• Tidak ada hasil yang ditemukan

bidang militer

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 34-36)

Terlalu pagi untuk mengata- kan konsolidasi kontrol otoritas politik atas institusi militer. Di bawah kepemimpinan Moham- mad Mahfud, Departemen Pertahanan berhasil mengurung tentara hanya “sebagai kompo- nen utama untuk menghadapi ancaman bersenjata”. Namun Mahfud terpaksa merelakan be- berapa perwira untuk merumus- kan sendiri apa yang dimaksud- kannya sebagai operasi militer selain perang. Penggantinya, Matori Abdul Djalil, boleh saja tercatat sebagai pemrakarsa pemberlakukan hukum humani- ter di lingkungan TNI. Namun Matori juga gagal membendung tangan ajaib beberapa perwira tinggi untuk mengganti RUU TNI yang disusun berdasarkan mandatnya. Juwono Sudarsono justru mengundang berbagai kontroversi, mulai dari keeng- ganannya untuk menerima UU Peradilan Militer sampai dengan gagasannya tentang an- caman nir-militer.

Tak heran jika empat tahun setelah pemberlakuan UU No. 34/2004 tentang Tentara Na- sional Indonesia, otoritas sipil belum berhasil menegakkan hukum sipil terhadap anggota militer yang melakukan tindak kriminal. Otoritas sipil juga tidak berdaya ketika hendak mengambil alih aset negara yang digunakan untuk “bisnis militer”. Sebagai representasi negara, para Duta Besar Indo- nesia di luar negeri hanya bisa menggerutu karena tidak dapat mengendalikan para atase per- tahanan.

Lebih dari itu, hubungan para prajurit dengan masyarakat di mana mereka berada tidak banyak berubah. Depolitisasi militer pada tingkat pusat justru memberi peluang bagi ko- mando militer di daerah untuk

memainkan peran yang lebih leluasa. Berbeda dari pada masa Orde Baru ketika komandan- komandan tentara daerah pada umumnya memangku jabatan kemiliteran yang lebih rendah dibanding senior mereka yang dikaryakan untuk memegang ja- batan sipil, kini para komandan itu berhadapan dengan para po- litisi yang kerap kali bukan ha- nya lebih muda tetapi juga ku- rang berpengalaman. Khususnya di daerah-daerah konflik atau ketika otoritas sipil dihadapkan pada saat-saat genting, misal- nya bencana alam atau konflik komunal, para komandan itu pada umumnya memainkan pe- ranan kunci.

Dengan kata lain, hubungan sipil militer yang demokratis, yaitu supremasi otoritas politik atas institusi militer, terjadi ha- nya pada institusi-institusi poli- tik di tingkat pusat, khususnya dalam konteks hubungan antara eksekutif dan legislatif dan an- tara Departemen Pertahanan dengan Markas Besar TNI. Lebih dari itu, supremasi sipil itu, kalaupun harus digunakan sebagai benchmark hubungan sipil-militer, agaknya tidak lebih dari sekedar supremasi formal dan prosedural. TNI masih te- tap memiliki ruang gerak yang amat luas, sekalipun tidak bisa dikatakan tetap menggenggam impunitas, privilege, atau keisti- mewaan sejarah.

Satu hal yang tidak berubah dalam sepuluh tahun belakang- an ini adalah karakter hubungan sipil-militer seperti itu. Dan tantangan di masa depan dapat dipastikan jauh lebih rumit di- banding masa-masa sebelumnya. Alih generasi di lingkungan TNI sendiri telah menyebab- kan tiadanya kelanjutan dari rencana paradigma baru yang dirumuskan para pimpinan mi-

liter pada akhir 1990-an. Ber- samaan dengan itu, hingga kini kalangan sipil gagal mengisi kesempatan untuk mengendali- kan arah dan mengisi substansi reformasi militer.

Entah kepada siapa lagi kelan-

jutan reformasi militer itu da- pat diharapkan. Jangan-jangan, paradigma baru TNI memang dirancang sekedar untuk me- nyelamatkan pimpinan TNI pada waktu itu dari dosa-dosa Soeharto tetapi bukan untuk membangun profesionalisme tentara.

Dr. Kusnanto Anggoro

Alumni Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Glasgow (Scotland); pengajar tamu pada Sekolah Staf dan Komando di lingkungan TNI dan Departemen Pertahanan RI; anggota kelompok kerja penyusunan RUU Pertahanan Negara (2002), Buku Putih Pertahanan (2003), RUU TNI (2004)

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 33

DOK. PRIBADI

bidang militer

M

engapa tingkat ke- sejahteraan rakyat menjadi bagian penting dari evalu- asi 10 tahun reformasi politik di Indonesia ? Ia menjadi penting bagi kita semua karena sejumlah alasan. Pertama, reformasi yang intinya adalah perubahan dasar dalam kepemerintahan yang se- harusnya instrumental terhadap kesejahteraan rakyat. Kesejahte- raan adalah harapan kita semua. Kedua, reformasi politik yang terjadi menggunakan demokrasi sebagai kendaraan utamanya. Tidak berlebihan pula jika kita berharap bahwa era keterbu- kaan dan pemilihan pimpinan pemerintahan langsung dapat membuahkan kesejahteraan yang lebih besar. Reformasi dan de- mokrasi dengan demikian adalah konteks utama dari pembahasan perkembangan kesejahteraan di Indonesia. Artinya begini, buat apa terjadi perubahan rejim dan buat apa membuka diri dengan menjalankan prosedur demokrasi kalau akhirnya, tingkat kesejah- teraan tidak juga meningkat.

Apa elemen dasar kesejah- teraan? Elemen utama adalah pemenuhan kebutuhan pokok : sandang pangan dan papan. Ke- mampuan memenuhi kebutuhan pokok keluarga terkait tiga ele- men dasar yakni 1) kesempatan, 2) pemberdayaan dan 3) proteksi.

Kemiskinan, misalnya, adalah akibat dari langkanya kesempatan usaha, rendahnya keberdayaan dan akibat rawannya kaum miskin ter- hadap beragam bentuk ancaman. Penyediaan proteksi, pemberda- yaan dan kesempatan difasilitasi melalui kebijakan, perundang-un- dangan, perda dan program yang disediakan oleh otoritas publik serta layanan yang diberikan pi- hak swasta dan elemen masyarakat. Kita dapat mengggunakan 5 kate- gori penye-

diaan kesejahteraan yang dapat dijadikan acuan yakni pemenuhan kebutuhan pokok dan penyele- saian masalah sosial. Penyelesaian masalah sosial dapat dilihat lebih rinci tentang upaya-upaya pen- gemba-

ngan kapasitas masyarakat, pro- teksi sosial dan penyediaan kese- lamatan/fasilitas publik. Tentunya, indikator kesejahteraan menjadi cukup luas untuk dibicarakan.

Debat tentang kemajuan kese- jahteraan masyarakat dapat dilihat dari kontradiksi antara laporan kemajuan pencapaian sasaran

Millenium Development Goals un- tuk Indonesia selama 7 tahun te- rakhir, yang menunjukkan tingkat kemajuan yang baik untuk indika- tor utama seperti tingkat partisi- pasi pendidikan, tingkat kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan angka gizi buruk. Namun kita semua dikejutkan dengan rang-

DEMOKRATISASI

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 34-36)