• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEPULUH TAHUN YANG LALU

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 92-94)

truk besar. Angin pun masih dingin menusuk sampai ke tulang. Benar-benar menyiksa tubuh kurus saya yang hanya dibalut dua lapis pakaian. Per- angkat tempur untuk bekerja sudah saya bawa. Sarung tangan, sapu lidi besar bergagang pan- jang sudah di tangan dan kain penutup kini sudah dililitkan di wajah. Saatnya membersihkan sampah dan kotoran di sepan- jang Thamrin sebelum jalanan ini dijejali oleh kendaraan plat B.

Setelah hampir 2 jam, akh- irnya tugas saya untuk sementara selesai juga. Langit Jakarta pun mulai berubah warna dari kelabu menjadi biru keungu-unguan. Fajar telah menampakkan diri. Berarti saya sudah bisa istirahat sejenak. Dan jam kerja saya beri- kutnya sekitar jam 10 pagi.

Namun, betapa terkejutnya saya ketika akan kembali mem- bersihkan jalanan melihat lebih banyak polisi yang berjaga-jaga di sekitar Bundaran HI.

“Mau ada apa lagi nih, mas?” tanya saya ke Karjo teman sekerja saya

”Mahasiswa mao demo kat- anya”

“Demo apa lagi?”

”Katanya sih tentang repor- masi!”

”Oh...,” jawab saya sekenanya ”Repormasi udah 10 taon katanya, jadi mao didemo-in sama mahasiswa. Gua gak ngerti dah maunya apaan, tapi ini mah

bakal nambah-nambahin ker- jaan kita aja...!!”, tambah Karjo agak sewot.

***

Sudah sepuluh tahun? Be- narkah? Secepat itukah waktu berjalan? Mendengar kata ”Re- formasi” saya selalu teringat bapak, ibu, dan Ika adik saya. Entah dimana mereka sekarang. Berarti sudah hampir sepuluh tahun saya hidup sendirian.

Reformasi, menurut orang- orang sih bagus untuk negeri ini. Berhasil menggulingkan Pak Harto yang berkuasa dengan otoriter selama 32 tahun katanya. Tapi, saya sendiri tidak begitu ingat apa yang sebenarnya terja- di saat itu. Waktu itu umur saya baru 13 tahun. Yang saya ingat, banyak kerusuhan, banyak yang mati, banyak tentara, dan awal sebuah kehilangan...

Akhir tahun 1997, seingat saya, bapak semakin sibuk.

Bahkan sering pulang sampai larut malam dan pagi-paginya bapak sudah pergi lagi. Menurut cerita ibu, bapak sedang mem- perjuangkan kebenaran. Tapi kebenaran apa? Saya sama sekali tidak mengerti. Yang saya tahu, bapak saya hanyalah seorang pengusaha besi bekas sederhana bukan pengusaha kaya. Bapak cuma punya 6 pekerja. Tapi berkat kerja kerasnya, bapak bisa mencukupi kebutuhan keluarga kami dan keenam pekerjanya. Bapak saya adalah orang yang ulet, berani, dan keras. Dia juga suka menolong orang yang se- dang kesusahan. Dugaan saya, karena menolong orang itulah bapak saya hilang.

Sekitar bulan September 1997, Bapak saya pernah marah besar. Sampai-sampai dia me- lempar besi-besi tuanya karena emosi. Saya dan Ika yang me- lihat kejadian itu benar-benar takut. Kata Bang Pino, salah satu pekerja bapak, ini karena Kak Faisal. Pekerja termuda ini menghadap bapak dan men- gatakan akan berhenti bekerja karena ingin aktif di pergerakan buruh. Kata Bang Pino lagi, diam-diam Faisal malah sudah dipercaya sebagai jenderal lapan- gan di setiap demonstrasi kaum buruh. Makanya, para pria berseragam loreng sibuk menca- rinya karena dianggap berbahaya.

Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi melihat Kak Faisal. Tapi beberapa hari kemudian, saya malah sering melihat seo- rang lelaki berbadan tegap den-

SEPULUH TAHUN

YANG LALU...

gan jaket kulit berdiri di ujung gang rumah kami. Hampir setiap hari dia di situ. Dia hanya berdiri, terus merokok, dan memperhatikan sekelilingnya.

Suatu hari, lelaki itu datang ke rumah kami, ia ingin berte- mu bapak katanya. Ibu terlihat gugup ketika mempersilahkan lelaki tidak ramah itu masuk. Lelaki itu terlibat pembicaraan serius dengan bapak, tapi saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena ibu menyuruh kami bermain di luar. Setelah kedatangan lelaki itu, bapak selalu pulang malam. Wajahnya selalu lelah dan pucat.

Saya masih ingat, sehari sebelum natal, waktu itu saya dan Ika sudah tidur, tapi bapak masuk ke ka- mar dan membangunkan kami. Bapak kemudian memeluk kami erat dan lama sekali. Beliau berpesan agar tidak nakal dan menjaga ibu. Karena masih mengan- tuk, saya tidak paham betul apa yang bapak katakan. Namun, itu terakhir kalinya bapak memeluk dan berbicara pada saya. Setelah itu bapak tidak ada, entah menghilang atau dihilan- gkan. Saya tidak tahu.

Ibu benar-benar shock setelah bapak hilang. Ia mendatangi be- berapa orang pintar agar menda- pat petunjuk keberadaan bapak. Menurut orang-orang pintar itu, bapak ada di antara timur dan selatan Jakarta. Awal Februari ’98, ibu memaksa saya menema-

ninya mencari bapak. Awalnya, saya menolak karena kondisi ibu masih sangat labil. Namun karena pesan terakhir bapak, ak- hirnya saya menemani ibu. Ika yang masih kecil terpaksa dititip di rumah kakak ibu di Cikini.

Sebulan sudah kami berkeli- ling, tapi tidak menemukan apa- apa. Akhirnya kami menjelajahi pelosok Jakarta karena ibu masih ingin mencari. Perasaan ibu terus mengatakan bapak masih hidup.

Malam itu, Jakarta didera hujan lebat. Saya dan ibu terpak- sa berteduh di depan toko yang sudah tutup. Saya benar-benar kelelahan saat itu dan akhirnya tertidur. Ketika saya terbangun di pagi hari, saya benar-benar terkejut! Ibu tidak ada! Saya mencari ibu selama berjam-jam.

Tapi tidak ketemu.

Yang saya tahu dari papan toko, seka- rang saya berada di Pondok Gede. Karena berharap ibu akan kembali, akhirnya saya menung- gu ibu di depan toko tempat kami berteduh tadi malam. Sampai malam tiba, ibu tak jua kembali. Hujan kembali turun dan saya pun menangis sejadi- jadinya.

Naluri membawa saya men- cari ibu ke rumah tante di Ciki- ni, karena di sana juga ada Ika. Tanpa uang sepeserpun, saya akhirnya menumpang sebuah

mobil bak sampai Pasar Rebo. Dan dari sana, saya terpaksa berjalan kaki ke Stasiun Tanjung Barat. Untungnya saya masih in- gat rumah tante di Cikini yang memang tidak jauh dari stasiun kereta. Secercah harapan mun- cul ketika saya mendekati jalan masuk ke rumah tante. Saya ber- harap ibu dan Ika ada di sana.

Rumah tante ternyata sepi dan terkunci. Mungkin mereka sedang pergi, pikir saya. Saya pun menunggu di depan rumah sampai malam, tetap rumah itu sepi. Tiga orang lelaki lengkap dengan senter dan pentungan

kemudian menghampiri saya.

”Ngapain kamu di sini?” tanya salah satu

dari mereka. ”Kamu harus pulang...”

”Iya, kamu harus cepat pulang! Bahaya! Sekarang keadaan se-

dang gak aman...!” ”Tapi...tapi...saya lagi nunggu tante saya, Pak.”

”Nunggu siapa? Tante kamu?,” tanya mereka.

”Iya, Pak...ini rumah tante saya”

”Loh??!! Kamu gak tahu??? Mereka...mereka...mere- ka...sudah meninggal...hangus..”

”Hangus????” tanya saya bingung

”Iya,emm...mereka mening- gal waktu menjarah...,” jawabnya lirih.

”Maksudnya apa, pak?? Terus adik saya bagaimana??? Anak kecil yang dititip di rumah tante saya ini!”

”Anak kecil apa? Pokoknya hampir dua minggu ini rumah tantemu tak berpenghuni...”

FANNY FAJARIANTI Mei 2008

HANIF/SUMA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 91

Dalam rentang waktu 10 tahun sejak

berakhirnya masa Orde Baru, telah lahir banyak buku tentang proses reformasi di Indonesia. Beberapa

dari buku-buku ini telah menjadi semacam catatan perjalanan reformasi, dengan menyatakan berbagai permasalahan, pandangan, ataupun langkah-langkah yang telah ditempuh

dalam reformasi.

B

uku yang dapat meng- gambarkan titik awal dari reformasi, dimana gejolak dan krisis ke- hidupan publik masih sangat ter- asa, salah satunya adalah Opini Masyarakat: Reformasi Kehidu- pan Bernegara, Dari Krisis ke Reformasi. Sesuai dengan judul- nya, buku ini secara keseluruhan merupakan gagasan-gagasan seputar reformasi dalam ke- hidupan bernegara di Indonesia. Ia diterbitkan pada bulan April tahun 1999 oleh Penerbit Har- ian KOMPAS dan di dalamnya terdapat 49 artikel yang pernah dimuat dalam koran KOMPAS sepanjang tahun 1998. Bebera- pa penulis artikelnya yang cukup terkenal adalah Abdurrahman Wahid, H Rosihan Anwar, Kwik Kian Gie, Franz Magnis-Suseno, dan Selo Soemardjan. Meski- pun di dalamnya tidak terdapat pembahasan yang terlalu ilmiah atau mendalam, ia tetap menarik dalam rangka menunjukkan sub- stansi krisis masyarakat pada saat awal reformasi serta me- maparkan opini-opini antara lain mengenai reformasi menghadapi pasar global, bagaimana mem- bangun ketatanegaraan, dan agenda reformasi total.

Dalam tahapan reformasi selanjutnya, buku yang dapat cukup memberi gambaran men- genai proses reformasi adalah

Reformasi Menjadi Deformasi: Dari Lengser ke Lengser. Buku yang diterbitkan pada tahun 2001 oleh Universitas Indonesia

ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono (SES) dalam berbagai surat kabar antara 1997-2000. Tersusun secara kronologis berdasarkan tanggal ditulisnya artikel, tulisan SES menunjukkan sisi yang lebih akademis dalam pembahasan seputar reformasi. Secara keseluruhan, SES yang disebut-sebut sebagai ses- eorang yang berorientasi rakyat ini membahas bahwa reformasi telah mengalami kemunduran karena telah terdapat berbagai permasalahan antara lain dalam pembangunan daerah, perlind- ungan TKW, transmigrasi, otono- mi, ekonomi, birokrasi serta pemerintahan.

Selain pandangan orang Indonesia seputar proses refor- masi, terdapat pula pandangan orang asing yang dapat menun- jukkan pendapat atau analisa luar tentang proses yang dilalui oleh bangsa. Beberapa buku yang mengemukakan pan- dangan ini antara lain adalah

Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis

dan Post-Soeharto Indonesia: Renewal or Chaos?, diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies. Terdapat pula Refor- masi: The Struggle for Power in Post Soeharto Indonesia karya Kevin O’Rourke, semacam catatan sejarah dan analisa mengenai politik Indonesia dari tahun 1996-2001.

RIZKY SADALI

BIBLIOGRAFI

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 92-94)