• Tidak ada hasil yang ditemukan

catatan perjalanan R

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 74-77)

akan menyerah. “Yang memotivasi saya adalah cinta, saya mencintai Wawan…, maka saya harus membe- lanya!” ucapnya dengan yakin.

10 tahun waktu untuk perjuan- gan Ibu Sumarsih ternyata belumlah lama. Pak Bejo, juga merupakan peserta aksi ”Kamisan”, sudah 43 tahun berjuang untuk nasibnya. Ia merupakan korban ’65, dimana diduga terjadi pembantaian besar- besaran terhadap rakyat yang diang- gap sebagai anggota atau antek dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Pak Bejo, pembantaian waktu itu tidak hanya untuk mereka yang dianggap anggota. “Ya Bapak- nya, ya anaknya, itu semua dibantai oleh rezim Soeharto!” ceritanya penuh emosi.

Ayah Pak Bejo merupakan seorang guru yang aktif di organisasi perburuhan. Setelah ayahnya ditang- kap, ia kemudian ikut dicari oleh aparat. Alasannya, karena ia yang waktu itu murid kelas 3 Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Pema- lang, ikut organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Pak Bejo yang waktu itu berumur 17 tahun,

catatan perjalanan

R IO /S U M A

melarikan diri ke Jakarta. Setelah 5 tahun, akh- irnya pada tahun 1970, ia berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Salemba selama 9 tahun.

Selama sembilan tahun dalam Penjara Salemba merupakan penderitaan bagi Pak Bejo. Disana, ia dan tahanan politik (tapol) yang lain diinterogasi, dipukul, disetrum, dan disiksa. “Penjara tahanan kriminal saja (perlakuannya-red) lebih baik,” ka- tanya. Tapi, disana juga ia bisa banyak belajar karena para tapol merupakan orang yang pintar, terpelajar, namun dianggap berbahaya. Setelah keluar penjara, Pak Bejo masih diperlakukan se- cara diskriminatif. Setelah Reformasi ’98, ia mulai bergabung bersama tapol-tapol yang lain untuk memperjuangkan pengusutan atas ketidakadilan yang ia dan rekan-rekannya terima.

Perjalanan Ibu Sumarsih dan Pak Bejo mung- kin hanya segelintir dari banyak cerita tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Perjuangan mer- eka pun tidak akan ada artinya jika pemerintah ti- dak mempunyai kemauan untuk mengurai benang kusut pelanggaran HAM ini. Harapan menyeruak kala UU No.2000 tentang pengadilan HAM disahkan. Namun, belum terlihat juga hasil yang diinginkan. Perjalanan Ibu Sumarsih selama10 tahun dan penderitaan Pak Bejo selama 43 tahun merupakan sebuah catatan keyakinan di lembar hitam pelanggaran HAM di Indonesia.

HAFIZ MIZAN PILIANG

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 73

catatan perjalanan

R IO /S U M A R IO /S U M A

K

ejadian diatas adalah pengalaman seorang Yono (bukan nama asli).

Setahun lalu, ia menjadi korban amukan massa setelah aksinya mencuri perhiasan keta- huan. Perbuatan Yono memang salah. Namun mengadili Yono dengan amukan juga tidak dapat dibenarkan.

Mungkin bukan hanya Yono yang pernah mendapat amukan massa. Di negeri ini, cukup sering kita mendengar pelaku kejahatan “diadili” terlebih dahulu oleh ma-

syarakat sebelum diserahkan pada pihak yang berwenang. Maka timbullah satu pertanyaan: apakah amuk massa sudah membudaya di Indonesia?

Ada Kerumunan

Anggapan bahwa amuk massa membudaya di Indonesia itu bu- kan sesuatu yang yang bisa diami- ni kebenarannya namun―jika bo-

leh dikatakan―memang begitulah

sifat dasar manusia. Ia cenderung melakukan self-defense apabila sesuatu yang penting terancam dan terganggu pelaksanaannya. Sesuatu itu dapat berupa nilai-ni- lai, kepercayaan, aspirasi, sumber daya, harta, dan kepentingan se- seorang maupun kelompok. Jika sesuatu yang penting dalam suatu masyarakat terganggu, maka amuk massa dapat terjadi.

Amuk massa, diartikan sebagai perilaku mengamuk yang dilaku- kan oleh sejumlah orang secara bersama-sama. Perilaku tersebut

“HaJar!!!”

Keheningan malam pun pecah. Segerombolan manusia berlari menyerang seorang lelaki muda. Terengah- engah ia berlari menyelamatkan diri dari amukan orang-orang di belakangnya, amukan massa.

amuk massa =

asYik massa?

TITAH.SUMA

budaya

hanya terjadi apabila ada kum- pulan orang. Hal ini ditegaskan oleh Daisy Indira Yasmine, M.Soc.Sci., dosen jurusan sosio- logi FISIP UI,”Ketika beberapa orang berkumpul―ada atau

tidak ada tujuan―itu bisa terjadi

kegiatan kerusuhan bersama atau biasanya disebut amuk massa.” Mbak Deby, begitu ia biasa dipanggil, juga menamba- hkan bahwa jika ada kerumunan, maka ada kecenderungan seseo- rang untuk mengikuti (contagi- ous/penularan) dan mengimi- tasi perilaku orang di dekatnya. Maka jangan heran apabila ada orang yang ikut-ikutan melaku- kan hal yang sama dengan orang di sekitarnya namun tidak tahu alasan mengapa

ia melakukannya. “Habis, yang lain

begitu…”, mun- gkin itu jawaban yang anda dapat jika ditanya alasan- nya.

Ada Kepentingan Lain

Tidak semua amuk massa terjadi alami. Sudah raha-

sia umum bahwa banyak oknum memang sengaja “merancang” amuk massa. Tujuannya mung- kin salah satunya untuk mem- berikan image buruk terhadap pemimpin berkuasa, seperti dugaan isu provokator ketika kerusuhan 1998. Bisa juga guna memuluskan langkah politik, ataupun mencari muka dengan berpura-pura meredakan amuk massa dan menjadi public hero. Kita tak pernah tahu.

Ada perancang, pasti ada yang melaksanakan. Inilah yang mengherankan. Terdapat komunitas yang memang me- nawarkan dirinya berdemo. ”Itu banyak. Mudah untuk mencari

satu atau dua minibus penuh dengan pendemo. Mereka ber- sedia mendemo. Tidak hanya sekedar mendemo, bahkan sampai pada tindakan yang le- bih keras daripada demo yakni berbenturan dengan petugas hukum. Tentu imbalannya ber- beda-beda.”, ucap Adrianus Me- liala, dosen jurusan kriminologi FISIP UI.Entahlah. Semuanya bisa terjadi, termasuk hal-hal tersebut. Yang pasti, sang “desai- ner” mencari keuntungan dibalik amuk massa yang ia galang, baik tujuannya positif maupun negatif.

Ciptakan Ruang Bicara

Aspirasi juga merupakan

aspek penting. Maka jangan he- ran jika seseorang bisa “meledak” apabila penyaluran aspirasinya terganggu, seperti ditegaskan Adrianus,”Jadi ketika aspirasi

suatu kelompok massa―umum-

nya aspirasi politik―itu ke-

mudian tersumbat, dalam arti misalnya tidak tersalurkan, tidak bisa bertemu pimpinan partai, lalu kemudian dalam rangka menyalurkan energi yang sudah terlanjur besar itu, mereka lalu menjadi amuk massa.”

Untuk penyalurannya, men- urut mbak Deby harus dicip- takan ruang untuk bicara seba- nyak mungkin atau ruang-ruang ekspresi baik dalam bidang

politik, sosial, dan ekonomi. Ti- dak hanya pada kelompok elit, tapi juga warga biasa karena ke- terlibatan amuk massa kadang- kadang memang akhirnya yang terlibat justru warga biasa yang disebabkan oleh penularan dan rasa terancam.

Ruang bicara telah ter- bukti jitu mengurangi resiko terjadinya, bahkan meredakan amuk massa. Sebagai contoh nyata ialah meredanya konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Konflik ini mereda setelah diadakan perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah yang dimediasi oleh Finlandia.

Penegakan Hukum

Jika ruang bicara sudah tidak mampu lagi menampung en- ergi yang meluap-luap massa, maka hukum berbicara.“Kalau pen- demo sudah melibat- kan amuk massa dan kekerasan, itu menjadi masalah hukum. Berarti hukum harus diperketat, harus kuat. Siapa yang melanggar hukum tetap harus dihukum secara tegas.”, tukas Mbak Deby. Hukum dan penegakannya faktor penting. “Kalau negaranya kuat, negara- nya perform, maka kemudian amuk massa dapat ditekan sam- pai minimal. Jadi, perilaku main hakim sendiri itu semua ada kaitannya dengan aparat negara yang bingung dalam rangka mengeksekusi kewenangannya.”, Pak Adrianus menjelaskan.

Pada akhirnya, kekerasan tidak perlu lagi digunakan jika masyarakatnya sudah memiliki kesadaran akan norma dan hu- kum yang berlaku.

YULINIAR VIDA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 75

“ketika beberapa orang

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 74-77)