• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sang Pewaris - Bab Sembilan

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 51-54)

Pada keesokan harinya ...

Pagi itu, ketika matahari masih mengintip di ufuk timur, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan pekikan suara burung yang silih berganti. Ternyata, Paksi sedang melatih jurus-jurus silat yang dikuasainya, ditemani oleh si Perak yang juga berkelebat kesana-kemari menyerangnya. Gerakan Paksi cukup lincah, cukat trengginas dalam menghadapi serangan. Latihan silat di pagi itu cukup membuat tubuh bocah berkeringat, sehingga tubuh yang telanjang dada itu tampak berkilauan terkena

sinar matahari.

Awwkk! Awwkk!!

Polah tingkah dua makluk berbeda jenis itu, tidak luput dari pandangan mata kagum Tabib Sakti Berjari Sebelas, yang sedari tadi menonton latihan silat itu. Laki-laki tua berjubah hijau itu mengangguk-anggukkan kepala melihat jurus-jurus yang dikerahkan oleh Paksi. “Hmmm, meski gerak jurus yang digunakan masih terlalu mentah, namun sudah cukup bagus untuk anak seusianya. Daya tangkapnya betul-betul luar biasa. Hanya dengan melihat sekali saja gerakan si Perak, sudah bisa menterjemahkan dalam sebuah jurus silat. Ck, ck, ck ... bukan main! Pilihan si Elang Berjubah Perak memang tidak salah.” gumamnya. “Lebih baik, aku jajal saja anak itu. Yah ...

hitung-hitung melemaskan otot tuaku ini.”

Ki Gedhe Jati Kluwih yang juga bergelar sebagai Tabib Sakti Berjari Sebelas langsung menerjang ke arah Paksi, yang saat itu sedang menghindar dari sambaran cakar si Perak, saat mana Paksi menggulingkan badan ke bawah, lalu diikuti dengan sambaran tangan kanannya yang membentuk cakar kokoh ke arah dada si Perak, dengan jurus ‘Elang Pemburu Mencuri Hati’!

Sett! Plakk!!

Si Perak yang tahu bagian diserang, segera menangkis dengan sayap kiri diikuti dengan gerakan

mematuk ke arah tenggorokan.

Wett!

Paksi yang tidak mau lehernya terkena patukan sang elang, segera membuang diri ke belakang dan bersamaan dengan itu pula, sekelebat bayangan hijau menerjang dengan pukulan ke arah lambung kirinya.

Wutt ... !!

Melihat datangnya serangan yang tidak diduganya sama sekali, membuat Paksi tidak panik atau pun gugup. Sambil bergulingan di tanah, ke dua tangan menepak tanah, lalu tubuh kecil itu melenting ke atas.

Tapp! Wuss!!

Kemudian dari atas, tubuhnya berputar seperti gasing dengan kaki kiri terjulur ke arah bayangan hijau yang baru saja menyerangnya. Bayangan hijau yang tak lain adalah Ki Gedhe Jati Kluwih, terkejut

melihat serangan balik yang dilakukan Paksi.

Sebagai seorang pendekar ternama yang sudah malang melintang di rimba hijau, serangan balik tidak membuatnya gentar. Kedua tangan segera disilangkan di atas kepala untuk menghadang datangnya serangan dari atas yang dilancarkan Paksi, sedang kedua kakinya membentuk kuda-kuda yang kokoh. Aliran ‘Tenaga Sakti Pulau Khayangan’ dikerahkan sepertiganya untuk menahan gempuran

Paksi Jaladara.

Dukk!! Deshh!!

Terdengar benturan keras saat jurus ‘Tendangan Berpusar Menyapu Angin’ Paksi Jaladara bertemu dengan hadangan sepasang tangan bersilang dari jurus ‘Menahan Samudera Menepis Gelombang’ yang dilakukan Tabib Sakti Berjari Sebelas, yang merupakan salah satu jurus benteng pertahanan yang seringkali digunakan kakek itu bisa menghadapi serangan dari atas ataupun serangan dari

segala penjuru.

Duasshh ... !

Hasilnya, kakek tua itu terjajar beberapa langkah, sedangkan Paksi terpental balik! “Hebat, tendangannya mengandung hawa beku yang cukup menyengat. Kedua tanganku sampai

terasa kebas. Betul-betul anak yang tangguh! Dari mana bocah itu mempelajari hawa tenaga dalam pembeku seperti ini? Apa mungkin ini merupakan tenaga bawaan yang dimilikinya sejak lahir!?” batin kakek berjubah hijau itu sambil mengalirkan tenaga dalamnya untuk menetralisir hawa beku itu. Di saat tubuhnya melayang di udara, Paksi segera menggerakkan ke dua tangan memeluk lutut lalu bersalto beberapa kali, dan dengan manis mendarat di tanah tanpa kurang suatu apa! Kemudian bocah itu membuat gerakan yang cukup aneh, badan Paksi Jaladara membungkuk dengan kedua tangan membentuk cakar terkembang sedikit bergeser ke belakang, kaki kanan sedikit menjulur ke depan sejajar kepala sedang kaki satunya menekuk ke dalam. Mata sedikit menyipit mengawasi dengan tatapan tajam, mirip gerakan seekor elang yang siap menyerang mangsa! Tenaga sakti berhawa dingin mulai dibangkitkan dari pusarnya. Dari pusar, tenaga itu merambat naik melewati nadi-nadi jalan darah, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Setelah tenaga itu tersalur semua, Paksi Jaladara menghentakkan kaki kiri ke tanah, lalu tubuhnya melesat cepat ke arah kakek didepannya.

Kini, latih tanding pecah di pagi yang cerah itu!

Paksi Jaladara menyerang dengan gerakan-gerakan mirip elang yang lincah dan tangkas, sedangkan Tabib Sakti Berjari Sebelas lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Jurus ‘Menahan Samudera Menepis Gelombang’ kembali digunakan untuk menahan serangan Paksi yang datang bertubi-tubi. Kadangkala kakek itu menyerang dengan jurus-jurus silat tangan kosong yang dmilikinya, baik berupa pukulan mau pun tangkisan. Tak henti-hentinya dia mengagumi anak laki-laki Ki Ragil Kuniran itu.

“Heaa ... heaa ... !!”

Sementara itu, cakaran, tendangan bahkan patukan tangan Paksi Jaladara datang silih berganti menerjang ke arah Tabib Sakti Berjari Sebelas bagaikan ombak di laut yang menghantam batu karang. Selama ini, Paksi hanya latih tanding dengan si Perak dan baru kemarin ia merasakan pertarungan sesungguhnya saat Gerombolan Serigala Iblis yang dipimpin Ratu Sesat Tanpa Bayangan menyerang Padepokan Singa Lodaya. Sekarang, disaat sedang latih tanding dengan si Perak, Tabib Sakti Berjari Sebelas malah masuk ke gelanggang. Tentu saja Paksi Jaladara senang sekali, karena inilah kesempatan emas untuk mengeluarkan semua ilmu silat dan kekuatan tenaga

dalam yang dimilikinya.

Paksi Jaladara menyerang dengan sungguh-sungguh. Bahkan jurus ‘Kelebat Ekor Elang’, jurus yang terakhir kali dikuasainya, sudah siap-siap dikerahkan. Tubuh Paksi Jaladara melenting tinggi ke atas, kemudian badannya berbalik memunggungi, lalui turun ke bawah dengan kaki kiri dijulurkan terlebih dahulu. Terasa kesiuran angin dingin yang menyertai serangan kilat Paksi Jaladara. Tenaga dingin membeku mengiringi serangan jurus ‘Kelebat Ekor Elang’ ke arah kakek tabib itu.

Whuss ...!!

“Bagus! Jurus yang luar biasa!” seru Ki Gedhe Jati Kluwih. Kembali jurus ‘Menahan Samudera Menepis Gelombang’ yang dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam mendekati separuh tenaga dari yang dimilikinya. Terlihat cahaya putih samar-samar melingkupi sepasang tangan yang bersilangan untuk menghadang jurus ‘Kelebat Ekor Elang’!

Dughh!! Desshh!! Dharr ... !!

Terdengar benturan cukup nyaring saat dua serangan itu beradu. Paksi pun terpental ke belakang, namun masih bisa menguasai diri. Bocah berikat kepala merah itu berjumpalitan beberapa kali untuk mengurangi daya lontarannya, setelah beberapa kali jumpalitan, Paksi Jaladara berhenti dengan kaki

tegap di tanah dengan senyum tersungging puas!

Akan halnya Ki Gedhe Jati Kluwih, hanya terhuyung-huyung ke beberapa empat lima tindak ke belakang. Di seluruh tubuh terasa diselimuti hawa dingin membeku, terutama sekali pada sepasang tangannya yang tadi menahan benturan. Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan segera saja mengalirkan tenaga dalam berhawa panas untuk menetralisir hawa dingin tersebut. Beberapa saat kemudian, kakek itu sudah terbebas dari kungkungan hawa dingin itu. “Cukup, Paksi! Cukup!” teriak kakek itu, saat Paksi siap-siap untuk menyerangnya, sedang dalam hati ia berkata, “Mmm ... bocah ini makin lama makin kuat saja.” Paksi langsung mengendurkan posisinya, lalu berjalan menghampiri kakek itu, lalu mencium tangan

kanan si kakek.

“Maaf ... kalau Paksi tadi menyerang kakek terlalu keras,” kata bocah itu. “Ha-ha-ha-ha ... kau ini ada-ada saja! Justru kakek sangat bangga padamu. Ilmu silat dan tenaga dalam yang kau miliki sudah cukup bagus. Kau perlu latihan yang lebih keras lagi, agar ilmu yang kau

miliki semakin matang.”

“Baik, kek! Nasehat kakek akan Paksi perhatikan!”

“Oh ya, berapa jurus silat yang sudah kau kuasai sekarang ini, jurus silat yang kau pelajari dari si

Perak itu?” tanya Tabib Sakti.

“Hemm, baru delapan jurus? Apa kau sudah menguasainya dengan sempurna?” tanya kakek itu lagi. “Entahlah kek, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, saya sudah merasa cocok dengan jurus-jurus silat tersebut,” tutur Paksi Jaladara. “Menurut kakek guru Elang Berjubah Perak, ilmu yang saya pelajari

adalah Ilmu Silat ‘Elang Salju’.”

“Dari mendiang guruku, jurus-jurus silat dari Istana Elang sangat beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Baik berupa pukulan, tendangan, totokan maupun ilmu-ilmu sakti lainnya. Salah satunya adalah Ilmu Silat ‘Elang Salju’ yang saat ini sedang kau pelajari,” kata Ki Gedhe Jati Kluwih, sambil mengelus-elus jenggotnya, “ ... setahuku, Ilmu Silat ‘Elang Salju’ terakhir kali kudengar terdiri dari tujuh belas jurus. Jurus ini dulunya hanya delapan jurus inti saja. Hanya ilmu silat ini saja yang jurus

serangan selalu bertambah dan berbeda-beda.”

“Tujuh belas jurus yang selalu bertambah dan berbeda-beda?”

“Benar, karena setiap generasi dari Ketua Istana Elang yang pernah menguasai ilmu silat ini, menambahkan satu jurus lagi sebagai jurus pamungkas. Sampai si Elang Berjubah Perak menambahkannya menjadi jurus ke enam belas dan jurus tujuh belas. Mungkin saja nanti kau akan menemukan jurus yang ke delapan belas atau mungkin malah lebih.”

“Ooo, begitu.”

Sambil berjalan ke arah batu besar, kakek itu menggandeng Paksi sambil memberikan tahu dimana letak kelemahan dari ilmu silat yang dimilikinya. Paksi pun mendengarkan dengan seksama,

kadangkala bertanya jika ada hal-hal yang sulit dimengerti.

Pagi itu pula, Tabib Sakti itu mengajarkan salah ilmu yang pernah dipelajarinya dari Kuil Shaolin dari Negeri Tiongkok, yaitu jurus silat ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’, yang merupakan pecahan dari Ilmu Silat ‘Sembilan Serangkai Elang Sakti’ aliran Kuil Shaolin. Jurus ini jarang sekali dipakai, karena pada intinya hampir sama dengan ilmu ringan tubuh, akan tapi digabung dengan penggunaan ketangkasan cakar tangan dan kaki sebagai bentuk jurus serangan berantai. Namun, karena kurang leluasa dalam

menggunakan ilmu ini, kakek itu jarang sekali menggunakannya.

Jurus ini didapatnya saat dia berkelana ke Negeri Tiongkok, waktu berusia sekitar tiga puluh lima tahunan, tanpa sengaja menolong seorang biksu tua yang sedang terluka karena dikeroyok perampok. Terjadilah pertarungan seru antara Jati Kluwih dengan para perampok tersebut, dan akhirnya para perampok itu bisa dipukul mundur. Oleh Jati Kluwih, biksu tua itu diantar ke Kuil Shaolin, dan sebagai tanda terima kasih, Jati Kluwih mendapatkan kehormatan untuk mengunjungi Gedung Pustaka Kuil Shaolin dan diijinkan membaca serta mempelajari kitab-kitab yang ada. Pada mulanya, Jati Kluwih menolak, karena tujuan menolongnya memang benar-benar tanpa pamrih. Tapi biksu tua itu, yang ternyata Biksu Kepala Gedung Pustaka tetap memaksanya. Akhirnya dengan diantar sendiri oleh Biksu Kepala Gedung Pustaka, yang tentu saja dengan seijin Ketua Biksu Kuil Shaolin, Jati Kluwih berkeliling Gedung Pustaka Kuil Shaolin. Di Gedung Pustaka Kuil Shaolin terdapat bermacam ilmu-ilmu dunia persilatan yang aneh dan langka, berbagai macam karya sastra dan segala macam pengetahuan seolah-olah tertumpuk di Gedung Pustaka Kuil Shaolin. Hingga sampailah Jati kluwih di ‘Ruang Dewa Obat’, di mana terdapat berbagai macam teknik pengobatan yang langka dan unik. Pemuda itu begitu antusias sekali melihat kitab-kitab pengobatan yang berjajar rapi di atas rak buku. Akhirnya, Jati Kluwih memohon diri ingin mempelajari ilmu pengobatan, karena dia sendiri sebenarnya juga seorang tabib yang tentu saja sangat tertarik dengan

ilmu pengobatan yang sangat asing bagi dirinya.

Ketua Biksu Kuil Shaolin bersedia meminjamkan ‘Ruang Dewa Obat’ selama 1 tahun untuk digunakan Jati Kluwih dalam mempelajari ilmu-ilmu pengobatan aliran Kuil Shaolin, bahkan Ketua Biksu sendiri berkenan mengajarkan salah satu ilmu unik, yaitu jurus silat ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’, yang merupakan salah satu rangkaian dari ilmu silat ‘Sembilan Serangkai Elang Sakti’ aliran Kuil Shaolin. Maka, Paksi Jaladara yang pada dasarnya sudah menguasai dasar-dasar silat ‘Elang Salju’, mulai mempelajari jurus itu. Atas petunjuk Tabib Sakti Berjari Sebelas, Paksi mengikuti langkah-langkah kaki dengan diimbangi peringan tubuh dan penggunaan tenaga dalam digabung dengan serangan berantai. Bocah berikat kepala merah itu dengan cepat bisa menangkap inti dari jurus silat yang dipelajarinya.

Tak sampai siang, Paksi sudah lancar dan bisa dibilang menguasai secara sempurna jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ yang diajarkan kakek berjubah hijau itu, karena memang pada dasarnya bocah itu

memang sangat berbakat dalam mempelajari ilmu silat.

“Paksi ... coba ulangi jurusmu dan ingat, penggunaan tenaga dalam jangan terlalu dipusatkan pada kaki, tapi juga bagian tanganmu yang mencengkeram,” kata kakek itu saat Paksi sudah selesai

dengan jurusnya.

“Baik, kek!”

Mulailah Paksi Jaladara memperagakan kembali jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ yang baru saja dikuasainya. Tubuhnya menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan cepat, diikuti dengan sepasang

tangannya yang yang menerbitkan suara cuitan tajam seolah mencengkeram udara dengan tak tentu arah, sedang ke dua kaki dengan ringan bergerak ke sana kemari mengikuti jalur angin yang berhembus. Tampak gerakan Paksi laksana elang muda yang menyambar-nyambar yang diiringi kesiuran angin berhawa dingin. Setiap sambaran tangannya menerbitkan angin tajam yang bisa

merobek kulit. Pedih dan perih.

Ki Gedhe Jati Kluwih juga merasakan perubahan itu.

“Tak kukira jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ bisa sehebat ini! Pantas saja Ketua Biksu berpesan agar aku berhati-hati bila menggunakan jurus ini. Bocah itu benar-benar memiliki bakat yang luar biasa ... ” katanya lirih, lalu lanjutnya, “ ... namun sayang, guru berpesan aku hanya boleh mengajarkan ilmu-ilmu pengobatan padanya, tidak boleh mengajarkan Ilmu Silat ‘Aliran Pulau Khayangan’ pada pewaris Istana Elang ini. Sayang sekali! Tapi ... tak apalah, meski cuma satu jurus saja, aku sudah cukup puas.”

Memang, Malaikat Sepuh Pulau Khayangan, guru dari Tabib Sakti Berjari Sebelas, berpesan tidak boleh menurunkan Ilmu Silat ‘Aliran Pulau Khayangan’ kepada orang-orang yang berhubungan dengan titisan ilmu Ketua Istana Elang, karena pada intinya ilmu mereka sangat bertolak belakang, andaikata nekad dipelajari, akan terjadi bentrokan tenaga di dalam tubuh, sehingga orang yang mempelajarinya bisa tewas seketika karena tubuhnya meledak hancur atau paling tidak bisa cacat

seumur hidup.

Hal ini pernah terjadi, di saat kakek gurunya Malaikat Sepuh Pulau Khayangan, mengajarkan salah satu Ilmu Sakti ‘Aliran Pulau Khayangan’ pada Ketua Istana Elang generasi ke 27, yang mengakibatkan sang ketua hilang ingatan dan akhirnya pada satu purnama kemudian, tubuhnya meledak tercerai-berai karena terjadi pertentangan tenaga dalam yang bertolak belakang. Semenjak peristiwa itu, seluruh pendekar-pendekar Aliran Pulau Khayangan dilarang keras untuk mengajarkan ilmu-ilmu asli Pulau Khayangan kepada ketua atau calon ketua Istana Elang, akan tetapi bila pada orang lain yang bukan ketua atau calon ketua Istana Elang dan atau pada anggota-anggota Istana Elang, tidak menjadi masalah. Andaikata memiliki ilmu silat atau ilmu-ilmu tertentu yang tidak ada hubungannya dengan ilmu-ilmu Aliran Pulau Khayangan, juga tidak menjadi masalah, seperti yang diturunkan Malaikat Sepuh Pulau Khayangan sendiri pada si Elang Berjubah Perak, yang mengajarkan jurus silat ‘Tombak Pengacau Langit’, yang merupakan salah satu ilmu pamungkas dari

Perguruan Tombak Halilintar.

Seperti halnya Tabib Sakti Berjari Sebelas yang mengajarkan jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ dan berniat menurunkan pula ilmu pengobatan yang berasal dari Kuil Shaolin, sedang ilmu pengobatan

Aliran Pulau Khayangan tidak diajarkan sama sekali.

“Paksi, muntahkan tenaga dalammu ke sungai itu!”

Paksi yang saat itu sedang mendekati babak akhir dari jurus silat ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’, mengarahkan sambaran cakarnya sambil memutar tubuh dengan cepat.

Whirr ... ! Whirr ... !! Whuss ... !!

Terdengar kesiuran angin dengan tajam, bahkan daun-daun kering ikut terbawa pusaran angin.

Dhar!! Dharrr! Dhar!! Dharrr! Dhar ... !! Dharrr ... !

Terdengar rentetan ledakan berturut-turut saat cakar elang itu menerjang air sungai. Air sungai semburat tercerai berai saat terkena muntahan tenaga dalam dari jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ yang dilancarkan bocah berikat kepala merah itu. Setelah melakukan lontaran tenaga tadi, Paksi melakukan gerakan jungkir balik dan mendaratkan kaki di tanah dengan mantap!

Plok! Plok! Plok!

“Bagaimana, kek? Apa ada yang salah dari jurus tadi?”

“Bukan main, tak kukira hasilnya bisa seperti itu! Tidak ada yang salah. Bisa dibilang cukup sempurna. Sungguh luar biasa ... ” puji Tabib Sakti itu. “ ... lebih baik, kau segera berkemas, kita akan

melanjutkan perjalanan.”

“Baik, kek.”

Paksi pun segera menuju ke tepi sungai, lalu mandi. Setelah selesai dan badan terasa segar kembali, kemudian menyantap ikan bakar yang lumayan besar, Ki Gedhe Jati Kluwih, Paksi Jaladara dan elang perak itu melanjutkan perjalanan kembali. Tanpa terasa perjalanan mereka berdua sudah memakan waktu hampir satu setengah tahun lebih dan tujuan mereka pun semakin dekat saja. Tujuan mereka adalah menuju ke Lembah Badai!

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 51-54)