayah saat perebutan gelar pendekar rimba persilatan di Bukit Kuda Putih pada tiga puluhan tahun yang lalu. Sekarang, dalam suatu keterpaksaan yang ditimbulkan oleh Kucing Iblis Sembilan Nyawa, Juragan Padmanaba dipaksa melanggar apa yang selama ini tidak ingin ia lakukan, yaitu ...

Balas dendam!

Sebentuk cahaya hitam keunguan yang bersumber dari ‘Pukulan Gelap Sewu’ berkiblat cepat ke arah

sosok wanita berbaju hitam itu.

Wutt! Wesshh ... !

Melihat serangan dadakan pembawa maut itu, sosok wanita sesat baju hitam ketat tidak mau tinggal diam begitu saja dirinya dihantam tanpa melawan sama sekali. Tangannya segera berputar cepat setengah lingkaran di depan dada, dimana gerakan itu merupakan gerakan pembuka dari ‘Pukulan Tangan Kabut Hitam’, lalu diikuti hentakan kaki ke tanah, segumpal kabut hitam pun melesat keluar

dari tangannya, memapak serangan lawan.

Buashh ... ! Dhuass ... Dharr ... Jdharrr!!

Terdengar benturan keras antara ‘Pukulan Tangan Kabut Hitam’ milik Kucing Iblis Sembilan Nyawa dengan ‘Pukulan Gelap Sewu’ milik Juragan Padmanaba. Tubuh laki-laki tambun itu sedikit terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak, jika tidak ditahan oleh Ayu Parameswari mungkin sudah jatuh terjengkang ke tanah. Terlihat segumpal darah kehitam-hitaman terlempar keluar dari mulutnya.

“Hoekhh ... !”

Pertanda luka dalam yang diderita cukup parah akibat benturan yang terjadi. Sedangkan kondisi lawan justru malah jauh lebih parah. Tubuhnya terlempar dengan deras ke belakang dengan darah merah berhamburan di udara, dan pada akhirnya jatuh bergulingan di tanah. Brukk!

Namun sesaat kemudian ia sudah berdiri tegak dalam kondisi yang mengenaskan! Justru yang membuat lima pengepungnya terpana adalah sebuah lubang menganga yang cukup besar di bagian perut hingga tembus sampai ke punggung, lubang sebesar kepala bayi. Tapi dengan luka tubuh sebesar itu, Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang seharusnya tewas, justru masih kelihatan segar bugar, seakan tidak memiliki jejak luka yang mengerikan. Cuhh!

Ia meludahi telapak tangan kanan kiri, lalu dengan segera mengusap pulang balik ke depan dan belakang tubuh, seolah hendak menutupi luka yang menganga lebar. Dan sungguh ajaib, luka tembus sebesar kepala bayi yang diakibatkan oleh pukulan Juragan Padmanaba yang terangkum dalam ‘Pukulan Gelap Sewu’ telah pulih seperti sediakala,e kembali merapat seperti tidak pernah terluka sama sekali. Tersisa hanya ceceran darah merah di baju hitam yang dikenakannya, tentu saja baju hitamnya tidak dapat pulih kembali, tetap robek sebesar kepala bayi dan menampak sebentuk pusar

seorang wanita.

“Ilmu ‘Rawa Rontek’!” desis Ki Dalang Kandha Buwana mengenali jenis ilmu yang dimiliki oleh lawan. Sebagai orang yang mendalami ‘Kitab Sastra Hati’, tentu saja Ki Dalang Kandha Buwana dan Ki Wanengpati mengenal segala jenis ilmu-ilmu hitam, termasuk juga ‘Ilmu Rawa Rontek’ yang saat ini

dipertontonkan di depan mata tuanya.

‘Ilmu Rawa Rontek’ membuat orang yang memilikinya bisa hidup kembali selama masih menyentuh tanah meski raga sudah hancur terpotong-potong bahkan menjadi potongan kecil sekali pun. Andaikata sampai kepala tertebas pedang dan golok sekali pun, tubuhnya masih bisa tersambung kembali. Konon kabarnya kekuatan ilmu hitam tingkat tinggi ini sanggup menahan pukulan bertenaga

dalam tinggi dan serangan senjata pusaka.

Karena adanya rajah setan bertanduk itu pula, yang membuat kedashyatan ‘Ilmu Rawa Rontek’ semakin menampakkan taringnya, di mana proses penyembuhan luka dan penyambungan tubuh

dapat berlangsung dalam satu kedipan mata.

Dan kini ... kengerian itu dipertontonkan di depan tiga orang jago-jago muda persilatan. Sepasang Naga Dan Rajawali hanya bisa meleletkan lidah saja melihat peragaan ilmu hitam yang bernama ‘Ilmu Rawa Rontek’, sedangkan Ayu Parameswari hanya tertegun tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun!

“Hi-hi-hik, bandot tua sepertimu juga mengenal kehebatan ilmu andalanku ini!” “Ilmu setan seperti itu, apa hebatnya!?” ejek Nawala. “Paling juga bisanya menakuti anak kecil!” “Bocah, tempo hari aku memang kalah darimu! Namun sekarang, setelah Paduka Raja menganugerahkan ilmu sakti ini padaku, tahun depan adalah hari peringatan kematianmu!” bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa dengan berang. Sudah muak rasanya ia mendengar olok-olok dari pemuda kembar itu. Lalu sambil menuding Nawala dia berkata, “Lebih baik, kalian maju bersamaan!” “Ahh ... yang benar!?” kata murid Naga Sakti Berkait, lalu menoleh pada saudara kembarnya,

“Nawara, bagaimana pendapatmu?”

Di saat genting seperti ini, sempat-sempatnya pemuda itu meminta pendapat saudara kembarnya,

dengan gaya yang kocak pula!

“Kucing buduk itu sendiri yang meminta, jadi apa salahnya kita mengabulkan permintaan mereka?” Tiba-tiba saja Ayu Parameswari menyela, “Tunggu dulu! Aku juga pengin sekali menggebuk matang pantat wanita sial itu! Nawala, kau khan laki-laki, sebaiknya urusan ini biar para gadis saja yang

menyelesaikannya! Kalau kau yang menyentuhnya, keenakan dia!”

Dengan mengangkat dua tangan tanda menyerah, Nawala pun mengundurkan diri sambil berkata, “Baiklah kalau itu maumu, sayang! Aku hanya bisa menonton saja!”

“Apa kau bilang? Sayang kepalamu pitak!”

“Cukup! Aku muak mendengar perkataan kalian yang tak karuan juntrungannya itu!” bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa, seakan dirinya dianggap tidak ada oleh dua orang itu. Ayu Parameswari yang memang sudah gatal tangannya, segera melancarkan sebuah tendangan

berantai dengan cepat ke arah kepala lawan.

Wett! Syattt!!

Murid tunggal Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api yang sudah mengetahui kehebatan lawan, tidak tanggung-tanggung dalam mengerahkan jurus-jurus silatnya. ‘Ilmu Silat Naga Langit Timur’ di kerahkan tanpa perlu ditahan lagi, bahkan aliran tenaga dalamnya pun semakin deras, maka sosok bayangan naga berwarna merah pekat seakan ikut keluar dari tubuh Ayu Parameswari. Sosok samar bayangan naga itu telah menyatu dengan tubuh anak gadis Kakek Pemikul Gunung yang bergerak

lincah dalam memainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi.

Wessh! Wakk!!

Akan halnya Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga melakukan hal sama. Meski dirinya memiliki ‘Ilmu Rawa Rontek’ namun dirinya sadar bahwa ilmu itu tidak bisa dipakai dalam pertarungan sesungguhnya. Kekuatan hitam sesat yang bersumber dari rajah setan bertanduk berbaur menjadi satu dengan ‘Tenaga Hitam Siluman Kucing’, sehingga kekuatan yang dimilikinya semakin meningkat pesat, maka tampaklah sosok samar bayangan kucing raksasa bermata hijau menyala. Sepasang tangannya yang memiliki kuku-kuku runcing bagaikan cakar-cakar kucing, silih berganti menerjang lawan.

Sratt! Sratt! Prakk! Crakk!

Jurus ‘Sepasang Cakar Naga Membentur Gunung’ bertemu dengan jurus ‘Cakar Kucing Mengaduk

Tanah’, sehingga terdengar suara tulang beradu keras.

“Gila! Tulang bocah itu keras juga! Aku lebih hati-hati terhadapnya,” batin Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil mengerahkan ‘Tenaga Hitam Siluman Kucing’ untuk mengatasi rasa ngilu di tulang tangannya.

“Tenaga si kucing garong ini sarat dengan hawa setan. Untunglah Nenek Guru telah mengajarkan cara menghalau tenaga sesat, kalau tidak tentu aku terjungkal dari tadi,” batin Ayu Parameswari sambil mengalirkan tenaga dalamnya untuk menghilangkan rasa sakit dan ngilu akibat benturan keras barusan.

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 106-110)