• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMERDEKAAN PERS

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 54-56)

kemerdekaan, muncul jargon: pejuang dulu, baru wartawan. Dengan kata lain, setiap wartawan pasti pejuang. Jalan pikiran kedua melihat, kemerdekaan pers identik dengan kapitalisme liberal, akar kolo- nialisme. Pandangan ini mengemuka tatkala Rapat Besar BPUPKI, 15 Juli 1945, ketika membicarakan rancangan Pasal 28 UUD 1945 yang kemudian dia- komodir Pasal 28 UUD 1945 sehingga jalan pikiran yang memperjuangkan pentingnya payung kemer- dekaan pers dimasukkan secara eksplisit ke dalam Pasal 28 UUD dieliminir.

Masuk akal, tatkala realitas politik multi partai,

di bawah payung Konstitusi UUDS 1945, terkesan sebaga terompet partai maka penganut paham anti kemerdekaan pers berteriak : ”Lihat sendiri kan, kalau kemerdekaan pers terlalu liberal, pers cuma punya jadi penyambung lidah politisi dan partai.” Tak heran jika muncul tudingan, pers partai yang sangat liberalistik itu cuma bikin kacau dan alat saling menyerang antar partai. Mungkin, itulah yang dijadikan dalih kuat, mengapa muncul gagasan kembali ke UUD 1945 lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memungkinkan bagi siapapun yang men-

jadi presiden untuk melakukan praktik buruk yang oleh Clinton Rositter dijuluki, ”Dictatorship Consti- tutional” Rezimnya diktator dipayungi konstitusin represif.

Teori Rositter, sulit dipatahkan. Pasca Dekrit 5 Juli 1959 sampai 23 September 1999, kemerdekaan pers seolah berada di tepi pantai. Dengan kata lain, tak ada kepastian tentang kemerdekaan pers. Keti- dakpastian hukum ini dimungkinkan oleh muatan Pasal 28 UUD 1945 yang bermakna cek kosong. Era cek kosong Pasal 28 UUD 1945 yang diikuti produk hukum represif tentang kemerdekaan pers itu, terny- ata berlangsung sekitar empat puluh tahun. Berawal dari era sistem politik demokrasi terpimpin, pasca Dekrit 1959, berakhir setelah kejatuhan mantan Presiden Soeharto, Mei 1998, diikuti keluarnya UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, 23 September 1999.

Di bawah rezim sistem politik demokrasi terpim- pin, ditemui tiga produk hukum represif yang mem- belenggu pers, Tap MPRS Nomor II/ 1960; Pera- turan Panglima Tertingi (Peperti) Nomor 10 Tahun 1960; dan Tap MPRS Nomor XXXII/1960. Ketiga

produk hukum itu berisi, pers harus jadi alat per- juangan revolusi; harus izin terbit penguasa; setiap pemimpin redaksi harus membuat pernyataan setia

PASANG SURUT

POLITIK HUKUM

KEMERDEKAAN PERS

Wikrama Iryans Abidin

Anggota Dewan Pers periode 2006 - 2009,

pernah bekerja sebagai wartawan, dan mantan Pemimpin Redaksi SKK-UI Salemba DOK.PRIBADI

kepada penguasa. Ketiga produk hukum represif itu, menggunakan konsideran Pasal 28 UUD 1945. Begitu juga di era kekuasaan Soeharto, modusnya persis sama pasal yang jadi landasan aneka produk hukum pers represif tetap Pasal 28 UUD 1945.

Cuma bedanya, soal Soeharto bergaya euphemis- me. Misalnya, di dalam UU Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan Pokok Pers, dikatakan sensor,

bredel, surat izin terbit ditiadakan. Tetapi, di dalam ketentuan peralihan UU tersebut, menyebutkan se- lama masa transisi tetap diperlukan surat izin terbit.

Tak heran jika produk hukum tentang pers di era Orde Baru lainnya, seperti UU Nomor 4 Tahun 1967; Tap MPR Nomor IV/1978, UU Nomor 21 Tahun 1982 Tentang SIUPP; Permenpen Nomor 1/1986, materi muatannya juga represif. Dalam ren- tang waktu 32 tahun itu, kemerdekaan pers mesti menjadi bagian dari pers bebas yang bertanggung ja- wab pada kekuasaan, dalam hal ini kepada Menpen dan Deppen-nya.

Kekuasaan Orde Baru kemudian berjalan di bawah sistem pers yang menulis dan menyiarkan berita dan opini atas dasar Asal Bapak Senang. Pers bukan lagi mencerminkan realitas kekuasaan yang korup dan bengis, akan tetapi didorong menjadi alat propaganda seolah-olah di bawah rezim yang bersih dan demokratis, padahal korup dan keropos.Di bawah pembelengguan pers dan sistem politik yang korup itu, tak heran jika terjadi pembusukan politik dan kekuasaan. Penguasa merasa stabilitas terjamin, padahal, realitasnya berbeda karena informasi yang disampaikan ABS dan semu. Mudah ditebak ke- mudian, penyebab utama kejatuhan Soeharto, dia dibuai opium orang-orang dekatnya yang berwatak ABS dan selalu memuji dan membohonginya.

Kejatuhan Soeharto, diikuti dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU 40/99) yang dikenal responsif karena me- respon aspirasi komunitas pers membuka belenggu pers. Proses pembuatannya pun sangat demokratis. Sebab, mencerminkan aspirasi masyarakat demo- kratis, serta melibatkan berbagai entitas masyarakat pers, pemerintah pasca Orde Baru dan DPR RI.

Yang paling spektakuler dari UU Tentang Pers yang lahir di era reformasi ini adalah, ia menjadi payung hukum kemerdekaan pers tanpa syarat. Jika pada Orde Baru, pers ditempatkan sebagai budak kekuasaan maka pada era reformasi ini konsepnya berubah, pers adalah wujud demokrasi (Pasal 2 UU 40/99). Pers dituntut memiliki arah dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi dan supremasi hukum. Perspektif ini tentu saja di- maksudkan agar kemerdekaan pers tidak berpeluang

menjadi anarkhisme pers yang justru merusak nilai luhur demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Untuk menjamin kemerdekaan pers, tidak ada sen- sor, bredel, pelarangan penyiaran, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Buah kemerdekaan pers yang dipayungi UU 40/99 ini, luar biasa. Wajah pers Indonesia, dihiasi oleh : (1). Penerbitan nasional dan daerah : 829, penerbitan In-house, 10.000; (2). TV Nasional, 11 stasiun, TV local, 60-an; (3). Radio berizin, 1.124, tak berizin, 8.000 (Don Bosco, 2006).

Bisa dibayangkan, dengan kemajuan pers yang luar biasa itu betapa besarnya audience yang bisa di- jangkau. Berapa banyak tenaga wartawan dan karya- wan pers yang ditampung industri pers. Termasuk betapa hebatnya kompetisi pers Indonesia saat ini. Di tengah booming industri pers itu, menjadi persoa- lan sangat serius jika ia dikelola dan tangan-tangan yang miskin pengetahuan dan kompetensi jurnalis- tik. Kehadiran mereka yang tidak profesional dirasa- kan sebagai musuh publik yang merusak wajah pers.

Dalam situasi seperti ini, jangan heran kalau ada yang mengidentikkan wartawan sebagai penyakit berbahaya, seperti HIV, atau flu burung, atau se- suatu yang berbahaya, seperti narkoba. Sebab, keha- dirannya seolah bukan lagi sebagai pembawa kabar gembira dan baik. Ia sudah dianggap sebagai public enemy. Namun jangan pula lupa tak sedikit rakyat berterima kasih kepada pers yang berani dan jujur mengungkap aneka kebobrokan yang ada di tengah kita. Bahkan pers dinilai mampu melompat jauh ke depan sebagai sarana kontrol dan pendidikan positif publik dan kekuasaan yang efektif melalui produk jurnalistik berdasarkan investigasi yang berani, jujur dan berimbang.

Di situlah kemerdekaan pers di era reformasi berdiri. Ihwal malpraktik kemerdekaan pers yang sebetulnya sebagai residu problem ekomoni tak perlu ditampik. Publik pembaca dan khalayak Indonesia yang kian cerdas, tidak selamanya bisa dibohongi. Biarlah publik yang menghakimi pers. Pers yang punya kredibilitas tinggi, pasti tetap eksis dan ung- gul. Pers ugal-ugalan dan merugikan kepentingan publik, pasti akan ditinggalkan pembaca dan pema- sang iklan.

Itulah perspeketif kemerdekaan pers yang kita inginkan. Praktik kemerdekaan di era reformasi yang demokratis ini harus kita pertahankan agar bangsa ini tidak terombang-ambing oleh gelombang laut. Caranya, tentu dengan memperkokoh kedudu- kan kemerdekaan pers ke menjadi constituonal right

sehingga tak mudah diutak-atik kepentingan sesaat.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 53

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 54-56)