• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sang Pewaris – Bab Dua Puluh Sembilan

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 138-141)

“Lebih baik kakang membantu nini Bidadari Berhati Kejam, biar kakek mungil ini saja aku yang menghadapi.”

“Ayu, kenapa kau sampai ditempat ini, bukankah ... “

Sambil berkipas-kipas dengan kipas suteranya, Ayu pun berkata, “Maaf kakang, disana sepi sekali!

Lagi pula ayah yang menyuruhku datang kemari.”

“Bocah ayu! Lebih baik kau mundur saja, kasihan dengan kulitmu yang halus itu.” seru Setan Nakal sambil berkacak pinggang, lalu lanjutnya sambil mejungkit-jungkitkan alis, “Atau ... He-he-heh ... “ “Dasar manusia mesum! Kiranya mulut ceriwismu belum pernah ditampar orang pulang pergi!” “Benar ... benar ... ! Memang mulutku ini paling sering ditampar dengan bibir para gadis-gadis cantik!”

balas si Setan Nakal sambil tertawa keras.

“Bagus kalau begitu! Rasanya kipasku ini sudah tidak tahan untuk segera menyumpal mulutmu yang bau busuk!” Sambil berkata, murid Naga Bara Merah segera membentangkan Kipas Naga Sutera Merah lebih lebar lagi diikuti dengan sentakan kipas menyamping ke arah Setan Nakal. Debb!

Meski jaraknya cukup jauh, tapi hawa tenaga dalam membentuk larikan sinar merah melengkung bak bulan sabit mengarah ke Setan Nakal dengan kecepatan tinggi. “Aku tangkis, cah ayu!” kata Setan Nakal sambil tertawa haha-hihi mendorong pelan jari telunjuk kanan ke depan. Selarik cahaya hijau terang terpancar keluar dan akhirnya tepat berada di tengah-tengah jarak mereka berdua, sinar merah berbentuk bulan sabit berbenturan langsung dengan selarik

cahaya hijau terang.

Bumm!

Ledakan nyaring terdengar saat sinar merah yang berasal dari Kipas Naga Sutera Merah dan cahaya hijau terang dari jari telunjuk Setan Nakal bertemu, dan benturan tenaga dalam dari ke dua belah

pihak ternyata seimbang!

“Hebat betul kau cah ayu! Murid siapa kau ini?” tanya Setan Nakal. Diam-diam ia merasakan jari telunjuknya tergetar oleh hawa tenaga dari gadis berbaju merah. “Siapa guruku tidaklah penting bagimu!” Kata Ayu dengan diplomatis, “Tapi jika kau tetap memaksa

juga, kau boleh bertanya pada kipasku ini!”

Setelah ucapannya selesai, murid tunggal Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api langsung memutar kipas terbentang lebar dalam lingkaran penuh, kemudian tangan kiri membentuk tapak menerobos masuk ke tengah lingkaran kipas diikuti dengan lesatan hawa naga yang seolah keluar dari telapak tangan. Rupanya Ayu Parameswari menggabungkan jurus-jurus ‘Kipas Pengacau Langit’ di tangan kanan sedang tangan kiri melancarkan pukulan ‘Naga Memuntahkan Api’ yang dialiri dengan ‘Tenaga

Woshh!! “Hrooarghh!!”

Tempat yang dilalui lesatan hawa berbentuk naga seperti dibajak membentuk parit panjang nan lebar. Terlebih-lebih suara raungan naga yang menggema di tempat itu, bahkan orang-orang yang sedang berjibaku pun harus mengerahkan tenaga dalam tambahan untuk menahan rasa nyeri yang menusuk

gendang telinga.

Melihat sesosok naga raksasa dengan mulut terbuka lebar mengarah padanya, Setan Nakal sedikit tercekat.

“Edan! Ilmu apa yang digunakan bocah ayu ini!” kata hatinya sambil melenting tinggi ke atas untuk

menghindari terjangan hawa naga raksasa.

Akan tetapi, hawa naga yang menerbitkan suara menderu-deru membelah angin terlihat memutar diri sedemikian rupa, hingga ekor naga berkelebat cepat memburu ke arah lesatan Setan Nakal. Wutt!

Dikarenakan posisi yang tidak menguntungkan itulah, membuat Setan Nakal nekad. Dengan mengempos ‘Tenaga Sakti Api Neraka Biru’ hingga tingkat ke lima, kemudian dialirkan ke sepasang tangan yang terkepal memancarkan pijar api kebiruan, dia berani memapaki serangan ekor naga yang

datang dari atas.

Duassh ... ! Duarr !! Jderr!!

Terdengar desisan tajam diikuti dengan ledakan keras. Hawa naga merah hancur luluh sedangkan Setan Nakal mengalami nasib sial dimana tubuhnya terhempar ke bawah dengan keras, teramat keras malah, hingga membentur tanah sampai membentuk cekungan sedalam tiga tombak. Hawa tenaga dalam yang berbentuk sabetan ekor naga itulah telah memaksa tubuh tokoh aliran hitam bagai terbenam ke dalam tanah. Sedangkan Ayu Parameswari sendiri yang mengendalikan hawa naga dari Kipas Naga Sutera Merah terjajar beberap langkah ke belakang, diikuti dengan muntahan darah

kental dari mulutnya.

“Pijaran cahaya biru itu hebat juga! Uhh ... Dadaku sedikit sesak!” keluh Ayu Parameswari sambil

menyusut darah yang menetes dari bibir indahnya.

Di atas bukit ...

Pemuda berbaju putih itu terkejut melihat datangnya gadis berbaju merah, namun yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah adanya kipas sutera bergambar naga merah yang dipegang si gadis cantik. “Dia ... Titisan Sang Api!” desis si pemuda bercangkang kura-kura mengucapkan sebuah nama. “Hemm, benar! Dia adalah pewaris tunggal dari nini Naga Bara Merah!” Gumam si pemuda berbaju putih, “ ... Akhirnya kita temukan juga penerus dari Pengawal Gerbang Timur. Ternyata gadis itu!”

Si pemuda bercangkang kura-kura menganggukkan pelan kepalanya.

Dengan adanya pengakuan itu, bisa dipastikan bahwa pemuda berbaju putih berikat kepala merah itu adalah Paksi Jaladara yang secara resmi diangkat sebagai Ketua Muda Istana Elang. Akan halnya pemuda gemuk bercangkang kura-kura tentulah murid tunggal si Pengawal Gerbang Selatan alias Sang Air yang oleh kalangan tokoh persilatan dijuluki sebagai kura-Kura Dewa Dari Selatan yang bernama Joko Keling atau dengan menyandang nama keren Arjuna Sasrabahu! Selama beberapa waktu berkelana di rimba persilatan, Paksi Jaladara telah mengukir nama harum sebagai sosok pemuda penegak keadilan. Jurus-jurus silat yang mengadaptasi dari gerakan elang serta pancaran hawa dingin membekukan tulang dan sumsum membuatnya di juluki Si Elang Salju, tetapi tidak ada satu pun dari yang para tokoh persilatan mengetahui kalau sebenarnya ia juga sebagai Ketua Istana Elang yang bermarkas di Gunung Tambak Petir, kecuali orang-orang

terdekatnya di Istana Elang.

Joko Keling sendiri pun mulai di kenal sebagai kawan seperjalanan si Elang Salju, sosok tubuh tambun kekar lengkap dengan sebuah tempurung atau cangkang kura-kura raksasa seringkali membuat orang salah sebut sebagai Jin Kura-Kura. Karena pada dasarnya ia tidak ambil pusing dengan segala macam sebutan orang, dengan enaknya ia menyandang gelar kehormatan, Jin Kura-Kura!

Sebutan itu pun sebenarnya muncul secara tidak sengaja saat ia lewat di sebuah desa kecil setelah sebelumnya membebaskan Ki Angon Segoro dari Rajah Penerus Iblis. Di desa yang subur dan damai, terlihat beberapa anak kecil sedang bermain-main di tepi sungai. Tentu saja hal itu sangat berbahaya bagi anak-anak seusia mereka. Dengan maksud baik, Joko Keling berusaha mengingatkan anak-anak itu agar jangan bermain di sungai, tapi maksud baik itu disalahartikan oleh bocah-bocah itu. Beberapa anak langsung menangis sambil lari terbirit-birit, bahkan anak yang paling kecil berusia kurang lebih tujuh tahunan menangis keras sambil berteriak histeris 'ada Jin Kura-Kura' berulang-ulang.

Tentu desa itu menjadi gempar!

Orang tua masing-masing anak berusaha menenangkan anak-anak mereka yang menangis. Setelah mendengar penjelasan bahwa ada Jin Kura-Kura di tepi sungai, warga langsung terperanjat kaget.

Mereka langsung berbondong-bondong menuju tepi sungai dan melihat seekor kura-kura raksasa

sedang berdiri berkacak pinggang!

Hampir saja terjadi baku hantam antara warga desa dengan Joko Keling karena disangka sebagai Jin Kura-Kura yang suka menculik anak-anak, andai Paksi Jaladara tidak turun tangan menengahi. Setelah memberi penjelasan panjang lebar, akhirnya warga desa berhasil diredam kemarahannya. Dan lucunya lagi, bocah-bocah itu tidak takut lagi pada Joko Keling setelah datang Ki Angon Segoro, yang cukup di kenal warga desa menjernihkan kesalahpahaman yang terjadi. Bahkan bocah kecil yang tadi menyebut Joko Keling sebagai Jin Kura-Kura yang paling sering berlama-lama nemplok di

punggung Joko Keling.

Alasannya pun sederhana ... si bocah beberapa waktu yang lalu mimpi naik kura-kura, dan kini

mimpinya itu telah menjadi kenyataan!

Satu hari satu malam lamanya Paksi Jaladara dan Joko Keling berdiam di desa itu, sebagai tanda permintaan maaf dari warga desa karena kejadian menggelikan tadi siang. Beberapa gadis desa acapkali melirik-lirik ke arah Paksi Jaladara yang tampan, bahkan Joko Keling pun tidak luput dari

sasaran beberapa gadis yang ingin kenal lebih dekat.

Mulai detik itulah, nama Jin Kura-Kura berdengung!

“Jadi tinggal menunggu kemunculan pewaris Pengawal Gerbang Barat alias Sang Tanah yaitu Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan Pengawal Gerbang Utara alias Sang Batu yang digelari Si Kapak Batu Sembilan Langit,” kata Paksi Jaladara sambil mata elangnya memandang tajam ke arah pertarungan di bawah yang semakin lama semakin mendekati titik puncak. Tewasnya Jin Hitam di tangan Raja Penidur membuat Raja Pemalas semakin gencar dalam melakukan serangan. Beberapa kali Gendruwo Sungsang harus jungkir balik menghindari jurus-jurus maut lawan. Meski ia telah membentengi diri dengan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat merah yang setingkat lebih tinggi dari Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat hitam milik Jin Hitam, namun tetap saja ia harus menghindari benturan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' yang digunakan oleh Raja Pemalas. Andai hanya Ilmu 'Tapak Tangan Putih' saja, tak bakalan ia harus sungsang sumbel menghindari pukulan Raja Pemalas. Dan celakanya, Raja Pemalas justru menggabungkan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' dengan

Ilmu gaib ‘Sangkakala Braja'!

Wutt! Wutt!

Beberapa serangan tapak Raja Pemalas lolos, menyerempet pun tidak. Sambil tetap berjungkir balik di udara, Gendruwo Sungsang beberapa melancarkan pukulan-pukulan beruntun yang disertai dengan ‘Tenaga Gaib Siluman’ tingkat terakhir, maka terlontar sinar merah membara berbentuk bayangan samar tangan raksasa. Rupanya, Gendruwo Sungsang berniat mengakhiri pertarungan sehingga tidak segan-segan mengerahkan Ilmu ‘Kepalan Iblis Merah' yang

digabung dengan ‘Tenaga Gaib Siluman’.

Debb! Wess!!

“He-he-he, pantas saja namamu Gendruwo Sungsang!” kata Raja Pemalas, “ ... Dengan

sungsang-sumbel begitu kau masih bisa memberikan serangan balasan!”

Raja Pemalas dengan masih terkekeh-kekeh sedikit menggeliat ke belakang sambil dua tapak tangannya yang memancarkan cahaya putih menyilaukan bertepuk tangan dua kali. Plakk!

Pancaran sinar putih semakin menebal dan membesar, lalu dengan sepasang tapak tangan yang terisi gabungan tenaga gaib Ilmu ‘Sangkakala Braja’ dan Ilmu ‘Tapak Tangan Putih’ tingkat lima belas

didorongkan ke depan dengan lambat-lambat.

Sett! Sett!!

Tanpa bisa dihindari lagi, Ilmu ‘Kepalan Iblis Merah' bentrok dengan Ilmu ‘Tapak Tangan Putih' di

tengah udara kosong!

Duasshh!! Cesss ... !!

Kali ini tidak terdengar suara dentuman keras seperti yang sudah-sudah, justru yang terdengar adalah suara desisan lembut seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air dingin. Suara desisan tetap terdengar seperti sebelumnya dan sinar merah membara terlihat saling dorong dengan sinar putih menyilaukan. Adakalanya sinar merah membara itu berhasil mendesak mundur sinar putih, tapi tak lama kemudian berganti posisi dimana sinar putih sedikit dengan sedikit berhasil menekan sinar merah membara. Adu tenaga dalam pun terjadi di tempat itu.

Lengah sedikit saja, maka nyawa sebagai taruhannya!

Cess! Cess!!

Akan tetapi adu dua ilmu sakti beda alam itu tidak berlangsung lama. Sedikit demi sedikit pancaran sinar putih yang berasal dari tapak tangan Raja Pemalas berhasil mendesak mundur sinar merah

membara yang berasal dari tangan Gendruwo Sungsang.

kekuatan puncak. Kekuatan setiap makhluk pasti ada batasnya, demikian juga dengan sebangsa mahkluk halus. Dari ubun-ubun kepala Gendruwo Sungsang mengeluarkan kepulan asap putih kemerah-merahan sama halnya dengan ubun-ubun Raja Pemalas juga mengepulkan asap putih tipis bergulung-gulung. Rupanya kakek pemalas itu pun sudah sampai pada ambang batas kekuatan yang dimilikinya, kini yang bisa dilakukan adalah mempertahankan kekuatan agar tetap bisa mendesak lawan meski sedikit

demi sedikit.

Dan pada akhirnya ...

Sinar merah membara semakin terdesak, hingga keringat sebesar biji-biji jagung terlihat menetas dari pelipis Gendruwo Sungsang. Bagi makhluk halus sejenis gendruwo ini, pertarungan terberat dan

terlama adalah yang dialami sekarang!

Melihat kekuatan lawan tinggal satu tarikan napas, dengan mengambil resiko tinggi kehilangan nyawa, Raja Pemalas menghentakkan sepasang tapak tangannya diikuti dengan teriakan keras.

“Huppp ... Heyyaaaaa ... !”

Bagai dibantu tangan-tangan tak kasat mata, pancaran sinar putih mendadak berubah bentuk membesar menjadi lima kali lipat dari ukuran sebelumnya dan menabrak langsung tangan Gendruwo Sungsang yang masih berusaha mempertahankan Ilmu ‘Kepalan Iblis Merah’!

Duashhh!! Bhlarrr!!

“Ahhhhhh ... !!!”

Diiringi dengan jeritan menyayat, raga Gendruwo Sungsang meledak. Hancur berkeping-keping menjadi serpihan daging halus, di saat menyentuh tanah, berubah menjadi asap dan hilang disapu angin.

Akhirnya dua senopati tangguh Istana Dasar Langit di alam gaib hancur musnah di tangan manusia! Raja Pemalas pun langsung ambruk pingsan ke tanah. Darah terlihat mengalir keluar dari sembilan lubang di tubuhnya, bisa dipastikan luka dalam yang dialami teramat sangat parah. Kemungkinan

butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih kembali.

Raja Penidur langsung menyongsong tubuh Raja Pemalas, dibawanya ke pinggir arena berdekatan dengan dua orang dari Perguruan Karang Patah yang telah terluka terlebih dahulu akibat melawan Pasukan Mayat Bumi. Tanpa membuang-buang waktu, tangan Raja Penidur melakukan beberapa totokan di beberapa tempat di tubuh Raja Pemalas diikuti dengan mengalirkan tenaga dalamnya untuk memperingan luka dalam sang karib setelah sebelumnya memasukkan obat pulung warna hitam sebesar tahi kambing ke dalam mulut Raja Pemalas.

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 138-141)