• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Diterbitkan dua kali dalam setahun pada bulan Mei dan Nopember menurut artikel hasil penelitian

dan kajian analitis kritis bidang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Ketua Penyunting: Wahyu

Penyunting Pelaksana:

Sarbaini, Harpani Matnuh, Fatimah, Acep Supriadi, Zainul Akhyar, Rabiatul Adawiah Dian Agus Ruchliyadi, Mariatul Kiptiah

Penelaah (Mitra Bestari)

Dasim Budimansyah (Universitas pendidikan Indonesia Bandung); Eddy Lion (Universitas Negeri Palangkaraya); Sapriya (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung); M. Hadin Muhjad

(Universitas Lambung Mangkurat); Hardoko (Universitas Mulawarman)

Pembantu Tata Laksana: Muhammad Elmy

Suroto Muhamad Algiferi

Rezky Fadillah

Alamat Penyunting :

Gedung FKIP Unlam Jln. Brigjen H. Hasan Basri Telp. (0511-3302634) Banjarmasin Email: jurpkn@yahoo.com, sarbainiunlambjm2@gmail.com. Hp. 081351151914

Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan diterbitkan oleh

Kerjasama Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FKIP Unlam dan Asosiasi Sarjana dan Dosen PPKn Kalimantan Selatan

Ketua Program Studi PPKn: Fatimah, Sekretaris: Dian Agus Ruchliadi. Terbit pertama kali bulan Mei tahun 2011

Penyunting menerima sumbangan naskah yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat-syarat, format dan aturan tata tulis artikel dapat dibaca pada Petunjuk Bagi Penulis di sampul belakang dalam jurnal ini. Naskah yang masuk ditelaah oleh penyunting dan Mitra Bestari untuk

(2)

Kami Mengucapkan terima kasih kepada Penelaah (Mitra Bestari) yang telah banyak membantu pada penerbitan ini, yaitu:

Dasim Budimansyah (Universitas pendidikan Indonesia Bandung) Eddy Lion (Universitas Negeri Palangkaraya)

Sapriya (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung) M. Hadin Muhjad (Universitas Lambung Mangkurat)

(3)

Peran DPD dalam Penyerapan Aspirasi Masyarakat di Daerah

Harpani Matnuh, Program Studi PPKn FKIP Universitas Lambung Mangkurat 289-294

Analisis Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Negara Hukum Indonesia

Suryaningsi, Program Studi PPKnFKIP Universitas Mulawarman 295-305

Socio-Economic Conditions and Cultural Communities Around the Area PT. Mahakarya Perdana Gemilang in the District Kutai Kartanegara of Province East Kalimantan

Warman, Program Studi PPKn FKIP Universitas Mulawarman 306-313

Kinerja Guru PKn dalam Penanaman Nilai-nilai Karakter pada Siswa di SMK Bina Banua Banjarmasin

Faridah, Zainul Akhyar, dan Mariatul Kiftiah, Program Studi PPKn FKIP

Universitas Lambung Mangkurat 314-319

Kepatuhan Siswa Kelas X dalam Melaksanakan Peraturan Sekolah di SMK Muhammadiyah 3 Banjarmasin

Normasari, Sarbaini, dan Rabiatul Adawiyah, Program Studi PPKn FKIP

Universitas Lambung Mangkurat 320-327

Pembelajaran Kooperatif Tipe Picture and Picture dalam Pembelajaran PKn Pokok Bahasan Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Guna Meningkatkan Hasil Belajar di Kelas XII IPS SMA PGRI 7 Banjarmasin

Nurdiansyah, Sarbaini, dan Mariatul Kiftiah, Program Studi PPKn FKIP

Universitas Lambung Mangkurat 328-334

Internalisasi Pendidikan Karakter dengan Sarana Kelompok Studi Islam di SMA Negeri 5 Banjarmasin

Alya Abyakamali, Wahyu, dan Harpani Matnuh, Program Studi PPKn FKIP

Universitas Lambung Mangkurat 335-344

Pembentukan Karakter Iman dan Taqwa Siswa melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Ikatan Remaja Muslim di SMA Negeri 6 Banjarmasin

Chairunnisa, Wahyu, dan Dian Agus Rucliyadi, Program Studi PPKn FKIP

(4)

Hubungan Kompetensi Kepribadian Guru PKn dengan Sikap Demokratis Peserta Didik di SMK Negeri I Banjarmasin

Eka Aprilliyanti, Wahyu, dan Rabiatul Adawiyah, Program Studi PPKn FKIP

Universitas Lambung Mangkurat 354-364

Meningkatkan Aktifitas dan Hasil Belajar Materi Proklamasi dan Konstitusi Pertama dalam Pembelajaran PKn melalui Model Example Non Example

di Kelas VII-B SMP Negeri 2 Tanjung

Eka Sastia Emilia, Wahyu, dan Mariatul Kiftiah, Program Studi PPKn FKIP

Universitas Lambung Mangkurat 356-373

Penerapan Sistem Poin dalam Pembentukan Karakter Berbasis Disiplin pada Siswa SMA Negeri 3 Banjarbaru

Elliyana Sari, Wahyu, dan Harpani Matnuh, Program Studi PPKn FKIP

(5)

PERAN DPD DALAM PENYERAPAN

ASPIRASI MASYARAKAT DI DAERAH

Harpani Matnuh

Program Studi PPKn FKIP Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT

The proses of formulation of the Regional Representatives Council in the 1945 amandement is a banttle between the various ideas and interests. The concept is a “half-hearted compromise” between bicameralism and unicameralisme. Restrikcted the outheority of this Council is teh result of a compromise of Ideas aabout stron g becameralism and approve the DPD with unicameralism. The limitation need more creativity by building offices in the local area to capture the aspirations and information et the regional level, to process, communicate, and sistematisation, and set it up as on ingredient and the formulation of policies that will be distributed and championed by DPD at the center.

Keywords: Regionnal Representatives Council, creativity

A. PENDAHULUAN

Perubahan UUD 1945, menjadikan terjadinya perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan menuju terciptanya sistem demokratisasi pemerintahan dan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat ke daerah dalam bentuk otonomi daerah dan cheek and bal-ance dalam sistem pemerintahan. Sistem pengaturan ketatanegaraan disusun secara normatif telah mengalami terjadinya pergeseran dan konstraksi pada teteran implementasinya. Salah satu perubahan adalah lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga tersendiri yang memberikan ruang kepada daerah untuk ikut serta menentukan kebijakan nasional yang menyangkut masalah daerah.

Keberadaan DPD sebagai lembaga yang independen sangat memungkinkan dapat memper-juangkan kepentingan rakyat secara sungguh-sungguh dibandingkan dengan kedudukan DPR yang merupa-kan wakil rakyat yang berasal dari Partai Politik dan sudah barang tentu lebih terikat pada kebijakan partai.

Proses lahirnya DPD sebagai pengganti Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam perubahan UUD 1945 mencapai kata sepakat pada perubahan kelima, hal ini menunjukkan bahwa kelahiran DPD merupakan pergulatan antara berbagai ide dan kepentingan atau hanya sebuah kompromi setengah hati. Demikian juga halnya dengan kewenangan yang diberikan kepada DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam menyerap dan mewujudkan aspirasi masyarakat, dilihat dari aspek hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masih lemah seperti tergambar sebagai berikut:

(6)

KEWENANGAN DPD

Terbentuknya DPD pada saat terjadinya perubahan UUD 1945, tidak bisa terlepas dari ber-bagai peristiwa dan tuntutan rakyat atas kekece-waannya pada pemerintahan Orde Baru yang cenderung menjalankan kekuasaan dengan sistem sentralisasi telah menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan antara pemerintah pusat dan pemerintah darah sehingga menimbulkan konflik vertikal dan menuntut untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Isu ini selanjutnya bergeser pada wacana pembentukan negara federal dan berakhir dengan adanya pemberian otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab melalui perubahan UUD 1945 dan UU No.22 Tahun 1999. Masalah ini secara for-mal juga diakui dalam Ketetapan MPR No.V/MPR/ 200 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan. Salah satu masalah yang diidentifikasi pada angka 8 pada Ketetapan itu adalah: “Berlangsungnya pemerintahan yang telah mengabaikan proses demo-krasi menyebabkan rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya sehingga terjadi gejolak politik yang bermuara pada gerakan reformasi yang menuntut kebebasan, kesetaraan dan keadilan”.

Pada bagian lain terbentuknya DPD, merupakan integrasi nasional untuk memberikan ruang kepada daerah ikut serta menentukan kebijakan nasional yang menyangkut masalah daerah melalui Utusan Daerah yang disempurnakan menjadi lembaga tersendiri. Dengan demikian keberadaan DPD merupakan bagian dari upaya institusional representasi teritorial keterwakilan daaerah.

Gagasan untuk dapat mencapai tujuan dibentuknya DPD serta dalam rangka meningkatkan kedudukan, fungsi dan wewenang DPD sebagai wakil rakyat daerah di tingkat pusat baik sebagai penyam-bung aspirasi rakyat maupun sebagai lembaga penyeimbang DPR yang sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu legislatif, perlu dukungan publik dengan argumentasi yang kuat melalui berbagai media publik seperti; dengar pendapat, diskusi publik dan implementasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegera.

B. PEMBAHASAN

1. Konstruksi Pembentukan DPD

Tujuan terbentuknya DPD dalam perubahan UUD 1945, dapat dimaknai sebagai perpaduan dari dua gagasan yaitu; demokratisasi dan upaya mengakomo-dasi kepentingan daerah demi terjadanya integrasi nasional.

Sri Sumantri Martosoewingjo dan Mochamad Isnaeni Ramdhan yang menyatakan bahwa pembentukan DPD tidak terlepas dari dua hal, yaitu: pertama, adanya tuntutan demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat pemilih. Keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam komposisi MPR digantikan dengan keberadaan DPD. Kedua, Karena adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak dikendalikan dengan baik akan berujung pada tuntutan separitisme. DPD dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah

(7)

Salah seorang Anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR,I Dewa Gede Palguna, menyatakan bahwa:

“Pembentukan DPD dengan sejumlah wewenang yang diberikan kepadanya, adalah sebagai upaya konstitusional untuk memberi saluran sekaligus peran kepada daerah-daerah untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan daerah. Asumsinya adalah, jika daerah-daerah telah merasa diperha-tikan dan diperankan dalam pengambilan keputusan politik penting dalam menyangkut kepentingannya, maka alasan untuk memisahkan diri itu akan kehilangan argumentasi rasional.”

2. Bikameral dengan Problem Kewenangan.

Pada awal timbulnya konsep terbentunya DPD sebagai anggota MPR bersama DPR yang dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu legislatif, para kalangan akademisi dan politisi akan mengarahkan pikirannya akan terbentuknya struktur parlemen terdiri atas dua kamar yang memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dan seimbang, seperti halnya bikameralisme di Amerika Serikat. Secara teoritis dan yuridis pembentukan sistem bikameral dalam sistem pemerintahan di Indonesia dapat dilaksanakan. Arend Lijphart menyatakan.

“The pure majoritarian model calls for the

con-centration of legislative power in single chamber is characterized by a bicameral legislature in which power is divided equally between two differently constuted chambers.”

Lijphart, mengemukakan bahwa berdasarkan pada model demokrasi di Indonesia adalah consen-sus model. Oleh karena itu secara teoritis selayaknya Indonesia menganut sistem parlemen bikameral, bahkan strong bicameralism. Jika Indonesia adalah negara pure consensus model democracy.

Jimly Asshiddiqie, dalam makalahnya yang disampaikan dalam Seminar tentang Bikameralisme tanggal 12 Juni 2001 di Medan, mengemukakan konsep DPD sebagai berikut:

a. “Adanya gagasan pembentukan DPD nantinya parlemen Indonesia terdiri dari dua kamar yaitu DPR dan DPD. Jika kamarnya dua, maka rumahnya tetap satu. MPR masih bisa dipertahan-kan namanya, tetapi kedududipertahan-kannya tidak lagi sebagai lembaga tertinggi seperti selama ini.

Ketentuan tentang kekuasaan legislatif dalam perubahan UUD 1945 dapat dirumuskan: Kekuasaan legislatif dilakukan oleh MPR yang tterdiri atas DPR dan DPD”.

b. Anggota DPD mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan dengan orientasi kepentingan daerah. Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem distrik murni, yaitu dengan cara memilih tokoh yang dikenal di daerah yang bersangkutan berdasarkan perhitungan “the winner takes all”. Sedangkan anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem proporsional yang memang berguna dalam memperkuat kelembagaan seperti partai politik yang bersifat nasional.

c. Pada prinsipnya baik DPR maupun DPD dan anggotanya mempunyai fungsi, tugas, dan hak yang sama. Tetapi khusus untuk tugas penentuan pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, sebaiknya diberikan kepada DPR saja.

d. Khusus mengenai tugas meminta pertanggung-jawaban terhadap pemerintah (impeachment), tugas penuntutannya hanya diberikan kepada DPR. Sedangkan DPD akan ikut menentukan vonisnya dalam persidangan MPR.

e. Khusus untuk menjamin perlindungan terhadap hak dan kekayaan masyarakat dari pembebanan yang dilakukan oleh negara, tugas utama sebaiknya diberikan kepada DPD, karena DPD lah yang mewakili rakyat di daerah-daearah yang dianggap akan paling menderita akibat beban yang memberatkan dibuat pemerintah. Meskipun tugas pengawasan dapat dilakukan oleh DPR dan DPD di semua bidang, namun dapat ditentukan bahwa yang diawasi oleh DPD hanyalah pelaksanaan UUD dan UU sejauh yang berkenaan dengan urusan-urusan yang berkaitaan langsung dengan kepentingan daerah dan rakyat di daerah.

f. DPD dan DPR memiliki fungsi legislatif yang meliputi kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Hal yang dapat dibedakan adalah bidang yang diatur dalam undang-undang itu. Namun hal ini masih memungkinkan munculnya perebutan pembahasan antara DPR dan DPD. Hal tersebut kemudian berkembang pendapat agar tidak ada pembagian bidang, asalkan Sekretaris Jenderal DPR dan DPD menjadi satu

(8)

yang terdiri dari anggota DPD dan DPR ditambah para ahli dari luar.

g. Jika Presiden berinisiatif mengajukan RUU, maka Badan Legislasi yang menentukan apakah pembahasannya dilakukan oleh DPR atau DPD, Jika inisiatif datang dari DPR atau DPD, maka lembaga yang membahasnya. Hal ini harus diikuti dengan mekanisme Checks and balances di antara kedua kamar serta Presiden, yaitu mengatur adanya hak veto di antara mereka.

h. Jika suatu RUU telah disetujui dan disahkan oleh satu kamar, dalam waktu 30 hari mendapat penolakan dari kamar lainnya, maka RUU itu harus dibahas lagi oleh kamar yang membahasnya untuk mendapat persetujuan suara lebih banyak, yaitu ditentukan harus di attas 2/3 X 2/3 jumlah anggota (overwite).

i. Jika suatu RUU sudah disetujui oleh dua lembaga, tetapi diveto oleh Presiden, maka putusan penyele-saiannya harus diambil dalam sidang MPR yang terdiri dari DPR dan DPD dengan dukungan 2/3 X 2/3. Khusus mengenai penetapan dan perubahan UUD, dapat ditentukan harus diputuskan dalam sidang MPR atas usul DPR atau DPD.

Ahli hukum lain yang mengemukakan konsep DPD adalah seorang Guru Besar Hukum Tata Negara Uni-versitas Pajajaran Bandung, Bagir Manan antara lain: a. DPR dan DPD baik secara sendiri-sendiri maupun

bersama-sama berhak: (1) mengajukan rancangan undang-undang (2) meminta keterangan (inter-plasi),

b. RUU yang sudah disetujui DPR tetapi ditolak DPD dapat disahkan sebagai UU, apabila disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR, kecuali RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. c. RUU disetujui DPD tetapi ditolak DPR harus

dianggap ditolak dan tidak dapat dimajukan dalam masa sidang yang bersangkutan

d. DPD memberikan persetujuan atas calon-calon yang akan diangkat dalam jabatan negara atau pemerintahan menurut ketentuan undang-undang. e. DPD dan DPR dapat melaksanakan sidang bersama

mengenai hal-hal tertentu yang ditetapkan UU atau kesepakatan bersama dan rapat dapat dipimpin bersama oleh pimpinan DPR dan DPD.

f. Sidang yang berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden, dilakukan menurut tata cara peradilan, DPR sebagai penuntut, DPD selaku pemutus.

Proses perumusan DPD memang dipenuhi oleh terjadinya tarik-menarik antara berbagai gagasan. Rumusan-rumusan yang tercapai dapat dikatakan sebagai kompromi setengah hati antara bikameralisme dan unikameralisme.

Perumusan kewenangan DPD yang merupakan hasil kompromi dari beberapa pendapat tertuang dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. DPD memiliki tiga fungsi tetapi terbatas bersifat konsultatif dan subordinat terhadap fungsi yang sama yang dilakukan oleh DPR. Semua fungsi yang dimiliki DPD berakhir dan bermuara pada DPR. Fungsi-fungsi DPD dapat diuraikan:

a. Fungsi Legislasi, terdiri dari:

1) Mengajukan rancangan UU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta serta yang terkait dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2) Ikut membahas pada tingkat I atas rancangan

UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 3) Memberikan pertimbangan kepada DPR atas

RUU yang berkaitan dengan APBN, pajak, pendidikan dan agama.

b. Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan DPD terhadap pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pengga-bungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama, berdasarkan laporan yang diterima dari BPK, aspirasi dan pengaduan masyarakat, keterangan tertulis pemerintah, dan temuan monitoring di lapangan. Hasil pengawasan tersebut disampaikan

(9)

kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

c. Fungsi Nominasi

Fungsi nominasi dalam rangka memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK yang dilakukan oleh DPR.

3. Penyerapan Aspirasi Daerah

Sekalipun wewenang yang diberikan kepada DPD terbatas bersifat konsultatif, namun setidaknya kehadiran DPD dalam rangka memberikan saluran kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan nasional yang terkait dengan kepentingan daerah sesuai dengan hakekat keberadaannya sebagai wakil daerah, tugas utama DPD adalah menyerap dan mengartikulasikan aspirasi daerah. Oleh karena itu harus terdapat hubungan yang jelas dan erat antara anggota DPD dengan daerah yang diwakilinya. Penyerapan aspirasi harus dilakukan sesuai dengan ruang lingkup wewenang yang dimiliki, tanpa harus bergantung pada sejauh mana daya jangkau yang diberikan. Berdasarkan ruang lingkup tersebut dapat ditentukan dengan pihak mana saja hubungan harus dijalin agar penyerapan aspirasi dapat dilakukan sesuai dengan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi nominasi.

Oleh karena itu hubungan aspiratif yang harus dijalin oleh anggota DPD meliputi antara lain dengan:

a. Daerah sebagai satu kesatuan geografis dan lingkungan b. Masyarakat di daerah, terutama yang menjadi satu

kesatuan hukum beserta alam dan lingkungan c. Warga negara di daerah

d. Pemerintah daerah kabupaten/kota e. Pemerintah Provinsi

f. Organisasi kemasyarakatan g. Organisasi keagamaan

Aspirasi yang diserap tentu harus disalurkan dan diperjuangkan oleh anggota DPD dalam proses pembuatan kebijakan nasional. Dengan demikian anggota DPD harus selalu aktif bergerak (mobile) hadir di dua tempat, yaitu di daerah yang diwakilinya dan di pusat.

Anggota DPD tidak hanya diperlukan domisili di daerah provinsi terkait, tetapi harus punya organ dan perangkat yang dapat menggerakan proses penyerapan aspirasi. Kantor DPD di daerah dijadikan sebagai pusat penyerapan aspirasi dan informasi di tingkat daerah,

mengolah, mengkomunikasikan, dan mensistemasisasi, serta menyiapkannya sebagai bahan dan rumusan kebijakan yang akan disalurkan dan diperjuangkan oleh anggota DPD di pusat. Hanya dengan perangkat tersebut anggota DPD dapat menjalankan fungsi menyalurkan aspirasi daerah secara maksimal tanpa meninggalkan tugas menyerap aspirasi daerah itu sendiri.

C. KESIMPULAN

Keberadaan DPD dengan segala fungsi dan wewenang yang diberikan sebagaimana dalam Pasal 22D ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945, merupakan hasil kompromi dari berbagai kepentingan dan harapan, mulai dari yang mnginginkan strong bicameralism hingga yang tidak menghendaki adanya DPD.

DPD memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi nominasi. Namun ketiga fungsi tersebut hanya terbatas pada sifat konsultatif dan subordinat terhadap fungsi yang sama dengan yang dilakukan oleh DPR. Sedangkan kewenangan DPD dapat dibedakan atas dua bagian yaitu:

1. Dapat mengajukan, ikut membahas dan dapat melakukan pengawasan terhadap RUU yang berkaitan dengan; otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, Pembentukan, pemekaran, dan pengembangan daerah, serta pengelolaan sumberdaya manusia dan ekonomi lainnya

2. Ikut membahas dan dapat melakukan pengawasan terhadap RUU perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.

3. Memberi pertimbangan dan dapat melakukan pengawasan terhadap RAPBN, Pajak, Pendidikan dan Agama.

4. .Memberi pertimbangan dalam hal pengajuan calon anggota BPK

Untuk memperkuat peran DPD, maka harus ditingkat kualitas dan kuantitas serta setiap anggota DDPD harus dapat menjalin hubungan aspiratif dengan berbagai elemen organisasi kemasyarakatan dan tokoh-tokoh daerah. Apalagi berdasarkan latar belakang pembentuk DPD tidak hanya dimaksudkan untuk mewakili masyarakat di daerahnya, tetapi juga untuk kepentingan alam dan lingkungan dalam arti konkrit seperti gunug, sungai, lautan, dan lain-lainnya.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Lijphart, Arend, 1999, Pattern of Democracy; Goverment Forms and Performance in Thirty Six Countries, Yale University Press, New Haven and London:

Manan, Bagir, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII University Press, Yogyakarta.

Badan Pekerja MPR RI,2002, Kompilasi Kesimpulan Hasil Uji Sahih Rancangaan Perubahan Keempat UUD 1945, Sekretariat Panitia Ad Hoc I BP MPR, Jakarta.

Jimly Asshidiqie, 2001, Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar, Seminar Nasional, Forum Rektor, Medan

M.Ali Safa’at, 2010, Jurnal Arena Hukum, Fakultas Hukum Brawijaya, Malang.

MPR, 2001, Buku Keempat Jilid I A, Risalah Rapat Komisi A Ke-1 s/d Ke-3, Sekjen MPR RI, Jakarta.

MPR, 2000, Ketetapan MPR No.V/MPR/2000, Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan, Sekjen MPR RI, Jakarta.

Sri Soemantri, 2003, Susunan dan Kedudukan DPD, dalam Janedjri M.Gaffar, DPD dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Kerjasama Sekjen MPR dengan UNDP, Jakarta.

UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Cipta Pustaka, Jakarta

(11)

ANALISIS KEBERADAAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA

Suryaningsi

Program Studi PPKn FKIP Universitas Mulawarman

ABSTRACT

The existence of the State Administrative Court in the State of Law of Indonesia, is motivated by the understanding which revealed that Indonesia as a state which based on the law (rechtstaat) has some characteristics, such as the administration of justice.

Administration is a State Administrative Court based on the 1945 Constitution of Indonesia after the amendment. The legislation that governs the State Administrative Court was originally stipulated in Law No. 5 of 1986 as amended by Law No. 9 of 2004. The existence of the State Administrative Court was established by a variety of considerations, which give legal protection to the people from the abuse of authority or arbitrary acts of government officials and to implement the provisions of the 1945 Constitution and Law No. 14 of 1970 on the Basic Provisions of Judicial Power. However, because of the provisions in the legislation that governs the State Administrative Court does not always correspond to the reality (das solen not always match with das sein). Then, it is needed a reexamination of the existence of the State Administrative Court in Indonesia as a State of Law.

To find out the existence of the State Administrative Court and the factors underlying their existence, writing methods used are normative juridical, in which the author examines and judicially determined by looking at the norms of positive law, especially regarding to the State Administrative Court. Then all data were analyzed by descriptive qualitative. Based on the analysis of the author revealed that the existence of the State Administrative Court in the State of Indonesia is to provide the legal protection to seeking justice and also to control the actions of agencies or officials of the State Administration, although its authority is limited. While the factors that affected to the existence of the State Administrative Court in the state of law of Indonesia is legislation, implementers and community or people who are seeking justice.

Responding to the fact of the existence of the State Administrative Court, the State Administrative Court should give legal protection to people who are seeking justice by revising the State Administrative Court authority by adding more protection for the people who are seeking justice, especially to lodge cassation.

Keyword: the State Administrative Court, State of Law, justice

A. PENDAHULUAN

Setiap era atau masa memiliki ciri-ciri tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing zamannya. Sekarang adalah era reformasi yang

memiliki ciri-ciri menghendaki terwujudnya peme-rintahan yang bersih (clean government); kepe-merintahan yang bersih (clean governance); pemerintahan yang baik (good government);

(12)

kepemerintahan yang baik (good governance); keterbukaan, demokratisasi, dan supremasi hukum. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan keinginan tersebut dilakukanlah amandemen terhadap konstitusi yaitu UUD 1945. Di dalam UUD 1945 pasca amandemen disebutkan secatra tegas bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” Artinya bahwa seluruh tatanan dan aktifitas negara ini harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.

Dari beberapa pasal yang ada di dalam UUD 1945 pasca amandemen dapat diketahui bahwa konsep negara hukum yang dianut oleh UUD 1945 pasca amandemen adalah sama dengan konsep begara hukum yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amande-men, yaitu sama-sama memiliki ciri-ciri Rechtsstaat. Menurut pendapat Friederich Julius Stahl seperti yang dikutip oleh Meriam Budiardjo bahwa rechtsstaat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. adanya perlindungan hak-hak manusia; b. adanya pemisahan atau pemba-gian kekuasaan; c. adanya pemerintahan yang berdasar peraturan-peraturan; dan d. adanya peradilan administrasi.

Ciri-ciri yang demikian ini terdapat di dalam UUD 1945 pasca amandemen. Misalnya tentang keberadaan Peradilan administrasi. Peradilan administrasi yang dimaksud di sini adalah sama dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Di dalam pasal 24 UUD 1945 pasca amandemen disebutkan bahwa:

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan, lingkungan peradilan militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Keberadaan peradilan administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu ciri dari Rechtsstaat. Di Indonesia Peradilan Tata Usaha Negara didirikan atas dasar Undang-undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI Tahun 1986 Nomor 77, dan TLNRI Nomor

3344). Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI Tahun 2004 Nomor 35, TLNRI Nomor 4380). Jika dilihat dari latar belakang pembentukannya maka eksistensi atau keberadaan peradilan tata usaha negara ini dibentuk dengan berbagai macam alasan.

1. Memberikan perlindungan hukum kepada rakyat dari penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindak sewenang-wenang (willekeur atau abus de pouvoir). Aparatur pemerintah (badan atau pejabat tata usaha negara);

2. Melaksanakan ketentuan UUD 1945, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 1970, Nomor 74, TLNRI Nomor 2951) yang dalam pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa: Kekuasaan kehakiman dilakukan dalam lingkungan: Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan Militer; Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Seperti yang dikemukakan oleh sejarahwan Inggris Lord Acton bahwa “power tend to coruupt but absolute power corrupt absolutely”, artinya bahwa kekuasaan itu cenderung disalahgunakan oleh pemiliknya, dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan oleh pemiliknya. Untuk inilah diperlukan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai alat kontrol terhadap penggunaan kekuasaan pejabat pemerintah (badan atau pejabat tata usaha negara). Di dalam pertimbangan (konsideran) Undang-undang nomor 5 tahun 1986 disebutkan bahwa:

a. Bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mewujudkan negara dan bangsa yang sejahtera, aman tenteram, serta tertib yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi seimbang serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dengan para warga masyarakat;

b. Bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut, dengan jalan mengisi kemerdekaan

(13)

melalui pembangunan nasional secara bertahap, diusahakan untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang tata usaha negara agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat;

c. Bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan suatu kondisi sehingga setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada kemungkinan timbul benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional; d. Bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut

diperlukan adanya peradilan tata usaha negara yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan masyarakat; e. Bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut dan sesuai pula dengan undangundang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, perlu dibentuk undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari konsideran ini tampak jelas latar belakang atau alasan pembentukan peradilan tata usaha negara di Indonesia. Keberadaan peradilan tata usaha negara di Indonesia diatur di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 ini kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LNRI Tahun 2004 Nomor 35, dan TLNR Nomor 4380). Undang-undang adalah merupakan salah satu bentuk hukum. Selain itu masih ada lagi bentuk hukum yang lainnya, misalnya Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan pemerintah (PP),

Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan daerah (Perda) dan lain-lainnya.

Sebagai bentuk dari hukum, makalah rumusan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah merupakan kumpulan dari hal-hal yang harus dilakukan (das sollen) yang dalam kenyataannya (das sein) belum tentu sesuai dengan yang seharusnya.

Seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa:

“Peraturan hukum itu tidak boleh disamakan dengan dunia kenyataan, melainkan ia memberikan kualifikasi terhadap dunia tersebut, khususnya terhadap kehidupan sosial. Rumusan-rumusan yang tercantum dalam peraturan hukum itu seolah-olah sesuatu yang sedang tidur dan pada waktunya ia akan bangun manakala ada sesuatu yang menggerakkannya. Bolehlah ia diibaratkan pula dengan pistol dan picunya. Begitu picu itu ditarik maka meletuslah senjata itu”.

Intinya adalah bahwa Undang-undang nomor 5 tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 belum tentu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan bunyi pasal-pasal yang ada di dalamnya.

B. PEMBAHASAN

1. Analisa Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Negara Hukum Indonesia

Jika dicermati perjalanan panjang dari sejarah negara hukum Indonesia, maka sesungguhnya upaya untuk menegakkan hukum di bidang sengketa tata usaha negara ini sudah lama adanya, baik dimulai sejak zaman penjajahan maupun kemerdekaan dan hingga sekarang. Untuk memperoleh gambaran tentang sejarah perjalanan peradilan tata usaha negara di In-donesia, berikut ini disampaikan perkembangan keberadaannya sebagai berikut:

a. Pada Masa Penjajahan Belanda

Dari sejarah dapat diketahui bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama lebih kurang 350 tahun. Pada waktu itu Indonesia disebut dengan nama Hindia Belanda. Sistem ketatanegaraan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu diatur atau didasarkan pada Wet op de Staatsinrichting van Nederland Indie” atau yang lazim disingkat IS (Indische Staatregeling), yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 (S.1925

(14)

No.415 jo no.577). Indische Staatregeling (IS) ini diberlakukan sebagai pengganti Regeringsreglement (RR) yang berlaku mulai tahun 1919 (S.1919, No.621 jo no.816). Disebutkan pada pasal 138 IS bahwa untuk perkara-perkara yang menurut sifatnya atau berdasarkan undang-undang masuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan administrasi, tetap ada dalam wewenangnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sebenarnya sudah ada peradilan administrasi atau peradilan tata usaha negara.

b. Pada Masa Penjajahan Jepang

Dalam sejarah disebutkan bahwa pada tanggal 8 Maret 1942 tentang Jepang menduduki Kalijati (In-donesia), dan Belanda Menyerah kalah tanpa syarat kepada Jepang. Setelah Belanda meninggalkan Indo-nesia dan digantikan oleh Jepang, maka sistem ketatanegaraan pemerintah Hindia Belanda diatur oleh peraturan Jepang. Peraturan-peraturan yang telah ada pada waktu pemerintahan Hindia Belanda sebelumnya dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah Jepang. Atas dasar ini maka keberadaan Peradilan Administrasi yang pernah ada sebelumnya menjadi tetap berlaku. c. Pada Masa Kemerdekaan

1) UUD 1945 periode pertama (Tanggal 18 Agustus 1945–27 Desember 1949)

Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mulai saat itu secara dejure (secara hukum) dan secara defacto (secara nyata) Indonesia berdiri sebagai negara yang merdeka yang berhak menentukan dirinya sendiri. Sistem ketatanega-raan dalam pemerintahan Indonesia diatur di dalam UUD 1945. Di dalam pasal 24 dan pasal 25, disebutkan sebagai berikut: Pasal 24 (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang; (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang; Pasal 25: Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Untuk melaksanakan perintah pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 (pada masa itu), maka pada tahun 1948 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Di dalam Bab III disebut

tentang Peradilan Tata Usaha Pemerintah. Disebutkan dalam pasal 66, bahwa:”Jika dengan undang-undang atau berdasar atas undang-undang tidak ditetapkan badan-badan Kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam soal Tata Usaha pemerintahan, maka Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkatan kedua memeriksa dan memutus perkara-perkara itu”. Sedangkan pada pasal 67, disebutkan bahwa: ”Badan-badan Kehakiman dalam peradilan Tata Usaha Pemerintahan yang dimaksud dalam pasal 66, berada dalam pengawasan Mahkamah. Agung serupa dengan yang termuat dalam pasal 55". Dari kedua ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa untuk sengketa-sengketa tata usaha negara pada saat itu ditangani (diperiksa dan diputus) oleh Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat pertama, dan oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kedua. Kecuali jika oleh undang-undang ditunjuk badan-badan kehakiman lainnya untuk menangani masalah itu atas dasar kewe-nangan yang diberikan kepadanya. Semua badan kehakiman dalam peradilan tata usaha pemerintahan berada di bawah kontrol atau pengawasan Mahkamah Agung. Menurut sejarah ternyata Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 ini tidak sempat dilaksanakan karena ada agresi atau pendudukan Belanda yang kedua.

2) Konstitusi RIS (tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950

Di dalam pasal 161 disebutkan bahwa: ”Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada Pengadilan, yang mengadili perkara perdata ataupun kepada alat perlengakap lain, tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serua tentang keadilan dan kebenarannya”. Kemudian pasal 161 menentukan bahwa:”Dengan undang-undang federal dapat diatur cara memutus sengketa, yang mengenai hukum tata usaha dan yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan yang diadakan dengan atau atas kuasa Konstitusi ini atau yang diadakan dengan undang-undang federal, sedangkan peraturan-peraturan itu tidak langsung mengenai semata-maa alat-alat perlengkapan dan penghuni satu daerah bagian saja, termasuk badan-badan hukum publik ang dibentuk atau diakui dengan atau atas kuasa undang-undang

(15)

daerah bagian itu”. Sayang Konstitusi RIS 1949 ini tidak berlaku lama tetapi hanya sesaat saja (lebih kurang hanya 8 bulan), sehingga ketentuan yang dimaksud pada 46 pasal 161 dan pasal 162 belum sempat dilaksanakan. Negara Indonesia kemudian kembali ke bentuk kesatuan di bawah UUDS 1950.

3) UUDS 1950 (Tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

Pasal 108 menentukan bahwa: “Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada pengadilan yang mengadili perkara perdata ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenaran”. Dari ketentuan pasal ini bahwa penyelesaian sengketa tata usaha pada masa itu menjadi kompetensi peradilan umum dan atau alat perlengkapan Negara lain yang diberi wewenang untuk itu. Mengingat karena pasal 108 UUDS 1950 ini membuka peluang timbulnya dua macam lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tata usaha, maka Wirjono Prodjodikoro mengemukakan agar pembentuk undang-undang memilih salah-satu dari 4 hal ini, yaitu:

a) menentukan bahwa segala perkara tata usaha pemerintahan secara peraturan umum diserahkan kepada pengadilan perdata;

b) menentukan bagi satu macam soal sengketa tertentu, bahwa pemutusannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata;

c) menentukan bahwa segala perkara tata usaha pemerintah secara peraturan umum diserahkan kepada suatu badan Pemutus, bukan Pengadilan Perdata yang dibentuk secara istimewa;

d) menentukan bagi suatu macam soal sengketa tertentu, bahwa pemutusannya diserahkan kepada suatu badan pemutus, bukan Pengadilan Perdata yang dibentuk secara istimewa.

4) UUD 1945 periode kedua (Tanggal 5 Juli 1959 hingga sebelum diamandemen)

Isi UUD 1945 periode pertama dan kedua ini pada dasarnya adalah sama, sehingga tidak perlu lagi dikemukakan isi pasal 24 dan 25. Hal yang penting justru mengemukakan undang-undang organiknya, yaitu undang-undang pelaksanaannya, yakni:

a) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 (LNRI Tahun 1964, Nomor107, TLNRI Nomor 1699), tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 7 ayat (1), menentukan bahwa: ”Kekuasaan kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi hukum sebagai pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

(1)Peradilan umum; (2)Peradilan Agama; (3)Peradilan Militer; dan

(4)Peradilan Tata Usaha Negara”.

Disebutkan di dalam penjelasannya bahwa: ”Undang-undang ini membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan khusus dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan umum antara lain meliputi Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer.

b) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 (LNRI Tahun 1970 Nomor 14, TLNRI Nomor 2951) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964. Di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini kebebasan kekuasaan kehakiman sesuai dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945. Di dalam ketentuan pasal 10 disebutkan bahwa:

(1)Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

(a) Peradilan umum; (b)Peradilan Agama; (c) Peradilan Militer;

(d)Peradilan Tata Usaha Negara

(2)Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi;

(3)Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.

(4)Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang.

(16)

c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (LNRI Tahun 1986 Nomor 77, TLNRI Nomor 3344) tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang ini sengaja dibentuk dengan maksud untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dari kemungkinan terjadinya penyalah-gunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang pemerintah. Oleh karena itu yang menjadi tergugat dalam hal ini adalah pemerintah yaitu badan atau pejabat tata usaha negara. Pasal 1 angka 6 menentukan bahwa: ”Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Dari ketentuan pasal 1 angka 6 ini jelas bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan penggugatnya adalah orang atau badan hukum perdata. Undang-undang nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa tidak semua sengketa dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan hanya sengketa tata usaha Negara yang memenuhi syarat saja yang bisa digugat di Peradilan Tata Usaha Negara. Syarat yang dimaksud terdiri dari dua hal, yaitu:

(1)Harus memenuhi syarat subyektif.

Syarat Subyektif, yaitu syarat tentang para pihak yang berperkara, artinya siapa dengan siapa dan bagaimana posisi masing-masing (siapa jadi apa). Untuk ini dapat dilihat beberapa ketentuan yang ada di dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 3. Pasal 1 angka 4 menentukan bahwa: ”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dari ketentuan ini nampak jelas bahwa para pihak yang dapat berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah antara Orang atau badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dengan posisi bahwa Orang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat.

Hal sesuai juga dengan ketentuan pasal 1 angka 6 seperti disebutkan di muka. Ketentuan ini menyebabkan tidak dikenalnya gugat balik (Rekonpensi) dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. Masalahnya adalah siapakah yang dimaksud dengan orang atau badan hukum perdata. Maksud orang di sini adalah setiap orang baik WNI maupun WNA asalkan memenuhi persyaratan sebagai subyek hukum. Hal ini sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa: ”Yang dimaksud rakyat pencari keadilan ialah setiap orang warga negara Indonesia atau bukan, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara”. Maksud Badan Hukum Perdata adalah setiap badan usaha yang bergerak di bidang keperdataan yang memiliki status sebagai badan hukum, seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi.

(2)Harus memenuhi syarat obyektif

Syarat obyektif, yaitu syarat yang menyangkut obyek yang disengketakan. Tadi sudah dikemuka-kan ketentuan Pasal 1 angka 4. Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat diketahui bahwa yang dapat dijadikan obyek perkara di Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah “Keputusan Tata Usaha Negara” saja. Maksud Keputusan Tata Usaha Negara di sini adalah seperti yang terumus dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa: ”Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan fi-nal, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Ketentuan ini dapat dirinci sebagai berikut: bahwa yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara adalah keputusan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

(a) penetapan tertulis;

(b)dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

(c) termasuk dalam lingkup hukum tata usaha negara;

(17)

(d)bersifat konkret, individual, dan final; (e) menimbulkan akibat hukum (bagi orang atau

badan hukum perdata).

Maksud tertulis di sini tidak perlu selalu harus memenuhi persyaratan formalitas tertentu seperti layaknya Surat Keputusan (SK) pengangkatan seseorang menjadi Pegawai Negeri, melainkan sembarang tulisan biasa dikategorikan sebagai penepatan tertulis asalkan:

(a) jelas siapa yang membuat; (b)jelas ditujukan kepada siapa; (c) jelas apa isinya; dan

(d)menimbulkan akibat hukum, sehingga oleh karenanya maka nota dinas, surat sakti, memo, katebelece pejabat sudah bisa di-kategorikan sebagai penetapan tertulis, asalkan memenuhi persyaratan tersebut. Ini adalah merupakan perluasan pengertian tertulis yang dimaksudkan.

Bahkan masih diperluas lagi sampai pada sikap diam Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pasal 3 (1) menentukan bahwa:”Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluar-kan keputusan, sedangmengeluar-kan hal itu menjadi kewaji-bannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara”. Ayat (2) menentukan bahwa:” Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai-mana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud”. Ayat (3) menentukan bahwa: “Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan”.

Ketentuan pasal 3 ini memberikan isyarat agar Badan atau Pejabat tata Usaha Negara selalu memperhatikan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan semangat untuk menciptakan kepemerintahan yang baik (Good Governance).

Dalam kaitan ini Sedarmayanti mengemukakan 8 indikasi dari Good Government, yaitu:

(a)Participation, artinya bahwa setiap warga-negara harus memiliki suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi yang mewakili kepentingannya;

(b)Rule of law. Negara hukum, artinya bahwa seluruh aktifitas negara harus selalu didasar-kan pada aturan hukum yang berlaku, demi terwujudnya keadilan;

(c) Transparency (keterbukaan). Hal ini dibangun atas dasar kebebasan arus infor-masi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau oleh warga masyarakat; (d)Responsiveness. Artinya bahwa lembaga

dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. Tanggap dan cepat merespon kebutuhan masyarakat khususnya Stakeholders;

(e) Consus orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur; (f) Effectiveness and effiency. Proses dan

lembaga menghasilkan sesuatu dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin; (g)Accountability. Para pembuat keputusan

dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil sosiety) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholeders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi;

(h)Strategic vision.Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif Good Gover-nance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini Untuk dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, suatu perkara itu harus memenuhi dua

(18)

persyaratan (syarat subyek dan obyek) tersebut. Selain itu masih ada beberapa hal yang harus diper-hatikan yaitu yang menyangkut pembatasannya. Artinya bahwa walaupun sudah ada dua persya-ratan akan tetapi masih ada batasan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Batasan tersebut dimuat di dalam Pasal 2, Pasal 48 dan Pasal 49. Pasal 2 menentukan bahwa:”Tindak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

(a) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; (b)Keputusan Tata Usaha Negara yang

merupakan pengaturan yang bersifat umum; (c) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih

memerlukan persetujuan;

(d)Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

(e) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (f) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata republik In-donesia;

(g) Keputusan Panitia Pemilihan, Baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Jadi untuk Keputusan Tata Usaha Negara seperti yang disebutkan pada pasal 2 di atas sama sekali tidak dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu masih ada lagi beberapa keputusan ata usaha negara yang sama sekali tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu seperti yang disebutkan di dalam pasal 49 nya yang menyebutkan bahwa: ”Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:

(a) dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b)dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu masih ada lagi suatu sengketa Tata Usaha Negara yang baru boleh diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara apabila upaya ad-ministratif yang tersedia sudah selesai dijalankan. Hal ini diatur di dalam ketentuan pasal 48, yang menentukan bahwa:

(a) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara admnistratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya admnistratif yang tersedia;

(b)Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

d) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (LNRI Tahun 2004 Nomor 35, TLNRI Nomor 4380) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan judulnya, undang-unang ini pada intinya sama dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, hanya ada beberapa perubahan. Perubahan yang menyangkut kompetensi absolutnya disebutkan pada pasal-pasalnya sebagai berikut:”Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

(1)Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

(2)Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

(3)Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

(19)

(4)Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluar-kan berdasar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturanperundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; (5)Keputusan Tata Usaha Negara yang

dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(6)Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

(7)Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

e) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI 2004, Nomor 8). Di dalam pasal 10 ayat (1), disebutkan bahwa: ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) menyatakan bahwa: ”Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”. Ketentuan pasal ini memberikan dasar hukum tentang keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di dalam negara hukum Indonesia, termasuk juga memperkuat atau menegaskan tentang keberadaan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Pasal 9A menyebutkan bahwa:”Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang”. Yang dimaksud pengkhususan disini adalah spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara. Disebutkan di dalam penjelasan pasal 9A bahwa:”Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara misalnya pengadilan pajak. Ketentuan pasal 9A Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 yang demikian ini dipertegas lagi di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Disebutkan di dalam pasal 15 ayat (1) bahwa: ”Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang”. Penjelasan pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa: ”Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Inilah antara lain kaitan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.

f) Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI (LNRI Tahun 2004 Nomor 9, TLNRI Nomor 4359). Di dalam undang-undang ini ada satu ketentuan yang sangat menarik, yaitu Pasal 45 yang menyebutkan bahwa: (1)Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya; (2)Perkara yang dikecualikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: (a) Putusan tentang praperadilan;

(b)Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam denda;

(c) Perkara tata usaha negara yang obyek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya ber-laku di wilayah daerah yang bersangkutan. Ketentuan ini membatasi hak seseorang untuk mengajukan upaya hukum yang namanya “kasasi”, karena tidak semua perkara dapat dimintakan kasasi. Ketentuan ini adalah salah satu produk hukum era reformasi, yaitu suatu era supremasi hukum, era demokrasi, era keterbukaan, dan era pemberdayaan masyarakat.

2. Analisa Faktor-Faktor yang dapat Mempengaruhi Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara

Berbicara tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan suatu hal yang menarik.

(20)

Betapa tidak, karena memang keberadaan suatu institusi atau lembaga seperti Peradilan Tata Usaha Negara ini tidak bisa lepas dari pengaruh beberapa hal yang berkaitan dengannya. Lebih-lebih lagi Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di negara Indo-nesia. Peradilan Tata Usaha Negara adalah merupakan suatu badan peradilan yang notabene merupakan lembaga hukum. Sebagai lembaga hukum keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dipengaruhi oleh beberapa hal:

Pertama, peraturan perundang-undangan.

Seperti yang telah diuraikan di muka maka keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Negara Hukum Indonesia, harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen), dan beberapa undang-undang organik atau undang-undang-undang-undang pelaksananya seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Mengingat karena keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara itu didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan, maka jelas peraturan perundang-undangan tersebut adalah merupakan salahsatu faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara hukum Indonesia. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan oleh beberapa peraturan undangan. Justru peraturan perundang-undangan tersebut yang melahirkan Peradilan Tata Usaha Negara. Apa, mengapa dan bagaimananya Peradilan Tata Usaha Negara diatur di dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan inilah yang harus dijadikan dasar hukum keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara.

Kedua, Petugas atau pelaksana Peraturan

perundang-undangan pada hakekatnya adalah kumpulan dari norma tentang apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan serta ancaman sanksi bagi si pelanggarnya. Peraturan perundang-undangan tidak lebih dari kumpulan apa-apa yang seharusnya dilakukan (das sollen) yang kadang-kadang belum atau tidak cocok dengan kenyataan (das sein) nya. Sebagai kumpulan norma, maka peraturan perundang-undangan perlu penerapan agar bisa berlaku di dalam masyarakat. Penerapan ini

dilakukan oleh lembaga penerap hukum atau petugas hukum. Betapapun baiknya suatu peraturan perundang-undangan belum tentu baik pula dalam penerapannya, karena menyangkut faktor manusia pelaksananya. Oleh karena itu penerapan suatu peraturan perundang-undangan juga dapat dipengaruhi oleh faktor manusia sebagai penerap atau pelaksana hukumnya. Demikian puila halnya dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 yang mengatur tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Ketiga, masyarakat (rakyat pencari keadilan),

Selain faktor peraturan perundang-undangan dan faktor pelaksananya, ada faktor lain yang dapat mem-pengaruhi keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Negara Hukum Indonesia. Faktor ini adalah faktor masyarakat atau rakyat pencari keadilan sendiri. Faktor ini juga dapat mempengaruhi keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara. Jika disimak informasi atau pemberitaan yang ada selama ini, baik melalui media koran, majalah, media elektronik dan lain-lainnya, dapat diketahui adanya upaya yang dilakukan oleh pencari keadilan untuk memenangkan perkara-nya. Hal ini sebenarnya adalah merupakan hal yang wajar, karena setiap orang yang berperkara pada umumnya ingin menang. Akan tetapi akan menjadi tidak wajar bahkan mungkin bertentangan dengan hukum jika untuk menang tersebut dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum misalnya dengan cara suap. Selain itu faktor pendidkkan dan pemahaman masyarakat terhadap hukum juga dapat mempengaruhi keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara. Misalnya masih ada yang belum mengerti tentang perkara-perkara apa saja yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, dan bagaimana cara menggugatnya. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara.

C. KESIMPULAN

1. Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara hukum Indonesia sebenarnya telah lama adanya, bahkan sudah dimulai sejak zaman penja-jahan Belanda dan Jepang. Keberadaan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pencari keadilan, selain itu juga mengontrol tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Di samping itu berwenangan dalam

(21)

pembatasan-pembatasannya yang tidak semua sengketa tata usaha negara dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, hanya sengketa tata usaha negara yang memnuhi syarat tertentu saja yang bisa digugat di Peradilan Tata Usaha Negara serta tidak semua sengketa dapat dimintakan kasasi, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004; 2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

keberada-an Peradilkeberada-an Tata Usaha Negara dalam negara hukum Indonesia adalah: peraturan perundang-undangan, pelaksana dan masyarakat atau rakyat pencari keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Sidharta, Nopember 2004., Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, Jurnal Hukum Jentera, Edisi ke 3-Tahun II,, jakarta PSHK.

Jimly Asshiddiqie, 2011., Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Garafika, Jakarta.

Miriam Budiardjo, 1977., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta,

M.Tahir Azhary, 2003., Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat darisegi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa kini, Kencana, Jakarta.

M.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1985., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN UI, Sinar bakti, Jakarta.

Moh.Kusnardi dan Bintan R.Saragih, 1978, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang dasar 1945, Gramedia, Jakarta.

Paulus Effendi Lotulung, 1986., Beberapa Sistem Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bhuana Pancakarsa, Jakarta.

Philipus M.Hadjon, 1987., Perlindungan Hukum Terhadap Rakyat, Bina Ilmu, Surabaya. Sjachran Basah, 1985., Eksistensi Dan Tolok Ukur

Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia Alumni, Bandung.

Sudargo Gautama, 1975, Pengertian tentang Negara Hukum, Alumni Bandung.

Satjipto Rahardjo, 2006., Ilmu Hukum, Cet. VI., Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sedarmayanti,2003, Peraturan perundang-undangan: Good Governance (Kepemerintahan yang baik) Dalam rangka Otonomi daerah, Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan, Mandar Maju, Bandung.

(22)

SOCIO-ECONOMIC CONDITIONS AND CULTURAL COMMUNITIES

AROUND THE AREA PT. MAHAKARYA PERDANA GEMILANG

IN THE DISTRICT KUTAI KARTANEGARA

OF PROVINCE EAST KALIMANTAN

Warman

Program Studi PPKnFKIP Universitas Mulawarman

ABSTRACT

Plans for utilization of timber in plantations covering 30,454 ha by PT. Mahakarya Perdana Gemilang in Kutai regency of East Kalimantan province besides a positive impact also negatively impact the socio-economic and cultural conditions of the surrounding community. The survey results revealed that the average household income per capita per year is good enough or are not classified as poor. Besides As with farmers, civil servants and employees of the company, they also have side jobs such as working as a builder, selling groceries and fishing. Land area in controlled an average of 2 hectares per household obtained from parental inheritance, opening the forest itself, and some who do not own land, because they even have a family as head of the family, but they still ride in the elderly. The type and non-formal economic activity in general is quite varied, such as shops, kiosks groceries, cooperatives, coffee shops, and lodging. Economic infrastructure is sufficient.

Applicable customs are tribal Kutai and Dayak tribes. The role of traditional leaders is dominant in resolving issues related to customary law. The things that a ban has been arranged with the council, for example, prohibited liquor, intimate relationships before marriage. Social conflicts are rare, and the source of the cause of young people is a problem and can be solved by way of deliberation / familiarity. The process of assimilation has occurred between them. Social institutions and functioning properly include RT, Institute of Traditional, village councils, and religious institutions. People’s perception of the business plan on the utilization of timber plantations by PT. Mahakarya Perdana Gemilang very positive. People consider that the presence of PT. Mahakarya Perdana Gemilang will benefit them.

Keywords: Socioeconomic; Social Culture.

A. PENDAHULUAN

Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Otonomi Daerah 1999).

Hutan produksi di Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dimanfaatkan secara arif, dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup untuk kemakmuran rakyat di masa kini dan di masa mendatang.

PT. Mahakarya Perdana Gemilang adalah sebuah perusahaan swasta nasional yang berkedudukan di Jakarta dan bergerak di bidang pertanian, perkebunan,

(23)

kehutanan dan industri pengolahan hasil-hasilnya berminat mengusahakan hutan tanaman di wilayah Propinsi Kalimantan Timur. Dengan didorong komit-men, kemampuan manajerial dan investasi PT. Mahakarya Perdana Gemilang mengajukan permo-honan areal kerja IUPHHK-HTI yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur termasuk dalam Kelompok Hutan Sungai Belayan, seluas ± 30.454 Ha. Berdasarkan Peta Lampiran SK. Menhutbun No. 79/Kpts-11/2001 tanggal 15 Maret 2001 (Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Timur), lokasi areal tersebut merupakan Kawasan Budidaya Kehutanan dengan fungsi hutan Hutan Produksi Tetap (HP) seluas ± 29.023 Ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ± 1.431 Ha.

Tujuan dari kegiatan UPHHK-HTI PT. Mahakarya Perdana Gemilang adalah untuk menghasilkan kayu dalam kuantitas dan kualitas yang memadai secara terus menerus, sebagai bahan baku industri, dan diharapkan bermanfaat untuk pengem-bangan masyarakat (community development) di sekitar proyek melalui program Pengembangan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), serta terbukanya kesempatan atau lapangan kerja baru. Tetapi rencana kegiatan tersebut selain berdampak positif, diper-kirakan juga akan menimbulkan dampak negative terhadap komponen lingkungan hidup di sekitarnya, yakni: komponen fisik-kimia, biologi, social ekonomi, budaya, dan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 telah ditetapkan bahwa dampak negatif dari suatu proyek yang direncanakan harus diminimasi sekecil mungkin, agar kegiatan pembangunan tersebut dapat dilaksa-nakan secara berkesinambungan dan kualitas lingkungan hidup di sekitar proyek yang direncanakan tidak menurun.

B. METODE PENELITIAN

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan, yaitu kepala desa, tokoh agama, ketua RT, pemuka adat, dan aparat pemerintah yang terkait. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak pemrakarsa dan instansi-instansi lain yang terkait seperti Dinas Kehutanan, Bappeda, Badan Pusat Statistik, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa di wilayah studi.

Komponen sosial ekonomi yang diteliti meliputi: (1) ekonomi rumah tangga, yang mencakup tingkat pendapatan dan pola nafkah ganda, (2) ekonomi sumberdaya alam, meliputi: pola pemilikan dan penguasaan lahan, pola penggunaan lahan, dan nilai lahan, (3) perekonomian lokal dan regional, meliputi: penyerapan tenaga kerja, jenis dan jumlah aktivitas ekonomi non formal, fasilitas umum dan fasilitas sosial, serta aksesbilitas wilayah. Sedangkan komponen sosial budaya meliputi: (1) adat isti adat dan nilai budaya, (2) proses/interaksi sosial, (3) pranata social/kelemba-gaan masyarakat, (4) persepsi dan sikap masyarakat terhadap rencana kegiatan.

Selain data sekunder, data primer diperoleh melalui survai sampel/wawancara dengan responden sebanyak 10% dari jumlah kepala keluarga yang ditetapkan berdasarkan strata yang ada pada masing-masing desa yang diprakirakan akan mendapatkan dampak negatif maupun dampak positif dari proyek.

Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Sedangkan data sosial ekonomi untuk tingkat pendapatan ditabulasikan dan dianalisis dengan rumus sebagai berikut:

1. Tingkat Pendapatan

a. Tingkat pendapatan sebagai salah satu indikator ekonomi rumah-tangga dianalisis dari sisi penerimaan:

I = TR...1) Keterangan:

I = Pendapatan (Income)

TR = Total penerimaan (Total Revenue)

b. Tingkat pendapatan sebagai salah satu indikator ekonomi rumah-tangga dianalisis dari sisi pengeluaran: I = c – i + s...2) Keterangan: I = Pendapatan (income) c = Konsumsi (consumption) i = Investasi (investment) s = Tabungan (saving)

(24)

2. Rata-rata Pendapatan/Pendapatan perkapita (Y)

Keterangan:

Y = Total pendapatan

A = Jumlah tanggungan keluarga

Untuk meminimasi dampak negatif tersebut perlu dilakukan studi dengan tujuan: (1) mendapatkan data aktual tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat, (2) memperoleh gambaran tentang dinamika sosial ekonomi masyarakat dan (3) untuk mencoba menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan rencana kegiatan guna mengelola kemungkinan timbulnya dampak. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi pemerintah daerah setempat dan pihak

level ekonomi rumah tangga, secara umum penduduk di wilayah studi pada tahun 2012 tidak tergolong miskin. Pada level ekonomi rumah tangga berdasarkan data hasil survei sampel dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan rumah tangga di wilayah studi berkisar antara Rp. 1.000.000,00 sampai Rp. 7.500.000,00 per rumah tangga per bulan, dengan rata-rata tingkat pendapatan per bulan/rumah-tangga dilihat dari sisi pengeluaran adalah Rp. 2.286.566.6 atau Rp. 7.225.849.99/ kapita/ tahun, dengan jumlah jiwa rata-rata 4 orang per rumah tangga. Dengan asumsi bahwa harga beras di wilayah studi sebesar Rp. 10.000,- per kg, maka pendapatan tersebut setara dengan 722,58 kg beras per kapita per tahun. Berdasarkan kriteria Sayogyo (1977), pendapatan ini berada di atas garis kemiskinan, karena pemrakarsa, guna meminimasi dampak negatif yang diakibatkan kegiatan proyek.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kondisi Sosial Ekonomi

a. Ekonomi rumah tangga

Pendapatan per kapita penduduk merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Untuk itu, dalam rangka mendapatkan data lapangan yang mendekati kebenaran, maka dilakukan pendekatan pengeluaran yang justru lebih akurat. Karena pada kenyataan di lapangan banyak responden yang tidak dapat mengungkapkan dengan benar tingkat pendapatannya.

Rata-rata pendapatan per kapita masyarakat di wilayah studi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Pendapatan Penduduk Per-Rumah Tangga/ Bulan di Wilayah Studi (Berdasarkan Jawaban Responden 2012)

Sumber: Data Primer, 2012

Pada level ekonomi rumah tangga berdasarkan data hasil survei sampel dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan rumah tangga di wilayah studi berkisar antara Rp. 1.000.000,00 sampai Rp. 7.500.000,00 per rumah tangga per bulan, dengan rata-rata tingkat pendapatan per bulan/rumah-tangga dilihat dari sisi pengeluaran adalah Rp. 2.286.566.6 atau Rp. 7.225.849.99/ kapita/ tahun, dengan jumlah jiwa rata-rata 4 orang per rumah tangga. Dengan asumsi bahwa harga beras di wilayah studi sebesar Rp. 10.000,- per kg, maka pendapatan tersebut setara dengan 722,58 kg beras per kapita per tahun. Berdasarkan kriteria Sayogyo (1977), pendapatan ini berada di atas garis kemiskinan, karena masih di atas 320 kg per kapita per tahun. Artinya, untuk

Gambar

Tabel 1. Rata-rata Pendapatan Penduduk Per-Rumah Tangga/ Bulan di Wilayah Studi (Berdasarkan Jawaban Responden 2012)
Tabel 2. Jenis dan Jumlah Aktivitas Ekonomi Non Formal Di Wilayah Studi.
TABEL 1.1 Data Nilai Kelas XII IS-2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kelengkapan imunisasi dasar lengkap dengan status gizi anak usia 12-24 bulan di Desa Ketanggung, Sine,

Temuan penelitian ini adalah, hubungan kegiatan ekstrakurikuler dengan pendidikan karakter yaitu sebagai pengejawantahan antara pengetahuan yang diperoleh di kelas dengan

(2000) mempelajari pengaruh sifat asam padat terhadap konversi syngas-to- dimethyl ether (STD) pada bermacam-macam katalis hybrid dan melaporkan bahwa katalis yang tersusun

word of mouth menjadi faktor pendorong bagi wisatawan untuk melakukan kunjungan ke suatu destinasi, informasi yang di dapat secara langsung melalui saudara, teman,

Dari alasan tersebut menunjukkan ada gejala kurangnya rasa cinta budaya, padahal dengan mengajarkan musik panting pada siswa sekolah usia dini dapat mempelajari

melalui kegiatan intrakurikuler dan atau ekstrakurikuler. Ekstrakurikuler pendidikan jasmani di sekolah semata-semata hanya untuk menciptakan prestasi dibidang

Sebagai salah satu tempat pelaksanaan asimilasi, Lapas Terbuka dapat menjadi model ideal dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana dalam sistem pemasyarakatan

1 Fakthur Haris Irfan (2013) Pengaruh Perbedaan Laba Akuntansi dan Laba Fiskal terhadap Persistensi Laba dengan Komponen Akrual dan Aliran Kas sebagai Variabel