Satu bulan berlalu tanpa terasa ...
Paksi Jaladara seorang diri berada di Ruang Pustaka sambil memandangi dinding-dinding itu dengan seksama. Di dinding sebelah timur terdapat puluhan mungkin ratusan macam jenis alat-alat musik. Hanya sebentar saja ia melihat-lihat, karena pada dasarnya memang tidak paham alat-alat semacam itu, paling banter ia hanya paham cara meniup seruling saja sedangkan tinggi rendahnya nada cuma
sekedar tahu saja.
“He-he-he, dari sekian alat musik, hanya meniup seruling saja yang bisa kulakukan.” Setelah itu ia berjalan menuju ke dinding sebelah selatan dimana terdapat rak-rak kitab pusaka yang tersusun rapi. Setiap satu ukuran rak kecil tersimpan satu jilid kitab. Deret pertama berisi kitab-kitab ilmu pengobatan, deret kedua berisi kitab-kitab ilmu silat beraneka ragam termasuk keterangan asal-usul kitab tersebut. Diambilnya secara acak salah satu kitab lusuh yang dimana sampulnya tertulis ‘Ha
Na Ca Ra Ka’, lalu dibuka-bukanya sebentar.
“Tidak ada yang menarik disini,” batinnya. “ ... lagi pula tulisannya aku juga tidak begitu paham.
Semua menggunakan huruf Jawa Kuno.”
Lalu diletakkannya kembali kitab itu ditempat semula. Paksi Jaladara tidak tahu bahwa kitab ‘Ha Na Ca Ra Ka’ merupakan salah satu kitab paling langka yang puluhan tahun silam menjadi buruan kaum persilatan hingga mengakibatkan pertumpahan darah dimana-mana. Hingga pada akhirnya jatuh ke tangan si Elang Berjubah Perak, lalu disimpan rapat di dalam Ruang Pustaka, karena memang bertujuan untuk meredam gejolak saat itu, maka lambat laun kegemparan yang diakibatkan perebutan
kitab ‘Ha Na Ca Ra Ka’ itu hilang dengan sendirinya.
Dari semua deret kedua rak kitab silat tidak diketemukannya kitab ‘Ilmu Silat Elang Salju’. Diperiksanya kembali seluruh rak-rak kitab itu, tapi tidak ada satu pun yang menyinggung kitab yang dicarinya. Bahkan sampai dibolak-balik berulang kali tetap juga tidak ketemu. “Apa mungkin dideret yang lain, ya?” gumamnya, “ hmmm ... lebih baik kutanyakan saja nanti pada
kakek kura-kura.”
Kemudian Paksi Jaladara menuju ke dinding sebelah barat dimana terdapat silsilah sejarah dan silsilah 33 orang ketua dari Istana Elang. Dimulai dari ketua yang pertama, Ki Tapa Geni yang bergelar Hakim Jujur Berwajah Besi, lalu ketua generasi ke - 2 dan seterusnya, hingga pada akhirnya sampailah pada generasi ke – 32, si Elang Berjubah Perak. Dibawahnya persis tertulis nama dirinya
sebagai ketua generasi ke – 33.
Paksi Jaladara membaca seluruh silsilah dengan seksama, bahkan silsilah Empat Pengawal Gerbang Utama juga ikut dibacanya dengan maksud untuk mencari para pewaris dari Empat Pengawal Gerbang Utama yang masih tercecer, kecuali pewaris dari Sang Air, yaitu Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling. Setelah mencatat dalam ingatan siapa saja nama pewaris Empat Pengawal Gerbang
Utama, Paksi Jaladara menuju ke dinding berikutnya.
Dinding sebelah utara berhiaskan ribuan senjata-senjata sakti, semuanya disusun dengan rapi dan tampak terawat dengan baik. Ada deret pedang terdapat berbagai macam jenis pedang dimana terdapat pedang pendek, pedang panjang meski kalah panjang dengan Pedang Samurai Kazebito milik mendiang Sasaki Kojiro, bahkan ada pedang bermata dua yang bernama Pedang Dua Ular milik
Raja Ular Hitam.
“Kalau menggunakan pedang seperti ini, pasti membutuhkan tenaga dalam yang cukup besar,” katanya sambil menimang-nimang pedang bermata dua, lalu diletakkannya kembali. Dia beralih ke deret tombak, lalu terus deret tongkat panjang, begitu seterusnya hingga akhirnya sampai pada deret golok di paling ujung. Di dunia persilatan banyak sekali beraneka ragam bentuk
golok, namun di deret golok yang ada Ruang Pustaka hanya ada empat jenis. Dua golok yang bentuknya lurus dengan satu mata tajam, satu golok yang bentuknya melengkung seperempat lingkaran. Dan yang terakhir susah disebut dengan golok, karena besar dan lebar hanya satu jengkal tangan dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit dengan pegangan golok hanya berbentuk cerukan lima jari tangan berada tepat ditengah-tengah lengkungan. Tepinya berwarna putih mengkilap sebagai sisi tajam dan sisi sebelah dalam warna gelap kehitaman dan agak kasar bila diraba, termasuk pula cerukan lima jari tangan, namun ukuran lima lubang dibuat cukup halus. Tidak ada keterangan apa pun tentang senjata aneh itu, baik nama atau pemilik dari senjata yang
panjangnya cuma sejengkal itu!
Paksi Jaladara mengambil salah satu golok aneh tadi, karena memang jumlahnya ada sepasang. “Mungkin cara pakainya begini,” gumam Paksi Jaladara sambil memasukkan lima jari tangan kanannya ke dalam cerukan kecil yang ada di tengah lingkaran, “ ... Hemm, nyaman juga.” Dicobanya mengibaskan senjata aneh itu secara acak ke segala arah. Saat digerakkan terdengar
seperti suara daging yang disayat dengan pisau tajam.
Sriit!
“Wah, hebat! Dengan bentuk sekecil ini, ternyata bisa menghasilkan suara seperti sayatan pisau,”
gumamnya. “Coba kupakai kedua-duanya.”
Kemudian Paksi Jaladara mengambil satunya dan di pakai ditangan kiri.
Pas sekali!
Dicobanya lagi mengibas-ngibaskan ke sana kemari, kadangkala digesek-gesekkan satu sama lain. Maka terjadilah hal yang cukup menakjubkan, kadang muncul suara decitan tajam bagai angin yang terbelah, kadang muncul suara seperti sayatan daging yang dipotong dengan pisau tajam, ada kalanya pula keluar bunga api kecil-kecil saat sepasang golok berbentuk bulan sabit itu saling diadu.
Trriik! Triing ... !! Criing!!
Paksi Jaladara memandangi kedua golok aneh di tangannya itu. “Coba kalau kugunakan Ilmu ‘Mengendalikan Badai’, hasilnya bagaimana ya? Tapi ruangan ini terlalu sempit, lebih baik aku ke dekat kolam saja.” gumam Paksi Jaladara. Lalu pemuda itu keluar dari Ruang Pustaka, lalu berjalan lambat-lambat sembari menimang-nimang benda aneh itu. Beberapa saat, sampailah dekat tepi kolam yang berair jernih. Setelah tengok kanan tengok kiri untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar tempat itu, pemuda yang kini secara resmi menjabat ketua Istana Elang segera melemparkan sepasang golok aneh itu ke arah yang berlawanan.
Swiing ... sritt!!
Dua bayangan berkelebat cepat ke sisi kanan kiri dengan laksana kilat, namun anehnya kedua benda bergerak seolah ada tangan gaib yang menggerakkan dengan lincah mengikuti arah telunjuk Paksi Jaladara. Kemana pun dua telunjuk itu bergerak, maka dua bayangan itu juga mengikuti arah yang
sama secara bersamaan pula.
Setelah beberapa saat menggerakkan dua golok itu secara serampangan, terbersit pikiran cemerlang dari anak muda itu. Lalu tampaklah sepasang golok berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di tengahnya bergerak dalam aturan-aturan tertentu. Sekilas nampak pemuda itu menggunakan jurus pedang aliran Partai Matahari Terbit yang bernama ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’ untuk menggerakkan sepasang golok lengkung, karena memang dari semua ilmu yang
dimilikinya, hanya jurus pedang itulah yang dikuasainya.
Itupun hanya satu jurus pedang!
“Hemm ... kalau begini saja, kelihatan kurang bagus!” pikirnya, “lebih baik aku tambah tenaga dalamku hingga empat bagian dan kuubah arah menjadi berlawanan ... “ Seiiring dengan pemikirannya, tangan kiri bergerak dengan pola-pola serangan ke arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan pola serangan ke arah kanan.
Sett ... reett!!
Sekarang suara gesekan udara semakin keras menyayat, laksana ratapan hantu di siang bolong. Semakin cepat, suara sayatan semakin membuat gendang telinga laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum. Dalam gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayang putih kehitaman, sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan jurus yang sama. Hingga tampak dua bayangan yang seolah saling berkejaran. Itulah Ilmu ‘Mengendalikan Badai’, sebuah ilmu yang bisa mengendalikan benda apa pun sesuai
dengan keinginan pemilik ilmu tersebut.
Air di kolam nampak semburat kemana-mana terkena gesekan udara yang tersayat oleh golok itu, saat salah satu dari golok itu nampak menghunjam ke dalam kolam, lalu muncul kembali diikuti
Pyarr ... ! Dari arah ketinggian salah satu golok lengkung itu bergerak cepat membentur dengan sisi tajam golok yang saat itu baru muncul dari kolam. Terjangan keras pun terjadi.
Rrrtt ... Critt ... ! Crriing!! Triing ... !!
Terdengar suara dentingan nyaring diikuti dengan percikan bunga-bunga api yang berterbangan. Mendadak sepasang golok itu berputaran ke atas, lalu melayang cepat ke Paksi Jaladara!
Sutt! Sutt ... ! Tapp!
“Jurus yang bagus!” seru seseorang yang berjalan keluar dari balik rerimbunan pohon perdu. Di kepalanya mengenakan tempurung kura-kura sebagai caping dengan balutan baju hijau serta alat pancing di tangan kanannya. Siapa lagi jika bukan Kura-Kura Dewa Dari Selatan adanya. Memang sedari tadi, ia sudah ada disitu, menikmati keindahan alam sambil memancing ikan yang ada di kolam. Tak terduga bahwa ia melihat Paksi Jaladara sedang berlatih ilmu ditempat itu.
“Oh ... kakek, kukira siapa?”
“Maaf, Nakmas Paksi, kalau saya sedikit mengagetkan tadi. Saya tadi sedang memancing ikan di tepi kolam sebelah sana, dekat rerimbunan perdu itu.” kata kakek itu sambil menunjuk ke tempat darimana
ia tadi muncul.
“Tidak apa-apa kek, justru kebetulan sekali ketemu kakek di tempat ini ... “ ucap Paksi Jaladara, lalu sambungnya, “ ... padahal rencananya saya mau ke Graha Air untuk menanyakan sesuatu kepada kakek.”
“Apa itu Nakmas?”
“Saya mau menanyakan ini kek.”
Paksi Jaladara mengangsurkan benda yang berada di tangannya, sembari duduk ditepi kolam diikuti dengan kakek itu. Benda yang diangsurkan ternyata sepasang golok aneh melengkung dengan lima
cerukan jari tangan dtengahnya.
“Darimana Nakmas menemukan senjata itu?” tanya kakek berbaju hijau itu, sembari meneliti golok itu
dengan seksama.
“Dari deret golok paling ujung, saya menemukan senjata ini. Memangnya ada apa dengan senjata ini?”
“Sebetulnya senjata ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Ki Wisnupati.”
“Secara tidak sengaja?”
“Benar! Waktu itu di langit malam, bulan sedang bertengger berbentuk sabit, Ki Wisnupati sedang berenang di kolam ini berdua dengan saya. Waktu itu beliau masih muda sekali, baru beberapa tahun menjabat sebagai ketua. Saat di tengah kolam, ia melihat suatu bayangan cahaya berkilauan berbentuk bulan di dasar kolam ini,“ kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, sambil menunjukkan tengah kolam itu, “ ... pada mulanya Ki Wisnupati mengira bahwa itu cuma pantulan cahaya bulan ke dalam kolam saja. Namun setelah berulangkali berenang bolak-balik, ternyata bayangan sinar itu masih tetap saja berada pada tempatnya, tidak bergerak meski dicobanya membuat percikan-percikan air. Karena penasaran, saya dan Ki Wisnupati menyelam ke arah dasar kolam dan menemukan sepasang senjata ini.”
Paksi Jaladara mengangguk-anggukan kepalanya.
“Jadi, kolam ini merupakan kolam alam ya, kek?”
“Betul, kolam ini sudah ada sebelum Istana Elang dibangun oleh Ki Tapa Geni. Dari sekian banyak ketua, hanya Ki Wisnupati yang senang berlama-lama di kolam ini.” ucap pemilik Graha Air, lalu lanjutnya, “Kemudian, oleh Ki Wisnupati senjata ini disimpan dalam Ruang Pustaka, beliau berkata bahwa senjata berbentuk aneh ini sulit digunakan sebagai pelengkap ilmu silat, tapi jika sebagai senjata gelap atau rahasia juga kurang menarik karena bentuknya terlalu besar untuk ukuran senjata gelap.”
Kembali Paksi Jaladara mengangguk-anggukkan kepalanya. Otaknya berusaha mencerna setiap
perkataan dari kakek tua disampingnya.
“Tadi sewaktu saya sedang memancing, saya melihat Nakmas Paksi menggunakan senjata ini,” kata kakek itu sambil mengangsurkan kembali golok aneh itu, “ ... rasanya senjata berbentuk bulan sabit ini
cocok untuk digunakan seperti jurus yang barusan.”
“Betul, kek! Saya sendiri juga sudah merasa nyaman. Disamping bentuknya yang kecil sehingga tidak menyolok dilihat orang, penggunaan jurus atau pun tenaga dalam juga tidak ada bermasalah. Lagi pula saya tidak ingin memamerkan apa yang saya miliki pada orang lain.” “Pemikiran yang bijaksana! Saya setuju dengan hal itu,” kata kakek bercaping kura-kura itu, “ ... lalu,
akan diberi nama senjata berbentuk bulan sabit itu?”
“Nama ... ?” gumam Paksi Jaladara.
“Setiap senjata memiliki nama, orang pun juga memiliki nama. Saya kira tidak ada salahnya jika kita
Otak Paksi Jaladara mengingat-ingat semua yang diceritakan oleh Pengawal Gerbang Selatan tentang golok aneh yang ditemukan di dasar kolam alam, bahkan jurus-jurus yang baru saja ia gunakan tak luput singgah di otaknya tentang kelebat golok yang saling berkejaran di angkasa. “Bagaimana jika ... Golok Terbang Mengejar Bulan?” usul Paksi Jaladara, “ ... sebab jika diberinama Golok Bulan Sabit, rasanya lucu sekali dan juga terlalu hebat sedangkan bentuk dan ukuran
senjatanya kecil mungil saja. Menurut kakek bagaimana?”
“Hmmm, Golok Terbang Mengejar Bulan ... ?” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan sambil meraba-raba
jenggotnya yang cuma beberapa gelintir itu.
“Atau kakek punya nama yang lain?” pemuda itu bertanya.
“Oh, tidak ... tidak! Nama itu sudah bagus! ... “ sahut Kura-Kura Dewa Dari Selatan setelah merenung beberapa saat,” ... sebab nama Golok Sakti Bulan Sabit saat ini digunakan oleh seorang tokoh aliran putih yang bergelar Dewa Golok. Jadi, jika ada nama senjata yang sama, orang akan kesulitan membedakan Golok Bulan Sabit yang mana? Yang kecil apa yang besar?” “Ha-ha-ha, kakek bisa-bisa saja. Tapi, ada lagi yang ingin saya tanyakan pada kakek.”
“Boleh, silahkan saja.”
“Ini perihal kitab ‘Ilmu Silat Elang Salju’ ... ” tanya Paksi Jaladara dengan hati-hati. “ ... kenapa tidak
ada di deret-deret kitab?”
“Oh, itu ... memang kitab itu tidak terdapat di deret kitab di Ruang Pustaka, karena memang sengaja tidak ditulis dalam bentuk kitab melainkan diwariskan secara gaib,” sahut Kura-Kura Dewa Dari Selatan, setelah menghela nafas sejenak, sambungnya, “ ... hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dari ilmu ini saja. Lagipula ‘Ilmu Silat Elang Salju’ memang diperuntukkan hanya untuk calon ketua atau ketua saja. Sedang kitab-kitab yang lain boleh dipelajari oleh siapa saja.”
“Begitu rupanya.”
“Kapan Nakmas Paksi akan berangkat?” kata kakek itu mengalihkan pembicaraan. “Jika tidak ada halangan, mungkin saja akan berangkat besok pagi bersama dengan Kakang Joko Keling,“ kata Paksi Jaladara, lanjutnya, “ ... tapi sebelumnya selain Dua Istana, Tiga Wisma, Empat Benteng, Lima Perguruan dan Partai, bagaimana dengan para tokoh rimba persilatan saat ini, mungkin bisa menjadi bekal bagi saya jika turun gunung besok pagi.”
“Baiklah, kukira tidak ada jeleknya jika Nakmas tahu.”
Pada saat ini, banyak bermunculan jago-jago muda yang kebanyakan juga dari perkumpulan silat ternama seperti dari Istana Rumput Maut keluar seorang jago muda yang bergelar si Pedang Awan Terbang yang juga merupakan murid utama dari partai tersebut. Dari Wisma Samudera keluar seorang jago muda yang berjuluk Tombak Perak Tapak Maut yang merupakan murid tunggal dari Majikan Wisma Samudera, sedangkan putrinya yang menyebut diri sebagai Gadis Naga Biru saat ini masih digembleng oleh ayahnya. Namun menurut kabar angin, gadis ini pun juga sudah menamatkan pelajaran silatnya dan turun gunung serta ikut meramaikan rimba persilatan. Lalu ada Sepasang Naga Dan Rajawali dari Benteng Dua Belas Rajawali yang merupakan murid utama dari pasangan tokoh golongan putih Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait, yang mana sebenarnya Sepasang Naga Dan Rajawali adalah anak kembar dari Ki Gentar Swara selaku Majikan Lembah Sunyi, yang kemudian diangkat murid oleh Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait karena mereka berdua tidak memiliki seorang anak pun meski sudah menikah puluhan tahun. Singa Jantan Bertangan Lihai dari Padepokan Singa Lodaya yang juga paman dari Paksi Jaladara dari garis ibu yang sudah malang melintang cukup lama di rimba persilatan sejak usianya masih belasan tahun. Belum lagi dengan tokoh-tokoh kelas wahid yang mengasingkan diri tidak terhitung jumlahnya dan juga tokoh kosen tanpa nama cukup banyak bertebaran di dunia persilatan. Ada yang benar-benar mengasingkan diri, ada pula yang mendalami ilmu-ilmu baru seperti halnya Sepasang Kupu-Kupu Besi yang mendalami ‘Racun Kembang Patah Hati’, ada pula yang sedang mendidik murid-muridnya di tempat yang sunyi sepi dan suatu saat akan keluar untuk menggegerkan jagad persilatan.
Belum lagi dengan Cakar Iblis Taring Serigala yang merupakan pentolan dari Gerombolan Serigala Iblis yang juga murid kedua dari Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sebenarnya murid Ratu Sesat Tanpa Bayangan berjumlah tiga orang, yang dua orang sudah tewas saat terjadi penyerangan ke Padepokan Singa Lodaya karena memperebutkan Pusaka Rembulan Perak, yaitu Serigala Hitam Bermata Tunggal dan Tangan Kilat Kaki Bayangan. Oleh gurunya, Cakar Iblis Taring Serigala digembleng kembali untuk meningkatkan ilmu silat dan ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’-nya. Sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan Gerombolan Serigala Iblis makin menggila, bahkan dari kabar terakhir mereka berhasil
menjalin hubungan dengan Benteng Tebing Hitam.
“Pada saat ini gelar pendekar persilatan dipegang seorang tokoh sakti yang bergelar Pendekar Gila
Nyawa,“ tutur kakek itu.
“Perlu Nakmas ketahui, bahwa hanya satu orang yang boleh menyandang gelar Pendekar Nomor Satu Dunia Persilatan dan perebutan gelar tersebut dilakukan setiap tiga puluh tahun sekali.”
“Wah ... lama sekali!”
“Jika tidak salah perhitunganku, dua bulan dari sekarang, perebutan gelar tersebut akan dilakukan di
puncak Gunung Tiang Awan.”
“Apakah Pendekar Gila Nyawa juga akan hadir di tempat itu, kek?” “Tentu saja, sebab setiap orang yang ingin mendapat gelar kehormatan ini, tak peduli dari golongan putih maupun golongan hitam harus bisa mengalahkan Pendekar Gila Nyawa.” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan. ”Perlu diketahui pula, bahwa setiap pesilat harus mengalahkan para pesaingnya terlebih dahulu. Begitu seterusnya hingga akhirnya harus melakukan tarung penentuan dengan pemegang
gelar pendekar rimba persilatan.”
“Jika boleh saya tahu, siapakah lawan terakhir dari Pendekar Gila Nyawa saat itu?” “Dari kabar yang kusirap di luaran, lawan terakhirnya adalah Dewa Golok yang juga ketua Perguruan Golok Sakti dan seorang dalang muda yang berjuluk Si Pemikul Gunung. Saat itu si Gila Nyawa malah langsung bertarung dengan dua lawan tangguh sekaligus, namun akhirnya pada akhirnya dua lawan tangguh itu harus takluk dibawah ilmu silatnya.” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, “meski tidak tewas, namun Dewa Golok dan Si Pemikul Gunung harus mendapat jejak luka yang sangat parah akibat terkena ‘Pukulan Pelebur Raga’ dari Si Gila Nyawa.” Paksi Jaladara mendengarkan semua apa yang diceritakan oleh kakek itu dengan seksama. “Begitu pentingkah gelar pendekar itu ... ?” kata Paksi Jaladara. “ ... Jika yang menyandang gelar pendekar tapi bukan berjiwa pendekar, mungkin dunia akan penuh dengan kekacauan karena merasa tanpa tanding, tanpa lawan sehingga bisa mengumbar nafsu angkara murka. Bertindak adigang
adung adiguna.“
“Betul apa kata Nakmas Paksi ... “ sahut kakek itu, “ ... lebih baik bukan pendekar tapi berjiwa
pendekar daripada pendekar tapi bukan berjiwa pendekar.”
Pengawal Gerbang Selatan kagum sekali dengan sikap bijaksana ketuanya masih muda itu. Jarang ditemui jago muda yang memahami sifat kependekaran yang sejati. Pada umumnya jago-jago muda yang baru saja turun gunung mudah sekali bangga dengan apa yang dimilikinya saat ini, merasa hebat sehingga memandang rendah setiap insan manusia, merasa dirinya paling jago di jagat ini. Mereka lupa bahwa diatas langit masih ada langit, di atas jago masih ada jago yang lebih jago. Pada keesokan harinya, Paksi Jaladara dan Arjuna Sasrabahu turun gunung. Setelah membekali diri dua anak muda itu dengan wejangan dan nasehat yang bermanfaat, Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas mengingatkan tujuan utama mereka berdua turun ke rimba persilatan, yaitu untuk mencari para pewaris dari Tiga Pengawal Gerbang Utama yang lain sekaligus mengamalkan ilmu yang mereka miliki untuk menolong siapa saja yang membutuhkan. Tak lupa Ki Gedhe Jati Kluwih mengingatkan Paksi Jaladara tentang munculnya pemilik Rajah Penerus Iblis, supaya berhati-hati dalam menghadapi para pemilik rajah setan ini. Jika memungkinkan untuk bisa menghancurkan rajah setan itu tanpa harus melukai atau membunuh pemiliknya.