• Tidak ada hasil yang ditemukan

bidang hukum

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 80-82)

seni atau metode belajar-ajar ini untuk membe- baskan para mahasiswa hukum dari kungkungan pemikiran sempit tujuan hukum, seperti untuk memenangkan sebuah perkara di pengadilan.

Pendidikan hukum mesti ditempatkan dalam hubungan pembentuk hukum dari kalangan pen- guasa dan masyarakat jelata yang dipaksa untuk menaati hukum yang ada. Dengan demikian, para dosen dan mahasiswa hukum perlu diberikan keleluasaan waktu dan jam kuliah untuk mencari- kan titik keseimbangan dan solusi terhadap relasi ini. Keadilan tidak dapat diperoleh hanya dengan mengikuti pasal-pasal dalam peraturan perun- dang-undangan, melainkan menuntut sebuah proses aksi dan refleksi.

Ambil contoh, bidang hukum pidana, para mahasiswa dan dosen perlu banyak berdiskusi mengapa pidana mati ditentang para ahli hukum hak asasi manusia, ketimbang berhenti berdiskusi karena pidana mati masih berlaku dalam kitab un- dang-undang hukum pidana kita. Dalam hukum agraria, mahasiswa dan dosen perlu memperde- batkan sisi positif dan negatif proyek administrasi lahan atau program sertifikasi tanah, ketimbang menghabiskan waktu membicarakan jenis-jenis hak atas tanah. Demikian juga, dalam hukum tata usaha negara, dosen dan mahasiswa perlu mengembangkan diskusi terkait dengan ideologi politik hukum (juridico politico ideology) dibalik keputusan-keputusan para pejabat tata usaha negara.

Mengikuti pedagogy yang dikembangkan Paulo Freire, seorang pakar pendidikan Brazil, maka proses belajar-ajar di Fakultas Hukum mesti dilakukan secara dialogis. Proses pendidikan di fakultas, sebaiknya mesti dapat menunjukkan ket- impangan, kesewenang-wenangan, dan marjinal- isasi masyarakat akar rumput akibat hukum yang berlaku. Dengan jalan inilah, dimungkinkan lahir para sarjana yang punya kesadaran kritis untuk menjadi pembela dan pejuang keadilan, apa pun profesi yang digelutinya.

Secara singkat, pendidikan hukum perlu dikembangkan untuk mampu membelejeti hukum yang manipulatif, yang hanya menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan banyak orang. Pendidikan yang juga mampu memberikan pencerahan dan meningkatkan kesadaran akan kemanusiaan.

Pendidikan Hukum yang Mahal

Semakin lama, pendidikan di universitas menjadi semakin mahal. Hal ini pun belaku di

fakultas hukum. Tidak heran muncul satir, saat ini tidak cukup cuma pintar, melain- kan punya uang agar bisa kuliah.

Biaya pen- didikan yang tinggi, dan para penge- lola kampus dan dosen yang tek- nokratik, serta metode pendi- dikan yang di- jalankan dengan konsep banking – dimana dosen tidak berdialog dengan maha- siswa – memun- culkan dua aki- bat yang harus dibayar mahal bangsa ini, yak- ni kehilangan sosok teladan dan kelangkaan pemikir hu- kum. Setelah

tamat kuliah, jarang para sarjana yang bercita-cita berkiprah di lembaga sosial, seperti lembaga bantuan hukum (LBH), atau menjadi penegak hukum yang memegang teguh nilai-nilai keadilan. Boleh jadi hal inilah yang menyediakan lahan subur untuk bertumbuhnya mafia peradilan bagai jamur dimusim penghujan.

Kata “mahal” mengandung makna ekonomis. Semakin mahal pendidikan, maka semakin mahal harga yang harus dibayar dan dikembalikan.

Tak ada jalan lain, tugas sejarah Fakultas Hu- kum saat ini, melahirkan kembali keteladanan pe- mimpin dibidangnya, dan memproduksi para pe- mikir hukum yang berpihak pada keadilan, bukan malah melahirkan para pekerja yang menopang struktur dan sistem hukum yang telah membuat mayoritas rakyat ini miskin, tertidas, marjinal dan dimarjinalkan. Dari ruang-ruang beton bercat di Fakultas Hukum, semoga terwujud kedua pilar reforma hukum yang berpihak pada keadilan.

Patra m Zen

Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 79

DOK.PRIBADI

bidang hukum

S

epuluh tahun kita sudah menjalani masa reformasi,kita sudah merasakan bagaimana kebebasan pers bahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sudah kita nikmati. Apa kabarnya reformasi sampai hari ini? Apakah agenda yang sudah digembar-gem- borkan itu terealisasi? Masih segar dalam ingatan agenda reformasi yang diminta adalah penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pengadilan mantan Pres- iden Soeharto dan kroninya, amandemen konsti- tusi, pencabutan dwifungsi TNI-Polri serta pembe- rian otonomi daerah seluas- luasnya.

Berapa yang bisa dinikmati atau yang sudah ditegakkan? Boleh jadi KPK telah bekerja dengan sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi meski sedikit sekali para kakapnya dihukum berat, namun pemberantasan korupsi tetap berjalan meski tersendat-sendat dalam pemenuhan agenda refor- masi.

Meninggalnya Soeharto menjelaskan bagaima- na carut marutnya wajah bangsa kita. Seolah lupa dengan komitmen penyelesaian atas kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan Soeharto ter- hadap bangsa ini,tiba-tiba Soeharto bak pahlawan yang harus disanjung bahkan tanpa malu para politisi yang dahulunya begitu keras berteriak atas kejahatan Soeharto seolah-olah amnesia dengan meminta Soeharto diangkat menjadi pahlawan.

Kejahatan kemanusiaan merupakan bagian penyelesaian masa lalu dan kerja mendasar dari In- donesia yang hitam, yang tetap harus diselesaikan tuntas karena kejahatan demikian tidak boleh dilu- pakan. Penting untuk menjelaskan demi terangnya sejarah bangsa Indonesia setelah dalam masa oto- ritarian pemerintahan Soeharto. Penuntutan dan peradilan perkara-perkara tersebut tidak boleh lagi terganjal oleh masalah-masalah teknis hukum dan rekayasa para pelaku dengan pihak yudisial.

Pernyataan Andi Malarangeng 1 bahwasanya

pemerintah konsisten melaksanakan Agenda Re- formasi perlu dilihat ulang terutama dalam pen- egakan hukum dan HAM. Semestinya Presiden ti- dak lagi hanya meminta , sebagai orang nomor satu di Republik ini seharusnya bisa memerintahkan se- cara tegas kepada Jaksa Agung dan Kapolri untuk bertanggung jawab dalam mendukung komitmen- nya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Menjadikan perintah Presiden sebagai implemen- tasi yang bisa diukur,jika gagal menyelesaikannya Presiden berhak untuk mengganti Jaksa Agung maupun Kapolri atas ketidakmampuan mereka melakukan kerja atas tanggung jawabnya itu.

Menjadi pertanyaan besar atas keseriusan pemerintah dalam, hal ini Presiden untuk meny- elesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Mengingat awal April 2008 ini berkas-berkas kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, ka- sus Penculikan, kasus Wasior Wamena, dan kasus kerusuhan Mei 1998 dikembalikan oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM. Jelas ini menyakiti, tidak hanya rakyat terutama keluarga korban,tentu saja ini semakin menunjukan ketidak mauan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus Pelanggaran HAM.

Tragis memang sepuluh tahun reformasi berja- lan namun dalam kasus pelanggaran HAM tidak ada satu pun pelakunya diadili. Bahkan beberapa pejabat militer yang diduga sebagai pelaku ke- jahatan kemanusiaan itu menjadi pejabat publik bahkan ada yang tidak malu-malu mencalonkan diri menjadi Capres tahun 2009. Bagaimana Hen- dropriyono yang diduga melakukan pembunuhan massal di Talangsari tahun 1989, pada masa pemerintahan Megawati malah diangkat menjadi Kepala BIN (Badan Intelejen Negara). Hari ini kita bisa melihat bagaimana Wiranto 2dan Prabowo 3

mempertontonkan kepada kita bahwa pemerintah

REFORMASI TANPA

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 80-82)