• Tidak ada hasil yang ditemukan

bidang budaya

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 78-80)

sadar akan pluralisme sebagai dasar kebang- saan dan kenegaraan Indonesia. Karena itu, 1928, mereka memilih

bahasa Melayu, dan bukan bahasa Jawa, bahasa suku terbesar, menjadi bahasa In- donesia. Dan karena sikap pluralis mer- eka, pada tahun 1945 menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, dan meskipun hampir 90% warga Indonesia terhitung Islam, tidak memberi kedudukan istimewa kepada agama Islam dalam undang-undang dasar historis itu.

Tetapi di Indo- nesia selalu juga ada gerakan-gerakan yang anti-pluralistik. Di sini termasuk Darul Islam, suatu gerakan 1950 – 1966 di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan, serta Partai Komunis Indonesia dengan Marxisme- Leninisme sebagai ideologinya.

Eksklusivisme-eksklusiv- isme itu jelas di luar mainstream

bangsa Indonesia. Karena itu mereka gagal. Tetapi sesudah keterbukaan demokratis 1998 kelompok-kelompok totaliter anti-pluralis muncul kembali dengan terbuka (masih ingat: dua tahun lalu sebuah komisi DPR, di bawah kamuflase “anti porno”, mempersiapkan sebuah RUU yang akan mengharam- kan cara 60 persen perempuan Indonesia berpakaian sebagai porno?).

Kalau tendensi-tendensi itu tidak dicek, akibatnya akan seri- us. Pemaksaan pandangan-pan- dangan ideologis-agamis sera- gam tertentu kepada masyarakat akan mengakibatkan konsensus

yang mendasari negara Indone- sia menjadi menguap. Konsen- sus itu berdasarkan kesepakatan bahwa identitas etnis, kultural dan religius segenap komponen bangsa dihormati. Konflik-kon- flik mengerikan selama 12 ta- hun terakhir, ketegangan-kete- gangan yang di mana pun masih terasa, membuktikan betapa fundamental kesediaan untuk tetap pluralistik bagi eksistensi Indonesia sebagai negara yang damai dan beradab.

Lain lagi perjuangan kelom- pok-kelompok orang yang secara tradisional ditekan atau ditindas. Perjuangan kaum perempuan atas perlakuan yang sama me- mang mulai menunjukkan hasil- nya karena pada hakekatnya semua agama besar mengakui kesamaan harkat kemanusiaan mereka meskipun dalam ke- nyataan perjuangan itu masih menemukan banyak hambatan.

Jauh lebih sulit situasi kaum homoseks, kaum transvestit dan lain sebagaimnya. Men- gapa? Karena situasi mereka langsung ber- sentuhan dengan keya- kinan-keyakinan moral yang berakar mendalam dalam masyarakat “bi- asa” serta dalam ajaran resmi agama-agama tentang moralitas. Di situ perjuangan harus ke dua arah. Pertama, perlu ditegaskan terus menerus bahwa apa yang dilakukan oleh dua (atau lebih) orang dewasa atas kesepaka- tan mereka secara privé adalah urusan mereka selama mereka tidak mengganggu kehidupan orang lain. Kedua, perlu diluaskan kesadaran bahwa ada orientasi- orientasi seksual yang secara alami berbeda dan hendaknya orang tidak didiskriminasi ter- hadapnya. Mau saya catat bahwa perjuangan ini justru dihambat kalau pengakuan yang ditun- tut berlebihan. Misalnya agar diakui „perkawinan homoseks“. Usul-usul seperti itu menim- bulkan reaksi kontra, tetapi juga kurang berdasar karena pengakuan eksklusif terhadap perkawinan heteroseks tentu karena masyarakat berkepent- ingan akan keturunan yang se- cara jasmani, rohani dan psikis sehat dan untuk itu diperlukan „kerjasama“ perempuan dan laki-

laki.

Pernah bangsa Indonesia memiliki pluralisme luas. Su- dah amat mendesak bahwa kita memperbaharui tekad untuk tetap saling menerima dalam keanekaan kita masing-masing.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 77

TAQWA/SUMA

S

aat ini yang tersisa, mungkin, cuma hara- pan dan optimisme. Sejumlah kekuran- gan dan kritik yang dilontarkan sejak Orde Baru, masih sering dilontarkan sekarang, setelah 10 tahun reformasi berjalan.

Setidaknya ada 2 mata rantai yang hilang dalam reforma hukum di negeri ini: hilangnya sosok keteladanan, dan langkanya para pemikir hukum.

Praktik mafia peradilan misalnya, sejak lama telah disuarakan. Na- mun tak kunjung juga berhenti kumandang-

nya. Sejumlah pejabat yang seharusnya menegakkan hukum, justru terlibat pidana korupsi. Beberapa contoh dapat dise- butkan. Pada Januari 2006, hakim Her- man Allositandi, mantan Ketua Maje- lis Hakim kasus dugaan korupsi PT Jamsostek ditang- kap Tim Tastipikor Kejaksaan Agung. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian mem- vonisnya 4,5 tahun penjara dan denda RP 200 juta karena

memeras saksi. Selanjutnya, Komjen Suyitno Landung, mantan Kabreskrim Mabes Polri divo- nis 18 bulan oleh PN Jaksel pada Oktober 2006 terkait dengan kasus penyuapan dalam perkara pembobolan BNI senilai Rp 1,7 triliun. Contoh lain, kasus suap yang dilakukan Tengku Syaifud- din Popon untuk “memperlancar” kasus Abdullah Puteh. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan, mantan jaksa penyelidik kasus BI yang tertang- kap tangan oleh KPK, merupakan sebuah contoh yang terjadi belum lama ini.

Sangat sulit menyebut aparat penegak hukum

yang bisa dijadikan panutan saat ini. Padahal, bangsa ini sebelumnya sempat melihat sepak ter- jang Jaksa Agung R. Soeprapto, Kapolri Jenderal Pol. Hoegeng, Hakim Agung Bismar Siregar. Dikalangan profesi advokat sendiri bisa muncul banyak nama, antara lain: Lukman Wiriadi- nata, Suardi S Tasrif, Yap Thiam Hien, Haryono Tjitrosubeno, Sukardjo Adidjojo.

Dalam 1 dekade ini, tidak dapat diabaikan se- jumlah inisiatif pembaruan hukum, baik yang di- lakukan pemerintah, maupun masyarakat. Jutaan dollar mengalir untuk keperluan ini. Namun, inisiatif per- baikan peraturan perun- dang-undangan, insitusi dan agen penegak hukum lebih mencerminkan per- baikan teknis a la kelom- pok teknokrat, bukan pada perbaikan fundamental dan ideologis. Beruntung, bangsa ini masih memiliki Prof. Soetandyo Wignyo- soebroto, dengan sosiologi hukumnya, dan Prof. Satji- pto Rahardjo, dengan pe- mikiran hukum progresif- nya.

Dengan hilangnya kedua mata rantai itu, maka tidak heran laju perbaikan hukum dan penikmatan keadilan masih jauh panggang dari api. Sampai batas inilah, penting untuk bicara serius soal pendidikan hukum.

Pendidikan Hukum yang Membebaskan

Pendidikan sebaiknya merupakan sebuah strategi, teknik dan pendekatan belajar-ajar yang membebaskan. Fakultas Hukum, merupakan pilar penting untuk mencetak para sarjana yang tidak saja mengerti teks hukum, melainkan para sarjana yang jelas keberpihakannya: keadilan. Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan pengembangan pedagogy keadilan. Pentingnya

PENDIDIKAN HUKUM DAN

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 78-80)