• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESALAHAN BESAR

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 30-32)

reformasi !!!

RIZKI/SUMA

Habibie lupa bahwa kebebasan dan kesetaraan merupakan akar persoalan kebhinekaan kita. Jus- tru karena para founding father

sadar akan potensi konflik dalam keberagaman: suku, agama dan ras maka mereka menyatukannya dalam Sumpah Pemuda. Den- gan demikian semua ego dapat ditekan dalam bingkai keindo- nesiaan. Kendati nasionalisme, menurut Benedict Anderson, hanya merupakan imagined com- munities.

Oleh Habibie, keberagaman “dipencarkan” kembali. Sehingga

kini setiap hari kita kenyang dengan pertengkaran-perteng- karan atas nama kesetaraan dan kebebasan. Tuntutan pemekaran wilayah. Tuntutan pendirian lembaga pengawasan: hakim, jaksa, kepolisian atau lembaga ad hoc lainnya, sepertinya tidak ber- kesudahan. Padahal, agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan, Montesquieu, hanya membaginya dalam tiga bagian. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Untuk kekuasaan yudikatif, kini kita mempunyai Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsti- tusi. Dengan Komisi Yudisial, sebagai lembaga pengawasannya. Akibatnya, undang-undang seb-

agai produk bersama antara legis- latif dan eksekutif menjadi tidak pernah final. Sebab masih dapat diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi. Tidak ada aturan yang titik, karena terus menerus bersifat koma.

Kesetaraan dan kebebasan pula yang kemudian melahirkan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Mari kita simak berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya? Menurut catatan, sampai saat ini jumlah kabupaten/kota sebanyak 465 dengan 33 propinsi. Pilkada

dapat diselenggarakan apabila ada minimal dua pasang calon.

Taruhlah setiap orang paling sedikit mengeluarkan Rp 5 mi- lyar maka dalam setiap pilkada dikeluarkan Rp 20 milyar. Se- hingga untuk 598 pilkada akan menyerap biaya paling kurang Rp 9,9 triliun. Biaya ini belum termasuk yang dikeluarkan oleh pemerintah secara resmi.

Untuk pilkada DKI—menu- rut sebuah sumber—salah satu calon gubernurnya telah mem- belanjakan kaos sebesar Rp 16 milyar (4 juta kaos dengan harga perbuah Rp 4.000). Belum un- tuk pengeluaran spanduk, iklan media cetak dan elektronik atau “mahar partai pendukung”. Semua pengeluaran ditanggung oleh para calon dan para sponsor. Dan laiknya tabiat para sponsor politik, tidak ada yang ikhlas.

Kemudian apa yang terjadi dengan pemilihan anggota legislatif? Seandainya gaji para anggota DPR-RI sebulan Rp 50 juta, dan oleh mereka “tidak dibelanjakan sepeserpun” maka setahun akan diperoleh Rp. 600 juta. Dengan masa jabatan 5 ta- hun, mereka dapat mengantongi Rp 3 milyar. Sebuah jumlah yang kecil untuk mempertahankan posisinya kembali di periode berikutnya.

Demikian yang terjadi pada pemilihan presiden. Berapakah yang terserap untuk terbang dari satu tempat ke tempat lainnya. Membawa sejumlah artis, diser- tai sekian puluh pengikut setia. Seakan rombongan sirkus yang loncat sana-sini. Tidak mem- buahkan hasil bagi pendidikan politik rakyat. Pesta pora hanya menjadi milik elit dan investor politik. Sementara rakyat yang mendambakan buah manis dari reformasi tak kunjung menikma- tinya.

Maka menurut saya, ken- dati pilpres, pilkada, multipartai merupakan anak kandung re-

formasi, harus segera disudahi. Sistem ini berpotensi menebar benih korupsi karena biaya yang dikeluarkan sangat besar. Refor- masi memang telah terjebak pada

euforia kebebasan dan kesetaraan, karena kepengapan sentralistis yang diciptakan rezim orde baru terlalu lama.

Plato mengatakan, kalau diterapkan secara tergesa, de- mokrasi akan menjadi penyakit. Sebab demokrasi tidak mampu menyatukan—karena prinsip kebebasan yang dimilikinya. Keanekaragaman dan perbedaan tidak memunculkan kesatuan. Kehidupan tidak tertata dengan baik sebab ketidaksamaan selalu menjadi alasan untuk menghan- curkan satu sama lain.

Dengan reformasi yang tidak teratur, kita menjadi bangsa yang teraliensi karena tidak mampu lagi mengenali diri sendiri. Menurut Durkheim, bangsa ini berada dalam posisi anomie—ke- tika nilai-nilai baru belum ditemukan, nilai lama sudah dis- ingkirkan. Saya pun rasanya baru terjaga dari mimpi buruk sepuluh tahun lamanya.

Edisi Khusus 10 Tahun Reformasi 9

D.T. Rimbawan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI

DOK. PRIBADI

bidang poltik

M

enapaki 2008, ke- rasnya tantangan hidup kian terasa. Minyak tanah bersubsidi, terutama di kota- kota besar seperti Jakarta, men- ghilang seiring dicanangkannya program konversi ke gas. Ka- laupun sesekali ada pasokan ke depo minyak, harganya bisa me- lambung hingga Rp 3.500 seli- ter, jauh lebih tinggi ketimbang harga resmi minyak bersubsidi yang hanya Rp 2.500 seliter. Di tingkat pedagang minyak keli- ling harganya bisa mencapai Rp 7.000 seliter, padahal minyak tanah merupakan kebutuhan vi- tal masyarakat kelas bawah.

Lebih repot lagi, gas Elpiji yang menjadi pengganti minyak tanah pun menghilang dari pa-

sar, khususnya untuk tabung 12 kg yang ditujukan untuk pasar rumah tangga. Diduga keras penyebabnya karena pasokan gas 12 kg ini diborong sektor bisnis. Sebenarnya untuk sektor bisnis dan industri Pertamina telah menyediakan tabung 50 kg. Masalahnya, terhitung awal April Pertamina menaikkan harga Elpiji untuk sektor indu- stri dari Rp 5.852/kg menjadi Rp 7.932/kg, sementara harga Elpiji untuk domestik tetap Rp 4.250/kg karena mendapatkan

subsidi. Bisa ditebak, para pen- gusaha menyiasati kenaikan ini dengan memborong Elpiji tabung 12 kg – lengkap dengan tabungnya. Dampaknya, harga tabung 12 kg kosong pun me- lambung dari Rp 200.000 men- jadi Rp 550.000.

Perilaku pebisnis/industria- wan yang merambah hak ma- syarakat ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, demi mendapatkan harga lebih ren- dah, tak sedikit industri yang memborong minyak tanah dan bensin bersubsidi yang sebenar- nya dialokasikan untuk rakyat. Akibat perilaku seperti ini, pola pemberian subsidi seperti ini menjadi tidak efektif, karena akhirnya yang menikmati sub- sidi ini kebanyakan justru bukan mereka yang sebenarnya men- jadi sasaran subsidi ini.

Padahal beban subsidi se-

perti ini tidak sedikit. Ambil contoh pada kasus subsidi bahan bakar minyak (bensin premium). Ketika harga minyak mentah dunia melambung menembus US$ 100/barel (per 18 April menjadi US$ 116/barel) maka beban subsidi BBM yang di- tanggung pemerintah mencapai Rp 260 triliun – lebih dari seperempat total pengeluaran pemerintah sepanjang 2008. Dengan subsidi sebesar itu maka ruang gerak pemerintah untuk melakukan pembangunan men- jadi sangat terbatas. Apalagi se- lain subsidi BBM masih ada lagi subsidi untuk stabilisasi pangan, di antaranya untuk raskin (Rp 8,6 triliun), minyak goreng (Rp 0,5 triliun) dan kedelai (Rp 0,5 triliun). Mengingat harga di pa- sar dunia untuk ketiga komodi- tas yang stabilkan itu pun terus melambung, logikanya beban subsidi ini pun masih akan terus bergerak naik. Di luar komodi- tas yang sedang bergejolak itu, masih ada lagi subsidi untuk listrik, pupuk, dan obat-obatan.

Fakta ini menegaskan bahwa kebijakan subsidi tak lagi bisa dipertahankan. Konsekuensinya terlalu berat; pemerintah tak bisa membangun berbagai infra- struktur yang justru dibutuhkan untuk mendorong laju pertum- buhan ekonomi. Padahal, seba- gian terbesar subsidi itu justru jatuh ke tangan yang keliru.

Satu dasawarsa setelah reformasi dikumandangkan,

realita ekonomi di tingkat akar rumput justru makin terpuruk. Harga tempe melambung dan antrean sembako merebak di seantero tempat. Namun pemerintah sudah berada di jalur yang benar, meski tidak populer

Dalam dokumen 80143664 Edisi Khusus Reformasi. pdf (Halaman 30-32)