• Tidak ada hasil yang ditemukan

bidang pendidikan

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 65-67)

diekspos oleh media massa.

Di sela-sela kesibukannya untuk mempersiapkan hari Pendi- dikan Nasional, Pak Arief meny- empatkan diri untuk diwawancara oleh reporter SUMA, Ni Made Kumara Santi Dewi, via telepon. Berikut petikannya.

Menurut Bapak setelah 10 tahun berjalan pasca reformasi, apa Bapak melihat ada yang berubah dari sistem pendidikan kita?

Kita sudah mempunyai UU Pendidikan, kita juga sudah mem- punyai UU Guru dan Dosen jadi saya pikir secara hukum itu sudah banyak yang dimiliki oleh sistem pendidikan kita. Kita juga sudah mempunyai beberapa standar seperti standar isi, standar proses, standar fasilitas, standar tenaga kependidikan dan lain-lain.

Untuk lingkup yang lebih luas, pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal, bagaimana seharusnya arah dan tujuan pendidikan di negara kita untuk

mengejar ketertinggalan ini?

Saya pikir tataran pelaksa- naannya yang harus dicermati. Pertama, konsistensi terhadap tujuan pendidikan itu harus di- kawal jangan sampai pelaksanaan pendidikan menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pada pelaksanaannya poin yang seharusnya dititikberatkan ke- pada penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotorik kelihatannya agak tertinggal. Yang kedua, di dalam pembinaan mutu guru saya anggap universitas sep- erti yang dahulu namanya IKIP, UNJ, dll harus mendapatkan perhatian yang jauh lebih dalam dan luas sehingga mereka yang lulus jadi guru betul-betul bisa mengantarkan anak-anak kita kepada kesiapannya menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Jika menyangkut masalah fasilitas seyogyanya tanpa ragu sekolah swasta, sekolah yang di kota maupun di daerah harus ada pemerataan yang jauh lebih bagus sehingga proses belajar mengajar hendaknya lebih menyenangkan. Hendaknya pendekatan yang di- lakukan jangan terlalu ditekankan pada kekuatan belahan otak kiri. Belahan otak kanan juga harus cukup dirangsang sehingga anak- anak kita menjadi anak-anak yang kreatif dan imajinatif yang tidak hanya pandai menghafal saja.

Bagaimana tanggapan Bapak mengenai buruknya fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung

Nama

Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd

TTL

Malang, 19 Juni 1942

Pendidikan

- IKIP Jakarta, Sarjana, 1970, - Victoria University, N. Z, 1965 - Tavistock House, London, 1975 - R. E. L. C Singapore, 1982 - Pasca Sarjana IKIP Jakarta

(UNJ), 1984

- Doktor Pendidikan IKIP Jakarta (UNJ), 1997

Tanggung Jawab

- Dosen Jur. Bahasa Inggris, Fak. Pendidikan Bahasa dan Sastra UNJ, 1964 - sekarang

- Dosen Luar Biasa, Fakultas Psikologi UI, 1979 - sekarang - Ketua Harian Nasional Indonesia

untuk UNESCO, 2001 - sekarang - Board Executive UNESCO Paris,

2003 - sekarang

- Anggota Tim Penanggulangan Masalah Penyalahgunaan Narkotik dan Zat Adiktif, Wilayah DKI Jaya, 1982 - sekarang

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 63

PROF. DR. H. ARIEF RACHMAN, M.PD:

“CERMATI LAGI TATARAN

PELAKSANAAN PENDIDIKAN DI

INDONESIA”

DOK.PRIBADI

jawab pemerintah?

Tanggung jawab pembangu- nan pendidikan tidak boleh hanya diserahkan kepada pemerintah saja, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang kuat dan mengerti akan tanggung jawab yang baik. Saya lihat masyarakat itu terlalu menggantungkan sega- la sesuatunya kepada pemerintah dan saya kira ini keliru. Masyara- kat pun mempunyai tanggung jawab yang cukup berarti sehing- ga tidak ada SD, SMP, SMA atau SMK yang pembangunannya kurang bisa dipakai untuk proses pendidikan. Jadi pada intinya tidak boleh segala sesuatunya itu menyandarkan kepada pemerin- tah.

Ada wacana kebijakan bahwa beberapa mata pelajaran seperti PPKN dan Sejarah akan diha- puskan. Apa pendapat Bapak mengenai hal ini?

Saya tidak mau memberikan komentar sebab mata pelajaran tersebut belum dihapuskan. Be- lum ada peraturannya juga. Ya, kita lihat saja dulu. Tapi saya anggap semua mata pelajaran itu perlu dimiliki oleh anak-anak tetapi tidak semua mata pelajaran itu harus dikuasai supaya mereka juga bisa lebih konsentrasi pada mata pelajaran-mata pelajaran yang bisa mengantarkan dia men- jadi anak yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, cerdas, ber- tanggung jawab, dan demokratis.

Apa tanggapan Bapak mengenai Ujian Akhir Nasional (UAN) yang beberapa waktu yang lalu diadakan? Apakah memang layak hasil belajar siswa selama tiga tahun kemudian ditentu- kan dalam sebuah ujian yang berlangsung hanya dalam waktu tiga hari dan tiap tahun nilai standarnya pun selalu berubah menjadi lebih tinggi?

Ujian itu harus ada. Tidak boleh ada suatu sistem proses be- lajar mengajar yang ujungnya itu tidak ada suatu evaluasi. Evaluasi itu sangat penting dan harus ada namun pelaksanaannya mungkin harus disempurnakan oleh yang sekarang ini. Saya melihat UAN yang sekarang dilaksanakan lebih sebagai suatu pemetaan bukan se- bagai suatu ujian. Yang namanya pemetaan dapat berakibat lulus tidak lulus sedangkan yang dina- makan ujian itu harus menguji anak mengenai apa yang telah pe- lajari dan bagaimana apa adanya dia, bukan bagaimana seharusnya anak itu Selanjutnya tentang standar mutlak yang dipakai un- tuk menentukan kelulusan boleh dikatakan itu belum memenuhi standar evaluasi suatu ujian. Untuk suatu ujian yang harus diperhatikan bukan tanda mutlak tetapi kekuatan daerah itu masing- masing dan juga harus memper- hitugkan simpangan baku dari se- tiap siswa. Lalu keputusan men- genai kelulusan biar bagaimana pun itu semua ada di tangan para guru dan kepala sekolah masing- masing sebab mereka jauh lebih mengerti dengan proses belajar mengajar selama 3 tahun yang akan menjadi suatu hitungan untuk menentukan apakah siswa tersebut lulus atau tidak lulus.

Apakah adil jika memberlaku- kan standar kelulusan secara nasional di seluruh Indonesia dengan fasilitas, mutu guru, dan manajemen sekolah yang ber- beda pula?

Tidak

Berarti jika demikian setiap daerah boleh memiliki standar khusus kelulusan?

Boleh memakai yang sekarang ini. Tetapi rumus kelulusannya seperti yang tadi saya anjurkan. Rata-rata

daerah itu harus diperhitungkan.

Menurut Bapak, apakah Kuri- kulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang digunakan saat ini memang merupakan kurikulum yang lebih tepat diterapkan jika dibandingkan dengan kuriku- lum 1994?

Kurikulum itu adalah isi ma- teri pelajaran. Kurikulum apa pun yang diterapkan itu tidak dapat dijadikan indikator keberhasilan dari pembangunan suatu pendi- dikan. Yang sangat menentukan bukan kurikulumnya tetapi proses belajar mengajarnya terhadap kurikulum yang diberikan itu. Jadi itu yang harus ditingkatkan.

Apa kesejahteraan para guru dapat dijadikan indikator dalam pembangunan pendidikan di negarakita?

Ya, tidak. Kesejahteraan guru itu hanya salah satu yang bisa membantu proses belajar-men- gajar yang lebih baik. Jadi dia tidak menjadi satu syarat yang menentukan tetapi kesejahteraan guru memang penting. Guru kita itu tidak boleh tidak dihargai. Jangan malah dianggap lebih ren- dah daripada pekerjaan lain yang tidak memakai kecanggihan dan keunggulan otak manusia sebab kita itu bukan hanya mengajar tapi juga harus mendidik.

Apa perbedaan antara mengajar dan mendidik?

Mengajar hanya memberikan materi,sedangkan yang dina- makan mendidik itu lebih kepada pembentukan sikap.

Apa harapan Bapak terhadap pendidikan di negara kita?

Ya, harapan saya konsisten saja kepada UU Pendidikan yang ada di dalam UUD’45.

DIAH S, AISYAH I, & SANTI

RIZKI/SUMA

S

aat ini marak sekali di- beritakan mengenai ma- halnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia, be- berapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah menyandang status Badan Hukum Milik Neg- ara (BHMN) seakan-akan saling berlomba-lomba untuk untuk menetapkan “tariff” biaya bagi calon mahasiswa baru yang ber- niat untuk masuk ke dalam PTN yang bersangkutan¹. Fenomena ini membuat shock masyarakat Indonesia karena pada situasi saat ini mereka sedang dihadapkan kepada sulitnya kondisi pereko- nomian, dengan kata lain bagi sebagian besar rakyat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, dalam hal pan- gan, sandang, dan papan sudah berat apalagi jika ditambah untuk memikirkan biaya-biaya yang lainnya seperti biaya pendidikan, tentu akan semakin menambah berat beban yang diderita ma- syarakat.

Dalam konsepsi kenegaraan

di Republik Indonesia secara yuridis pendidikan pada dasarnya adalah hak dari setiap warga negara, hal ini tercermin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 Hasil Amandemen, yang berbu- nyi ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan tang- gung jawab penyelenggaraannya ada di pundak pemerintah seb- agaimana disebutkan di dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 Hasil Amandemen, ”Pemerintah mengusahakan dan menyeleng- garakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-un- dang.” Demikian halnya dalam tanggung jawab pendanaan adalah juga merupakan tang- gung jawab konstitusi dari negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai”; dan (4) “Negara

memprioritaskan anggaran pen- didikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk me- menuhi kebutuhan penyeleng- garaan pendidikan nasional”. Ini menunjukkan terdapat kesadaran bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas dari negara yang harus diwujudkan secara konkrit dalam bentuk pelayanan publik (public sevice) kepada rakyat untuk memenuhinya.

Secara filosofis apabila kita telaah dalam pembukaan UUD Tahun 1945 salah satu tujuan diadakannya negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya pendidikan adalah salah satu domain penting negara. Se- dangkan secara sosiologis saat ini dalam konteks pendidikan tinggi negeri yang berstatus BHMN seakan-akan mengarah kepada perlombaan untuk menaikkan ”tarif” biaya kuliah. Ternyata kon-

sepsi yang ideal mengenai pendi- dikan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik jika dilihat dari aspek yuridis dan filosofis pada saat ini apabila dihadapkan pada aspek sosiologis ternyata jauh panggang dari api.

Di lain pihak saudara kembar BHMN, yaitu wacana mengenai Badan Hukum Pendidikan seba- gai amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dipandang oleh peme- rintah saat ini sebagai obat mu-

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 65-67)