• Tidak ada hasil yang ditemukan

masYarakat diruGikan

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 86-89)

sekali dengan pusat. “Timbul- nya gejala seperti Bupati atau Gubernur yang bertindak seb- agai raja-raja kecil yang ingin kekuasaannya penuh dalam mengatur masalah-masalah di daerah,” papar Chairul. Masalah yang ketiga, adalah masalah atau masalah penataan yang artinya belum terjadi dukungan yang sinergis antar stake holder dalam pengaturan dunia kesehatan. Masalah-masalah semacam ini seharusnya memang tidak terjadi di negara yang memiliki ideologi pancasila.

Namun, masalah tersebut adalah satu sisi dari kecederun- gan pemerintah mendahulukan kepentingan rakyat yang mulai tampak di pasca reformasi ini. Berdasarkan keterangan dr. San-

di, pada amandemen ke 4 UUD 45 setelah reformasi dinyatakan

secara eksplisit bahwa negara menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan menjamin fasilitas medis. Intrepretasinya dari UU ini adalahkesehatan merupakan hak masyarakat. Se- luruh masyarakat miskin, secara penuh akan ditanggung oleh pemerintah. “Jika mereka sakit, dengan hanya membawa kartu miskin atau Surat Keterangan Tidak Mampu”, jelas Sandi.

Berdasarkan keterangan Chairul Anwar, bahwa wujud konkret negara menjamin pelay- anan kesehatan bagi masyarakat yaitu dengan menjadikan fasili- tas yang ada sebagai modal dasar. Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat diberikan unsur in- put seperti sinergisme, anggaran , manejemen, visi-misi kesehatan,

sehingga outcome yang dihasil- kan sesuai dengan cita-cita undang-undang. Namun kondisi yang ada sekarang seakan terjadi kesalahan manajemen, ketidak- sinergisan, visi-misi tidak jelas. “Misal visi Indonesia Sehat 2010,

sekarang sudah 2008 dan ting- gal 2 tahun lagi, jika dikatakan ini sangat sulit, apalagi dengan kondisi “centang pertang” sep- erti ini,”lirih Cahirul dengan nada pesimis.

Contoh lain yang diungkap- kan Chairul yang juga alumni Fakultas MIPA Universitas Indonesia yaitu permasalahan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Penyeleng- garayang diberikan amanah mengatur Askeskin merasa sudah memanajemen Askeskin namun, mereka beranggapan bahwa merekalah sebagai pen- guasa dananya. Hal ini berarti tidak melihat kepentingan ma- syarakat. PT Askes tarik-tarikan dengan Depkes. Kondisi seperti ini yang dirugikan adalah ma-

syarakat bukanlah PT Askes atau Departemen Kesehatan. “Masyarakatlah pemilik ang-

garan itu”. Jelas Chairul dalam harian Tempo, 21 Februari 2008, hal. 7 , tertera bahwa Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari telah memutuskan tetap bekerja sama dengan PT Askes dalam penyelenggaraan Askeskin 2008. Namun yang terjadi setelah itu adalah perseteruan antara Di- rektur Utama PT Askes dengan Menkes Siti Fadilah Supari. Akhirnya Askeskin dicabut

diganti menjadi Jaminan Kes- ehatan Masyarakat (Jamkesmas). Hal ini menjadi pembahasan khusus oleh komisi IX DPR-RI. Komisi ini meminta Menkes untuk meninjau ulang peralihan Askeskin menjadi Jamkesmas. Sementara hal ini belum jelas, Menkes telah mengatakan Ask- eskin beralih menjadi Jamkes- mas yang disampaikannya dalam sambutan pertemuan sosialisasi Jamkesmas di JCC, Senayan, Ja- karta, Rabu (26/3/2008).

Menkes pernah menyam- paikan bahwa beberapa alasan akhirnya kerjasama Askeskin dicabut dari

PT Askes adalah terjadi penggelembungan dana tung- gakan Askeskin. Pemerintah diminta mengeluarkan dana sebesar Rp 10 triliun untuk 74,6 juta rakyat miskin yang masuk kuota penerima Askeskin. Se- mentara dana yang tersedia di kas negara hanya Rp 4,6 triliun. Selain itu, dia kecewa dengan manajemen PT Askes yang dianggapnya buruk, khususnya soal transparansi pembayaran klaim tagihan perawatan dan RS serta verifikasi klaim tersebut. Dengan berbagai pengalaman ini, akhirnya Menkes berembuk dengan kepala dinas kesehatan se-Indonesia pada Senin (14/1). Informasi ini diambil dari lintas

PUTRI.SUMA

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 85

berita www.mrmynews.com dalam artikel “Klaim Dana Ask- eskin Terlalu Mahal, Menkes Copot PT Askes”, Rabu, 16 Januari 2008, 07:01:26 WIB

Dengan membentuk Jamkes- mas sekarang ini, akan menim- bulkan permasalahan baru dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat. Pasalnya, pembentukan Jamkesmas tentu- lah membutuhkan penyesuaian yaitu waktu, uang, orang (SDM), dan jaringan. “Hal ini sama saja dimulai lagi dari nol,” jelas Chairul yang mengetok meja saat memaparkan hal ini. Ia pun menambahakan. “Kesehatan itu hanya menjadi kelinci perco- baan, tidak ada desain dari awal. Seharusnya dari tahun ketahun makin membaik, namun ke- nyaatanya tahun pertama sampai dengan ketiga “tengkar” kemu- dian tahun keempat memulai dari nol.” Berarti tahun kelima sama seperti tahun kedua. Ka- pan mau beres?” tandas Chairul, lelaki berkopiah yang kerap kali disapa ustaz oleh sekitar, saat

Suma UI mewawancarainya di Gedung Jamsostek YTKI.

Chairul Anwar juga menam- bahkan, “Jika saja Siti Fadilah dapat memperkirakan hal ini dari awal tentulah akan lebih baik.” Disini terlihat bahwa tidak adanya konsep yang kuat, valid, dan jelas, untuk perma- salahan Askeskin. Sebenarnya dalam melangkah, Menkes su- dah mengumpulkan para pakar dan ada buku yang ia terbitkan, tetapi buku tersebut ternyata dilanggar. Achmad Sujudi se- belumnya telah menjalankan JPKMM, seharusnya tinggal diteruskan. Namun yang terjadi adalah Menkes Siti Fadilah Su- pari merubah sistem, manajerial ditarik ke PT. Askes kemudian ditarik lagi Jamkesmas. Padahal, sebelumnya Presiden Yudhoyono

pernah meminta Departemen Kesehatan, PT Askes dan pihak rumah sakit untuk membenahi mekanisme kerja sama penge- lolohan Askeskin ini.

Sebagaimana yang diung- kapkan oleh United Nations De- velopmnent Programme (UNDP), tingkat indeks pembangunan manusia Indonesia masih ter- tinggal dibanding negara-negara lain. Padahal, salah satu unsur terpenting dalam indeks pem- bangunan manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini membuat negara berkomitmen untuk meningkat- kan kesehatan masyarakat. Hal ini terlihat dari pemerintah me- naikkan anggaran kesehatan di tahun 2005 sekitar 5 triliun dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang sekarang menjadi 18 triliun, seperti yang diungkapkan oleh Chairul Anwar.

Namun menurut hasil diskusi mahasiswa FKM UI dalam forum kelas Kebijakan Kesehatan, meskipun ada kenaikan anggaran di masa desentralisasi tetap saja outcome

dari kinerja kepemerintahan kesehatan sama saja, dan tidak ada bedanya, bahkan masalah kesehatan begitu “polemik”.

Hal ini dikarenakan, kesehatan tidak cukup berbicara anggaran, namun manajemen input, dan komitmen menjalankanproses dan juga kerjasama baik intern

departemen dan antar departe- men terkait.

Jika saja kesehatan ma- syarakat dapat ditingkatkan ini berarti mendukung masyarakat untuk produktif secara ekonomi, seperti cita-cita UU 23 tahun 1992. Jika pendapatan atau kon-

disi ekonomi masyarakat secara individual meningkat berarti meningkat pula perekonomian bangsa. Melihat kecenderungan ini, maka kesehatan menjadi sektor yang dikedepankan untuk memulihkan kondisi bangsa, meskipun masalah akan terus muncul. Terbukti dari adanya peningkatan aggaran kesehatan, dana pengurangan subsidi BBM yang dialihkan kepada kes- ehatan. Hal-hal ini juga didu- kung oleh Presiden SBY sendiri, seperti dalam pidato-pidatonya yang pro terhadap kesehatan termasuk Askeskin, dan bahkan sempat memimpin rapat kabinet terbatas bidang kesehatan di Departemen Kesehatan 20 Feb- ruari Silam. CHRISSENDY T.L.SITORUS L IL A /S U M A

kesehatan

“N

ama lengkap lu apa?” “Ivory.”

“Udah, gituh ajah?”

“Iya, begitu saja. Singkat. Padat. Daleem.”

“Oh.” Responku, datar.

“Kok elo gak keliatan penasaran, sih?” “Apa?”

“Nama gue!”

“Emangnya ada apa dengan namamu, Ivo?” “Katanya lo interest sama gue! Huh, gimana siy, nama gue kan unik!”

“Emang Ivory bahasa mana, ya? Sejenis bumbu masak, bukan?”

“Hmm, h0keh, sekarang gue percaya kalo nilai pdpt bahasa inggris lu `C`!”

“Hihi, maap deh, pengaruh gejala gizi buruk waktu masih kanak-kanak.”

“Ivory, demikian bonyok kasih nama gue.” Kata Ivo sambil menangkupkan kedua tangannya meny- angga dagu, tatapannya seolah menerawang.

“Hmm.” Aku juga gak mau kalah, kucondong- kan tubuhku dan melakukan perilaku yang sama dengan Ivo, bedanya tatapan mataku hinggap ke meja seberang, memperhatikan seorang nenek tengah menganiaya cucunya yang baru saja melempar juice cabe rawit super tepat ke mata sang nenek.

“Ivory itu artinya GADING, bego…!” katanya sambil menjulek dahiku.

“Hmm.” Dengan keterbatasan kapasitas otak aku mencoba memahaminya.

“Ada pepatah yang menyatakan tak ada gading yang tak retak.”

“Oke, lalu apa hubungannya peryataan dari si pepatah yang merangkap jadi bandit pengutil gading gajah itu dengan nama lu, Ivo?”

“Begitulah gue adanya. Gue nggak sempurna, Dang. Seperti nggak ada gading yang gak retak.” Tandas Ivo, sok puitis.

“Hmm, jadi elu kek gading, ya?” “Right.”

“Elu tau gak, gading itu sebenarnya bagian apa dari tubuh gajah?” tanyaku yang emang paling ma- niak nonton acara animal documentary, terutama episode reproduksi katak dan episode bayi gajah beranjak puber.

“Gading ya gading, Dadang!” sentak Ivo. “Asal elu tau ya, Ivo. Gading gajah itu sebenar- nya gigi lebih!”

“HAH?”

“Iya, Ivo. Gading itu gigi gajah yang tumbuh mencuat ke luar! Gua juga gak tau gajah pake pasta gigi merek apa.”

“Gak. Gak mungkin. Gak mungkin. Boong lu!”

“Come on, that’s the fact, Ivo! Jadi, mulai se- karang elu gua panggil Ivo Si Gigi Gajah, hihi.” Selorohku, menggodanya. Menggoda Ivo. Cewek cantik sok idealis yang aku kenal seminggu lewat sudah sejak demonstrasi menentang kebijakan pemerintah mengimport jarum pentul Made in Ger- many. Cewek yang sekarang lagi menghisap seba- tang mild dalam-dalam usai menonton Ayat-Ayat Cinta di 21 Detos bersamaku.

“Oh, elo Dadang?”

“Dadang Mulayana kasep, tepatnya.” Jawabku cengar-cengir saat pertama kali berkenalan dengannya.

“Ketua Imaho ?”

“Bukan, Neng. Itu mah Dadang Mahendra. Gua mah normal.” Ralatku, menyelamatkan image pada pertemuan pertama.

“Oh. Ngapain lo ikut demo?”

“Ditraktir mie ayam sama korlapnya.” Jawabku jujur, sambil megang pantat2, entah salah tingkah,

salah urat atau salah syaraf.

“Ck, yang kek elu nih ngerusak citra mahasiswa.” Ivo geleng-geleng kepala.

“Emang alesan lu ikut demo?”

“GUE MAU NGERUBAH BANGSA INI!” “?”

“MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI!” Glek. Gua cuma bisa keselek mendengar penu- turan Ivo. Otak gua gak nyampe. Ke laut aja luh, Dadang! Seolah seperti itu arti tatapan mata Ivo padaku.

“Elo gila, ya.”

“Huh?” pernyataan sadis Ivo itu menyeretku dari alam flashback.

“Semua orang tadi pada nangis nonton AAC, eh, elu malah ketawa cekikikan minta dicekek.”

“Hihi, abis gua ngebayangin yang gak sadarkan diri bukan Maria, tapi elu Ivo. Terus, yang berusaha menyadarkan bukan Fahri, tapi gua, si Dadang Kasep.”

“Begitu gue sadar, terus yang pertama kali gue lihat muka elo, Dang, pasti gue langsung teriak-te- riak: `Dokter! Dokter! Suntik mati saja saya!”3

Ivo ketawa. Gua juga ketawa, kenceng banget, karena emang begitu juga versi lamunan gua, yang bikin gua bisa-bisanya ketawa, minta ditabok, di tengah lautan air mata penonton AAC.

“Dang, besok lo ikut gue yuk?” “Ngapain?”

“Biasa.”

“Demo apalagi? Pelarangan menebang pohon toge?”

“Mencegah kenaikan BBM yang jelas-jelas ng- erugiin rakyat!” seru Ivo berapi-api.

“Hobi banget lu. Nggak deh. Besok gua mau

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 87

iVorY

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 86-89)