• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II kajian pustaka berisi penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III metodologi penelitian berisi jenis penelitian, data dan sumber penelitian, metode pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan triangulasi data.

Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan penanda dan fungsi fatis antarpenutur dalam Acara Mata Najwa Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018. Bab V berisi kesimpulan dan saran.

9

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

Bab ini akan menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena-fenomena pragmatik, kefatian sebagai fenomena pragmatik, fungsi fatis, dan uraian tentang konteks.

2.1 Penelitian yang Relevan

Fatis dalam kajian ilmu pragmatik saat ini belum banyak dikaji oleh peneliti. Penelitian tentang fatis dalam acara Mata Najwa sejauh yang diketahui oleh peneliti belum pernah dilakukan. Namun, untuk mendukung proses pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan, terdapat dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Angela Yohana Mentari Adistin (2016) dan Dewi Yulianti (2016).

Penelitian Angela Yohana Mentari Adistin (2016) berjudul Basa-Basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga Pendidik di Desa Junggul, Bandungan, Jawa Tengah. Dalam penelitian tersebut, terdapat dua rumusan masalah yang dikaji oleh peneliti, yaitu apa saja wujud basa basi dalam berbahasa antaranggota keluarga pendidik di Desa Junggul, Bandungan dan apa saja maksud basa-basi dalam berbahasa antaranggota keluarga pendidik di Desa Junggul, Bandungan.

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian tersebut, peneliti menemukan delapan

wujud Basa-basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga Pendidik di Desa Junggul, Bandungan, Jawa Tengah yang ditinjau dari kategori acknowledgement.

Terdiri dari delapan subkategori. Kedelapan subkategori tuturan basa-basi tersebut adalah salam, terima kasih, meminta atau mengundang, menerima, menyatakan, mengucapkan selamat, menolak, dan simpati atau empati.

Penelitian Dewi Yulianti (2016) berjudul Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut terdapat dua rumusan masalah yang dikaji oleh peneliti, yaitu apa sajakah wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi penddidikan akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan apa sajakah maksud pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi pendidikan akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian tersebut, peneliti menemukan enam wujud Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang ditinjau dari kategori acknowledgement. Terdiri dari enam subkategori. Keenam subkategori tuturan basa-basi tersebut adalah memberi salam, terima kasih, mengundang, menerima, menyatakan, dan menolak.

Dari kedua penelitian yang relevan tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Persamaan

dengan penelitian-penelitian yang relevan terletak pada objek yang sama yaitu fatis dalam berbahasa. Namun, terdapat perbedaan dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumya. Perbedaan ini yakni terletak pada subjek penelitian.

Penelitian yang berjudul “Fungsi Fatis dalam Komunikasi Antarpenutur pada Acara “Mata Najwa” Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018”.

menggunakan subjek acara Mata Najwa Stasiun Televisi Trans 7 Edisi September-Desember 2018. Hal ini yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori ini berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini, yang terdiri atas teori pragmatik, lingkup pragmatik, fenomena pragmatik, kefatisan sebagai fenomena pragmatik, dan konteks.

2.2.1 Pragmatik

Leech (1993:8) mengemukakan bahwa pragmatik sebagai studi meneliti makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations).

Pragmatik meneliti mengenai makna tuturan yang dikehendaki oleh penutur dengan menurut konteksnya. Konteks dalam hal ini berfungsi sebagai dasar pertimbangan dalam mendeskripsikan makna tuturan dalam rangka penggunaan bahasa dalam komunikasi. Aspek- aspek situasi ujar sendiri menurut Leech (1993:

19-21) mencakup beberapa aspek, yaitu: (1) penutur (yang menyapa atau penyapa) dan lawan tutur (yang disapa atau pesapa), (2) konteks tuturan, sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan

lawan tutur, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai aktifitas atau kegiatan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Penggunaan bahasa pada hakikatnya sebagai proses menyampaikan pesan atau gagasan kepada pendengar yang mengandung makna. Dari definisi Leech, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatik sebagai alat untuk menguji makna tuturan yang dikehendaki dengan menurut konteksnya. Untuk menguji makna tuturan tersebut dapat menggunakan beberapa aspek situasi yang ada.

Yule (1993:3) menjabarkan pragmatik dengan empat definisi, (1) yaitu pragmatik adalah ilmu yang mengkaji maksud penutur; (2) yaitu pragmatik mengkaji makna menurut konteksnya; (3) yaitu pragmatik tentang bagaimana apa yang disampaikan itu lebih banyak dari yang dituturkan; (4) yaitu pragmatik merupakan bidang yang mengkaji bentuk ungkapan menurut jarak hubungan.

Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik, mengkhususkan pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Berkaitan dengan itu, Mey (dalam Rahardi, 2003:12) mendefinisikan pragmatik bahwa “pragmatics is the study of the conditions of human language uses as there determined by the context of society”, ‘pragmatik adalah studi mengenai kondisi-kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakat’. Dari definisi Yule dan Mey, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatic merupakan salah satu contoh dari bidang ilmu linguistic dengan mengkaji pada hubungan antara penggunaan bahasa dan konteks.

Levinson (dalam Rahardi, 2003:12) berpendapat bahwa pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan

konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkodifikasikan sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya.

Rahardi (2005:49) mengemukakan, “Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu”.

Konteks yang dimaksud mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal (societal context) adalah konteks konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dapat dikatakan bahwa dasar dari munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (solidarity). Dari defenisi Levinson dan Rahardi, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks sebagai pedoman tuturan.

Dari definisi berbagai ahli, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pragmatik merupakan unsur bahasa yang mempelajari hubungan antar bahasa dengan konteks tuturan yang terjadi sehingga mitra tutur dapat memahami maksud yang sebenarnya.

2.2.2 Fenomena-fenomena Pragmatik

Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa, pragmatik, memiliki bidang telaah tertentu. Ada tujuh kajian pragmatik yang akan peneliti jadikan landasan teori, yaitu deiksis, pranggapan, tindak tutur, implikatur percakapan, kesantunan berbahasa, ketidaksantunan berbahasa, dan kefatisan. Berikut ini penjelasan mengenai fenomena pragmatik. Deiksis merupakan gejala semantik yang terdapat pada kata, frase atau ungkapan yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi dan merujuk pada sesuatu di luar bahasa. Selain itu, deiksis adalah cara menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Praanggapan merupakan anggapan awal yang berfungsi membantu pembicara sebelum melakukan tuturan, dan tuturan yang telah disampaikan dapat dipahami oleh mitra tutur. Makin tepat praanggapan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan.

Tindak tutur merupakan tindakan dan ujaran yang digunakan oleh penutur kepada mitra tutur untuk menyampaikan makna dan maksud tertentu. Implikatur pecakapan merupakan segala sesuatu yang tersembunyi di balik pengguna bahasa secara aktual, benar, dan sesungguhnya. Implikatur sendiri merupakan masalah makna tuturan yang tidak akan terlepas dari konteks, baik konteks situasi yang berkaitan dengan peserta komunikasi, latar waktu tempat, saluran komunikasi, tujuan, maupun berkaitan dengan konteks kebudayaan terkait dengan aturan atau norma sosial dengan masyarakat. Kesantunan berbahasa merupakan suatu tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam situasi dan kondisi tertentu dengan menjaga perasaan mitra tutur agar tidak menyinggung perasaannya.

Ketidaksantunan berbahasa merupakan suatu tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur yang bersifat menyinggung perasaan mitra tutur sehingga dapat mendatangkan konflik maupun kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur.

2.2.3 Kefatisan Sebagai Fenomena Pragmatik

Fatis secara etimologi berasal dari bahasa yunani phatos, bentuk verba dari ins phatai “Berbicara” (Yusra dkk, 2012:504). Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) memberikan peran mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Malinowski (1993:315) dalam tesis Waridin (2008:13) mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a more exchange of word.” Phatic communion mempunyai fungsi sosial. Phatic communion digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antar peserta komunikasi.

Dalam Kamus Linguistik tuturan fatik adalah la fonction du langage par laquelle l’acte de communication a pour fin d’assurer ou de maintenir le contact entre le locuteur et le destinataire. Des mots comme “allô” ou “vous m’entendez”

utilisés au téléphone relèvent essentielement de la fonction phatique. (Dubois 2001:232) “ Fungsi bahasa yang merupakan komunikasi untuk menguatkan atau menjaga kontak antara petutur dengan penerima pesan. Kata-kata seperti “Allo”

atau “Anda mendengarkan saya ?” melalui telepon, intinya untuk menjalin hubungan adalah fungsi fatik. Selain itu, Dabala (2012:137) menyatakan tentang fatis adalah ucapan yang dapat kita tunjukkan dalam arah yang benar: itu adalah

tugas sosial, yang bertujuan untuk membangun kontak, komunikasi antara pembicara dan penerima.

Dari pendapat para ahli, peneliti dapat menyipulkan bahwa fatis merupakan tuturan, ungkapan yang berfungsi untuk memulai, mempertahankan, dan mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan lawan bicara. Selain itu, fatis juga sebagai pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak.

2.2.3.1 Penanda Fatis

Tuturan fatis diindikasikan dengan adanya penanda fatis. Penanda fatis merupakan hal yang penting karena merupakan indikator untuk menandakan adanya tuturan fatis atau tidak dalam tuturan tersebut. The evolution of pois from a preposition to a phatic marker leads one to think about the origin of such marker.

One of these is this: if , as seems to be the case, phatic markers are units with regular phonological structure (with the possible exception of hm and similiar forms). But the other words that may have a very close use to that of phatic marker, like Portuguese certo ("right") and Am. English sure, can also be looked upon as being the output of a change whose input were adverbs, adjectives, or more complex structures which include these categories. Beside these, another category that might be at the origin of phatic markers is that of pronouns. (De Lima, 2002:375) “Evolusi pois dari preposisi ke penanda fatis membuat orang berpikir tentang asal usul penanda tersebut. Salah satunya adalah ini: jika, seperti yang tampaknya terjadi, penanda fatis adalah satuan dengan struktur fonologis teratur (dengan kemungkinan pengecualian bentuk hm dan serupa). Kata-kata lain

yang mungkin memiliki penggunaan yang sangat dekat dengan penanda fatis, seperti Portugis ("benar") dan Am. Bahasa Inggris tentu, dapat juga dipandang sebagai output dari perubahan yang inputnya adalah kata keterangan, kata sifat, atau struktur yang lebih kompleks yang termasuk kategori ini. Selain ini, kategori lain yang mungkin menjadi asal dari penanda fatis adalah kata ganti.

Berdasarkan pendapat ahli, peneliti dapat memberi kesimpulan mengenai penanda fatis. Penanda fatis merupakan indikator satuan kata yang merupakan kata keterangan, kata sifat, kata ganti ataupun struktur kata yang lebih kompleks untuk menandakan ada atau tidaknya tuturan fatis pada sebuah tuturan.

2.2.3.2 Fungsi Fatis

Menurut Jacobson dan Hymes dalam Cook (1989:26), fungsi fatis adalah membuka saluran komunikasi dan memeriksa apakah itu berfungsi lebih baik, alasan sosial, pembentukan dan pemeliharaan kontak, juga menjaga kohesi dalam kelompok sosial.

Menurut Rahardi dan Setyaningsih (2017:187), dalam studi pragmatik, dimensi wujud tidak pernah dapat dipisahkan dari dimensi maksud dan makna pragmatik. Demikian sebaliknya, dimensi maksud atau makna pragmatik itu sama sekali tidak dapat dilepaskan dari dimensi wujud. Kefatisan berbahasa dalam ranah pendidikan itu dapat dikategorikan dimensi wujud dan maksudnya sebagai berikut:

1. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Sapaan

Manusia sebagai makhluk sosial hidup bersama dengan manusia lain.

Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa adanya manusia lain dihidupnya.

Dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan bermasyarakat, sebagai makhluk sosial, manusia harus saling berkomunikasi untuk menciptakan hubungan yang baik dan menjaga sebuah hubungan hidup bermasyarakat.

Maka dari itu, memberi kata sapaan sebagai bentuk interaksi dengan dunia luar sangat penting dilakukan. Seperti “halo”, “hai”, “apa kabar?”, dan sebagainya sebagai bentuk awal sapaan kepada orang lain. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi sapaan terdapat pada kalimat di bawah ini.

P : “Hai. Apa kabar kamu? Kamu mau misa atau sudah selesai misa?”

MT : “Kabar aku baik, mas. Sudah selesai misa, mas.”

Konteks tuturan tersebut adalah tuturan yang disampaikan pada hari Rabu, 14 Februari 2018. Situasi tuturan tersebut terjadi di sebuah gereja di Yogyakarta. Penutur adalah seorang laki-laki berusia 26 tahun dan mita tutur adalah seorang wanita berusia 20 tahun. Suasana tuturan terjadi di malam hari dan cenderung santai karena tuturan tersebut terjadi setelah selesai misa Rabu Abu berlangung. Komunikasi berlangsung saat penutur tidak sengaja bertemu dengan mitra tutur di halaman gereja dan ditanggapi oleh mitra tutur.

2. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Kesopanan

Berperilaku sopan di kehiduapan sehar-hari itu penting. Berperilaku sopan berfungsi untuk menghormati dan menghargai setiap orang.

Kelangsungan proses komunikasi dan interaksi antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat terjadi hanya kalau kedua belah pihak dapat

saling menjaga sopan santun. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi sapaan tertera pada kalimat di bawah ini.

P : “Permisi Pak, saya ingin mengambil barang saya yang tertinggal tadi.”

MT : “Silahkan, mbak”

Konteks tuturan disampaikan oleh penutur yang berusia 19 tahun dan berjenis kelamin perempuan kepada mitra tutur yang berusia 50 tahun berjenis kelamin laki-laki. Situasi tuturan terjadi di pos satpam di sebuah sekolah. Komunikasi berlangsung saat penutur tertinggal barangnya dan hendak mengambilnya.

3. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Kekecewaan

Setiap manusia, pasti pernah mengalami rasa kecewa. Ada yang bisa menutupi rasa kecewanya dan ada yang tidak bisa menutupi rasa kecewa tersebut. Seseorang yang mengalami kekecewaan yang besar dan mendalam cenderung tidak bisa menutupi rasa kecewanya, untuk mengungkapkannya tidak lagi melalui tuturan, melainkan tindakan.

Sementara, ada orang yang bisa menutup rasa kecewanya agar tetap dapat berinteraksi dengan masyarakat. Orang tersebut menggunakan tuturan yang sopan agar penutur bisa menutupi rasa kekecewaannya, seperti “iya, tidak apa-apa.”, “Oh. Oke.”, “ya sudah”, dan sebagainya sebagai bentuk tuturan untuk menutupi rasa kecewanya. Fungsi fatis kekecewaan terletak pada kalimat di bawah ini.

P : “Brietta, kenapa kamu berbohong kepadaku?”

MT : “Maaf Aidan, aku belum bisa memberitahu alasannya kepadamu. Aku belum siap”

P : “Oh. Oke. Tidak apa-apa.”

Konteks tuturan tersebut disampaikan oleh seorang laki-laki berusia 22 tahun untuk menanyakan mengapa mitra tutur berbohong kepada penutur. Mitra tutur adalah seorang perempuan berusia 21 tahun.

Mitra tutur tidak memberikan alasan kepada penutur mengenai mengapa ia berbohong, karena mitra tutur belum siap untuk memberikan alasan sehingga membuat penutur kecewa.

4. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Ucapan Terima Kasih

Dalam kehidupan bersosial, ada tiga kata utama yang harus diucapkan sesama makhluk sosial, yaitu maaf, tolong, dan terima kasih.

Menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang lain adalah kebiasaan bertutur sapa yang sangat baik dalam masyarakat berbudaya yang akan dapat menguatkan dan mengukuhkan komunikasi dan interaksi serta menghargai sesama. Fungsi fatis ucapan terima kasih terdapat pada kalimat di bawah ini.

P : “Mas, tadi aku menaruh sesuatu di motormu.”

MT : “Wah! Apa itu?”

P : “Hadiah ulangtahunmu, mas.”

MT : “Wah! Terima kasih ya.”

Konteks tuturan disampaikan pada hari Rabu, 5 Desember 2018.

Penutur adalah perempuan berusia 21 tahun dan mitra tutur adalah laki-laki berusia 35 tahun. Tujuan tuturan tersebut ingin memberitahukan kepada mitra tutur, bahwa penutur meletakkan hadiah ulangtahun di motor mitra tutur.

5. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Bercanda

Kebiasaan bercanda dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu hal yang penting, karena dengan bercanda, seseorang akan lebih merasa senang dan sejenak melupakan beban yang ada di dalam diri mereka.

Kebiasaan bercanda atau bergurau alias berhumor ria merupakan ciri khas dari warga masyarakat yang sangat berbudaya. Canda atau gurauan sangat bermanfaat untuk menjadikan hubungan antara penutur dan mitra tutur semakin erat. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi bercanda tertera pada kalimat di bawah ini.

P : “Dik Charlie! Hewan, hewan apa yang Cuma dua huruf penulisannya?”

MT : “Apa ya? Nyerah deh!”

P : “Jawabannya adalah.... u dan g! Hahaha

Konteks tuturan disampaikan pada bulan Maret 2005. Tuturan disampaikan kepada anak-anak yang hadir dalam pesta ulangtahun temannya. Penutur adalah laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun. Penutur merupakan seorang badut yang bertugas untuk membuat anak-anak dalam acara tersebut tertawa, gembira, dan senang. Sementara, mitra tutur adalah seorang anak laki-laki berusia 5 tahun yang berusaha untuk menjawab tapi tidak mengetahui jawaban dari teka-teki yang diberikan oleh penutur.

6. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Pujian

Memberikan pujian kepada orang lain atau kepada apapun merupakan tindakan yang baik. Memberikan pujian merupakan tindakan untuk memberikan apresiasi kepada orang atau apapun itu (karya seni, pertunjukkan drama, pertunjukkan musik, dan sebagainya). Orang yang

menerima pujian akan merasa senang dan mempunyai kepercayaan diri untuk terus berbuat baik. Fungsi fatis pujian tertulispada kalimat di bawah ini.

P : “Mas, bagaimana pertunjukkan drama musikalnya?”

MT : “Waah bagus! Selamat ya buat PBSI.

P : “Terima kasih, mas!”

MT : “Aku suka pewayangan. Semuanya bagus. Besok tahun depan drama musikalnya buat Perang Baratayuda ya! Pasti bisa bagus seperti sekarang!”

Konteks tuturan tersebut disampaikan pada hari Rabu, 8 November 2017 ketika selesai acara Drama Musikal Angsoka dalam memperingati Dies Natalis PBSI. Penutur adalah seorang mahasiswi PBSI yang berusia 19 tahun dan menjadi panitia pada acara tersebut. Sementara, mitra tutur adalah seorang dosen Pendidikan Bahasa Inggris berjenis kelamin laki-laki berusia 33 tahun. Tujuan penutur menanyakan hal tesebut karena menjadi tugas panitia agar kedepannya bisa lebih baik lagi dan menampung ide-ide baru.

7. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Permohonan Maaf

Dalam kehidupan bersosial, ada tiga kata utama yang harus diucapkan sesama makhluk sosial, yaitu maaf, tolong, dan terima kasih. Permohonan maaf terjadi ketika seseorang mempunyai kesalahan kepada orang lain, permohonan maaf ketika belum memahami bahan pembicaraan, permohonan maaf ketika seseorang tidak dapat menghadiri suatu acara ataupun tidak bisa menepati janji yang sudah disepakati. Permohonan maaf kerap kali susah diucaapkan. Ada banyak faktor yang membuat seseorang susah untuk melakukan permohonan maaf. Orang yang sudah

berusia dewasa pasti dapat membedakan dengan jelas, apakah permohonan maaf yang disampaikan seseorang sungguh-sungguh merupakan ungkapan kefatisan ataukah hanya ungkapan kepalsuan. Tindakan memohon maaf dapat juga disampaikan karena orang tersebut terpaksa untuk melakukannya. Fungsi fatis yang menunjukkan fungsi permohonan maaf ada pada kalimat di bawah ini.

P : “Vinsya, besok jadi ikut ke pantai?”

MT : “Maaf, aku tidak jadi ikut. Ada acara keluarga.”

Konteks tuturan disampaikan pada bulan Juli 2014. Penutur adalah perempuan berusia 17 tahun. Sementara mitra tutur adalah perempuan berusia 16 tahun. Penutur mengajak mitra tutur untuk bermain di pantai, tetapi mitra tutur menolak karena ada acara keluarga dan mitra tutur sudah meminta maaf karena tidak bisa pergi ke pantai bersama penutur.

8. Kefatisan Berbahasa dengan Fungsi Penolakan

Adakalanya seseorang menolak melakukan sesuatu ketika oleh seseorang untuk melakukan sesuatu. Ada berbagai macam alasan kenapa seseorang itu menolak. Demikian pula kadang-kadang orang enggan untuk melakukan sesuatu ketika diminta seseorang untuk menyampaikan sesuatu. Penolakan kadang kala disampaikan secara langsung, tetapi sangat sering penolakan itu disampaikan dengan menggunakan startegi ketidaklangsungan agar tidak terjadi kesalahpahaman, dalam kaitan

Adakalanya seseorang menolak melakukan sesuatu ketika oleh seseorang untuk melakukan sesuatu. Ada berbagai macam alasan kenapa seseorang itu menolak. Demikian pula kadang-kadang orang enggan untuk melakukan sesuatu ketika diminta seseorang untuk menyampaikan sesuatu. Penolakan kadang kala disampaikan secara langsung, tetapi sangat sering penolakan itu disampaikan dengan menggunakan startegi ketidaklangsungan agar tidak terjadi kesalahpahaman, dalam kaitan