Sudah beruntung bagi Ratu Sesat Tanpa Bayangan karena si Topeng Tengkorak Emas hanya membuntungi tangan kiri dan kaki kanan saja, sebab sebelumnya Sepasang Demit Anjing Liar harus meregang nyawa di tangan Pengawal Kanan sang ketua dikarenakan gagal mendapatkan Mutiara Langit Putih, bahkan kembali dengan kondisi terluka parah. Meski dua siluman anjing dari alam gaib itu gagal, tapi jasadnya masih utuh, tidak hancur seperti utusan yang sudah-sudah. Benarkah Pusaka Rembulan Perak adalah Mutiara Langit Putih seperti yang dimaksud oleh si Topeng
Tengkorak Emas?
Jika memang benar, maka Istana Elang, terutama Paksi Jaladara, harus menghadapi seorang musuh yang paling tangguh dalam sejarah berdirinya tonggak Istana Elang yang bermukim di Gunung
Tambak Petir itu!
“Ampuni hamba Ketua! Hamba ... “
“Mengampunimu? Enak saja kau bicara!” bentak si Topeng Tengkorak Emas dengan keras. Entah bagaimana caranya, segumpal kekuatan tak kasat mata telah menampar pulang balik pipi Ratu Siluman Kucing, sedang Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga tak luput dari tamparan gaib itu.
Plakk! Plakk! Brugh!
Badan Ratu Siluman Kucing hanya oleh ke kanan ke kiri, namun akan halnya dengan Kucing Iblis Sembilan Nyawa langsung terpental ke belakang dan akhirnya jatuh setelah menabrak dinding kubah
dengan keras. Dan akhirnya ...
Pingsan!
Bisa dipastikan tulang pelipisnya remuk. Tentu saja tamparan itu bukan tamparan biasa, tapi telah dilambari dengan rangkuman tenaga gaib yang tinggi. Bisa dibayangkan bagaimana kesaktian dari si Topeng Tengkorak Emas. Hanya dengan pancaran hawa gaib dari tubuhnya saja sudah mampu membuat tokoh gaib sekelas Ratu Siluman Kucing menjadi tergetar. “Baik! Kali ini kalian berdua aku ampuni!” kata si Topeng Tengkorak Emas sambil balik badan dan berjalan ke arah kursi kebesarannya, sambil berjalan ia berkata, “... tapi kalian berdua harus lebih banyak menyebarkan rajah setan bertanduk kepada para tokoh-tokoh hitam. Jika tokoh dari aliran putih, akan sulit sekali mengendalikan mereka. Selain dari mencari Sepasang Mutiara Langit, aku juga menginginkan kalian untuk mencari keterangan keberadaan orang-orang pemilik Delapan Bintang
Penakluk Iblis. Jika kalian menemuinya, bunuh saja!”
“Terima kasih, Ketua!”
“Kalian akan dibantu oleh dua orangku dalam melaksanakan tugas ini!” sambung si Ketua. Sang ketua pun tampak berkomat-kamit membaca sesuatu. Tiba-tiba saja ...
Jlegg! Jleeg!
jatuh dalam keadaan berlutut. dua sosok makhluk dari alam gaib masing-masing berbulu lebat dengan sepasang taring tajam di sela-sela bibirnya. pancaran mata merah menyala terlihat nanar menggidikkan.
“Hormat kepada Pangeran!”
“Jin Hitam! Gendruwo Sungsang! Kalian bantu Ratu Siluman Kucing dan muridnya. Jika mereka gagal, kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan!” perintah sang ketua bertopeng tengkorak emas
kepada dua orang bawahannya.
“Baik, kami laksanakan Pangeran!” kata dua makhluk tinggi besar yang disebut Jin Hitam dan
Gendruwo Sungsang bersamaan.
“Ubah dulu wujud kalian seperti manusia!”
“Baik!”
Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang segera duduk bersila, sesaat kemudian keluar segumpal asap
tebal berbau busuk memualkan dari tubuh mereka berdua.
Wush!! Woshh!!
Sekedipan mata kemudian, dua sosok tinggi besar telah hilang, tergantikan dengan sosok dua orang yang duduk bersila dengan pakaian biru menyala. Diatas kepala masing-masing terdapat sebentuk lingkaran dari emas putih, ditengahnya terdapat sebutir mutiara yang berwarna biru terang tembus pandang. tentu saja mereka salin rupa menjadi pemuda-pemuda gagah dan tampan dengan postur tubuh tinggi tegap. Itulah perubahan wujud dari Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang yang merupakan dua dari delapan senopati tangguh dari Istana Iblis Dasar Langit dari alam gaib. “Tugas kalian berdua adalah merebut Mutiara Langit Merah! Dan kau, Ratu Siluman Kucing! Kau cari keterangan siapa saja pemilik dari Delapan Bintang Penakluk Iblis. Jika berhasil, maka lima nyawa yang dulu aku ambil, akan ukembalikan padamu!” kata tegas si Topeng Tengkorak Emas.
“Baik, Ketua!” sahut Ratu Siluman Kucing dengan gembira.
Tidak ada sahutan sedikit pun dari mulut sang ketua. Beberapa lama mereka menunggu dengan kepala tertunduk, tapi tetap tidak ada perintah atau pun suara yang mereka dengar. Pelan-pelan, kepala Ratu Siluman Kucing mendongak. Dia tidak melihat lagi sang ketua bertopeng lagi. Si Topeng Tengkorak Emas ternyata telah menghilang tanpa bayangan! Jin Hitam, Gendruwo Sungsang dan Ratu Siluman Kucing bangkit dari tempatnya berlutut. “Nyai Ratu, bagaimana wajahmu bisa seperti itu?” tanya jin hitam terkejut saat memperhatikan raut wajah Ratu Siluman Kucing, “Apakah ... wajahmu masih bisa dikembalikan seperti sediakala?” “Huh! Ilmuku sudah berkurang banyak semenjak nyawa ke delapanku hilang!” sahut Ratu Siluman Kucing dengan penuh sesal, “hanya seperti inilah tingkat perubahan yang bisa aku lakukan. Untuk merubah wajah, rasanya sudah cukup sulit! Ini semua gara-gara si rajawali tua keparat itu!” Lagi-lagi rajawali tua disebut-sebut Ratu Siluman Kucing, mungkinkah dia adalah Rajawali Alis Merah
yang telah menghilangkan nyawa ke delapannya?
“Bagaimana jika kami bantu memulihkan wajahmu?”
“Kalian berdua mau membantuku mengembalikan wajahku seperti sebelumnya?” “Tentu saja kami bersedia, cuma ... “ kata Jin Hitam dengan terputus. Seolah paham dengan maksud Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang, Ratu Siluman Kucing hanya ketawa kecil. Apalagi yang diinginkan dua makhluk dari alam gaib itu jika bukan kehangatan tubuhnya?
“Ooo ... kalau cuma hal itu, aku tidak keberatan sama sekali! Aku pun juga sudah lama tidak merasakan kehebatan kalian berdua di atas ranjang, hi-hi-hik!” sahut Ratu Siluman Kucing sambil
menowel pipi Jin Hitam.
“Ha-ha-ha! Lalu bagaimana dengan muridmu?”
“Perempuan tolol itu pasti ikut dengan apa yang aku katakan! Kalian tidak perlu khawatir akan hal itu!”
jawab sang siluman kucing dengan penuh arti.
“Ha-ha-ha! Bagus kalau begitu! Ha-ha-ha!” sahut Gendruwo Sungsang sambil tertawa lebar. “Kapan
kita mulai?”
“Sekarang saja, buat apa ditunggu lama-lama?” jawab Jin Hitam sambil membopong tubuh sintal Ratu Siluman Kucing.
-o0o-Menjelang petang, dimana matahari sudah siap-siap berada di balik peraduan abadinya, Ayu Parameswari dan si kembar dari Benteng Dua Belas Rajawali datang terlebih dahulu ke padukuhan itu. Sesampainya disana, ternyata sudah di tempat itu bertambah dengan empat orang yang masing-masing mengenakan baju ungu dan celana hitam dengan sabuk kuning gading terdiri dari dua laki-laki
dan dua orang perempuan.
laki-laki masing-masing adalah Linggo Bhowo dan Mahesa Krudo yang usianya sekitar dua puluh tujuh tahunan, sedangkan yang dua perempuan bernama Kamalaya yang berusia sekitar dua puluh tiga tahunan dan Janapriya yang berusia sekitar dua puluh empat tahunan. Mereka berempat adalah empat orang murid utama dari perguruan itu yang terkenal dengan sebutan Empat Golok Sakti dari
Perguruan Karang Patah.
Untuk mendalami ‘Ilmu Golok Sejodoh’ masing-masing orang harus berpasangan dengan lawan jenisnya sehingga oleh Ki Angon Samudro, mereka dinikahkan untuk lebih mendalami ilmu golok ini. Dikarenakan sebelumnya Linggo Bhowo dan Kamalaya sudah saling mencintai, begitu juga dengan Mahesa Krudo dan Janapriya, sehingga tidak terlalu sulit mereka berdua untuk menguasai ‘Ilmu Golok Sejodoh’, bahkan pada tataran jurus yang paling tinggi, dimana mengerahkan jurus-jurus golok dengan paduan tenaga dalam tinggi, setiap pasangan suami istri bisa menggunakan jurus golok
seperti orang yang sedang bermesraan.
Jurus ‘Golok Lengkungi Jagad’ bisa membuat lawan menjadi terlena dan terpana sesaat karena pasangan yang mengerahkan Jurus ‘Golok Lengkungi Jagad’ terlihat seperti orang yang sedang di mabuk birahi, saling cumbu dan saling lilit dengan pasangan, bahkan ada kalanya diiringi dengan desahan-desahan napas halus dari si wanita. Tentu saja suara-suara itu digunakan untuk memecah
konsetrasi lawan sehingga mudah ditumbangkan.
“Kakang Wanengpati, di sebelah timur tidak ada tempat-tempat yang mencurigakan seperti yang kita inginkan.” lapor Ayu Parameswari pada kakaknya, “ ... tidak ada satu manusia pun yang berani
mendiami tempat itu.”
“Hemm, apa kau yakin?”
“Yakin sekali, Kakang! Bahkan sudah dijajaki Nawara dengan 'Ilmu Empat Arah Pembeda Gerak', yang ada cuma kumpulan hewan-hewan melata saja yang ada di tempat itu.” “Baik kalau begitu! Lebih baik kalian bertiga istirahat saja di dalam,” kata Wanengpati,” ... Oh, ya! Mereka berempat adalah Empat Golok Sakti, sahabat-sahabat dari Perguruan Karang Patah.” Tiga anak muda itu menganggukkan kepala sebagai tanda hormat, dan dibalas dengan anggukan
kepala pula oleh Empat Golok Sakti.
“Maaf, kami masuk ke dalam terlebih dahulu,” kata Nawara pada Empat Golok Sakti.
“Silahkan, saudari!”
Karena betul-betul lelah tiga anak muda itu langsung ngeloyor pergi ke dalam. Nawara dan Ayu langsung menuju bilik tengah tempat gadis itu biasa tidur, sedangkan Nawala langsung menuju dipan dimana sebelumnya Raja Penidur sedang 'menjalani pertapaan'. Sebentar saja, pemuda berbaju putih yang dada kirinya adalah sulaman naga, langsung menggesor tidur.
Benar-benar tidur!
Berturut-turut, datanglah Kakek Pemikul Gunung dan Kepala Dukuh Songsong Bayu yang datang bersama seorang kakek bertongkat kayu cendana. Kakek itu mengenakan sehelai kain putih yang di selempangkan di dada. Tubuhnya terlihat ringkih dengan berjalan tertatih-tatih ditopang oleh tongkat kayu di tangan. Beberapa kali terdengar batuk-batuk kecil dari mulutnya yang sudah keriput dan ompong, bisa diperkirakan sosok tua berselempang putih berusia sekitar sembilan puluhan tahun.
Dialah Panembahan Wicaksono Aji!
“Selamat dating, Bapa Panembahan! Maaf kami harus merepotkan panembahan dengan masalah yang di hadapi padukuhan ini,” sambut Wanengpati dengan hormat. “Uhhukk, uhukk! Tidak apa-apa Nakmas. Mungkin tulang-tulang tua ini perlu sedikit pelemasan. Semadi terus-menurus juga tidak baik bagi kesehatan,” jawab Panembahan Wicaksono Aji dengan
suara khasnya.
Suara yang lembut menenteramkan.
“Ayah, bagaimana dengan Partai Ikan Terbang? Apa mereka bersedia?” tanya Wanengpati setelah Panembahan Wicaksono Aji berlalu dan duduk satu meja dengan Empat Golok Sakti. “Kelihatannya agak sulit, anakku! Sebab di Partai Ikan Terbang sendiri juga sedang mengalami musibah. Salah seorang dari murid Partai Ikan Terbang ternyata juga memiliki rajah setan bertanduk. Terpaksa tadi aku dan mertuamu harus sedikit memeras keringat untuk mengusir rajah setan
bertanduk itu,” terang Kakek Pemikul Gunung.
“Untungnya, rajah setan itu baru berwujud samar-samar, jadi murid Partai Ikan Terbang tersebut masih bisa diselamatkan. Untung masalah itu segera diketahui sendiri oleh Ketua Partai Ikan
Terbang,” kata Juragan Padmanaba.
Wanengpati mengangguk-anggukan kepalanya, gumamnya, “Jadi ... lambang setan itu sudah mulai menyebar. Tidak hanya pada orang biasa saja, bahkan murid-murid perguruan juga kena pengaruh
rajah setan itu.”
Setelah berpikir beberapa saat, pemuda berkata, “Berarti ... memang ada orang atau golongan tertentu yang secara sengaja memberikan menyebarluaskan rajah setan itu. Tidak peduli siapa saja,
bisa terkena.”
“Benar juga pemikiranmu.”
“Yang jadi masalah, dengan cara bagaimana rajah setan bertanduk itu bisa menempel ke tubuh manusia? Dam siapa sesungguhnya yang menempelkan rajah setan itu?” kata Wanengpati dalam
bentuk pertanyaan.
Ki Dalang Kandha Buwana hanya terdiam saja.
Tak lama kemudian, tiga orang sudah sampai di pendopo dan berbaur menjadi satu dengan empat golok sakti dan Panembahan Wicaksono Aji yang terlibat dengan pembicaraan seru. Wanengpati kemudian menceritakan tentang adanya Rajah Penerus Iblis, yang diketahuinya dari mayat Parjo. Semua diceritakan sampai ke detail-detailnya. Semua orang yang ada di tempat itu selain Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba dan Wanengpati sendiri, tersentak kaget! “Jadi, Nyi Rengganis juga telah jadi korban?” kata Panembahan Wicaksono Aji dengan kaget. “Benar, Paman Panembahan. Sungguh malang sekali nasib istriku!” Sebagai orang yang waskita, orang yang ngerti sakdurunge winarah (mengerti sebelum terjadi), tentu saja Panembahan Wicaksono Aji bisa meraba di dalam gelap. Kemampuannya untuk memilah-milah hal-hal pelik sangat diperlukan saat itu. Setelah termenung sejenak sambil mengerahkan ilmu batinnya, terlihat kilasan-kilasan kejadian yang muncul di dalam benaknya. Justru yang membuatnya kaget adalah sosok samar Dhandang Gendis yang pertama kali muncul dalam mata batinnya. Bersamaan dengan itu pula, istri Wanengpati yang juga putri tunggal Juragan Padmanaba keluar diiringi dengan membawa makanan kecil berupa pisang goreng, Nogo Sari, Klepon dengan parutan kelapa dan wedang jahe tampak beriringan keluar. Justru itulah yang membuat Panembahan Wicaksono Aji semakin tersentak kaget.
“Aahh ... !”
“Ada apa Paman Panembahan?” tanya Kakek Pemikul Gunung.
“Kandha, gunakan ‘Ilmu Suket Kalanjana'! Maka kau akan tahu sebabnya,” jawab Panembahan
Wicaksono Aji dengan nada berbisik.
Segera saja Ki Dalang Kandha Buwana merapal mantra ‘Ilmu Suket Kalanjana’, suatu ilmu kuno yang berguna untuk melihat suatu pancaran hawa seseorang atau suatu benda yang memiliki kekuatan gaib atau hanya benda biasa saja, bahkan mampu melihat benda-benda yang tertutup sekalipun. Kali ini, pancaran sinar gaib dari mata Ki Dalang Kandha Buwana mengarah pada dua orang yang baru saja datang. Yang pertama menjadi sasaran tentu adalah istrinya sendiri, Nyi Lastri. Setelah diamati-amati beberapa saat, tidak ada yang aneh dan istimewa pada diri istrinya. Kemudian pancaran mata gaib Kakek Pemikul Gunung beralih ke diri Dhandang Gendis, anak mantunya. Juga tidak ada yang pada diri mantunya itu. Namun secara tanpa sengaja ia mengarahkan kekuatan ‘Ilmu Suket Kalanjana’ ke arah perut Dhandang Gendis, kakek itu terperanjat sampai tubuhnya terlonjak ke atas.
Selain terdapat seorang calon jabang bayi yang baru tujuh delapan bulanan, di dalam perut mantunya
terdapat sesuatu pancaran hawa gaib merah hati!
“Paman, cahaya apa itu?” kata Ki Dalang Kandha Buwana setelah hilang keterkejutannya. “Mungkin cucumu itulah sebenarnya tujuan utama dari para pemilik rajah setan bertanduk itu,” kata Panembahan Wicaksono Aji sambil mengelus-eluis jenggot putihnya yang panjang. Semua percakapan itu terdengar jelas oleh semua orang yang ada ditempat itu, bahkan rata-rata tidak
bisa menyembunyikan kekagetan di wajah mereka.
Tentu saja yang paling kaget adalah Wanengpati!
“Apa!?”
“Tenang Nakmas ... tenang! Saya belum selesai berbicara,” tutur Panembahan Wicaksono Aji sambil
memegang pundak Wanengpati dengan lembut.
Setelah menghela napas beberapa jenak, Wanengpati berkata, “Silahkan Bapa Panembahan
lanjutkan! Maafkan tentang kelancangan saya tadi!”
Seulas senyum arif tersungging di bibir tua itu.
“Bapa Panembahan, bisakah Bapa memperjelas dengan semua ini! Terus terang saja, kami masih belum mengerti dengan apa yang Bapa Panembahan maksudkan,” kata Mahesa Krudo, salah satu
dari Empat Golok Sakti.
Setelah minum seteguk air jahe, Panembahan Wicaksono Aji berkata, “Nakmas Wanengpati, seharusnya kau berbahagia saaat ini dikarenakan anakmu sudah ditakdirkan sebagai salah satu calon penerus penumpas iblis yang ada di muka bumi. Hal ini memang sudah digariskan oleh Yang Maha
Kuasa, dirimu tidak perlu menyesali hal ini.”
“Jadi ... anakku merupakan salah satu dari penerus penumpas iblis? Jika begitu masih ada beberapa orang lagikah para penerus itu?” potong Wanengpati dengan tergesa-gesa. “Sabar, sabar! Biar Paman Panembahan meneruskan dulu keterangannya.” kata Ki Dalang Kandha
Buwana.
“Tidak apa-apa Kandha! Kekhawatiran yang dipunyai Nakmas Wanengpati itu sudah sewajarnya dimiliki oleh para orang tua,” sahut Panembahan Wicaksono Aji dengan tenang, lalu lanjutnya, “Di bumi yang damai ini, terdapat delapan orang yang memiliki tanda sebagai penerus penumpas iblis. Untuk saat ini sudah muncul tujuh orang, sedang orang yang ke delapan adalah calon anakmu, Nakmas.”
Semua orang terdiam mendengar cerita dari Panembahan Wicaksono Aji, seorang pendeta tua yang
sangat mumpuni dan waskita pada jaman ini.
“Mereka berdelapan adalah tonggak dunia persilatan dalam memerangi kejahatan dan kemungkaran, baik yang dilakukan oleh manusia mau pun makhluk alam gaib. Bisa dikatakan delapan orang ini bisa hidup di dua alam, yaitu alam manusia dan alam gaib. Setiap orang yang dipilih akan memiliki sebuah tanda khusus yaitu adanya sebentuk rajah berbentuk bintang segi delapan berwarna biru dengan tepi kuning keemasan akan tertera di tubuh mereka,” tutur Panembahan Wicaksono Aji. Setelah berhenti sejenak, pendeta tua itu pun melanjutkan penuturannya, “Rajah bintang itu dinamakan dengan
Bintang Penakluk Iblis.”
“Lalu, pancaran gaib warna merah itu apa, Bapa Panembahan?” tanya Linggo Bhowo dengan rasa
ingin tahu yang tinggi.
“Menurut kitab kuno yang pernah aku baca, hanya pemilik lambang Bintang Penakluk Iblis ke satu akan memiliki Mutiara Langit Putih, sedangkan pemilik Bintang Penakluk Iblis ke delapan akan memiliki Mutiara Langit Merah. Dengan adanya pancaran sinar merah yang turut dalam kandungan istri Wanengpati, bisa diartikan calon jabang bayi itu merupakan bintang yang ke delapan. Artinya bahwa Mutiara Langit Merah sudah memilih sendiri tuannya,” lanjut Panembahan Wicaksono Aji
dengan lugas.
Semua orang menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Lalu, apa kegunaan Mutiara Langit Merah itu, sampai-sampai orang-orang yang memiliki rajah setan
bertanduk mengincarnya?”
“Selain sebagai senjata pemusnah segala jenis kekuatan hitam atau kekuatan iblis, Sepasang Mutiara Langit selain bisa meningkatkan kemampuan tenaga gaib para makhluk tersebut, juga mampu membuka tirai gaib antara alam manusia dan alam gaib sehingga mereka bisa muncul ke permukaan bumi kapan saja, tidak terpancang waktu siang atau malam, bahkan makhluk gaib yang memiliki kekuatan tenaga gaib paling rendah sekalipun, bisa sliwar-sliwer di depan mata kita tanpa perlu menggunakan ilmu sakti untuk bisa melihat mereka. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan bumi ini, jika makhluk gaib bisa hidup bebas di alam manusia. Maka yang terjadilah adalah ... Kekacauan
besar!” jawab Panembahan Wicaksono Aji dengan panjang lebar.
Semua khalayak terhenyak!
Tidak pernah dibayangkan dalam pikiran mereka, bahwa akan muncul kejadian mengerikan seperti itu. Sulit sekali mencerna keterangan yang diberikan oleh Panembahan Wicaksono Aji, namun melihat kenyataan yang terjadi saat ini, mau tidak mau mereka harus percaya juga. Jika hanya mengatasi setan berwujud manusia akibat tertempel rajah setan bertanduk saja sudah harus memeras tenaga yang begitu besar, bagaimana jika yang harus dihadapi adalah biang keroknya?
Sungguh sulit dibayangkan akibatnya!
“Jadi ... cucuku dalam bahaya, Paman Panembahan?” tanya Juragan Padmanaba. “Tidak!”
“Tidak?”
“Ya! Sebab jika memang benar bahwa Mutiara Langit Merah sudah memilih tuannya, siapa pun dia, tak peduli dia demit, siluman atau iblis sekali pun tidak akan bisa mengambil mutiara langit, kecuali ... “
“Kecuali apa?”