• Tidak ada hasil yang ditemukan

80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

NO.24/XV/2008 Rp7.000 MAJALAH UNIVERSITAS INDONESIA

IS

S

N

:

0

8

5

4

-1

0

8

6

h

tt

p

:/

/w

w

w

.s

u

m

a

u

i.

o

r.

(2)
(3)

P

erjuangan! Mungkin kata berim-buhan inilah yang paten untuk menggambarkan majalah edisi ini. Perjuangan melawan ego masing-masing, sempitnya waktu, pergelakan narasumber yang men-jadi informan penting dalam pem-beritaan dan perjuangan melawan seret-nya keuangan organisasi yang menaungi kami. Cukup sudah kerin-gat dan air mata yang keluar.

Tapi, perjuangan itu terbayar! Kini, majalah edisi khusus ini bisa dinik-mati teman-teman pembaca Suma sekalian. Ya! teman-teman yang rindu akan informasi media jurnal-isme kampus yang sedang belajar apa itu jurnalistik sesungguhnya seperti kami.

Edisi kali ini memang berbeda. Khusus untuk edisi ini, pemberitaan tentang reformasi yang memasuki umur 10 tahun menjadi topik yang mendominasi. Ini bukan tanpa ala-san. Mengapa?

Mungkin beberapa orang akan berpikir skeptis. Edisi ini ada me-mang karena momennya pas. Toh, tidak ada salahnya ikut meramaikan suasana ulang tahun sang refor-masi yang menjadi sejarah bangsa ini. Tak hanya itu, Suma edisi ini hadir karena kami peduli atas nasib bangsa ini yang masih saja berjalan di saat negara lain berlari.

Dalam edisi kali ini pun rubrik opini kami beri porsi yang lumayan

besar dibanding dengan rubrik yang lain. Selain itu, rubrik kampus pun diisi oleh suara teman-teman maha-siwa dan beberapa alumni UI yang kini menjadi figur dalam masyarakat.

Tidak ada alasan khusus. Kami hanya menyadari, kami adalah wa-dah aspirasi yang tak boleh meng-gurui. Oleh karena itu, kami beri kesempatan untuk beragam orang dengan beragam pemikiran untuk mengutarakan aspirasi mereka.

Untuk apa? Agar pembaca kami bisa merekonstruksikan sendiri informasi yang dia dapat. Karena kami ingat, bahwa pada prinsipnya, media bukan sarana untuk meng-klaim suatu persoalan. Media adalah fasilitas yang membuat ma-syarakatnya paham atas persoalan yang ada.

Mengutip aksioma dalam ilmu komunikasi “we cannot not

commu-nicate”, semoga Suma edisi kali ini

bisa menjadi wadah komunikasi ma-hasiswa UI. Semoga informasi yang kami beri menjadi penambah ilmu teman-teman. Setidaknya menjadi sekedar pengetahuan untuk teman-teman sekalian.

Terakhir, terima kasih. Terima kasih atas kesediaannya membaca. Inilah produk kami, hasil kerja keras selama ini. Semoga berkenan. Hidup Mahasiswa!!!

REDAKSI

Pelindung Tuhan Yang Maha Esa

Penasihat Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Gumilar R. Soemantri, der. Soz Direktur Kemahasiswaan

Drs. Kamaruddin, M.Si

Pembina Drs. Ade Armando, M.Si

Pemimpin Umum Diponegoro

Pemimpin Redaksi Hafizhul Mizan Piliang

Sekretaris Redaksi Devi Raissa

Redaktur Pelaksana Sefti Oktarianisa

Wakil Redaksi Pelaksana Happy Indah Nurlita

Redaktur Foto Riomanadona

Redaktur Artistik Imam Fahmi Wibowo

Redaktur Bahasa Fanny Fajarianti

Redaktur Senior Muhammad Haripin, S. Sos, Pangeran Ahmad Nurdin, S. Sos

Redaktur Sururudin, Novie, Anaya Noora, Chrissendy T.L. Sitorus, Diah Setiawaty, Yuliniar Vida.

Reporter Asri Muninggar Sari, Resti Mirzalina, Dewi Andriani, Novie, Olgha Tabita, Nurul Farichah, Denissa Faraditha A., Erichson Sihotang, Rifka Rizkia, Dinar Rahmi, Ni Made Kumara Santi Dewi, Aisyah Ilyas, Laras Larasati, Yuliniar Diva.

Fotografer Ade Irawan, Titah Hari Prabowo, Lila Kesuma Hairani, Putri Rahayu Wulandari, Ali Budiharto, Salich.W

Desain, Tata Letak, dan Pracetak

Buanawista Fajar Gafawijd, Rizki Amalia, Hanifah Ramadhani, Fidella Nindita, Taqwa Tanjung, Friska Titi Nova.

Riset Faishal Ismail, Rizky Sadali, Rizky Malinda, Roy, Sarah Albar.

Sirkulasi, Promosi, dan Marketing Dian Rousta Febrianti (Koordinator), Agnia Kartika, Karina, Rifki Hidayat, Christina Ken Maria, Aisa Ayu Dita Sabariah, Cindy Fortuna, Ghita Yoshanti,

Penerbit B.O. Pers Suara Mahasiswa UI

Percetakan Suma Design & Printing sdp@sumaui.or.id

ISSN 0854-1086

Berdiri Sejak 27 Juni 1992

Alamat Redaksi, Sirkulasi, Iklan Dan Promosi Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Lantai 2, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 email: majalah@sumaui.or.id

website: http://www.sumaui.or.id contact person: Devi Raissa 0817400400 (Redaksi), Dian Rousta F. 081359254023 (Iklan dan Sirkulasi)

Redaksi menerima tanggapan, saran, kritik, maupun surat pembaca melalui email majalah@sumaui.or.id, atau sampaikan langsung ke sekretariat redaksi Suara Mahasiwa di Pusgiwa Lt. 2.

PerJuanGan..

ADE/SUMA

(4)

cover story

Foto: Dokumen SUMA UI Desain: Titah Hari Prabowo Tata Letak: Diponegoro

laporan utama

12

Gerakan Mahasiswa: Game Over! Reformasi Memakan Korban Rakyat Indonesia

16

Prof. Dr. Amien Rais: “Reformasi Itu Kandas”

20

Aksi Mahasiswa yang Berhubungan dengan Reformasi Sejak 1998

liputan khusus

38

Aktivis Gerakan Mahasiswa ‘98 Di Manakah Engkau Sekarang?

41

Pers Mahasiswa, Bukan Cuma Sisi Lain Pergerakan Mahasiswa

44

Wien Muldian “Kompor” Aksi Mahasiswa ‘98

46

Rama Pratama: “Aktivis Mahasiswa Ada Masanya“

kampus

55

Mereka Bicara Semangat Reformasi

60

Riset Kampus:

Mahasiswa UI: “Reformasi Salah Arah”

no. 24, tahun xv, 2008 EDISI KHUSUS 10 TAHUN REFORMASI

11

10 taHun reformasi

Gerakan Mahasiswa: Game Over! Reformasi Memakan Korban Rakyat Indonesia

16

Prof. dr. amien rais: “reformasi itu kandas”

37

aktivis Gerakan maHasiswa ‘98 di manakaH enGkau sekaranG?

(5)

budaya

74

Amuk Massa=Asyik Massa

kesehatan

84

Desentralisasi Kesehatan : Askeskin Dicabut, Masyarakat Dirugikan

catatan perjalanan

70

Perjalananan Panjang Atas Nama Cinta

cerita pendek

87

Ivory

90

Sepuluh Tahun Yang Lalu

opini

65

Quo Vadis Pendidikan Tinggi Negeri (BHMN) di Indonesia: Tarik-Menarik Kepentingan Antara Pelayanan Publik dan Privatisasi Perjalanan Reformasi

68

Merdeka dari Kemelaratan Menuju Demokrasi Paripurna

resensi

92

Catatan Perjalanan Reformasi

93

Cinta May di Tragedi Mei

rubrik tetap

01

Dari Pusgiwa

04

Pojokan Pusgiwa

04

Opini Foto

05

Pembuka Suara

06

Suara Pembaca

08

Goresan

09

Mantan Aktivis

10

Nuansa

24

Opini Sketsa

48

Sorot

94

Singkap

96

UI Mania

96

UI-ku, UI-mu, Ndut...!

evaluasi reformasi

25

Reformasi Politik Soehartoisme Tanpa Soeharto

28

Reformasi Politik Kesalahan Besar Reformasi !!!

30

Reformasi Ekonomi Ekonomi Pasca 10 Tahun Reformasi “Growing Pain

32

Reformasi Militer Metamorfose Hubungan Sipil-Militer

34

Reformasi Kesejahteraan Demokratisasi dan Agenda Kesejahteraan

50

Reformasi Pers Pers, Suara Tuhan

52

Reformasi Pers Pasang Surut Politik Hukum Kemerdekaan Pers

63

Reformasi Pendidikan “Cermati Lagi Tataran Pelaksanaan Pendidikan di Indonesia”

76

Reformasi Budaya 10 Tahun Reformasi Pruralisme Terancam

78

Reformasi Hukum Pendidikan Hukum dan Mata Rantai yang Hilang

80

Reformasi HAM

Reformasi Tanpa Penegakan HAM

82

Reformasi Perempuan Perempuan Pasca 10 Tahun Reformasi

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 3

95

afGan

sYaH reZa: “ui Gitu

LoH...”

93

Cinta maY di

traGedi mei

55

mereka BiCara semanGat reformasi

70

Catatan PerJaLanan Perjalanan Panjang atas nama Cinta

(6)

pojokan pusgiwa

“Keep off the grass, ladies...!”

reformasi sudah berumur 10 tahun

Nggak ada perubahan! Mungkin harus bersabar sampai 100 tahun reformasi.

uang kuliah mulai angkatan 008 disesuaikan Disesuaikan? Maksudnya NAIK kalee, ah...!

rektor pilih sendiri dekan tiap fakultas... Pantas ada 7 nama Bambang... masalah selera ternyata!

ui mau pecahkan lagi paduan suara terbanyak!

Cuma prestise, bukan prestasi.

Pintu jalan antara teknik dan asrama ditutup Jadinya yang indehoy deket stadion makin

banyak, Pak!!

aksi kepung istana oleh Bem seluruh indonesia direncakan tiga hari

Baru satu malem aja udah pada pilek....

opini foto

(7)

Pemimpin umum Diponegoro sekretaris umum Rifka Rizkia Bendahara umum Dinar Rahmi

manajer Penerbitan/Pemimpin redaksi majalah suma Hafizhul Mizan Piliang manajer Perusahaan Aghny Arisya Putra manajer riset Fanny Fajarianti kepala Biro sdm Putri Rizqi Arlita

kepala Biro Humas Izza Soraya kepala Biro kesekretariatan Lila Kesuma Hairani Pemimpin redaksi Gerbatama Achdiyati Sumi Permatasari Penanggung jawab website Titah Hari Prabowo

kepala unit operasional Dian Rousta Febrianti kepala unit event organizer Rifki Hidayat

Do the one thing you

think you can’t do.

Fall at it. Try again.

Do better the second

time. The only people

who never tumble are

those who never mount

the highwire. This is your

moment own it.

(Oprah Winfrey)

(8)

TIGA JUTA RUPIAH BUAT MAHASISWA BIPA

Saya mahasiswa FISIP yang membantu seorang mahasiswa BIPA (Bahasa Indonesia un-tuk Penutur Asing) yang akan mengurus KITAS (semacam identitas bagi warga negara as-ing) di kantor imigrasi. Salah satu syarat untuk mendapatkan KITAS adalah melampirkan fotokopi KTP Sponsor yang menjadi penjamin dari maha-siswa ini. Dalam hal ini spon-sor adalah Manajer Program BIPA FIB UI yaitu Ibu Irsanti. Namun ketika teman saya ini meminta fotokopi KTP, Ibu Ir menolak memberikan. Ibu Ir hanya mau memberikan foto-kopi KTP nya kepada seorang agen bernama Nenden. Agen inilah yang nantinya akan mengurus KITAS sampai beres. Yang perlu dilakukan hanya menghubungi Nenden dan membayar sebesar tiga juta rupiah. Padahal teman saya mau mengurusnya sendiri. Te-man saya telah bolak-balik ke kantor imigrasi Bogor untuk mengurus KITAS tapi ter-bentur masalah fotokopi KTP Ibu Ir. Dan biaya mengurus

KITAS yang saya ketahui dari petugas imigrasi adalah sebesar 800 ribu sampai satu juta ru-piah. Ibu Ir mengatakan bahwa selama ini setiap mahasiswa BIPA selalu membayar agen dan agen yang akan memberes-kan semuanya. Jadi teman saya tidak perlu repot bolak-balik ke kantor imigrasi.

Mengapa birokrasi UI khusus-nya di FIB menyulitkan? Men-gapa Ibu Ir hanya mau mem-berikan fotokopi KTP kepada agen yang bernama Nenden? Ada hubungan apa antara Ibu Ir dengan

Nenden? Benarkah biaya untuk mengurus KITAS sebesar tiga juta rupiah?Lalu apa salahnya jika teman saya mau mengurus KITAS sendiri? Bukankah agen hanya membantu jika memang orang tidak memiliki waktu untuk mengurusnya sendiri? Saya bener-bener ga

habis pikir. Semoga masalah ini dapat segera terjawab karena saya jadi gak bisa tidur memikirkannya.

Mahasiswa FISIP 2005

(Nama ada pada redaksi)

KELUHAN SIAK NG DI FISIP

Saya mahasiswa FISIP angka-tan 2005. Melalui SUMA, saya ingin mengeluhkan pengopera-sian SIAK NG di FISIP. Seb-agaimana diketahui, sekarang semua fakultas di UI sudah menggunakan sistem SIAK NG sebagai cara untuk registrasi akademik mahasiswanya. Jadi mahasiwa yang ada di UI diberi kemudahan untuk mendaftar ulang, berkonsultasi dengan PA, menentukan mata kuliah dan berapa SKS yang akan diambil hanya melalui internet. Akan tetapi, kemudahan ini tidak saya temui dalam pen-goperasian SIAK NG di FISIP. Memang,

FISIP merupakan salah satu fakultas pertama, pionir ad-anya SIAK NG. Akan tetapi, kenapa ya, ketika SIAK NG sudah diberlakukan di semua fakultas di UI, FISIP seolah jadi fakultas yang tidak meman-faatkan kemudahan ini sebaik-baiknya.

Mengapa saya katakan demiki-an? Hal ini karena, meskipun SIAK NG dan registrasi

aka-Badan otonom Pers suara maHasiswa ui (suma ui) merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik dan penerbitan, dijalankan sepenuhnya oleh mahasiswa, bernafaskan intelektual, dan bersifat independen terlepas dari intervensi pihak manapun, dalam rangka menjalankan fungsi kontrol sosial pers mahasiswa.

Sejak resmi didirikan pada 27 Juni 1992, SUMA UI telah menerbitkan 24 edisi majalah self titled, Suara Mahasiswa. Pada tahun 1998-2001, SUMA UI juga menerbitkan buletin pergerakan yang bernama “bergerak!”. Selain itu, sejak tahun 2003, SUMA UI juga menerbitkan buletin bulanan, Gerbatama, yang

telah terbit sebanyak 31 edisi.

SUMA UI, yang merupakan satu-satunya organisasi pers mahasiswa tingkat universitas, memiliki ciri khas tersendiri dalam cara penyampaian informasi/berita. Selain membahas isu global yang berkembang, ruang lingkup utama berita SUMA UI adalah membahas isu dan fenomena yang di berkembang

lingkungan kampus UI.

(9)

demik via internet diberlakukan, FISIP masih menginginkan mahasiswanya datang ke kam-pus untuk registrasi ulang, baik konsultasi dengan PA, menen-tukan mata kuliah yang diambil, dan tanda tangan KRS kuliah apa saja yang akan diikuti. Hal ini terus terang saja member-atkan. Apalagi bagi saya yang mahasiswa rantau. Saya harus bolak-balik dari kampung ke UI hanya untuk registrasi aka-demik saja. Untungnya jarak antara kampung halaman saya dan UI hanya sebatas dua pu-lau. Coba kalau saya tinggal di Indonesia bagian timur. Berapa biaya yang harus saya keluarkan hanya untuk bolak-

balik saja ke UI demi mengisi KRS saya? Lagipula, tak semua mahasiwa FISIP punya orang tua yang super mampu dalam bidang finansial.

Harapan saya, melalui SUMA, semoga manejemen SIAK NG di FISIP berbenah diri. Kalau fakultas lain saja bisa memu-dahkan mahasiwanya regis-trasi akademik melalui internet saja, tanpa datang ke kampus, mengapa FISIP tidak bisa? Bukannya SIAK NG itu seuatu

bentuk kemajuan teknologi. Ko, dibuat seolah-olah teknologinya belum maju?

Semoga para petinggi FISIP mendengarkan dan peduli akan hal ini. Terima kasih.

Mahasiswa FISIP 2005

(Nama ada pada redaksi)

EFEK UI WOOD DI UI

Universitas Indonesia punya UI Wood. Namun bagaimanakah

efek UI Wood pada

kampus kita? Sebenarnya per-tanyaan ini muncul ketika saya mengalami “banjir” saat pulang kuliah. Ini adalah hal pertama yang membuat saya kaget, “kok bisa sih UI kebanjiran?” .

Kenapa bisa terjadi? Apakah ini menunjukkan bahwa warga UI belum patuh dalam mem-buang sampah pada tempatnya? Atau

berkurangnya lahan pe-nyerapan air di kampuslah yang menjadi penyebab? Yah, fenomena itu terjadi pada ta-hun 2007 akhir. Nah, ternyata fenomena ini lagi-lagi terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Hujan deras yang tidak

terlalu lama membuat daerah di dekat Balairung bagaikan sungai dan jalanan tergenang. Ironis sekali, saya sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Psikologi yang merupa-kan bagian dari civitas akademika

UI, menyambut baik tinda-kan nyata yang berujung pada terwujudnya kampus hijau UI. Mungkin, perlu adanya keter-libatan yang involve dari selu-ruh civitas academica UI. Dalam memberikan suatu intervensi pada berbagai hal, para pembuat kebijakan

har-uslah melihat kelebihan dan kekurangan program yang dibuatnya. Diperlukan evaluasi pada program yang dilakukan, dan jangan lupa untuk mengi-kutsertakan seluruh warga UI dalam setiap kegiatan. Mari wujudkan UI yang hijau dan dekat dengan lingkungan. Wallahu’alam.

Dian Annuriah R Mahasiswa Psikologi 

TANYA GERBATAMA

Buletin Gerbatama yang dike-luarkan SUMA selama ini berukuran A4. Akan tetapi, beberapa minggu yang lalu, saya mendapatkan Gerbatama dengan ukuran yang lebih kecil. Terus terang saja saya sempat pang-

ling melihatnya. Saya pikir ini buletin terbitan baru. Kalau boleh tahu, mengapa pihak Gerbatama melakukan hal ini? Padahal menurut saya ukuran yang lama itu sudah cukup baik?

A. M. Ariyoga Mahasiswa FIB 

Bung Ariyoga, pertama kami mengucapkan terima kasih telah menjadi pembaca setia Gerbatama. Perubahan Ger-batama memang telah kami canangkan sebelumnya dengan slogan “Metamorf ”. Tidak ada alasan khusus, hanya kami ingin memberikan suatu kesegaran dan suasana baru bagi pembaca. Kami tahu, pada awalnya sulit

menerima perubahan. Namun, kami percaya kesegaran Gerbata-ma akan memberikan nuansa baru bagi kita bersama.

Indonesia Universitas

yo u r g a te w ay to t he wo r l d o f e xc e l l e nc e. . .

Gait lummolu msandit ex eugiatie del inim etue commodolor

em zzrit lore te volobortin veliscilit adignim volor siscili quipissed tat, commodo odolor in venim qui blamcon senis-cilit nonullutpa

t lummy non ut at. Elit eum nis augait la facing er iurem veliquipis num in henit alit num quat. Loboreet ullummo loborperos eugait velis niam nullam, verat ullaorem in utat. Magnis nim zzrilis alis del ipsum dolumsan

exeriure facilisi eugue conulpute tate modo-lortio el ullan eliquis

doloboreet dolore tin hent wis el iusciduis er se tisl ut ipissed dolortissi. Nismolessit wisi eriliquat. Venim zzriuscidunt la consenim do ectet, quis er sequi bla aliquations exerat irilit alit acincip sustrud tem irillan enissed del ipis nonsequis dolore faccum nos nim ero odip exer sisim iril dions nissi. Unt volorpero dolupta tueraestrud dionseq uipsustisi te ea feui exer-aesto odipit delendio dit

, susciduisi. Olorper aestrud tate eu facidunt la ad dolor sequisi bla consendiam dit, sit, quam zzrit nulla facil ut dolup-tat, quat vel ea con vullan velesto odolutate velestie deliquat. Velis accummy nostio cortie tio dio odoloreet, quamcon senibh essim ipsummy nonsectet vullamc onse-quat. It, si tinim num vulla alit

ulput-pat lortio esenis esequat alis dipisi bla feugait, vero dit augait doless-enim eraesed te eu faci euis ad enisl doloreet utat. Duis nos niscipit atin henit, sequisim velenis nulla feu feuipit nonsenim quis doleniam ipismolor inis exerosto etumsan utat, sed tio consed del ullam irilit ut alis ea facidunt illaoreet

, volenim in ullaore te feuguerci bla conulla acilit nos dolum nit dolortis exer sum nos num duipit lum zzrit ver irit wismod mincin heniam acin volummolor augueri liquat. Os dun

t wis adip eummodo loreet acipis dit lumsan ute dolore et num dignis augait loreet, quis nulla amet wisi te facipit vel dolobortis atie magnibh etum zzrit alisi tin volore feugue

tie dolo-bore tio delenim in el utat, quamcon esequis esequat adiOre ea feum ilit, sumsan essendrem quat. Ut lumsandiam, quisi blandit, venim veliquisi te consenibh er si. Nulla alis nonsend iamcon vel utat. UtAmentrobsen vistus

bonste manunum perrachuit; non sende et is? Arios es cotiamdiist

iam hin scre, octus, con andam audea in diempo-rei senterorae obsendena, teribus virte nost vit; hor

e ad ceratoreo, Cat. Posultod C. Fex me maximperis paterte te auconverum. Tumena, Castanu im in videt, numere ta, es! Sat, es bon Ita, prorari

ADA APA DENGAN PEMIRA? Pro Kontra Seputar Pemira

EDISI 02 | 21 April 2003 | Editorial

Diterbitkan oleh:

halaman2

halaman3

halaman4

ue commodolorem zzrit lore te volobortin ue commodo-lorem zzrit lore te volobortin ue commodol

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 7

(10)

P

oetri Hindia, majalah perem-puan pribumi pertama di Indonesia, memuat sejumlah kisah tentang penderitaan dan perjuangan perempuan- perempuan Hindia Belanda (se-butan untuk Indonesia sebelum kemerdekaan) dalam meraih haknya. Masalah kedudukan perempuan dan emansipasi benar-benar mendomi-nasi tema yang diangkat majalah yang terbit tepat 100 tahun lalu itu. Sungguh hebat perjuangan mereka sehingga membuat saya terinspirasi. Ketika tulisan ini dibuat, hari Karti-ni sudah lewat namun bukan berarti kajian tentang perempuan berhenti. Di tengah gejolak dan semangat 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun reformasi, tak salah jika mencoba sedikit berpikir tentang perempuan.

Siapa sebenarnya perempuan? Per-tanyaan itu tiba-tiba saja muncul ke-tika membaca artikel-artikel dalam majalah Poetri Hindia di atas. Bagi yang pernah membacanya pasti akan terkagum-kagum pada sosok pe-rempuan. Mengapa kita seolah tidak mengenal mereka? Padahal, mereka ada di sekitar kita, setiap saat, bah-kan sangat dekat.

Perempuan adalah makhluk yang mampu melahirkan karena ia mem-punyai rahim. Ia yang melahirkan semua keturunan Adam di bumi ini. Suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Perempuan lebih mengedepankan emosi daripada rasio. Karenanya, banyak yang men-gatakan perempuan lebih emosional daripada lelaki. Perempuan memiliki payudara dan vagina, dua organ yang hanya dimiliki perempuan. Kedua organ itulah yang nantinya mem-buat lelaki ’tunduk’ pada mereka. Jadi, salah bila memandang perem-puan sama dengan lelaki. Mereka

berbeda. Karenanya, sepakat bila ada perbedaan perlakuan terhadap perempuan. Namun bukan berarti diskriminasi. Perbedaan perlakuan tentu akan berbeda dalam hal, mis-alnya transportasi, perang, pakaian, cuti, dan hal lainnya.

Jika kita melihat secara jernih, di era reformasi saat ini, perempuan-perempuan yang telah dibangkitkan

Poetri Hindia (selain juga Kartini), justru mengalami kembali kegela-pan sejarah, di mana kedudukan perempuan selalu dibandingkan dengan lelaki, dan dikatakan lebih rendah. Padahal katanya, perempuan itu adalah makhluk yang mampu menundukkan lelaki. Sungguh ab-surd, dan pada bagian inilah saya merasakan kebingungan yang luar biasa. Sama halnya, ketika kenyataan bahwa Poetri Hindia tak banyak disinggung dan disepelekan dalam sejarah. Mengapa?

Setidaknya, kita telah mencoba mengenal mereka lebih dekat. Perempuan telah melakukan banyak hal bagi manusia dan dunia. Sangat naif jika menyepelekan mereka. Sejarah pun harus lebih adil melihat perempuan. Sejarah saat ini penuh dengan maskulinitas. Istilah sejarah pun begitu maskulin, yaitu history

(cerita-nya, laki-laki) bukan herstory

(cerita-nya, perempuan). Pelaku sejarah pun terpusat pada laki-laki. Seolah tidak ada perempuan dalam sejarah.

Terakhir, perempuan adalah makhluk luar biasa. Ia mampu menciptakan perbedaan pada dunia. Ia menciptakan cinta yang tak ada bandingannya. Walaupun banyak juga hal-hal yang tidak bisa dila-kukan oleh perempuan dan karena itulah laki-laki ada. Lalu, masih per-lukah feminisme? Masih perper-lukah maskulinisme?

Diponegoro

Pemimpin Umum Badan Otonom Pers Suara Mahasiswa UI

Mahasiswa Ilmu Sejarah Angkatan 2005

BERPIKIR TENTANG PEREMPUAN

goresan

(11)

M. Fauzie Syuaib

Sekum Senat Mahasiwa FISIP UI 1984-1985

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 9

RIO/SUMA

(12)

B

aru-baru ini sebuah program unggulan dari stasiun televisi nasional,

Kick Andy!, melakukan show off air-nya di UI. Tenar betul acara ini, sampai ada pe-nonton yang tidak dapat kursi rela untuk duduk di lantai. Rek-tor UI-pun hadir dan ikut mem-beri bantuan ketika itu. Kenapa ia begitu fenomenal? Andy F. Noya, sang presenter terang-terangan menjawab dalam show

itu, “Karena acara ini ditonton dengan hati”. Yang pada akh-irnya bisa mengins-pirasi dan motivasi.

Namun, hati beberapa kali hati tak terlihat. Kalaulah pakai hati, para tentara tidak akan me-muntahkan timah panas kepada calon-calon pemimpin bangsa sepuluh tahun yang lalu. Ini semata adalah perintah. Ketika perintah dikeluarkan maka hati dilupakan. Mungkin begitulah caranya berpikir . Kalau me-mang begitu, kita harus merunut ke atas, kita perintah tertinggi di negara ini yang jatuhnya ke presiden, meski kedaulatan bu-kan di tangan beliau. Untuk za-man sekarang, saya rasa mung-kin kita sudah punya presiden yang memakai hati, buktinya beliau bisa menggubah lagu dan menangis menonton film sedih. Namun di sisi lain, banyak juga yang berteriak. Kalau jadi BBM naik lagi, ini adalah yang ketiga dalam 5 tahun terakhir. Angka bunuh diri di masyarakat sudah semakin tinggi. Pun tidak mau bunuh diri, kematian akibat kelaparan berbiak secara merata. Kenaikan ini Insya Allah akan menambah tanggungan rakyat. Kalaulah begitu, benarkah ada

hati dalam kebijakan itu? Susah dimengerti.

Baru-baru ini, rektor UI menge-luarkan Surat Keputusan baru tentang biaya pendidikan yang baru di UI. Kalau melihat jum-lah maksimal, niscaya kita akan terhenyak. 7.5 juta untuk IPA dan 5 juta untuk IPS. Namun, ternyata kebijakan ini memakai hati. Untuk jumlah minimal, cukup hanya 100 ribu rupiah saja. Tak lebih sepuluh hari kerja bagi tukang sapu yang di-pekerjakan secara outsourcing di kampus ini. Jumlah absolutnya kemudian diatur oleh sebuah mekanisme yang melibatkan lembaga eksekutif mahasiswa. Tampaknya menyenangkan. Mekanisme itu dibuat dalam bentuk pembuktian adminis-trasi. Slip gaji, rekening dan sebagainya harus disertakan., diakhiri dengan wawancara un-tuk melihat kebenaran dokumen. Dalam penentuannya, “hati” ternyata tidak dihitung. “hati” bisa menipu dan dokumen ti-dak. Saya kurang setuju dengan ini. Kalau teman tidak percaya, cobalah tengok penerimaan mahasiswa baru dalam penen-tuan Admission Fee berlangsung, terutama di fakultas tertentu. Di situ jantung bapak-bapak ber-detak kencang, dan air mata ibu-ibu mengalir. Saya rasa air mata tak akan bohong meski sebagian orang bisa melakukannya. Ini mungkin akan berulang untuk penentuan BOP.

Kalaulah itu terjadi, lalu di manakah hati. Cukup di lagu dan janji-kah? Atau hanya ada dalam tontonan? Ini semakin membingungkan.

Hafiz Mizan Piliang

Pemimpin Redaksi Majalah Suara Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Goegrafi

Angkatan 2004

Hati

(13)

REfoRmasi mENiNggalKaN bEbERapa

waRisaN yaNg TERlupaKaN.

dEmoKRasi, KEsEjahTERaaN,

daN KoNdisi masyaRaKaT masih

mEmpRihaTiNKaN. mahasiswa haRus

dapaT mENjawab asa REfoRmasi

yaNg TElah hilaNg

Gerakan maHasiswa:

Game over!

reformasi, memakan

korBan rakYat indonesia

(14)

Gejolak reformasi tahun 1998 tak bisa lepas dari sebuah kelompok aksi gerakan mahasiswa. Kelompok aksi menurut Jeff

Haynes merupakan aktifitas untuk men -capai tujuan mereka sendiri dan meman-dang diri mereka sebagai kelompok kare-na terkait dengan keadaan serupa seperti kemiskinan, gender, keyakinan agama, etnis dan apa saja. Kelompok ini se-cara sadar mengaitkan perjuangan prib-adi mereka pada penciptaan masyarakat yang lebih demokratis dan adil.

R

eformasi ’98 merupakan respon ketida-kpuasan mahasiswa dan sebagian kecil masyarakat pada kondisi yang ada. Hal ini bisa disebabkan antara lain harga-harga yang melambung tinggi, pembatasan dalam berekspresi, dan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia oleh penguasa. “Format ekonomi tak se- suai dengan keinginan rakyat, yang tidak sejahtera dan menderita” ujar Sri Bintang Pamungkas. Akhirnya, tindakan ofensif dilakukan dengan

menumbangkan rezim Soeharto, yang ketika itu dianggap sebagai common enemy (musuh bersama) bagi mahasiswa.

GERAKAN MAHASISWA:

Game over!

(15)

Sekarang, sudah sepuluh tahun dari kejadian ini. Akan tetapi, apa yang diharapkan justru tak terjadi. Menurut Bony Hargens, ini bisa diketa-hui dari karakter mahasiswa Indonesia yang cenderung tidak bergerak secara total. To-talitas perjua-

ngan hanya ada dalam lagu dan tidak meresap pada suatu sikap nyata dalam aksi dan pemiki-ran yang berkesinambungan. Ia berpendapat, sebuah reformasi ternyata dapat dianggap se-bagai blunder kesalahan hasiswa yang merugikan ma-syarakat sendiri. “Ini bisa dike-tahui dari tidak adanya ideologi kebangsaan yang dibangun mahasiswa. Pancasila sebagai

landasan negara semakin tidak jelas. Indonesia setelah Refor-masi ’98 tidak mempunyai arah pembangunan”

Di satu sisi, mahasiswa berhasil menurunkan ujung tombak rezim Orde Baru. Akan tetapi, di lain pihak ini mendapat tanggapan skeptis masyarakat kecil. “Coba kalo ga ada reformasi, pasti harga masih bisa murah, jaman Soe-harto itu apa-apa bisa murah,

ga kaya sekarang”, tutur Warti, pedagang Warung Tegal (Warteg) di Depok.

Menurut Sri Bintang, lengser keprabonnya Soeharto ternyata tidak berpengaruh besar terhadap permasalahan bangsa. Kegiatan korupsi yang semakin marak, tertangkapnya oknum-oknum pejabat negara karena korpusi adalah bahwa kegiatan korupsi tetap lestari walapun ada reformasi sudah sepuluh tahun ada.

Dany, aktivis ’98 yang menjadi pedagang aksesoris motor mengatakan ia menyesal dulu ikut reformasi. “Sekarang kedaan malah tambah buruk,” ungkapnya. Perbaikan keadaan masyarakat bertolak belakang dengan tujuan reformasi. Visi gerakan mahasiswa tidak ses-uai dengan kenyataan.

“Ternyata kehidupan sema-kin buruk, dulu irigasi buat sawah baik, ada perhatian tinggi bagi petani, sekarang buat air sawah kita harus bere-but, pupuk naik, panen pun turun,” ungkap Rudin, yang berprofesi sebagai petani di Jawa Tengah.

Peran mahasiswa dalam melakukan perubahan perlu di-pertanyakan kembali. Kekece-waan masyarakat begitu tinggi pada mahasiswa yang tidak fokus pada bidangnya. Tang-gapan sinis datang dari Biner

Tobing, mantan ketua Dewan Mahasiswa UI angkatan ’78, “Mahasiswa sekarang belajar

saja dengan serius, tidak usah ikut dalam kegiatan politik, bekerja, menikah, dan hidup layak lalu mati”.

Pendapat senada juga di-ungkapkan Jono, supir angkot di Jakarta. “Apa itu mahasiswa, kerjanya demo, bikin jalan macet, kita jadi tidak bisa kerja”.

Kebutuhan bangsa Indo-nesia atas tenaga kerja yang handal harus dijawab oleh ma-hasiswa masa kini. Tantangan globalisasi yang berhembus dari negara maju ke negara berkembang dengan begitu kencang dan harus ditanggapi dengan sigap oleh segenap ele-men bangsa. Menanggapi hal ini, Haris, seorang karyawan swasta mengatakan di Indo-nesia tidak ada tenaga kerja ahli. “Klien saya harus mem-bawa orang dari China untuk merawat peternakan ikan laut-nya di Indonesia. Padahal di Indonesia sendiri banyak ma-hasiswa tapi klien saya sendiri tidak percaya pada mahasiswa Indonesia,” katanya.

Gerakan yang merakyat ha- rus dilakukan dan mendapat porsi yang lebih besar karena sesungguhnya mahasiswa adalah rakyat, bukan orang elit, yang seharunya memang merakyat.

Gerakan Koran ala Maha-siswa

Hampir setiap hari ada demonstrasi di jalan-jalan Ja-karta dan daerah lain yang me-miliki. Gerakan mahasiswa di-dasarkan pada kondisi bangsa yang sangat problematik. Dari ekonomi hingga politik, dari beras, minyak tanah, dari tu-kang becak sampai SBY semua

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 13

10 tahun reformasi

(16)

berbicara tentang isu, isu, dan isu. Tidak ada bedanya sebuah gerakan mahasiswa dengan sebuah headline koran. ”Me- reka hanya sekedar teriak, ge- rakan mereka hanya gerakan reaktif semata,” jelas Boni Hargens, dosen ilmu politik UI.

Gerakan mahasiswa dan ge- rakan massa lain yang disebab-kan karena reaksi tanpa adanya suatu pemahaman yang sama semua massa. Hal ini menim-bulkan sebuah kegamangan kolektif. Mereka tidak mema-hami sebuah persoalan yang sama. Ketidakmengertian mer-eka atas suatu permasalahan yang ada. Massa seperti inilah yang memudahkan mereka di-provokasi pihak luar.

“Anak-anak memang mendapatkan info dari media massa”, Heggy Kearens, aktivis BEM UI. Media bisa mengen-dalikan sebuah aksi massa tapi akan sangat sulit mempenga-ruhi tatanan sosial.

Gerakan mahasiswa yang hanya berdasar isu semata ini tidak akan memunculkan sebuah perubahan dalam ma-syarakat. Tidak ada kematan-gan isu yang dibangun sejak lama. Setiap ada isu muncul mereka langsung serang. Tidak ada pembangunan perubahan

sosial dalam jangka panjang. Gerakan mahasiswa ternyata juga saling bersa-ing satu sama lain. Tak ada bedanya dengan suatu koran bersaing dalam oplah penjua-lan walapun berita yang dimuat sama. Persaingan ini dilandasi oleh keinginan agar dianggap sebagai superior di Indonesia. Bagaimana mereka mengang-gap dirinya superior tergantung dengan seberapa kuat melaku-kan aksi di jalanan dan efek yang dihasilkan.

Pasca-reformasi terjadi per-saingan agar dianggap sebagai pahlawan reformasi. Antara UI dan Trisakti, antara Jakarta dan non Jakarta. Muncul-lah beberapa organisasi baru, BEM Nusantara dan BEM SI, KAMI dan KAMMI, FKSMJ dan Forkot (Forum Kota). Per-saingan antar universitas ini dilakukan atas dasar manakah yang paling aktif dan bergerak. Manakah yang diliput di-blow up media? Sebuah ambisi yang jauh dari visi pembangunan Indonesia.

Persaingan dalam mem-buat agenda dalam melakukan aksi demonstrasi adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Manakah yang paling dahulu menyerukan kepentingannya?

Atas nama bangsa Indonesia mereka turun ke jalan, atas nama kesejahteraan bundaran HI harus disambangi, dan atas nama kesulitan ekonomi maka orang yang duduk di Senayan harus dimaki-maki. Itulah se-buah aksi.

Banyaknya sebuah organ-isasi ternyata bukan membuat kesadaran akan pentingnya persatuan, tapi mungkin me-lemahkan. Organisasi yang dulunya bersatu kini pecah menjadi berbagai macam nama organisasi. “Dulu organisasi mahasiswa itu satu, yaitu De-wan Mahasiswa,” ungkap Biner Tobing. Banyaknya organisasi mahasiswa sekarang sebagai akibat keberhasilan politik penguasa dalam memainkan pergerakan mahasiswa demi kepentingan mereka.

Perselingkuhan Mahasiswa, Penguasa dan Partai Politik

Gerakan mahasiswa banyak terkait dengan permasalahan dalam negeri. Mahasiswa digu-nakan sebagai alat pembubaran penguasa dari Soekarno sampai Soeharto. Kegagalan gerakan mahasiswa disebabkan kedeka-tan mereka dengan suatu ger-akan politik praktis.

Pasca Reformasi ’98 bondong-bondong aktivis ber-lomba mengejar karier sebagai politisi, banyak dari mereka yang kini duduk di DPR/MPR Senayan. “Mereka merintis karier politik sejak duduk di BEM, mereka mudah diman-faatkan oleh elit proterian yang hanya mencari peluang untuk berkuasa”, ungkap Boni Har-gens. Menurutnya dari mereka inilah partai politik menyusup ke kampus. Dinamika pesta demokrasi –pemilihan umum 1999, 2004, 2009,dst- mem-pengaruhi kebutuhan suatu

10 tahun reformasi

(17)

partai politik untuk mem-perbanyak kadernya. Mereka melakukan kaderisasi hingga masuk ke kampus-kampus.

Masuknya peranan par-pol pada gerakan mahasiswa memang tak dapat dipungkiri. Bahkan, suatu Parpol pasti mempunyai basis kader yang besar di kampus. Penyusu-pan-penyusupan parpol dalam kegiatan mahasiswa memang sudah terjadi sejak angkatan pertama negara ini merdeka. Masuknya CGMNI (Consen-trasi Gerakan Mahasiswa Na-sional Indonesia) dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) sebagai basis muda Partai Nasional Indonesia (PNI), yang kini menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah bukti nyata bahwa organisasi tersebut tidak inde-penden. Gerakan mahasiswa menjadi tidak independen dan hanyalah menjadi underbouw

kepentingan politik. “Mulai dari inilah muncul bibit-bibit perselingkuhan antara maha-siswa dan penguasa” ungkap Boni Hargens.

Ia berpendapat, perlunya menjaga gerbong gerakan ma-hasiswa agar tidak menjadi alat kepentingan politik adalah suatu kewajiban. Mahasiswa adalah kelas khusus dalam struktur masyarakat. Ia adalah penghubung kepentingan masyarakat dan penguasa. Idealismse bahwa kepentingan kepentingan masyarakat ban-yak di atas segala-galanya tidak dapat dibantah lagi. Gerakan mahasiswa angkatan ’66 yang ditunggangi ABRI merupakan contoh nyata bagaimana ma-hasiswa hanya dijadikan alat semata dari

penguasa. Perubahan

para-digma memang sangat terlihat apabila gerakan mahasiswa menjalin hubungan dengan suatu Parpol tertentu. GMNI, PRD, HMI, PMKRI, FAM, GMKI, LDK atau LDF dan masih banyak lainnya adalah organisasi yang dijadikan buffer

penyangga partai politik Menurut salah satu anggota SALAM UI yang aktif dalam kegiatan politik, peran besar gerakan mahasiswa saat ini begitu terlihat pada Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) atau Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Walaupun secara kasat mata terlihat sebagai orga- nisasi mahasiswa. Secara tidak langsung menunjukkan sebuah tahapan kedekatan antara ma-hasiswa dengan suatu partai politik tertentu. Kebesaran partai politik ini tidak dapat dipungkiri bahwa mereka telah melakukan kaderisasi melalui organisasi-organisasi kampus. KAMMI adalah contoh bagaimana keterkaitan erat antara organisasi mahasiswa dan partai politik, “Saya dulu ikut mendirikan KAMMI, waktu itu saya masih kuliah di UI,” ungkap Mustafa Kemal, sekarang anggota Fraksi PKS DPR RI.

Hal ini tentunya sejalan dengan kepentingan partai politik ini dalam upaya pe-menangan pemilihan umum 2009. Untuk dapat duduk dalam di suatu pemerin-tahan masih juga ditanya latar belakang organisasi maha-siswanya. “Kalau sedang rapat di DPR dalam pemilihan ketua suatu lembaga tertentu, pasti akan ada pertanyaan, dulu dia aktif di mana?”, ungkap Bivitri Susanti, aktivis Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK).

SURURUDIN

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 15

kiLas BaLik Gerakan maHasiswa

Berawal dari sebuah poli-tik penjajahan Belanda yang membutuhkan tenaga ahli maka mulai dibuka pendidikan bagi penduduk pribumi di tahun 1864. Jika gene-

rasi 1900 telah merintis sejarah kebangkitan nasional maka tantangan zaman yang dihadapi dan berupaya dijawab oleh gen-erasi 1928 menggalang kesatuan pemuda. Ditegaskan dengan ter-cetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktbober 1928 pada kongres Pemuda II, Sumpah Pemuda memunculkan kesada-ran pentingnya semangat ke-bangsaan dibawa ke tingkat baru yang lebih tinggi. Di mana para pemuda mengucapkan kesetiaan dan pengabdian pada satu nusa, satu bangsa, dan satu bangsa In-donesia serta dikumandangkan-nya lagu Indonesia Raya.

Pada masa pendudukan Jepang yang berlangsung

se-lama 3,5 tahun, saat itu situasi kemahasiswaan mengalami disharmoni, disorganisasi, dan distorsi akibat banyaknya pergu-ruan tinggi yang ditutup, kecuali fakultas kedokteran dan fakultas teknik. Jepang juga melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik, dan hal ini ditindaklajuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar, mahasiswa, termasuk partai politik.

Proklamasi 17 Agustus 1945 juga tak terlepas dari para pemu-da di pemu-dalamnya. Golongan bawah tanah yang dipimpin Chairul Saleh dan Soekarni menculik Soekarno dan Hatta ke Rengas Dengklok. Ini tak terlepas dari ciri khas pemuda yang cenderung radikal, romantis, ingin segalanya cepat dan terkadang revolusioner.

(18)

Sebagai tokoh penggagas, apa yang ingin Bapak bawa da-lam Reformasi ‘98 waktu itu?

Waktu itu, saya punya semacam kewajiban intelektual sekaligus moral keagamaan untuk menyampaikan yang be-nar itu bebe-nar dan berani menyalahkan apa yang saya yakini sebagai kesalahan. Nah, kesalahan bangsa Indonesia yaitu membiarkan seorang anak bangsa bernama Soeharto terlalu lama bercokol di panggung kekuasaan. Padahal secara alamiah seseorang yang terlalu lama bercokol di kekuasaan cenderung untuk korupsi dan semakin lama korupsinya tentu semakin besar power tends to c

orrupt and absolut power corrupts absolutely.

Peran mahasiswa dan masyarakat pada waktu itu?

Sesungguhnya jangan lupa mahasiswa tanpa dukungan masyarakat tidak mungkin bisa bergerak. Lihatlah waktu itu ada ratusan ribu nasi bungkus mengalir ke Senayan, dibuat ibu-ibu secara sukarela karena seorang ibu juga mencer-minkan kekuatan masyarakat. Mahasiswa itu menempel men-jadi a part and parcel of the hole society. Jadi mahasiswa tidak sendiri, di belakang ada orang tua, saudara, handai taulan, dsb.

P

rof. Dr. Amien Rais meru-pakan sosok yang ikut mem-bidani lahirnya reformasi. Konon ketika itu, mahasiswa menginginkan revolusi yang memer-lukan waktu yang sangat panjang. Le-laki yang akrab dipanggil Pak Amien inilah yang kemudian mengusulkan konsep yang bernama reformasi, se-buah haluan perjuangan mahasiswa dan rakyat ketika itu yang berujung runtuhnya rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun. Sebagai peng- gagas tentunya Pak Amien tahu, apa reformasi itu sebenarnya.

Di tengah kesibukannya, Amien Rais menyempatkan diri di wawan-cara dengan Suara Mahasiswa UI di kediamannya di Gandaria Selatan, Jakarta Selatan. Berikut petikan hasil wawancara dengan beliau.

PROF. DR. AMIEN RAIS:

“reformasi itu kandas”

10 tahun reformasi

(19)

Dalam pandangan Pak Amien, Agenda reformasi itu apa?

Untuk menegakkan kembali demokrasi yang sudah hilang ka-rena zaman orde lama demokrasi terpimpin hanya sekedar simbol, dalam orde baru demokrasi sudah lenyap diganti dengan demokrasi

Pancasila.

Visi reformasi waktu ter-laksana atau bagaimana?

Ya... ternya-ta reformasi itu

memang kandas. Memang dalam arti liberalisasi politik bang- sa kita menikmati. Tapi sayang sekali bahwa yang namanya pemulihan ekonomi masih jauh panggang dari api, penganggu-ran masih merajalela, kemiskinan tambah meluas. Rezim sekarang ini saya katakan broken gover-ment. Pemerintahan yang sudah carut marut, sudah kacau balau.

Broken goverment adalah sebuah pemerintahan kacau balau yang tidak lagi mampu mengurusi kebutuhan pokok rakyat, masa depan bangsa ini sepertinya tidak jelas karena itulah saya mengatakan reformasi itu kandas

Kendalanya kira-kira apa, Pak?

Kalau saya lihat begini, me-mang kekuatan lama itu masih terlalu kokoh. Jadi, kekuatan reformis hanya bisa mendesak mereka, ibaratnya itu bergeser dari tengah panggung tapi se-sungguhnya wilayah besar dari panggung nasional, itu masih meraka kuasai, kebetulan yang naik menjadi elit penguasa itu adalah sambungan dari masa lalu itu. Mengapa saya berani mengatakan sambungan? Karena mereka tidak pernah bisa menye-lesaikan kasus Soeharto selama empat presiden Indonesia.

Ke-empatnya itu, secara fundamen-tal ternyata masih merupakan sambungan dari masa lalu sehin-gga tidak pernah ada satupun yang berani memecahkan kasus Soeharto. Warisan korupsi yang menggelegar seperti halilintar, itu hanya dianggap kasus kecil tapi kasus-kasus yang besar tidak diungkap, apalagi diperiksa, diproses saja tidak berani.

Jadi saya bilang, jangan-jangan istana bagian dari korupsi besar itu karena istana tidak berani membuka skandal-skandal besar yang memburukkan rakyat kita. Jawaban saya yang bisa saya per-tanggungjawabkan dan didukung bukti-bukti, mengapa refromasi kandas karena yang muncul jadi elit di zaman reformasi masih sambungan dari masa lalu. Sikap mentalnya masih lebih kurang sama, permainan lebih kurang sama tapi yang beda hanya ba-junya.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 17

10 tahun reformasi

“...sudah saya rentas

jalan, jangan tidur terus,

lanjutkan (perjuangan

reformasi) kalau anda

betul-betul mahasiswa.”

A

D

E

/S

U

M

(20)

Lalu sebagai tokoh reformasi, apa pertanggungjawaban Pak Amien membuat rakyat

Indo-nesia menjadi begini?

Nah, saya sekarang minta pertanggungjawaban dari maha-siwa dan rakyat Indonesia. Saya dulu sudah meretas jalan, saya sudah berani melawan Soeharto. Tapi menghadapi bangsa yang penakut, mahasiwa peragu, jan-gan menyalahkan saya. Mungkin nyawa saya diincar oleh rezim waktu itu tapi dengan Bismillah

saya berani. Jadi tugas saya sudah selesai saat itu. Jadi kalau ada mahasiswa yang nanya di mana tanggung jawab Pak Amien, maka mahasiswa itu mental gu-rem. Sekarang saya balik nanya di mana tangggung jawab Anda? sudah saya buka jalan, sudah saya rentas jalan, jangan tidur

terus, lanjutkan (perjuangan re-formasi) kalau Anda betul-betul mahasiswa.

.

Menurut Pak Amien, kenapa gerakan mahasiswa sekarang tidak ‘segarang’ dulu lagi?

Saya sendiri tidak tahu. Se-sungguhnya, derita rakyat itu sekarang sudah hampir tidak ter-tahankan, terutama bicara rakyat

kecil. Tapi jangan lupa, yang namanya rakyat di manapun itu selalu statis, tidak bergerak karena ada perasan takut salah,

nrimo, kadang putus asa, dan kadang apatis.. Nah, itu perlu ada anak bangsa terutama mahasiswa yang mendinamisir kelambanan rakyat.

Mungkinkah negeri ini akan membaik dengan keadaan se-perti ini?

Dengan pemerintah sekarang ini sudah hopeless, sudah broken, tidak bisa dikembalikan lagi. Pe-merintahan sekarang ini sudah tidak ada harapan lagi. Tetapi (tetap) harus dihargai dan dihor-mati supaya selesai menunaikan tugasnya sampai 2009. Nah, di 2009 itulah saat dimana kita bisa memilih pemimpin yang lebih

responsible dan peduli kepada rakyat.

Setelah 10 tahun reformasi, menurut Pak Amien, makna apa saja yang bisa diambil ?

Kalau kita jadi bangsa yang mau jujur, kita harus mengakui agenda reformasi baru sebagian yang tercapai dan yang sebagian masih terbengkalai. Sekarang ini

kalau ada pemimpin yang jujur dan ikhlas tapi menggunakan

terminologi reformasi, ia sudah tidak disahuti lagi oleh rakyat. Mengangkat isu Reformasi cenderung basi karena sudah 10 tahun (masih) begini-begini saja. Orang bicara reformasi jadi negatif. Harus ada pembaruan yang lebih atraktif. Misalnya menegakkan kemandirian nasional, memulihkan kedau-latan ekonomi, politik, hukum, membangun mentalitas bangsa yang merdeka independan dan berdaulat. Menyusun program yang konkret membangun eko-nomi yang betul-betul membela rakyat dan sejumlah agenda lain yang muaranya membela kaum duafa, nelayan, tani, buruh, kaum kerani perlu elaborasi yang jelas. Mahasiswa harus dapat menjadi

bara yang bisa mengahangati bara yang sudah mati itu. Jadi se-perti arang, kalau ada arang yang panas satu dua tiga maka yang lain akan jadi panas juga.

SURURUDIN DEWI ANDRIANI

10 tahun reformasi

“sesungguhnya, derita rakyat

itu sekarang sudah hampir tidak

tertahankan, terutama bicara

rakyat kecil. ”

(21)

11 - 13 mei 1998

1190

orang meninggal terbakar

7

orang meninggal akibat senjata tajam

5

korban pemerkosaan

850

bangunan terbakar

untuk tumbal reformasi

dan sekarang

“reformasi itu kandas”*

(22)
(23)

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 1

(24)

10 tahun reformasi

(25)

Tanpa terasa reformasi sudah berjalan sepuluh tahun. Perang wacana dan berbagai kebijakan pemerintah terus bergulir. Akan tetapi kami melihat kenyataan yang ironis, bahwa setelah sepuluh tahun berlalu rakyat Indonesia masih belum merasakan perubahan yang nyata terutama di bidang

ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Semangat reformasi pun terus memudar di kalangan mahasiswa yang dahulu adalah motor penggerak perubahan rezim orde baru. Didorong atas

kekhawatiran kami dan semangat untuk terus bergerak, untuk memperingati sepuluh tahun reformasi, majalah Suara Mahasiswa (edisi khusus) kali ini menyajikan berbagai opini dan wawancara

eksklusif dari para tokoh guna mengevaluasi berbagai bidang pasca reformasi. Adapun bidang opini dan wawancara tersebut terbagi menjadi sebelas yaitu; politik, ekonomi, keamanan dan militer, hak asasi manusia, budaya dan pluralitas, pendidikan, gerakan pemberdayaan perempuan,

kesejahteraan sosial, hukum, pers dan media, dan gerakan mahasiswa. Semoga semua tulisan-tulisan yang dimuat dalam rubrik opini ini dapat menjadi bahan refleksi bagi para pembaca dan mendorong untuk terus bergerak menuntaskan agenda reformasi sehingga kita dapat segera

terbebas dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Viva La Libertad!

diah sETiawaTi

R E f l E K s i

REFORMASI

10

budaya

POLITIK

ekonomi

HAM

MILITER

perempuan

hukum

kesejahteraan

(26)

HANIF/SUMA

(27)

“K

ami berkuasa kembali!” Begitulah pesan utama para Soehartois, kekua-tan utama Orba Jilid Dua, sepanjang 24 hari terakhir Jenderal Besar (purn.) Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) hingga ke pemakamannya di Astana Giribangun, Solo. Siapakah Soehartois ini? Tak lain adalah keluarga, kroni dan loyalis, yang setia berpartisipasi penuh menjalankan praktik antidemokrasi berupa pelanggaran hukum sepan-jang rezim totaliter Soeharto-Orde Baru (Orba) berkuasa yaitu, (1) Korupsi, Kolusi, dan Nepo-tisme (KKN), dan; (2) Kejahatan Hak Asasi Ma-nusia dari Tragedi 1965 – 21 Mei 1998.

Kejahatan KKN dan HAM ini merupakan dua musuh utama demokrasi dan reformasi se-hingga harus diselesaikan secara hukum di ruang pengadilan. Bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Ban Ki Moon, dengan program

Stolen Asset Recovery (StAR) Initiave pada 17 Sep-tember 2007 telah menetapkan Jenderal Besar (purn.) Soeharto sebagai pemimpin politik ter-korup di dunia, dengan nilai ter-korupsi 15-35 miliar dolar AS.

Kemenangan Soehartois

Sayangnya, gagasan ideal reformasi 1998 akhir- nya terkatung-katung tak bertuan. Satu dekade hilang sia-sia untuk menuntaskan semua keja-hatan KKN dan HAM rezim totaliter Soeharto-Orba. Alih-alih penuntasan hukum, yang terjadi sebaliknya adalah impunitas terhadap Soeharto, keluarga, kroni dan loyalis. Para pemimpin politik pasca Soeharto dipenuhi segala jejaring hutang budi politik dan ekonomi, serta gagasan usang

yang tak lagi sesuai dengan praktik demokrasi. Misalnya saja, setelah PBB mengumumkan StAR Initiative bergegas Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda di Kantor Kepresidenan (19/9) men-gatakan, “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan meminta keterangan lebih jelas ke-pada Presiden Bank Dunia Robert Zoellick ke-pada Sidang Umum PBB 22-26 September di New York.” Optimistime muncul tetapi segera sirna

karena hasilnya nol besar, tak ada pembicaraan dan program SBY untuk menindaklanjuti StAR Intiative. Program global PBB melawan korupsi

sia-sia, karena SBY lebih berminat melindungi Soeharto, “Bapak Pembangunan KKN dan Keja-hatan HAM” tersebut. Sebelumnya Mahkamah Agung pimpinan Bagir Manan memenangkan Soeharto atas Time sebesar Rp.1 triliun, lalu Tommy Soeharto menang lagi di pengadilan dan Bulog dipaksa mengganti rugi senilai Rp. 5 miliar, boleh jadi tak lama lagi sengketa “uang Soeharto

Inc.” di Pengadilan Guernsey, Inggris, senilai 60 juta Euro juga akan dimenangkan Soeharto Inc.

Sempurna sudah kemenangan Soeharto Inc dan Soehartois sepanjang 10 tahun reformasi.

Di RSPP dan Astana Giribangun para Soe-hartois merayakan kemenangan SoeSoe-hartoisme tanpa Soeharto, memamerkan kekuatan ekonomi-politik Orba Jilid Dua. Karena itu tokoh utama mereka, simbol Orba, Soeharto, harus diselamat-kan dari segala jeratan hukum dan dianugerahi gelar ‘Pahlawan Nasional” versi Partai Golkar agar para Soehartois terlepas dari segala stigma buruk tentang Soeharto-Orba. Begitulah, RSPP yang notabene adalah rumah sakit, tanpa rasa ber-salah dan sungkan, para Soehartois berseru-seru

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 5

soeHartoisme

TANPA SOEHARTO

M. Fadjroel Rachman

Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]

dan Presidium Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forum Wacana) Universitas Indonesia pada Mei 1998

ISTIMEWA

(28)

ke semua media agar Soeharto dimaafkan semua kesalahan hu- kumnya. Padahal Republik In-donesia adalah negara hukum (rechstaat) sama sekali bukan negara halal bi halal. Seolah-olah mereka berniat baik, den-gan mimik sedih, padahal in-tinya adalah seruan, “Lupakan juga semua pelanggaran hukum saya dan kawan-kawan ketika berpartisipasi penuh mendu-kung rezim totaliter Soeharto-Orba.”

Semua perilaku para Soehartois tentu tak lepas dari keberhasilan meremukkan agenda utama Reformasi 1998 seperti, (1) upaya mengadili Jenderal Besar (purn.) Soeharto kandas, alih-alih mencari te-robosan hukum, setelah Jaksa Agung Abdurrahman Saleh menyetujui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Per-kara (SKP3) Atas nama HM. Soeharto, tanggal 11 Mei 2006. SKP3 ini menunjukkan bahwa perkara atas nama terdakwa HM. Soeharto ditutup demi hukum oleh pihak Kejaksaan Agung berdasarkan pasal 140

ayat 2 KUHAP. Alih-alih mendukung pengadilan So-eharto-keluarga-kroni sesuai amanat Tap MPR No. XI/ MPR/1999, Partai Golongan Karya (Golkar) pimpinan Jusuf Kalla memberi Soeharto peng-hargaan Anugerah Bhakti Pra-tama karena selama 32 tahun Golkar adalah Soeharto dan Soeharto adalah Golkar; (2) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami mutilasi fungsi karena dibatasi wewe-nangnya hanya menangani kasus korupsi sejak 1999 keatas, sehingga perkara kejahatan korupsi pada rezim Soeharto-Orba tidak bisa disentuh sama-sekali.; (3) Pengadilan HAM

Ad Hoc yang membebaskan

se-mua pelaku utama atau penang-gung jawab kejahatan HAM Berat seperti kasus Tanjung Priok dan Timor Timur, dan mengabaikan pengadilan atas kejahatan HAM Berat atas ka-sus Trisakti, Semanggi I dan II, Penculikan Aktifis, dan lain-nya; (4) UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Desember 2006, sebagai hadiah terburuk un-tuk perayaan HAM Se-dunia ke-58; (5) Pemilu bersih dari pelaku kejahatan korupsi dan kejahatan HAM juga sirna dari harapan, dengan mudah kita menunjuk para pelaku kedua kejahatan tersebut ikut dalam

pemilu 1999 dan 2004, baik sebagai calon anggota legislatif dan presiden, bahkan Soeharto dengan gembiranya menjadi pe-milih pada kedua pemilu itu.

Sejumlah penanda lain yang menegaskan kehadiran para Soehartois atau individu dan lembaga rekondisi Orba ini adalah, Pertama, hadirnya SBY (TNI atau ABRI) dengan rekan segenerasinya dominan menguasai tampuk kekuasaan politik. SBY dan rekan militer segenerasinya dahulu merupa-kan ujung tombak rezim So-eharto-Orba untuk menghadapi masyarakat dan mahasiswa pada 1980-an hingga awal 1990-an; Kedua, Partai Golkar,

R

IZ

K

I/

S

U

M

A

(29)

pendukung utama rezim tota-liter Orba, selama tujuh kali pemilu palsu di bawah rezim Orba, partai ini selalu menang secara mayoritas dan tujuh kali juga mendukung Jenderal Besar (purn.) Soeharto sebagai Presiden. Partai Golkar tak dibubarkan atau dikurangi ke-kuatan politiknya seperti partai Golkar-nya Ferdinand Marcos yaitu Kilusang Bagong Lipunan (KBL); Ketiga, Pulihnya kekua-tan konglomerasi Orba penyum-bang terbesar krisis ekonomi 1998 yang sarat dengan praktik KKN dan sentralisasi kekuatan ekonomi, berhasil menghindari segala bentuk hukuman dan pengadilan, bahkan men-garahkan akumulasi kapital dari lembaga eksekutif yang berhasil dikendalikannya. Dari sekitar 200 konglome-rat Orba, praktis semuanya aktif kembali memapankan gurita ekonominya, sekadar bertukar tempat pada po-sisi kekayaan, dan kembali menyumbang ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin parah (lihat Pedoman Indone-sia www.soehartoincbuster.org). Contoh terbaik Aburizal Bakrie (Menteri Koordinator Kesejah-teraan Rakyat) dengan Grup Bakrie sekarang memiliki keka-yaan 5,4 miliar dolar AS (Forbes Asia 2007) dari 1,05 miliar dolar AS (2004), menempati posisi konglomerat nomor satu Indo-nesia menggusur anak emasnya Soeharto, Lim Sioe Liong. Li-hat juga PT Bimantara Citra Tbk., milik Bambang Triat-modjo, berhasil membukukan peningkatan laba bersih konso-lidasi tahun 2006 lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp 446 miliar dibandingkan dengan Rp 136 miliar tahun 2005. Sementara itu pendapatan usaha konsolida-si meningkat 34 persen menjadi

Rp 3,2 triliun, dibandingkan periode sama tahun 2005 sebe-sar Rp 2,4 triliun (Pers release MNC, 13 Mei 2007).

Demokrasi dalam bahaya

Hingga ajal menjemput, Soeharto adalah diktator yang berbahagia, dan para Soehartois menikmati impunitas terhadap Soeharto karena merekapun menjadi kebal hukum. Bila re-formasi berarti mengganti dan mere-

organisir semua nilai, lembaga, individu, peraturan dan praktik antidemokrasi pada lima arena konsolidasi demokrasi modern

(Juan J. Linz dan Alfred Ste-phan Problems ofDemocratic Transition and Consolidation, 1996) yaitu, (1) Masyarakat

sipil (civil society); (2) Masyara-kat politik (political society); (3) Supremasi hukum (rule of law); (4) Aparatus negara (state appa-ratus); (5) Masyarakat ekonomi (economic society). Maka dalam 10 tahun reformasi, praktis

keli-ma arena konsolidasi demokrasi moderen tersebut sudah kembali di tangan para Soehartois yang dilengkapi dengan nilai, lem-baga, individu, peraturan dan praktik antidemokrasi. Indone-sia dengan arsitektur demokrasi tanpa kaum demokrat.

Ketika demokrasi kita dalam bahaya, di manakah harapan? Sekarang kita bertumpu pada kesabaran revolusioner,

me-nyiapkan generasi kepemimpi-nan nasional baru seperti Cile yang menyiapkan kehadiran Michel Bachelet. Tak akan ada penegakan hukum dan keadilan bila Soehartois berkuasa, ter-masuk bila pemimpin nasional generasi pertama pasca refor-masi seperti SBY, JK, Megawati, Gus Dur, Amien Rais, Sutiy-oso, Akbar Tanjung, Wiranto, Prabowo, maupun Sri Sultan Hamengkubuwono X berkuasa. Para pencari keadilan sepanjang Pinochet berkuasa (1973-1990), berada dalam ketidakpastian hukum yang sama seperti di Indonesia hari ini. Berlanjut

hingga Presiden Patricio Aylwin (1994), Eduardo Frei Ruiz-Tagle (2000),dan Ri-cardo Froilán Lagos Escobar (2006), hingga datang Mi-chele BaMi-chelet dengan Pino-chet Trial, menangkap isteri Pinochet dan kelima anaknya, serta tiga Jenderal dan sejumlah pendukung Pinochet, untuk tuduhan korupsi cuma 27 juta dolar AS. Demikian pula Polpot Trial

sedang berlangsung di Kamboja, Pol Pot mati tapi para pemimpin Khmer Merah, harus bertang-gungjawab di depan pengadilan untuk kejahatan terhadap kema-nusiaan. Tak ada impunitas untuk kejahatan KKN dan ke-jahatan HAM. Dewi keadilan akan terus mengejarnya, ke mana pun, dan sampai kapan pun. Tugas mulia itu sedang dan akan dituntaskan oleh gen-erasi baru kepemimpinan nasi-onal, dan gerakan mahasiswa Indonesia, tak mungkin di tan-gan SBY-JK dan generasinya.

Percayalah, keadilan, hukum dan demokrasi tak akan pernah mati di Indonesia, sekalipun Soeharto meninggal dunia dan para Soehartois kembali berkuasa.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 7

“Percayalah, keadilan,

hukum dan demokrasi

tak akan pernah mati

di indonesia, sekalipun

soeharto meninggal dunia

dan para soehartois

kembali berkuasa.”

(30)

M

erupakan kebetulan kalau saya memulai kuliah Magister Akuntansi di awal Januari 1998. Bersamaan dengan nilai US$ yang sudah mencapai Rp 10.000. Sehingga waktu itu, pusat-pusat perbelanjaan diserbu masyarakat untuk menimbun kebutuhan sehari-hari. Menurut catatan saya, untuk pertama kalinya Pemerintah Orde Baru tidak mampu mengendalikan harga. Sementara rezim Soeharto sangat konsisten menerapkan stabilisasi—di semua bidang ke-hidupan.

Dan sejak saat itu, hampir setiap hari demo digelar di depan Fakultas Kedokteran UI. Terus menjalar ke berbagai tempat dan puncaknya pada tanggal 19–22 Mei 1998 di gedung DPR/MPR-RI. Sebagai mahasiswa, saya rajin

mengikutinya. Maka secara tidak sengaja saya pun menjadi pelaku reformasi 1998. Sebuah langkah yang “salah”, setelah sepuluh ta-hun saya renungkan.

Kata reformasi menjadi man-tra sakti kala itu. Padahal arti- nya—menurut kamus Bahasa Indonesia—sebuah perubahan drastis untuk perbaikan masyara-kat atau negara. Sementara bagi para reformis, reformasi berarti Presiden Soeharto harus lengser keprabon. Huntington (1989) menulis bahwa ada tiga keadaan menuju demokratisasi. Pertama, transformasi, di mana penguasa memang menginginkan keadaan menjadi demokratis. Kedua,

transplacements, antara penguasa dan rakyat sama-sama mengh-endakinya. Ketiga, replacement,

perubahan menjadi demokra-tis dilakukan rakyat. Dengan

demikian reformasi 1998 mirip dengan replacement. Sa-

yangnya hanya sebatas mengganti Presiden, tidak sampai menata sistem.

Ini terjadi karena para re-formis telah gagap menentukan langkah. Sebab reformasi dila-hirkan tanpa melalui persiapan yang matang. Hanya ada satu tujuan dan itu pun sudah tercapai. Sehingga ketika Habibie meng-gantikan Soeharto, perjuangan menjadi terhenti. Reformis telah membiarkan Habibie berjalan tanpa melibatkannya.

Sementara—agar diterima rakyat—Habibie telah melaku-kan kesalahan yang mendasar, yaitu secara serta merta membuka katup demokrasi seluas-luasnya. Dengan empat pilar penyang-ganya: kebebasan, kesetaraan, keadilan dan hak asasi manusia.

KESALAHAN BESAR

reformasi !!!

RIZKI/SUMA

(31)

Habibie lupa bahwa kebebasan dan kesetaraan merupakan akar persoalan kebhinekaan kita. Jus-tru karena para founding father

sadar akan potensi konflik dalam keberagaman: suku, agama dan ras maka mereka menyatukannya dalam Sumpah Pemuda. Den-gan demikian semua ego dapat ditekan dalam bingkai keindo-nesiaan. Kendati nasionalisme, menurut Benedict Anderson, hanya merupakan imagined com-munities.

Oleh Habibie, keberagaman “dipencarkan” kembali. Sehingga

kini setiap hari kita kenyang dengan pertengkaran-perteng-karan atas nama kesetaraan dan kebebasan. Tuntutan pemekaran wilayah. Tuntutan pendirian lembaga pengawasan: hakim, jaksa, kepolisian atau lembaga ad hoc lainnya, sepertinya tidak ber-kesudahan. Padahal, agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan, Montesquieu, hanya membaginya dalam tiga bagian. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Untuk kekuasaan yudikatif, kini kita mempunyai Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsti-tusi. Dengan Komisi Yudisial, sebagai lembaga pengawasannya. Akibatnya, undang-undang

seb-agai produk bersama antara legis-latif dan eksekutif menjadi tidak pernah final. Sebab masih dapat diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi. Tidak ada aturan yang titik, karena terus menerus bersifat koma.

Kesetaraan dan kebebasan pula yang kemudian melahirkan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Mari kita simak berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya? Menurut catatan, sampai saat ini jumlah kabupaten/kota sebanyak 465 dengan 33 propinsi. Pilkada

dapat diselenggarakan apabila ada minimal dua pasang calon.

Taruhlah setiap orang paling sedikit mengeluarkan Rp 5 mi-lyar maka dalam setiap pilkada dikeluarkan Rp 20 milyar. Se-hingga untuk 598 pilkada akan menyerap biaya paling kurang Rp 9,9 triliun. Biaya ini belum termasuk yang dikeluarkan oleh pemerintah secara resmi.

Untuk pilkada DKI—menu-rut sebuah sumber—salah satu calon gubernurnya telah mem-belanjakan kaos sebesar Rp 16 milyar (4 juta kaos dengan harga perbuah Rp 4.000). Belum un-tuk pengeluaran spanduk, iklan media cetak dan elektronik atau “mahar partai pendukung”. Semua pengeluaran ditanggung oleh para calon dan para sponsor. Dan laiknya tabiat para sponsor politik, tidak ada yang ikhlas.

Kemudian apa yang terjadi dengan pemilihan anggota legislatif? Seandainya gaji para anggota DPR-RI sebulan Rp 50 juta, dan oleh mereka “tidak dibelanjakan sepeserpun” maka setahun akan diperoleh Rp. 600 juta. Dengan masa jabatan 5 ta-hun, mereka dapat mengantongi Rp 3 milyar. Sebuah jumlah yang kecil untuk mempertahankan posisinya kembali di periode berikutnya.

Demikian yang terjadi pada pemilihan presiden. Berapakah yang terserap untuk terbang dari satu tempat ke tempat lainnya. Membawa sejumlah artis, diser-tai sekian puluh pengikut setia. Seakan rombongan sirkus yang loncat sana-sini. Tidak mem-buahkan hasil bagi pendidikan politik rakyat. Pesta pora hanya menjadi milik elit dan investor politik. Sementara rakyat yang mendambakan buah manis dari reformasi tak kunjung menikma- tinya.

Maka menurut saya, ken-dati pilpres, pilkada, multipartai merupakan anak kandung

re-formasi, harus segera disudahi. Sistem ini berpotensi menebar benih korupsi karena biaya yang dikeluarkan sangat besar. Refor-masi memang telah terjebak pada

euforia kebebasan dan kesetaraan, karena kepengapan sentralistis yang diciptakan rezim orde baru terlalu lama.

Plato mengatakan, kalau diterapkan secara tergesa, de-mokrasi akan menjadi penyakit. Sebab demokrasi tidak mampu menyatukan—karena prinsip kebebasan yang dimilikinya. Keanekaragaman dan perbedaan tidak memunculkan kesatuan. Kehidupan tidak tertata dengan baik sebab ketidaksamaan selalu menjadi alasan untuk menghan-curkan satu sama lain.

Dengan reformasi yang tidak teratur, kita menjadi bangsa yang teraliensi karena tidak mampu lagi mengenali diri sendiri. Menurut Durkheim, bangsa ini berada dalam posisi anomie —ke-tika nilai-nilai baru belum ditemukan, nilai lama sudah dis-ingkirkan. Saya pun rasanya baru terjaga dari mimpi buruk sepuluh tahun lamanya.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 9

D.T. Rimbawan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI

(32)

M

enapaki 2008, ke-rasnya tantangan hidup kian terasa. Minyak tanah bersubsidi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, men-ghilang seiring dicanangkannya program konversi ke gas. Ka-laupun sesekali ada pasokan ke depo minyak, harganya bisa me-lambung hingga Rp 3.500 seli-ter, jauh lebih tinggi ketimbang harga resmi minyak bersubsidi yang hanya Rp 2.500 seliter. Di tingkat pedagang minyak keli-ling harganya bisa mencapai Rp 7.000 seliter, padahal minyak tanah merupakan kebutuhan vi-tal masyarakat kelas bawah.

Lebih repot lagi, gas Elpiji yang menjadi pengganti minyak tanah pun menghilang dari

pa-sar, khususnya untuk tabung 12 kg yang ditujukan untuk pasar rumah tangga. Diduga keras penyebabnya karena pasokan gas 12 kg ini diborong sektor bisnis. Sebenarnya untuk sektor bisnis dan industri Pertamina telah menyediakan tabung 50 kg. Masalahnya, terhitung awal April Pertamina menaikkan harga Elpiji untuk sektor indu-stri dari Rp 5.852/kg menjadi Rp 7.932/kg, sementara harga Elpiji untuk domestik tetap Rp 4.250/kg karena mendapatkan

subsidi. Bisa ditebak, para pen-gusaha menyiasati kenaikan ini dengan memborong Elpiji tabung 12 kg – lengkap dengan tabungnya. Dampaknya, harga tabung 12 kg kosong pun me-lambung dari Rp 200.000 men-jadi Rp 550.000.

Perilaku pebisnis/industria-wan yang merambah hak ma-syarakat ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, demi mendapatkan harga lebih ren-dah, tak sedikit industri yang memborong minyak tanah dan bensin bersubsidi yang sebenar-nya dialokasikan untuk rakyat. Akibat perilaku seperti ini, pola pemberian subsidi seperti ini menjadi tidak efektif, karena akhirnya yang menikmati sub-sidi ini kebanyakan justru bukan mereka yang sebenarnya men-jadi sasaran subsidi ini.

Padahal beban subsidi

se-perti ini tidak sedikit. Ambil contoh pada kasus subsidi bahan bakar minyak (bensin premium). Ketika harga minyak mentah dunia melambung menembus US$ 100/barel (per 18 April menjadi US$ 116/barel) maka beban subsidi BBM yang di-tanggung pemerintah mencapai Rp 260 triliun – lebih dari seperempat total pengeluaran pemerintah sepanjang 2008. Dengan subsidi sebesar itu maka ruang gerak pemerintah untuk melakukan pembangunan men-jadi sangat terbatas. Apalagi se-lain subsidi BBM masih ada lagi subsidi untuk stabilisasi pangan, di antaranya untuk raskin (Rp 8,6 triliun), minyak goreng (Rp 0,5 triliun) dan kedelai (Rp 0,5 triliun). Mengingat harga di pa-sar dunia untuk ketiga komodi-tas yang stabilkan itu pun terus melambung, logikanya beban subsidi ini pun masih akan terus bergerak naik. Di luar komodi-tas yang sedang bergejolak itu, masih ada lagi subsidi untuk listrik, pupuk, dan obat-obatan.

Fakta ini menegaskan bahwa kebijakan subsidi tak lagi bisa dipertahankan. Konsekuensinya terlalu berat; pemerintah tak bisa membangun berbagai infra-struktur yang justru dibutuhkan untuk mendorong laju pertum-buhan ekonomi. Padahal, seba-gian terbesar subsidi itu justru jatuh ke tangan yang keliru.

Satu dasawarsa setelah reformasi dikumandangkan,

realita ekonomi di tingkat akar rumput justru makin terpuruk. Harga tempe melambung dan antrean sembako merebak di seantero tempat. Namun pemerintah sudah berada di jalur yang benar, meski tidak populer

EKONOMI PASCA

10 TAHUN REFORMASI

“GrowinG Pain”

Teguh Poeradisastra

Redaktur Pelaksana majalah ekonomi bisnis SWA dan pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP-UI

LILA.SUMA

Referensi

Dokumen terkait

Di era modern ini masih sedikit yang menyelidiki filsafat akhlak, karena mereka telah merasa puas mengambil akhlak dari agama dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah

Memasuki Simlitabmas: seperti halnya operator di perguruan tinggi, pengusul yang telah memiliki username dan password dapat melakukan usulan melalui

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Hipotesis pertama ditolak yang berarti tidak ditemukannya pengaruh CSR terhadap nilai

Hasil penelitian ini ditemukan bahwa peran organisasi ekstra kampus dalam meningkatkan partisipasi politik mahasiswa pada pemilihan umum raya Universitas Islam

Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi minyak yang dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian dilanjutkan dengan proses hidrogenasi

Dapat pula dilihat bahwa induk sapi Bali acla yang masih produktif sampai umur 18 tahun telah 14 kali melahirkan clan umumnya beranak pertama pada umur 3 tahun clan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang: 1) pelaksanaan program parenting KB Prima Sanggar dalam mendorong keterlibatan orang tua pada pendidikan

(2) manajemen memahami bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya untuk pemegang saham tetapi juga pihak-pihak lain yang berkepentingan, (3)