• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sang Pewaris - Bab Enam

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 29-35)

Terdengar letusan keras saat jurus ‘Kelebat Guntur Menari’-nya Ki Ragil Kuniran beradu dengan jurus ‘Cakar Maut Membelah Angin’-nya Si Cakar Iblis Taring Serigala. Keduanya terjajar beberapa langkah ke belakang, kemudian diam terpaku beberapa saat untuk menenangkan guncangan yang mendera di

dalam dada.

“Bangsat!” Cakar Iblis Taring Serigala memaki keras, karena baru kali ini ada orang yang bisa

menahan jurus ‘Cakar Maut Membelah Angin’ miliknya.

“Baru kali ini ada orang yang menahan jurus ‘Cakar Maut Membelah Angin’-ku, biasanya meski ditahan dengan cara apapun, jurus ini akan tetap bisa menerjang lawan, bahkan mencacah-cacah seperti daging cincang. Benar-benar keparat orang itu. Aku harus lebih berhati-hati padanya,” pikirnya. Sedangkan Ki Ragil Kuniran hanya tersenyum mengejek lawan, “Huh, cuma jurus picisan saja, sudah

besar mulut!”

“Setan! Kalau aku tidak bisa menghabisi nyawa busukmu itu, jangan sebut namaku Cakar Iblis Taring

Serigala!” bentaknya.

“He-he-he-he, kau memang lebih pantas disebut Si Cakar Tikus,” ucap Ki Ragil Kuniran berusaha

memancing kemarahan lawan.

Laki-laki itu menggertakkan gigi sebagai tanda kemarahan, kemudian laki-laki bermuka lancip seperti

tikus itu menerjang maju.

“Heaaa ... !”

Gerakannya lebih cepat berbahaya daripada sebelumnya, lebih cepat dan lebih banyak tipu-tipu silatnya. Akan halnya Ki Ragil Kuniran sudah pula menerjang lawan, dengan mengandalkan sepasang pisau panjang di tangan dan menerapkan jurus ‘Pisau Lidah Naga’ dipadu dengan Ilmu Silat ‘Tangan

Seribu Depa’ yang dimilikinya.

Di lain tempat, Galang Seta dan Pulanggeni berdua menghadapi si cecak kering Tangan Kilat Kaki Bayangan yang tak kalah serunya. Kedua murid utama Padepokan Singa Lodaya ini memiliki kepandaian yang setingkat satu sama lain. Dengan mengandalkan ilmu kebal ajian ‘Kulit Singa’,

mereka berdua merangsek maju.

“Heeeaa ... ”

Keduanya bahu membahu dalam menghadapi lawan. Galang Seta menyerang bagian bawah sedang Pulanggeni menyerang bagian atas. Dua saudara seperguruan itu selalu mengisi kekosongan,

sehingga bisa menekan lawan setangguh apa pun.

Dari pendapa padepokan, Ki Ageng Singaranu mengangguk-anggukkan kepala melihat kerjasama dua murid utamanya. Tidak menyangka, bahwa Ilmu Silat ‘Singa Gunung’ bisa dimainkan dengan cara berpasangan.

“Bagus sekali! Galang Seta dan Pulanggeni memang hebat dalam memadukan Ilmu Silat ‘Singa Gunung’ menjadi jurus silat berpasangan. Saling mengisi kekosongan dan menutupi kelemahan. Hemm, mereka berdua patut diacungi jempol. Mungkin sudah saatnya aku menurunkan pukulan ‘Telapak Singa Murka’ pada mereka berdua,” pikir Ki Ageng Singaranu. Meski dikeroyok dua orang, Tangan Kilat Kaki Bayangan tidak pantang menyerah. Puluhan paku-paku beracun yang dilontarkan ke arah lawan, selalu tepat pada sasaran.

Seett! Sett! Wirr!! Wirr! Crapp! Crapp! Crap!

Pikirnya, dengan senjata paku beracunnya bisa membereskan dua orang lawan tangguh itu dengan cepat. Namun dia kecele. Bukannya lawan yang mati, tapi justru anak buahnya yang banyak berkelojotan meregang nyawa, karena saat paku-paku beracun itu mengenai tubuh lawan, langsung terpental balik dan mengenai orang-orang yang berada di sekitar mereka, karena sebenarnya dua pemuda berbaju hitam itu telah melindungi diri dengan ilmu kebal. Semakin keras tenaga serangan yang mengenai pemilik ajian ‘Kulit Singa’ maka semakin keras pula tenaga pantul yang dihasilkan.

“Kurr ... kurang ... ajjj ... jarr!”

Tangan Kilat Kaki Bayangan menghentikan serangan paku beracun, lalu beralih dengan mengerahkan Ilmu Silat ‘Serigala Iblis’. Gerakannya berubah semakin cepat dan ganas, terutama sekali jurus tendangan yang secepat kilat. Gerakan tendangan itu digabung dengan ilmu meringankan tubuh, membuat tubuhnya berkelebat cepat kesana kemari dalam menyerang lawan. Werrs!

Galang Seta dan Pulanggeni pun melenting mundur, lalu mengubah cara bertarung. “Galang Seta, kita gunakan jurus ‘Sepasang Singa Membantai Iblis’!” ucap Pulanggeni. “Baik!”

Keduanya pun berkelebat cepat ke kanan dan ke kiri hingga membuat Tangan Kilat Kaki Bayangan terkepung di tengah-tengah. Kembali pertarungan pecah antara dua murid Ki Ageng Singaranu dengan salah seorang pemimpin dari Gerombolan Serigala Iblis, yaitu Tangan Kilat Kaki Bayangan. Mereka bertiga kembali berkutatan untuk berusaha saling menjatuhkan lawan.

“Hyahh!”

Sementara itu, Gineng pun tidak mau tinggal diam sudah terlibat dalam kancah pertarungan. Pemuda remaja itu berkelebat cepat ke arah lawan dengan sepasang pisau panjangnya. Ilmu silat yang dipelajari dari Ki Ragil Kuniran yaitu Ilmu Silat ‘Tangan Seribu Depa’ sangat membantunya dalam pertarungan yang baru pertama kali dialami pemuda tanggung itu. Meski belum menguasai sepenuhnya jurus ‘Pisau Lidah Naga’, namun Ilmu Silat ‘Tangan Seribu Depa’ yang merupakan

dasarnya sudah sangat dikuasai dengan baik.

Wutt! Wushh!

Dua orang anggota gerombolan menyerang pemuda remaja itu dengan gada berduri dan tombak bercagak dari arah depan. Gineng pun melenting ke atas sambil mengibaskan sepasang pisau

panjangnya ke arah lawan.

Crass! Cratt!

“Aaakhh! Uuggh!”

Dua orang itu terpental dengan dada terbelah. Satu terbelah menyilang dari kiri ke kanan dan satunya terbelah memanjang sampai ke perut. Keduanya ambruk berkelojotan meregang nyawa beberapa

saat, lalu mati.

Gineng tercenung, bergantian memandang kedua tangan dan orang yang telah dibunuhnya. Rasa menyesal, bersalah dan bingung campur aduk menjadi satu karena memang baru pertama kali dalam hidupnya dia membunuh orang dalam suatu pertarungan. Namun, rasa penyesalan itu harus dibayar dengan mahal. Salah seorang anggota perampok berperut buncit sambil berjalan mengendap-indap di belakangnya, berusaha untuk membokong. Setelah berada dalam jarak jangkauan, tangan kekar sebesar kayu jati itu merangkul Gineng dari belakang dengan gerakan cepat. Krapp!

“Hegh!”

Gineng merasakan dadanya terasa nyeri, lalu diikuti dengan napas tersengal-sengal. Rangkulan itu begitu kuat, bagaikan rangkulan seekor kera hutan. Beberapa injakan dan sepakan kaki yang dilakukan oleh Gineng pun tiada artinya, seolah-olah membentur tumpukan kapas.

“Mampus kau! Heh-heh-heh, akan kuremukkan tulang belulangmu!”

Pelukan laki-laki buncit itu makin kencang, sehingga Gineng semakin sulit bernapas, bahkan napasnya tersengal-sengal dan tubuhnya mulai melemah dengan sendirinya, hingga sepasang pisau

panjangnya terjatuh ke tanah.

Klontang!

Pemuda remaja itu merasakan tubuhnya seperti dijepit batu karang. Tulang-tulangnya berkerotokan, seakan mau patah. Pada saat kesadarannya sudah hampir hilang, dan bayangan kematian sudah

tepat berada di pelupuk mata, sesosok bayangan berkelebat.

“Kakang Gineng, merunduk!”

Bayangan itu bergerak cepat, diikuti sekelebatan bayangan putih keperakan di belakangnya. Bayangan itu lalu melenting ke atas sambil berjungkir balik, lalu kaki kanannya menjulur ke bawah dengan hentakan keras, mengarah ke arah muka si perut buncit!

Wessshh! Duugghh!

Tubuh buncit itu terjengkang ke belakang karena terkena hantaman keras di bagian wajah. Kepalanya pusing dan dunia serasa berputar. Saat berusaha berdiri, jalannya menggeloyor seperti orang mabuk. Setelah menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali, rasa pusing itu sedikit berkurang. Pandangan mata belok melotot ke arah sosok tubuh kecil berikat kepala merah! “Bangsat kecil!? Perlu apa kau turut campur?” bentak si perut buncit. Lalu tubuh kecil itu melenting ke atas dan berdiri tegak di samping Gineng. Bayangan itu tak lain adalah Paksi Jaladara, sedangkan bayangan putih keperakan yang mengiringinya adalah elang

kesayangannya, Si Perak!

Jurus ‘Kelebat Ekor Elang’ yang dilancarkan Paksi Jaladara seharusnya bisa membuat kepala pecah atau paling tidak retak parah, namun ternyata hanya membuat kepala si perut buncit menjadi pusing dan pandangan berkunang-kunang, itu dikarenakan kepala laki-laki bertubuh boros itu terlindungi hawa tenaga dalam yang cukup kuat sehingga bisa menahan serangan lawan. “Kakang, kau tidak apa-apa?” tanya Paksi, tanpa menoleh ke arah pemuda di sampingnya. Tatapan mata bocah itu setajam elang, tepat menghunjam ke arah bola mata lawan. Laki-laki berperut buncit itu tergetar hatinya, hingga tanpa disadarinya mundur beberapa tindak ke belakang. Gineng hanya menganggukkan kepala, lalu tanpa bersuara meraih sepasang pisau panjang yang ada di tanah diteruskan berguling satu kali ke depan, lalu menerjang laki-laki berperut buncit yang hampir

saja membunuhnya.

Weess!

depan dengan bertumpu pada kaki kirinya yang kokoh. Wukk!

Sambaran angin keras mengiringi tendangan itu ke arah pinggang. Gineng mengegos badan ke kiri menghindari tendangan, sambil tubuhnya menyelinap diantara tendangan lawan dengan cepat. Weett!

Laki-laki itu tersentak kaget, tidak ada waktu bagi dirinya untuk menghindari serangan lawan. Pisau panjang di tangan pemuda berbaju coklat itu berkelebat cepat dengan mengerahkan jurus ‘Ular Sawah Menelan Kodok’ dan sasarannya adalah tepat di jantung! Crapp!

“Hekhh!” Mata melotot dengan mulut ternganga lebar. Darah segar muncrat saat pisau panjang itu

dicabut oleh Gineng.

Brugh!

Tubuh itu berdebam ke tanah, sambil berkelojotan meregang nyawa, lalu diam tak bergerak. Mati! Pemuda itu membalikkan badan, seperti seorang senopati perang yang telah selesai menjalankan

tugas menumpas musuh.

“Terima kasih, Den Paksi! Lebih baik Den Paksi kembali ke pendapa saja, biar saya yang membantu

disini,” tutur Gineng, dengan nada rendah.

“Baiklah, tapi Kakang Gineng hati-hati.”

“Jangan khawatir, tidak akan terulang untuk kedua kalinya,” kata Gineng meyakinkan sang majikan muda.

Semua kejadian itu tidak lepas dari mata tua Ki Ageng Singaranu! Sedangkan Nyi Salindri sudah kebat-kebit melihat anaknya malah ikut-ikutan berkelahi. Mulanya Ki Ageng Singaranu akan membantu Gineng dengan melontarkan pukulan jarak jauh, namun keburu didahului Paksi Jaladara yang turun tangan sedangkan Nyi Salindri juga berniat untuk menolong

anaknya. Namun dicegah oleh Ki Ageng Singaranu.

“Tidak usah cemas, aku yakin anakmu tidak apa-apa.” ucap Ki Ageng Singaranu, berusaha

menenangkan putrinya.

Meski begitu, ibu muda itu masih tetap gelisah, sampai akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Gineng, dan anaknya sudah jalan lenggang kangkung ke arah pendapa. “Paksi, kemari! Jangan berbuat yang macam-macam,” seru sang ibu. Bocah berikat kepala merah itu malah cengar-cengir, sambil bergegas menghampiri sang ibu, sedangkan Si Perak sudah terlebih dahulu terbang dan kini hinggap di atas palang kayu, tempat biasanya di mana kuda ditambatkan di depan pendapa padepokan. Sementara itu, pertarungan semakin memanas. Teriakan dan pekikan kesakitan terdengar dimana-mana. Pelataran yang semula adem ayem itu berubah menjadi ajang pembantaian. Saling bunuh, saling terjang, saling tendang, bahkan ada yang menyabung nyawa sambil memaki-maki, korban

berjatuhan di kedua belah pihak.

Murid-murid Padepokan Singa Lodaya yang masih rendah ilmu kebal dan kekuatan tenaga dalam yang dikuasai belum memadai, banyak mengalami luka di sekujur tubuhnya. Namun, semangat tarung yang dimilikinya tetap berkobar-kobar laksana api ketemu minyak. Para murid Padepokan Singa Lodaya yang menguasai ilmu kebal ajian ‘Kulit Singa’ lumayan tinggi, melindungi saudara seperguruan mereka yang masih lemah. Sehingga tampak kerja sama yang kompak. Saling bahu membahu dan tolong menolong serta saling menutupi kelemahan kawannya. Pengikut Gerombolan Serigala Iblis juga tidak kalah ganasnya. Mereka yang terbiasa berkutat dengan darah dan kematian, menyerang membabi buta. Lawan mendekat, sikat! Akan tetapi di dalam hati mereka, tersimpan rasa gentar menghadapi lawan yang sebagian besar menguasai ilmu kebal itu. Pedang, golok, tombak dan setiap senjata yang kena sasaran di tubuh lawan, selalu terpental dan bahkan nyaris mengenai dirinya sendiri¡

“Heeaa! Hyahh!”

Crass! Crakk! Crook!!

Sedikit demi sedikit, jumlah penyerang makin berkurang. Banyak diantara mereka yang tewas atau sekarat, menunggu ajal menjemput. Melihat jumlah penyerang makin berkurang, semangat tarung

para murid padepokan makin meninggi.

Di sudut pelataran, Jalu Lampang masih berkutat seru dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal. ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’ makin menebal, demikian juga ‘Tenaga Sakti Singa Gunung’-nya Jalu Lampang, semakin memancarkan cahaya terang, seolah berusaha menerangi malam.

“Hyaaa ... !”

Si mata satu menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menyerang ke arah jantung, sambil tubuhnya melesat ke depan. Tangan kirinya menyusul dengan gerakan tangan membabat ke arah leher. Disusul dengan dengan tendangan tajam ke arah kemaluan. Si mata satu itu menamakan jurus

‘Tiga Jalan Darah Kematian’. Praktis, Jalu Lampang diserang dari tiga arah yang mematikan.

Jantung, leher dan kemaluan!

Sebagai seorang pendekar yang sudah malang melintang di rimba persilatan, pernah mencicipi asam garamnya pertarungan dan sakitnya luka, tidak membuat Jalu Lampang gugup menghadapi serangan

mematikan itu.

Plaakk!

Kepalan tangan kanan ditepiskan ke arah luar, sedangkan tendangan ke arah kemaluan dihadang dengan kaki di tekuk di depan. Terdengar suara keras, seperti besi diadu dengan besi. Draakk!

Susulan tangan kiri lawan di tahan dengan siku kanan untuk melindungi jantungnya yang terancam, namun serangan tangan kiri itu agak melenceng ke kiri, dan tepat mengenai dada Jalu Lampang yang

tidak terlindungi.

Bukk! Dhess!!

Kedua jagoan itu terpental ke belakang sehabis beradu jurus dan juga beradu tenaga. Jalu Lampang merasakan dadanya terasa sesak dengan napas tersengal-sengal. Darah merah merembes keluar dari sudut bibirnya. Setelah mengalirkan hawa penyembuh luka serta mengatur napas beberapa saat,

dadanya sudah agak longgar.

“Untung ada ajian ‘Kulit Singa’, kalau tidak mungkin dadaku sudah hancur berantakan saat kepalan si mata satu itu mengenai dadaku! Uh ... aku harus lebih hati-hati menghadapinya,” kata hati Jalu Lampang, sambil mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya. “Setan alas! Kuntilanak bunting! Kadal bengkak! Bocah itu cukup hebat! Tangan dan kakiku seperti tersengat bara panas dan rasa ngilu menusuk tulang. Ilmu apa yang dipakai bocah itu? Seharusnya dadanya jebol terkena ‘Tiga Jalan Darah Kematian’! Kadal bengkak,” gumam Serigala Hitam Bermata Tunggal, sedang matanya mencorong tajam, seperti mata serigala yang ingin menelan mangsa mentah-mentah.

“Bocah, kuakui kau cukup hebat! Jarang ada manusia yang bisa menahan ‘Tiga Jalan Darah Kematian’-ku dengan selamat! Aku yakin si tua bangka itu sudah menurunkan seluruh ilmunya

padamu,” kata Serigala Hitam Bermata Tunggal.

“Hem, kau pun juga hebat, orang tua!” sahut Jalu Lampang. “Ilmu yang kau pakai barusan mengingatkanku pada seorang tokoh kosen golongan hitam yang bergelar Ratu Sesat Tanpa

Bayangan. Ada hubungan apa kau dengannya?”

“Ha-ha-ha-ha, tidak percuma kau mengangkat nama sebagai Singa Jantan Bertangan Lihai. Otakmu memang seencer bubur, anak muda! Benar, aku dan dua saudaraku adalah murid si Ratu Sesat Tanpa Bayangan! Beliau pula pemimpin tertinggi Gerombolan Serigala Iblis. Dan, guruku pula yang menyuruhku kemari untuk menagih harta pusaka yang dibawa ayahmu. Aku yakin, kau sebagai anaknya pasti juga telah menerima warisan pusaka itu. Nah, serahkan benda itu padaku daripada kau mati sia-sia, anak muda,” jawab Serigala Hitam Bermata Tunggal. “Huh, lagi-lagi harta pusaka! Melihat bentuknya pun belum pernah, apalagi kau malah menuduh aku yang memilikinya. Andaikata harta pusaka itu ada padaku, tak mungkin kuserahkan pada manusia sesat macam kalian,” sentak Jalu Lampang, yang ternyata di rimba persilatan digelari Singa Jantan

Bertangan Lihai.

“Keparat busuk! Babi bunting! Makan tinju mautku ini!”

Setelah memaki keras, Serigala Hitam Bermata Tunggal menghentakkan kaki ke tanah, lalu tubuh tinggi besar itu mencelat ke atas. Dari atas, kedua belah tangannya yang mengepal saling dibenturkan satu sama lain, sehingga terdengar benturan keras beberapa kali, lalu kedua tangan mengepal itu berubah menjadi merah membara seperti bara api yang menyala-nyala. Saat itu pula, Serigala Hitam Bermata Tunggal sudah mengerahkan ilmu tertingginya yang bernama ‘Tinju Serigala Meraung’!

Dhuarr! Dhuarr! Dhuarr!

Terdengar suara ledakan keras berkali-kali mengiringi meluncurnya tubuh Serigala Hitam Bermata Tunggal. Setelah itu, tampak sepasang tinju itu didorongkan ke depan saling bergantian susul-susul diikuti dengan tubuh besarnya menerjang ke arah Singa Jantan Bertangan Lihai. Mulutnya meraung

keras seperti suara serigala lapar.

“Auunnggg!”

Jalu Lampang atau si Singa Jantan Bertangan Lihai tidak mau mati konyol begitu saja. Tubuhnya sedikit merendah dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda kokoh, seperti singa yang sedang mendekam menanti mangsa. Kemudian tangan kiri dan kanan saling bergesekan sehingga

menimbulkan suara menyayat yang berkepanjangan.

Sreett! Srett!

Setelah itu kedua belah tangan itu memendarkan cahaya hijau pupus, yang makin lama makin menebal diikuti hawa dingin yang menyengat. Lalu kedua tangan itu diputar sedemikian rupa

membentuk gumpalan bola cahaya hijau pupus yang makin lama makin membesar. Itulah ilmu sakti

khas Padepokan Singa Lodaya.

Ilmu ‘Telapak Singa Murka’!

Saat itu, ‘Tinju Serigala Meraung’ yang dilancarkan Serigala Hitam Bermata Tunggal hanya berjarak satu setengah tombak dari Jalu Lampang, namun hawa panasnya terasa menyengat kulit dan memedihkan mata. Jalu Lampang segera menghentakkan kedua belah tangannya ke atas, ke arah serangan yang membersitkan hawa panas tersebut berasal. Bola cahaya hijau pupus itu terlontar ke atas.

Plakk! Plakk! Bhlarr ... ! Bhlarr ... ! Dharr ... !!!

Sekitar tempat itu bagai diguncang prahara disertai luapan hawa panas dan dingin silih berganti di saat ‘Tinju Serigala Meraung’ bertemu dengan ‘Telapak Singa Murka’. Semua orang yang berada di tempat itu terpelanting sambil merasakan sengatan hawa panas dan dingin yang silih berganti karena pengaruh dari benturan keras itu. Debu beterbangan menutupi pandangan mata hingga pertarungan

berhenti untuk sesaat lamanya.

Mereka semua merasakan tanah tempat berpijak berguncang keras seperti terkena gempa dahsyat. Ki Ageng Singaranu melesat ke luar sambil menyambar Salindri dan Srinilam karena pendapa tempatnya menonton pertarungan, berderak-derak keras dan kemudian runtuh.

Drakk! Drakk! Drakk! Brroolll! Brumm ... !!!

Saat Ki Ageng Singaranu berhenti di tempat yang aman, barulah Salindri teringat sesuatu. Matanya mencari-cari sesuatu, namun yang dicari tidak ada. Yaitu anaknya, Paksi Jaladara!

“Paksi?! Paksi dimana, Ayah? Dimana Paksi?!”

“Aduuuhh, aku sampai lupa! Dia masih di pendapa!” kata Ki Ageng Singaranu, sambil menepak jidatnya keras-keras. Kakek itu segera melesat kembali ke pendapa, lalu tangan kurusnya bergerak lincah membongkar reruntuhan pendapa sambil mulutnya berteriak-teriak memanggil cucunya. Rasa

panik terpancar jelas di wajahnya.

“Paksi, kau dimana Nak? Jawab! Ini kakek!”

Tiba-tiba terdengar suara dari atas ...

“Kek, Paksi disini! Disini! Lihat ke atas!”

Ki Ageng Singaranu segera menghentikan kegiatannya. Kepala mendongak ke atas, mencari tempat dimana suara itu berasal. Matanya melotot melihat kejadian yang menurutnya sangat tidak masuk akal!

“Jagat Dewa Bathara!”

Paksi tampak menggerakkan tangan ke atas ke bawah, seperti sayap burung! Tubuh kecilnya tampak mengambang di angkasa, lalu berputar-putar kesana kemari sambil tertawa terkekeh-kekeh. Di sampingnya tampak elang putih keperakan terbang mengiringi sang majikan muda. Bocah berikat

kepala merah itu melayang-layang seperti layaknya seekor elang!

“Mustahil! Tidak mungkin ini terjadi!”

Kakek itu mengucal-ucal mata tuanya, namun yang dilihat tetap sama. Saat itu pula, Gineng juga menoleh, di saat mendengar Nyi Salindri memanggil-manggil nama si bocah. Matanya jelalatan mencari sosok bocah berikat kepala merah. Setelah ketemu, matanya terpana melihat kejadian ganjil

yang terpampang di depan mata.

“Den Paksi ternyata tidak bohong! Dia ternyata bisa melayang dia udara, seperti yang dikatakannya

tempo hari,” gumam Gineng, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Paksi Jaladara lalu berputaran di udara beberapa kali, dan mendarat di tanah dengan selamat! Pada saat itu pula, setelah guncangan dahsyat itu berhenti, tampak dari kepulan debu yang mulai menipis, dua sosok tubuh manusia berdiri tegak. Pertarungan antara Singa Jantan Bertangan Lihai dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal sudah mendekati detik-detik terakhir. Benturan keras tadi secara langsung menerpa mereka berdua, karena dari merekalah asal ledakan keras itu terjadi. Keduanya masih berdiri tegak dengan sikap saling serang. Kepalan tangan Serigala Hitam Bermata Tunggal yang tadi melancarkan ‘Tinju Serigala Meraung’ memberikan jejak luka biru lebam kehitaman di dada Singa Jantan Bertangan Lihai, membentuk lekukan yang cukup dalam. Dari sudut bibir Jalu Lampang menetaskan darah kental kehitaman, pertanda luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya

gemetar menahan rasa sakit yang mendera.

“Hoekkh!”

Darah kental berwarna hitam akhirnya termuntahkan keluar dari dalam mulut. Beberapa saat

Dalam dokumen Pendekar Elang Salju (Halaman 29-35)